Kunci Raga, ilmu warisan leluhur Ajiseka itu memang benar-benar membuat lawan tidak berkutik sama sekali. Tidak hanya mengunci raga manusia, tetapi juga berlaku untuk makhluk astral. Dan karena ilmu itu, nasib Pancabala berada di ujung tanduk.Mulanya Pancabala mencoba memberontak, tetapi saat melihat yang berbicara adalah pemuda yang selangkah lagi terbunuh olehnya masih berdiri gagah dan tanpa luka, ia pun mencoba menenangkan diri. Otaknya mulai memikirkan cara untuk meloloskan diri dari kematian. Jelas ia merasa kalah jika nekat melakukan perlawanan, pasalnya aura alam yang ia gunakan sama-sekali tidak mampu melukai lawannya.Walaupun pemuda itu sempat terdesak, tetapi nyatanya ia tidak mengalami luka sedikit-pun. Dan itu artinya kekuatannya berada jauh di atasnya. Tentu Pancabala sudah memikirkan untung ruginya sebelum bertindak.“Baiklah, aku rasa seluruh kekuatanku tidak mampu melawan dirimu. Lakukan yang harus kau lakukan anak muda, aku tidak menyesal jika kau membunuhku. Setid
Di ruangan khususnya Pancabala berjalan mondar-mandir memikirkan langkah selanjutnya. Tidak dipungkiri jika kekalahannya menciptakan kegelisahan luar biasa. Ia tidak habis pikir, selama ini sepak terjangnya selalu menjadi sorotan, baik pihak lawan atau sebaliknya. Nyatanya hari ini ia harus menelan pil pahit kekalahan hanya dengan melawan seorang pemuda. Ia bingung apakah dirinya yang terlalu lemah atau musuhnya yang tidak tertandingi, pasalnya dirinya dinobatkan oleh sekte sebagai tetua yang paling mumpuni. Seiring waktu berjalan dan lelahnya langkah kaki yang tidak jelas, pikiran Pancabala kian didera gelisah, tetapi lagi-lagi ia tidak tau harus bagaimana.Bahkan, kebiasaan memanggil sang junjungan di ruangan khususnya benar-benar hilang dari ingatan. Pancabala mencoba bermeditasi, mencari ketenangan dan berniat membangkitkan lagi energi tenaga dalamnya. Mengingat ucapan Ajiseka yang menyebut jika tenaga dalam miliknya terkuras habis sewaktu proses pelepasan dirinya dari jerat ilmu
Cairan merah kental mengucur deras, menggenangi lantai aula sekte yang terbuat dari batu-batu pilihan dan terjejer rapi. Berakhirnya hidup seorang wakil pimpinan aliran hitam di tangan pimpinannya sendiri. Bukti jika pengabdian dan jasanya tidak berguna manakala tubuhnya tidak lagi mampu memberikan kontribusi kekuatan terhadap sekte.Bahkan, saat terakhirnya masih tersiksa. Menjadi tumbal peningkatan kekuatan oleh siluman manusia berkepala anjing yang bersarang di raga Sumokolo. Tragis, tetapi itulah nasib yang menimpa Pancabala di akhir alam kecil, dan terombang-ambing di alam besar yaitu Nirwana.Sedangkan pimpinan sekte dan pimpinan padepokan Lowo Ireng sendiri melenggang tanpa beban setelah membunuh dan menyerap energi kehidupan wakil pimpinannya. Memasuki bilik pribadi dan kembali merajut lagi ritual asmara gila yang mereka jalani demi sebuah kekuatan yang digadang mampu meleburkan kekuatan besar yang mengancam keamanan sekte aliran hitam.Disisi lain, Sewunyowo tengah menggila.
Dhar!Dhar!Dua larik sinar terang menghantam bangunan rumah warga, tidak hanya satu kediaman saja yang di hancurkan. Tetapi setiap Sewunyowo dan rombongannya berjalan, maka tempat di sekitarnya di buat porak-poranda oleh mereka. Tidak perduli ada penghuninya atau tidak, mereka tetap menghancurkan bangunan yang mereka lintasi.Bahkan, saat penduduk melakukan perlawanan, jiwa keji mereka malah semakin terpacu. Banyak nyawa lepas sia-sia dari badan. Hingga akhirnya kelompok Sewunyowo berhadapan dengan anak didik Haryo Wicaksono.Pertarungan pecah di tempat keramaian. Daerah yang seharusnya dihindari untuk peperangan, mengingat dampak besar yang sudah pasti terjadi. Sedangkan Haryo Wicaksono masih berada di kediamannya mengurus perusuh yang tidak kalah banyak, pasalnya Sewunyowo mengerahkan seluruh bawahannya, termasuk warga yang baru saja bergabung dengannya.Beberapa tetua muda bertugas meringkus kediaman Haryo Wicaksono, itu terjadi karena laporan telik sandi yang menemukan kejanggala
“Serang!”Kata terakhir yang terucap dari salah satu tetua padepokan Lowo Ireng, dengan jumlah bawahan lebih dari seratus orang menjadikan dirinya begitu yakin mampu menaklukkan lawan. Terlebih sebelumnya mampu membuat kekacauan di desa dan kini berusaha menaklukkan padepokan rahasia asuhan Haryo Wicaksono. Sayangnya padepokan Haryo Wicaksono tidak mudah di taklukkan, sebuah kejutan untuk Sewunyowo yang memimpin langsung penyerangan itu.Wakil pimpinan itu tidak mampu menahan gempuran Ajiseka dan ayahnya yang sama-sama memiliki digdaya di luar nalar. Bahkan, Ajiseka langsung melebur jasad Sewunyowo dengan kekuatan Nogoweling. Seperti halnya Brojolewo dan Dewi Wengi yang terbakar oleh semburan api yang tercipta dari kekuatan roh Nogoweling.Belajar dari pengalaman masa lalu, membuat Ajiseka mengambil tindakan itu. Kini tinggal satu, yaitu pucuk pimpinan Lowo Ireng yang menghilang saat padepokannya hancur. Juga ketika wakilnya lebur menjadi abu, wanita itu tidak juga menampakkan dirinya
“Hua ha ha ha, kau lagi rupanya!”SlashDhar!Dhar!Sinar terang melesat dari telapak tangan Sumokolo, dan dua kali menerjang tubuh Ajiseka. Namun, tubuh Ajiseka tetap bergeming seolah tidak terjadi penyerangan terhadap dirinya. Bahkan, ledakan yang terjadi hanya menimbulkan percikan api saja.Ya! Kekuatan yang berasal dari roh siluman buaya buntung rupanya bekerja dengan baik, tubuh Ajiseka beberapa kali selamat dari luka. Sebab kekebalan tubuhnya telah dilindungi total oleh kekuatan milik Surodono. Tidak heran saat melawan musuh sebelumnya Ajiseka sama sekali tidak terluka ketika gempuran dahsyat menyerang dirinya.“Beruntung kita bertemu disini, dan tidak salah jika malam ini aku menuntaskan dirimu,” ujar Ajiseka.“Kau terlalu jumawa anak muda! Puluhan tahun sekte ini berdiri. Bahkan, sebelum dirimu terlahir diriku sudah menjadi pemimpin sekte Kembang Kenongo, lalu apakah semudah itu kau akan membinasakan diriku, hem?”“Dan selama itu kerja kalian hanya mengambil upeti dan memeras
Sosok tua nan ringkih menangkis serangan serta memukul Roro Palupi dari jarak yang begitu dekat. Jika serangan jarak jauh yang sudah pasti menggunakan tenaga dalam saja dapat ia halau, tidak mungkin lelaki tua itu memukul dengan tangan kosong. Nyatanya Roro Palupi terhempas keras dan menjerit kesakitan.Ageng Pamungkas, lelaki tua yang memberikan pedang pusaka Nogoweling kepada Ajiseka itu nyatanya bukan orang sembarangan. Ia adalah guru Danuseka, Haryo Wicaksono, Adhinata dan Janudoro. Dan Janudoro adalah guru pertama Ajiseka, jika di urut artinya lelaki tua itu termasuk kakek guru Ajiseka.Ageng Pamungkas sendiri memiliki urusan pribadi masa lalu dengan Roro Palupi, sebab runtuhnya padepokan Bayu putih tidak lepas dari ulah Roro Palupi dan gerombolannya. Selama ini Ageng Pamungkas menyembunyikan jati-dirinya, sebab ia harus menjaga amanah dari pendahulu padepokan, menjaga pedang pusaka Nogoweling agar tidak jatuh ke tangan orang yang salah.“Roro Palupi, tidakkah kau menyadari jika
“Uhukh. Bedebah! Kau membokongku, anak muda!”Teriak murka Sumokolo manakala pukulan telak menghantam punggungnya. Tetapi Ajiseka tetap bergeming, yang ada serangan kedua dan seterusnya di lakukan dengan cara yang sama. Hal itu membuat Sumokolo babak-belur dan tidak berbentuk lagi, tubuhnya kacau dan mengeluarkan banyak darah.Namun, nyatanya luka separah itu tidak membuat Sumokolo melemah. Lelaki itu bahkan menanti kemunculan Ajiseka yang menyerang dirinya dari jarak dekat tetapi tanpa menunjukkan diri. Hal itu membuat Ajiseka meradang, ia tidak menduga para pimpinan aliran hitam di bekali dengan ketahanan tubuh yang luar biasa kuat.Menyadari usahanya sia-sia Ajiseka memutuskan menampakkan diri, sebab menurut pemikirannya jalan satu-satunya mengalahkan Sumokolo sama seperti pimpinan padepokan yang sudah ia binasakan. Maka setelah menampakkan diri ia berniat menggunakan kekuatan roh Nogoweling, hal itu dilakukan karena ia tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan lawannya. Seperti ya