Dhar!Dhar!Ajeng Ratri mengamuk manakala menyadari raga Sekar Sari telah di Hujam dengan senjata, akibatnya pertarungan terjadi di dalam ruangan itu. Bahkan, ruangan yang semula tertata rapi dengan wewangian yang semerbak, kini hancur lebur. Rumah gaib alam mimpi yang ia bangun sedemikian rupa senyatanya hancur dalam beberapa saat saja.“Bedebah! Tidak seharusnya aku percaya begitu saja dengan kalian!” Teriak Ajeng Ratri.Kemarahannya memuncak dan menyebabkan hawa panas tak terkira di dalam ruangan itu. Beruntung Sekar Pinesti lebih dulu menyusup dan keluar dari ruangan tanpa sepengetahuan wanita tua yang sedang di amuk amarah. Sedangkan Ajiseka sendiri masih bergeming, kemarahan wanita tua itu sama sekali tidak menjadi masalah untuk dirinya.“Hancurkan sepuasmu, Nyai ...” ujar Ajiseka.“Kau harus bertanggungjawab!” teriak Ajeng Ratri.Tubuh ringkihnya tiba-tiba membesar gagah dan hitam. Bahkan, ukurannya terus meningkat mengikuti amarahnya. Namun, lagi-lagi Ajiseka tetap bergeming.
Tidak sedikit warga yang langsung jatuh pingsan manakala sosok hitam besar memorak-porandakan tempat berlangsungnya Ritual doa-doa. Melihat hal itu Ajiseka tidak dapat menahan dirinya, pasalnya malam ini adalah malam sakral pemakaman jasad kuno leluhurnya. Ia langsung menghempaskan kekuatan besarnya ke arah sosok hitam besar itu, lebur dan tanpa ada perlawanan yang berarti.“Lanjutkan ritual doanya, Romo? Biarkan aji yang membersihkan area ini dari gangguan-gangguan itu,” ujar tegas Ajiseka.“Baiklah, saudaraku sekalian, mari lanjutan lantunan doa, agar esok hari dan seterusnya kita terbebas dari ketakutan. Yakinkan yang meragu dan gelisah agar kembali khusyuk, biarkan Ajiseka yang membereskan kekacauan ini.” ajak Danuseka.Disisi lain, tidak ada lagi makhluk yang membayangi arwah Sekar Sari. Ia mengambang di atas cungkup Punden, menyaksikan seluruh warga mendoakan dirinya agar tenang. Namun, ia terganggu dengan kehadiran Ajiseka yang juga mengambang.“Nyai, sesungguhnya apa yang meny
“Romo, semalam Aji bertemu Eyang. Eyang menyuruh Aji segera belajar Kanuragan supaya bisa menjaga keraton Setya Loka dan wilayah punden dari incaran wanita yang bernama Sariti.”Aktivitas Danuseka terhenti seketika saat putranya berbicara, “Oya? Kamu tau dimana keraton itu, Nak?”Sepuluh tahun yang lalu Ajiseka terlahir didunia, selama itu pula proses pengalihan digdaya dari sang Kakek berlangsung. Namun, Ajiseka harus menempa dirinya sendiri untuk menumbuhkan digdaya yang ia miliki. Sayangnya sang Kakek sudah mengasingkan diri sebelum Ajiseka dewasa.“Aji beberapa kali kesana, Romo. Tapi Aji tidak tau letaknya, yang Aji tau rumah disana besar dan berwarna kuning emas,”“Mulai sekarang, Aji harus belajar. Dengan Romo atau yang lainnya, Aji harus sungguh-sungguh.”Danuseka mengelus pucuk kepala putranya. Pikirannya langsung tertuju perihal pesan yang disampaikan pada Ajiseka. Pasalnya, tidak mungkin Ayahnya atau Kakek Ajiseka yang baru empat hari pergi itu kembali dari tapa bratanya. D
“Ki Danuseka!” Tiba-tiba saja Danuseka hadir di depan utusan yang memanggilnya, “Ada apa, Kang? Adakah sesuatu yang genting di bawah sana, Kang?” “Ketiwasan, Ki. Nyai dibawa makhluk selendang berkepala manusia, Ki!” Mendengar aduan itu dada Danuseka terasa sesak seketika, begitu juga dengan tubuhnya yang bergetar. Menandakan jika dirinya sedang dikuasai oleh amarah. Namun, ia mencoba menetralisir hal itu, sebab jika amarahnya memuncak hanya akan membuntukan pikirannya. Terlebih lagi, ia tidak bisa meninggalkan pertarungan begitu saja. “Kita selesaikan pertarungan dulu, Kang. Terlalu banyak siluman juga dedemit yang turut andil disini. Lalu, bagaimana keadaan di bawah, Kang?” “Saya tidak tau pasti, Ki. Tapi Ajiseka sudah diamankan oleh para tetua,” “Baiklah, waspadai sekeliling Kakang, jika ada yang mengganggu panggil saya secepatnya.” Tetua utusan mengangguk mengerti, sedangkan Danuseka sendiri segera kembali ke medan pertarungan. Kini fokus Danuseka adalah siluman selendang be
Wilayah Punden semakin mencekam. Obor-obor menancap di sembarang tempat, menerangi sebagian lokasi yang semula gelap gulita. Ya! Pasukan dari golongan manusia yang dipimpin oleh Sariti mulai beraksi, mereka berasal dari suatu daerah yang telah dikuasai oleh pengaruh pimpinan lelembut wilayah punden.“Merekalah yang harus kalian bersihkan, binasakan! Tunjukkan bakti kalian kepadaku!” ujar Sariti.Titahnya terdengar jelas di telinga para abdinya yang menyebar. Bersembunyi di balik pepohonan dan semak. Ya! Hanya mereka yang mendengar titah itu.Kelompok Danuseka mulai tersudut. Puluhan siluman ular dan penampakan kuntilanak yang tiba-tiba muncul membuat beberapa tetua panik. Pasalnya, bukan kekuatan silumannya yang merepotkan, tetapi kehadiran makhluk bergaun putih yang acapkali membuat mereka kehilangan fokusnya.“Ki, lakukan sesuatu agar mereka tidak mengganggu.” Titah Danuseka.Tetua itu bergegas melakukan sesuai perintah Danuseka. Dia lebih memfokuskan diri menghadapi makhluk astral.
Ketika kebengisan dipertontonkan oleh Sariti, tetua wilayah punden tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa mengutuk sosok yang berdiri angkuh di atas sebuah batu besar. Ya! Sariti mengendalikan seluruh lawannya. Dia memanfaatkan amarah rekan-rekan Danuseka.Cukup lama tubuh para tetua berada dalam kendali Sariti. Selama itu pula mereka menyaksikan penyiksaan yang terjadi bahkan, ketika sanak saudaranya meregang nyawa mereka hanya bisa meratapi. Lebih mengejutkan lagi pelakunya adalah warga punden yang disusupi makhluk tinggi besar dan berbulu. Pantaslah mereka tidak lagi merasa iba kepada sesama manusia. Sebab sejatinya yang melakukan itu Adalah makhluk-makhluk itu.“Ki Danuseka!” tiba-tiba salah satu tetua berteriak memanggil nama pimpinannya. Dia tersadar pesan yang pernah disampaikan Danuseka.Di tempat yang jauh dari Punden Danuseka menghentikan pengejarannya, dengan jelas ia mendengar teriakan yang memanggil namanya. Seketika Danuseka sadar jika ia telah terkecoh oleh Sari
Terik mentari pagi menghangatkan wajah-wajah sendu warga Punden. Berjibaku mengurusi puluhan mayat sisa tragedi semalam, duka diwilayah Punden tidak terelakkan lagi. Jangankan puluhan nyawa, satu nyawa saja melayang akibat kebengisan, mereka sangat menyayangkannya. Belum genap satu bulan memangku tanggung jawab, Danuseka sudah di hadapkan dengan kenyataan pahit. Merasa terpukul karena tidak bisa mengemban amanah dari pendahulunya. Tetapi Danuseka tidak menunjukkan perih hatinya, ia masih terlihat tegar di depan warganya. Terlebih di depan Ajiseka, putra semata wayangnya. Dirinya lebih memilih turut membantu warga menyiapkan keperluan pemakaman. Ikut menggali lubang raksasa agar pekerjaan cepat selesai. Bahkan, Danuseka tidak segan membersihkan jenazah yang hendak dimakamkan. Lubang besar disiapkan untuk pemakaman warga, setidaknya ada tujuh lubang besar. Tetapi saat pemakaman berlangsung kejadian aneh menimpa mayat-mayat yang berasal dari luar Punden. Sekitar dua puluhan mayat meny
Cicit burung mengantar langkah riang Ajiseka. Tekadnya yang kuat membuat dirinya mantab meninggalkan ayahnya. Bahkan, embun pagi yang dingin tidak menyurutkan ayunan langkahnya.Tepi Selatan menjadi tujuan pertama Ajiseka, ia dijemput oleh dua orang tetua yang cukup mumpuni. Belum lagi pengawalan diam-diam Ki Dirgodono, tetua sepuh Punden yang jarang sekali berbaur dengan warga. Lelaki yang piawai dalam penyamaran dan ahli menekan aura kedigdayaannya.Untuk pertama kalinya Ajiseka keluar dari pemukiman, langkahnya begitu riang manakala dirinya melintasi hutan lebat. Bahkan, Ajiseka tidak khawatir jika ada binatang buas seperti yang pernah diceritakan oleh sang ibu. Sesekali Ajiseka bersiul menirukan kicauan burung, terkadang mengernyitkan dahinya saat mencurigai sesuatu.Tiba-tiba Ajiseka berhenti, ia menatap tajam pohon besar yang letaknya tidak jauh dari tempatnya berdiri.“Ki, apakah itu gubuk, Aki?” tanya Ajiseka kepada Ki Sawung, tetua sepuh yang menjemputnya.“Bukan Aji? Gubuk A