Reno Adian adalah anak Pak Pramono Adi _majikanku_, ia bekerja sebagai Senior Manager di perusahaan sepatu dan sandal milik ayahnya yang pabriknya berada di tengerang.
Pak Pramono seorang pria beranak dua _laki-laki semua_ umurnya sekitar 50 tahun, Reno adalah anak pertamanya berumur sekitar 25 tahun, adiknya bernama Ryan Anton masih kuliah jurusan perbankan di jogjakarta berumur sekitar 22 tahun.
Istri pak Pramono bernama ibu Rosalinda sedang menderita sakit dan sedang di rawat di rumah sakit, makanya mereka membutuhkan pembantu rumah tangga. Biasanya sih, mereka tidak memiliki pembantu karena yang mengurus rumah dan masalah dapur langsung istri pak Pramono.
Karena istrinya di rumah sakit, Pak Pramono kemudian mencari pembantu dengan memasang iklan di sebuah surat kabar dan sosmed.
Kebetulan saat itu aku memang sangat membutuhkan pekerjaan untuk kelangsungan kehidupanku yang tak kunjung mendapatkan pekerjaan setelah sekian lama menumpang di rumah bibiku yang berjualan gorengan di depan pertokoan daerah Glodok, Jakarta. Padahal, sebenarnya aku lulusan D3 perhotelan.
Melihat iklan di surat kabar yang dipasang pak Pramono akhirnya aku nekad mendatangi rumahnya untuk mencoba mengadu nasib melamar pekerjaan yang ditawarkannya.
Bersaing dengan sepuluh orang pelamar, akhirnya aku yang diterima dan pak Pramono yang langsung mewawancarai setiap pelamar.
Pak Pramono sebenarnya terkejut mendengar aku seorang lulusan D3. Namun, setelah aku jelaskan akhirnya ia percaya bahwa aku bersungguh-sungguh ingin bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Sudah tiga bulan lebih aku bekerja di rumah mereka. Ada empat kepala yang tinggal di rumah pak Pramon, Ibu Rosalinda --istri Pramono-- yang berobat jalan dan terbaring saja di ranjang, kemudian kedua putranya --Reno Adian-- dan Ryan Anton-- termasuk pak Pranoto sendiri.
Pekerjaanku tak jauh-jauh dari urusan memasak, mencuci dan menjaga kebersihan rumah. Rumahnya tidak begitu besar. Meski berlantai dua masih bisa dikerjakan seorang diri untuk mengurusnya.
Aku juga sekalian mengurus Bu Rosalinda untuk menjaga jadwal meminum obat-obatan yang harus ia konsumsi selama masa pemulihan.
Kurang paham juga sakit apa, dengar-dengar sakit kanker. Memang sudah tiga bulan semenjak pulang dari rumah sakit tetap masih terbaring di ranjang. Ia turun dari ranjang hanya ketika ke kamar mandi atau ingin duduk di beranda agar memperoleh sinar UV, selebihnya waktunya lebih banyak dihabiskan di tempat tidur.
Lelah? Sudah pasti, namanya juga bekerja. Tidak ada pekerjaan yang tidak lelah meski bekerja di kantor sekalipun. Seorang pengusaha saja lelah. Namun, kelelahan mereka adalah otak sedangkan aku lelah tenaga.
Pak Pramono termasuk cukup santai dalam bekerja mungkin karena sudah ada Reno yang membantunya. Ia berangkat jam sepuluh pagi dan pulang jam lima sore kadang jam empat sore. Kadang juga kerap gak pergi ke kantor dan memilih menemani istrinya _Bu Rosalinda_.
Berbeda dengan Reno yang berangkat jam tujuh pagi kadang pulang larut malam. Kalau adiknya lebih sering keluyuran bersama teman-temannya. Atau kadang pergi ke gunung berhari-hari baru pulang.
Sehingga aku lebih banyak berinteraksi dengan Bu Rosalinda dan Pak Pramono. Bu Rosalinda sebenarnya cantik, tapi karena sakit ia kelihatan kurus dan tampak tua meski guratan kecantikannya masih tampak jelas di usianya yang menginjak usia empat puluh delapan tahunan.
Pak Pramono meski berumur 50 tahun masih tampak gagah dan muda, seandainya cari istri berumur belia mungkin masih bisa. Wajahnya tidak kelihatan orang berumur 50 tahun orang mengira masih umur 38 tahunan. Orangnya baik dan ramah. Aku sering di belikan makanan jika ia habis dari luar. padahal pekerjaanku adalah memasak. Tapi makanannya tentu berbeda karena ia beli di resto ternama di Jakarta.
Begitu juga dengan Reno, ia seorang anak majikan yang baik dan sopan juga tidak sombong. kadang sikapnya berlebihan dan lama kelamaan aneh. Awal aku masuk sih! Dia kelihatan jutek dan sering menyuruh-nyuruh, juga bawel. Tapi tidak berlangsung lama, mungkin sedang menge-test mentalku.
Ia kulihat sering memperhatikanku jika sedang beraktivitas apapun. Kadang ia menghabiskan waktu liburnya hari Sabtu dan minggu dengan menemaniku di dapur. Bahkan ikut meracik makanan sendiri bersamaku. Aku sendiri kadang kikuk dan gak enak sendiri.
Namun, ia memaksa untuk ikut berjibaku di dapur bersamaku. Seperti hari minggu itu. Ia membawa bahan makanan yang entah beli di mana langsung disorongkan di hadapanku.
"Masak bareng yuk! Ini aku beli bahan kue. Aku mau masak kue bolu berlumur coklat lumer," ucapnya.
"Duh, maaf Mas Reno, Rini gak ahli bikin kue loh. Bisanya cuma bikin gorengan," ucapku.
"Enggak! Kamu harus bisa! Mari kita kerjakan bersama. Nanti aku ajarin."
"Jangan! Mas Reno jangan ikut, sini coba Rini bikin, tapi mas Reno jangan ikut ntar kotor!"
"Eiit! Kamu gak berhak memerintah aku. Kalau aku mau ikut, ya ikut. Lagian kamu katanya belum bisa bikin kue jadi kamu jadi asisten masakku saja untuk saat ini," ucap Reno sambil mengambil berbagai loyang dan alat-alat pembuat kue. Sedangkan aku membantu bila di suruh menaruh ini itu saja.
Begitulah, sekarang Reno lebih sering berada di rumah bila tidak ngantor. Aku juga sering di minta menemaninya nongkrong di kafe meski hanya sekedar minum kopi.
Hingga pada suatu malam kami duduk di gazebo sebuah restoran berkonsep perkampungan menunggu menu makanan di pesan.
Mas Reno persis duduk merapat dengan tubuhku. Tangannya yang kekar ia sampirkan di pundakku yang mungil.
Tiba-tiba jemari Reno meraih daguku dan memutarnya agar aku menghadapkan wajahku di wajahnya.
Seketika aku melihat tatapan matanya yang tajam dengan bola mata yang hitam legam, alisnya yang tebal, kumis dan jambang tipisnya menghiasi wajahnya yang tampan kalau kegantengan artis Al Debaran gak ada apa-apanya.
Setelah wajahku persis dihadapannya Mas Reno kembali menatapku tajam hingga membuatku hanya diam karena tak tahu harus berbuat apa.
Aku hanya bisa termangu sambil balas menatap wajahnya. Memang aku akui, Reno itu tampan dan menarik, menarik hati setiap wanita yang menemuinya, seperti halnya aku saat itu. Pasti banyak gadis-gadis cantik yang memimpikannya untuk dijadikan kekasih atau pasangan hidup, ditambah lagi ia anak seorang yang berada.
Disaat aku sedang berfikir begitu, Reno mendaratkan kecupan di keningku.
Jantungku berdegup kencang, apakah ini mimpi? Masa seorang Reno Adian anak pengusaha Pramono group mengecup kening seorang pembantu macam aku?
"Rini, maukah kamu jadi istriku?"
"Mas Reno apa-apaan sih! Apa Rini gak salah dengar, jangan bercanda deh!"
"Aku tidak bercanda. Sudah lama aku memperhatikan kamu, cara kamu bekerja, sikap kamu dan tindak-tanduk kamu. Sudah aku kenali.
Aku juga merasa bahagia tatkala melihat wajah dan senyummu. Aku selalu merindukan itu. Jujur saja, dulu aku jarang di rumah, lebih banyak di luar untuk urusan pekerjaan. Sekarang aku lebih sering di rumah semenjak aku jatuh hati kepadamu, Rini. Aku katakan aku mencintaimu, Rin," jelas mas Reno.
Aku masih diam terpaku belum bisa menjawab. Antara percaya atau tidak, antara ragu atau percaya dengan omongannya. Karena bagiku mustahil sekali seorang Reno yang sudah pasti banyak diimpikan setiap wanita tiba-tiba menyatakan rasa cintanya kepadaku.
Ah! Ini mimpi. Hei, jangan mimpi kamu Rini. Bangun! Tapi bukannya bangun, malah tiba-tiba Reno merengkuh tubuhku. Membawa serta-merta wajahku terbenam di dadanya yang bidang dan beraroma harum minyak wangi import yang pasti mahal.
Aku terlena sesaat dalam benaman di dada bidang laki-laki tersebut. Tapi kemudian lekas-lekas aku melepaskan diri dari rengkuhannya. Aku takut makin terlena dan kemudian jatuh tiba-tiba.
Setelah lepas dari rengkuhan pria itu, aku menatapnya.
"Mas Reno pikir baik-baik dulu. Aku ini seorang pembantu! Dan statusku janda meski tanpa anak!"
"Aku sudah tahu semuanya, dan sudah aku pikirkan masalah itu. Cinta tidak memandang status sosial dan status janda atau perawan," tegasnya.
Aku makin dilema dengan penjelasan mas Reno. Tapi untungnya pelayan restoran sudah datang membawa makanan pesanan kami. Hingga akhirnya kami fokus menyantap makanan sambil perlahan mengalihkan pembicaraan.
Aku belum mau larut dengan pembicaraan itu dulu. Aku betul-betul masih ragu dengan apa yang diungkapkannya tentang perasaannya padaku. Bisa jadi dia seorang playboy kelas kakap yang hanya mencari kesenangan mempermainkan perasaan wanita.
Tidak! Aku gak mau sakit lagi. Cukup sekali itu saja. Kejadian malam pertama pernikahanku yang mana aku langsung mendapatkan KDRT. Karena suamiku dulu ternyata pengidap penyakit mental se"sual yang aneh. Ia sangat bernafsu kepada pasangannya bila sudah menyakiti tubuh pasangannya. Tidak! Apa yang harus kulakukan sekarang. Bagaimana membuktikan kesungguhannya kepadaku. Aku tak mau setelah menerima cintanya justru aku tersakiti lebih dalam lagi! Tidak!
****
"Reno, hari ini kamu menggantikan papa, yah! Menemui klien papa di Surabaya. Papa harus menemani mama kamu. Beliau masih lemah, papa kasihan jika harus meninggalkannya jauh," ucap pak Pramono kepada Reno pagi itu saat sarapan bersama.
Aku mendengarkan sambil mencuci peralatan masak yang kotor.
"Iya, Pa! Biar Reno saja yang berangkat. Mungkin beberapa minggu aku di sana pa, 'kan aku harus survei tempat calon lokasi pabrik kita yang baru."
"Bagus, makin lama kamu makin bisa di andalkan. Jadi secepatnya papa akan menyerahkan kepengurusan perusahaan ini sama kamu. Papa mau beralih merintis usaha yang lain yang lebih memiliki banyak waktu di dalam rumah."
"Jangan buru-buru, Pa, Reno masih butuh bimbingan, Papa."
"Tidak sekarang, jabatan kamu saja masih setingkat manager doang. Butuh setahun atau dua tahun lagi. Makanya kamu harus cepat menguasai semua, yah."
"Baik, Pa."
Begitulah, percakapan mereka. tampaknya Reno hari ini akan pergi ke Surabaya sampai beberapa minggu. Sedangkan adiknya sedang ada di Yogyakarta dalam rangka urusan pendidikan.
****
Kepergian Reno ke Surabaya membuat rumah tampak lengang.
Hanya kami bertiga yang ada di rumah. Sementara istri pak Pramono lebih banyak di dalam kamar, menambah suasana rumah yang cukup besar ini tampak senyap tidak terdengar percakapan yang menggema di dalam rumah.
"Rini, apakah ibu sudah minum obatnya?" tanya pak Pramono malam itu yang duduk di depan laptop di ruang tengah saat aku akan menuju dapur.
"Sudah Pak! Ibu nampaknya juga sudah mulai tertidur karena bawaan obat sepertinya," jawabku sambil menunduk hormat dengan kikuk menjawab pertanyaan majikanku yang tampak berwibawa sekali.
"Kamu mau ngapain, apakah masih banyak pekerjaan di dapur?"
"Sudah tidak ada sih, Pak! Mmmm, cuma mau mencuci gelas dan piring bekas ibu makan tadi," jawabku dengan posisi berdiri dihadapannya.
"Ya, sudah, selesaikan dulu pekerjaanmu," ucap Pak Pramono. Aku pun berlalu dari hadapannya menuju dapur.
Setelah selesai aktivitas di dapur, aku segera masuk kamar yang bersebelahan dengan dapur dan tempat ruangan mencuci.
Kurebahkan tubuhku di kasur dengan sprei bercorak bunga berwarna biru dan merah untuk melepaskan lelah setelah seharian bekerja.
Aku pasang headset di kupingku untuk mendengarkan lagu-lagu favorit dari ponsel.
Di saat asyik sedang mendengarkan lagu favorit. Tiba-tiba, pintu kamar ada yang membuka dari luar.
Aku segera melepaskan headset ponselku. Mataku langsung kuarahkan ke pintu kamar, saat itu juga muncul Pak Pramono dari luar kamar. Ia memakai celana pendek dan kaos singlet warna putih.
"Pak! a_a_ada apa, Pak! Kalau ada perlu, Bapak 'kan tinggal panggil saya. Jangan Bapak yang harus repot-repot ke sini," ucapku gelagapan.
"Gak apa-apa, Rin. Bapak cuma mau minta tolong pijitkan tangan bapak ini," ucapnya langsung duduk di ranjangku. Lalu mengulurkan tangannya sambil menghadapkan badannya ke arahku.
"Ta_ta_tapi, Pak." ucapku ragu untuk memegang tangan pak Pramono.
"Sudah gak apa-apa, Rini. Tolong pijitkan, sakit sekali rasanya otot-ototnya," ucap pak Pramono sekali lagi. Akhirnya aku mulai memijit tangan pak Pramono.
"Bagian sini, ya Pak," tanyaku kemudian karena belum tahu daerah mana yang sakit. Namun, Ia langsung mendekap tubuhku erat.
Setelah itu dengan paksa... ia langsung melakukannya.
Ingin aku berteriak, namun tangan pak Pramono membengkap mulutku. Hingga akhirnya Pak Pramono berhasil merobohkan pagar kehormatanku.Aku hanya bisa menjerit lirih karena rasa nyeri atas tindakan pak Pramono yang dilakukan dengan paksa.
Aku menangis lirih terbaring di samping Pak Pramono yang terdengar nafasnya masih tersengal seperti habis lari maraton.
Aku tarik selimut untuk menutupi tubuhku, Aku malu? Pasti!
"Maafkan bapak Rini, kamu tahu 'kan sudah hampir satu tahun lebih bapak tidak pernah melakukan hubungan itu, semenjak istri bapak sakit. Entah kenapa malam ini bapak tidak mampu menahannya ketika melihatmu. Jujur saja Rini. Sudah sejak lama bapak suka sama kamu," ucap Pak Pramono sambil mengelus rambutku yang acak-acakan dimana aku masih sesenggukan menangis pilu mengingat kejadian yang barusan terjadi.
"Rini....?! Kamu masih per*wan?" tanya pak Pramono terkejut melihat bercak merah di sprei.
"Iya, Pak," ucapku.
"Tapi ... bukankah kamu janda?"
"Iya, aku janda pak, tapi belum pernah di sentuh sama sekali oleh mantan suamiku dahulu. Karena malam pertama itu juga, aku minta cerai. Sebab mantan suamiku punya penyakit kejiwaan. Di mana ia akan merasa bernafsu jika sudah menyakiti pasangannya."
Pak Pramono manggut-manggut, kemudian ia merogoh saku celananya, mengambil sesuatu.
Tampak satu ikat uang kertas berwarna merah ia letakkan di sampingku. Setelah itu ia keluar tanpa bicara sepatah katapun.
Bersambung.
Ketika aku sedang memasak, tiba-tiba pak Pramono masuk ke dapur. Ia memberiku beberapa buah tas kertas yang berisi baju dan celana, alat kosmetik yang dari merknya pasti harganya mahal, parfum dan seikat uang.Aku memang beberapa hari bersikap dingin kepada pak Pramono sejak ia merenggut kehormatanku. Ia sengaja memberikan hadiah itu, sepertinya untuk mengambil hatiku atau agar aku tutup mulut atas tindakan paksa dia menggagahiku.Yah! Semenjak kejadian malam itu pak Pramono begitu perhatian kepadaku. Ia betul-betul menunjukkan rasa sayangnya meski ketika di depan keluarganya ia berusaha menyembunyikannya.Dari perilakunya terlihat Pak Pramono memang orang yang sangat bertanggung jawab. Ia juga selalu menanyakan kesehatanku. Menanyakan hobi dan kesukaanku, juga kerap memberikanku uang di luar gaji.Seiring berjalannya waktu, hatiku mulai luluh dengan kebaikannya, dan jujur saja, ketampanan pak Pramono masih tergaris jelas di wajahnya meski sudah berumur 50 tahun. Jujur, aku dibuatnya
"Rini, aku tanya sekali lagi. Maukah kamu menjadi istriku?" ucap Reno kepadaku saat aku sedang menyiapkan masakan di dapur untuk segera disiapkan di meja makan bagi para majikanku pagi itu termasuk RenoAku terdiam, gak tahu mau jawab apa. Sehingga aku pura-pura menyibukkan diri dengan urusan dapur yang sebenarnya sudah selesai.Reno masih saja menungguiku duduk di depan meja makan saat aku sedang membereskan perlengkapan dapur, mungkin menunggu jawabanku."Reno, hari ini temani mama di rumah sakit, yah! Papa mau istirahat di rumah. Badan papa panas dingin, mungkin kelamaan di rumah sakit jadi terserang virus di sana," ucap Pak Pramono tiba-tiba saja muncul dari luar."Baik, Pa," jawab Reno, sambil beranjak dari tempat duduknya di ruang makan dekat dapur. Ia melemparkan pandangannya kepadaku sekilas dengan seulas senyum.Lega, rasanya. Sebab aku saat itu masih bingung harus jawab apa. Jika aku menerima Reno. Apa kata pak Pramono? Sebab ia sudah mengetahui kelakuanku yang mau saja mel
Aku mencolek pak Pramono, dan memberikan kode kepadanya untuk melihat ke arah Reno yang terlihat sedang berbincang dengan rekannya.Sontak pak Pramono terlihat sangat kaget. Sama kagetnya denganku yang diiringi jantung berdegup kencang. Semestinya 'kan dia di rumah sakit menemani ibunya."Kita berjalan sendiri-sendiri saja yah! Jangan sampai kita ketahuan jalan berdua," ucap pak Pramono sambil mengajakku berbalik arah menjauh dari tempat Reno berada."Tapi, baju-baju ini bagaimana, pak?" tanyaku panik dengan wajah gelisah."Oh, iya, bagaimana yah! Mmm ... begini saja, baju ini tetap kamu yang bawa. Jika nanti kepergok Reno, bilang saja ini mau disumbangkan buat saudara kamu yang sedang hamil," saran pak Pramono sambil bergegas menjauh dariku.Aku berdiri kebingungan sambil menenteng tas-tas berisi pakaian hamil. Harus lewat mana? Sementara di depan sana ada Reno.Disaat sedang bingung-bingungnya. Tiba-tiba sapaan seorang laki-laki terdengar dari belakangku."Rini?! kamu ngapain ada di
"Rini, besok lusa aku mau ke tempat pernikahan rekan bisnis aku. Temani aku yah?" tanya Reno ketika aku sedang memasak di dapur."Aku malu, Mas, itu kan tempat orang kaya semua. Aku bukan sebanding dengan mereka," jawabku berusaha menolaknya karena memang aku akan mulai menjauh dari hidupnya."Siapa bilang kamu gak selevel. Kamu cantik, putih, berpendidikan dan bisa menyesuaikan dikondisi lingkungan manapun lebih tepatnya di ajak susah gak nyusahin, di ajak kaya gak malu-maluin," bujuk Reno."Ah, mas, bisa saja. Tapi bener Mas, aku gak percaya diri," ucapku berusaha sebisa mungkin menolaknya."Aku sudah membelikan gaun buat kamu pakai loh! Tara ...." Ia mengeluarkan sebuah gaun darai tas kertas yang sedari tadi ia sembunyikan di belakang tubuhnya. Sebuah gaun yang mewah dan pasti harganya mahal sekali. Sepasang sepatu hak tinggi yang cantik juga ia pamerkan."Gimana? Mau kan? Harus mau, aku sudah susah cari-cari gaun ini tadi. Dan aku sudah tahu ukuran lekuk tubuhmu, ukuran sepatumu.
Bab 6Perutku makin membesarAku menyadari makin hari perutku semakin membesar. Sebelum Reno mengetahui bahwa aku hamil. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bekerja di rumah pak Pramono.Tanpa sepengetahuannya aku mengemas barang-barangku. Aku kemudian menemui pak Pramono untuk mengatakan bahwa aku akan tinggal di rumah yang ia berikan untukku.Pak Pramono tentu saja meng-iyakan karena ia tahu bahwa perutku lama kelamaan pasti makin besar."Nanti aku akan mengantarmu," ucap Pak Pramono."Jangan, Pak, aku takut ada yang melihat. Nanti justru akan menimbulkan masalah baru," terangku padanya."Lambat atau cepat, hubungan kita pasti akan ketahuan," jawab pak Pramono. meyakinkanku. Kuakui dia memang pria bertanggung jawab."Terus, bagaimana, Pak?""Aku akan menikahimu," jawab pak Pramono."Tapi, Pak, aku nanti di bilang pelakor," ucapku tanpa mangaku sebagai pelakor, padahal sejatinya aku memang sudah jadi pelakor! Cuma aku saja yang tidak gengsi mengakuinya."Aku akan menikahimu secara
Hari-hari aku lalui di dalam rumah baruku. Jarang aku keluar rumah kecuali penting sekali. Aku takut bertemu kembali dengan Reno. Yah! Takut sekali, sebab dia pasti akan mempertanyakan tentang anak yang aku kandung.Untuk keperluan biaya hidup pak Pramono kerap datang ke rumah membawa belanjaan dan uang."Rini, beberapa hari ke depan kemungkinan bapak tidak bisa ke sini, rencananya mau ke Singapura mau konsultasi masalah kesehatan ibu. Gak apa-apa, kan?" tanya pak Pramono suatu ketika di sore itu."Tidak apa-apa, Pak! Rini maklum, Bapak juga punya tanggung jawab kepada ibu," ucapku sambil tersenyum."Sebelum bapak pergi, bapak mau mengajak kamu ke dokter kandungan setelah itu kita belanja untuk keperluan kamu ke depan," ucapnya."Di mana Pak?""Ke dokter sekitar sini saja, setelah itu ke supermarket, nanti kamu yang memilih sayuran dan buah-buahan apa yang kamu inginkan, Bapak kan tidak tahu," ucapnya"Baik, Pak.""Hayukk."Aku segera mengikuti langkahnya menuju carport di mana mobiln
Sudah lebih satu Minggu pak Pramono tidak datang menjengukku, biasanya tiga atau empat hari dia pasti datang. Ini sudah hampir sepuluh hari. Ah! Mungkin masih di Singapura. Ingin aku bertanya melalu panggilan telepon. Namun, tidak berani. Entah kenapa, aku kepada pak Pramono terlalu segan. Mungkin karena kewibawaannya atau pembawaannya yang cool layaknya para pemimpin.Akhirnya aku mencoba menunggu saja kabar darinya atau menunggu kedatangannya. Namun, hingga berhari-hari tidak ada kabarnya meski hanya melalui SMS atau WhatsApp.Aku pun bertanya-tanya, apa yang terjadi dengannya kenapa tidak ada kabar? Kekhawatiranku semakin menjadi ketika sudah beberapa minggu tidak juga kunjung ada kabar, apalagi datang.Tetiba aku di kagetkan dengan adanya suara mobil berhenti di carport kemudian tak berapa lama, terdengar suara ketukan pintu di ruang tamu.Kubuka pintunya.Degg!Begitu kagetnya aku, dihadapanku sudah berdiri seorang pemuda tampan yang tidak asing lagi bagiku.Pemuda yang pern
Hari-hari menunggu kelahiran si jabang bayi di rumah sakit, aku hanya menghadapi sendiri tanpa sanak saudara menemaniku. Tanpa siapapun mensuportku. Tanpa seorangpun memperhatikanku. Tanpa siapapun yang membuatku tersenyum. Tanpa seorangpun menguatkanku. Hampa! Yah, hampa hidupku saat itu. Merasa jadi orang yang tidak memilki arti.Kecuali Reno yang setiap sore ia datang menjengukku meski tanpa berbicara sepatah katapun. Ia hanya melihat dan memandangiku. Ia hanya menunggui di pojok kamar rumah sakit. Selepas itu ia pergi.Aku tidak tahu apa yang dalam pikirannya. Apakah kasihan kepadaku?Aneh! Padahal sudah aku tegaskan bahwa ini bukan anaknya. Namun, aku pun tak ingin menanyakannya. Biar dia saja yang tahu apa maksud dia tiap hari menjengukku. Aku sudah sangat merasa bersalah sekali kepadanya. Tidak berani menyapa dia duluan apalagi mempertanyakan maksudnya. Tidak! Aku malu, aku menyesal! Sangat menyesal!Biar! Biarlah seperti ini saja hingga si jabang bayi ini keluar. Setelah ini,