Home / Fantasi / AJISEKA / Bab 1. Kekacauan di wilayah Punden

Share

AJISEKA
AJISEKA
Author: Arya. P

Bab 1. Kekacauan di wilayah Punden

Author: Arya. P
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Romo, semalam Aji bertemu Eyang. Eyang menyuruh Aji segera belajar Kanuragan supaya bisa menjaga keraton Setya Loka dan wilayah punden dari incaran wanita yang bernama Sariti.”

Aktivitas Danuseka terhenti seketika saat putranya berbicara, “Oya? Kamu tau dimana keraton itu, Nak?”

Sepuluh tahun yang lalu Ajiseka terlahir didunia, selama itu pula proses pengalihan digdaya dari sang Kakek berlangsung. Namun, Ajiseka harus menempa dirinya sendiri untuk menumbuhkan digdaya yang ia miliki. Sayangnya sang Kakek sudah mengasingkan diri sebelum Ajiseka dewasa.

“Aji beberapa kali kesana, Romo. Tapi Aji tidak tau letaknya, yang Aji tau rumah disana besar dan berwarna kuning emas,”

“Mulai sekarang, Aji harus belajar. Dengan Romo atau yang lainnya, Aji harus sungguh-sungguh.”

Danuseka mengelus pucuk kepala putranya. Pikirannya langsung tertuju perihal pesan yang disampaikan pada Ajiseka. Pasalnya, tidak mungkin Ayahnya atau Kakek Ajiseka yang baru empat hari pergi itu kembali dari tapa bratanya. Danuseka yakin jika yang menemui putranya adalah Sukma sang Ayah.

“Jadi selama ini Aji sering bepergian dengan Eyang?”

“Iya, Romo.”

Jawaban Ajiseka sudah cukup membuat Danuseka memahami yang terjadi pada putranya. Jelas Ajiseka telah disiapkan untuk menggantikan dirinya kelak. Ia menatap raut polos Ajiseka, memikirkan bagaimana nanti ke depan. Pasalnya, menjaga sebuah keraton gaib yang sarat dengan harta kekayaan tidaklah mudah.

Dalam beberapa hari firasat Danuseka tidak baik-baik saja, ia termangu didepan kediamannya. Menatap langit sore yang tampak aneh.

“Ada apa Kakang? Sepertinya ada sesuatu yang Kakang pikirkan,”

“Lihatlah, tidak biasanya punden seperti itu, rasanya ada sesuatu yang tidak beres.” Ucap Danuseka khawatir.

         Langit kelam menyelimuti puncak Punden. Wilayah yang sejatinya begitu indah. Namun, saat ini tertutup total oleh awan hitam yang menggumpal. Danuseka, tetua muda sekaligus pimpinan dari para tetua wilayah Punden menatap gelisah puncak Punden saat berduaan dengan istrinya.

 Kekhawatiran Danuseka memuncak manakala petir menyambar ke sembarang arah. Hal itu membuat Danuseka segera bertindak, meminta petunjuk kepada sang Pangeran, juga meminta ijin kepada para leluhur perihal tindakan yang harus ia lakukan. Danuseka lantas mengumpulkan warga untuk berkumpul di pendopo rumahnya.

 “Saudara-saudaraku, saat ini penghuni gaib menginginkan kebebasan di wilayah punden, hal ini tentu sangat merugikan kalangan manusia di sekitar punden. Jika ini terjadi, saya yakin kita akan punah di tempat ini. Oleh sebab itu saya mengajak saudara-saudara untuk bersatu memerangi mereka.”

 “Bagaimana dengan rekan-rekan yang tidak memiliki digdaya untuk melawannya, Ki. Apakah kita akan tetap mengikut sertakan?” ujar salah satu tetua.

Terdengar suara bisik-bisik dari orang-orang yang di kumpulkan oleh Danuseka. Mereka tidak menyangka jika tempat tinggal mereka terancam. Sebagian bahkan merasa ketakutan dengan berita yang di sampaikan oleh pimpinannya.

“Ki Danuseka, apa yang membuat makhluk -makhluk itu menginginkan kebebasan, bukankah selama ini kehidupan di wilayah punden baik-baik saja?” timpal tetua satunya.

 “Saya rasa kita bisa memilih warga yang layak dan bisa menghadapi musuh kita saat ini. Ingatlah yang kita hadapi bukanlah manusia.” Danuseka menatap seluruh tetua yang hadir.

Hening. Tidak ada yang kembali membuka suaranya. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Tidak di sangka mereka akan berhadapan langsung dengan makhluk yang selama ini mereka hindari.

“Seperti yang kita ketahui, Romo saya pergi tujuh hari yang lalu, saya rasa makhluk-makhluk itu berani karena mereka merasa tidak ada lagi yang akan bisa menghalangi niatnya. Mari kita buktikan kepada mereka bahwa kita mampu menjaga warga Punden.” ucap Danuseka setelah lama terdiam.

Sementara, setelah Sandikala berlalu. Puncak punden telah berkumpul berbagai jenis makhluk tak kasat mata. Di pohon-pohon rindang duduk puluhan Kuntilanak bergaun putih, beberapa makhluk tinggi besar dan berbulu hitam legam juga berdiri angkuh di atas pepohonan. Tak lama kemudian dua jenis Siluman bergerak memasuki kawasan punden, mereka tidak lain adalah dua wanita Siluman dari wilayah danau tepi Barat dan satunya lagi siluman ular dari tepi Utara.

   Di sisi lain. Sekelompok manusia datang bersama seorang wanita yang berpenampilan anggun. Ya! Wanita jelmaan dari Kuntilanak merah yang bernama Sariti, pimpinan seluruh siluman dan makhluk astral. Ia juga membawa para pengikutnya dari kalangan Manusia.

“Bertahanlah di sini, kawasan Punden sudah penuh oleh para Siluman juga Demit, baiknya kalian menjaga jarak dan tunggu aba-aba dariku,”

“Baik, Nyai.”

Sariti terlebih dahulu menahan pengikutnya di suatu tempat, ia langsung melesat ke wilayah puncak Punden. Kini tiga pimpinan sudah berada di tempat yang sama, Ketiga makhluk bengis itu langsung mengatur strategi. Setelah itu masing-masing memberi komando kepada bawahannya.

“Seperti yang kita rasakan, di tempat ini aura digdaya manusia berkumpul. Artinya di pemukiman sana hanya ada manusia biasa. Kacaukan pemukiman itu agar kekuatan yang berkumpul di tempat ini terpecah belah!” titah Sariti kepada dua rekannya.

“Laksanakan, Nyai. Lihatlah ... Sepertinya mereka sudah tidak sabar melakukannya ....” jawab salah satu pimpinan siluman.

Blar!

Dua larik cahaya menerangi pekatnya malam di puncak Punden. Membuat semua Siluman tercekat. Tidak lama Kemudian, muncul sosok manusia yang tiba-tiba berdiri di bebatuan.

“Tidak semudah itu kalian berbuat onar di wilayah ini! Baiknya kalian urungkan niat itu!”

“Kau rupanya, tidak ku sangka kau akan menggantikan posisi Romomu, lebih baik kau membersamai diriku saja cah Bagus ... Percayalah ... Kau akan mendapat tempat teristimewa ... Ikutlah denganku ....” Wanita bergaun merah itu mendekati Danuseka, ia berjalan mengitari tubuhnya dan tanpa segan menatap manik mata Danuseka.

 Danuseka menatap tajam perempuan itu. Walau dirinya sedikit bergetar saat tatapannya bersirobok dengan tatapan Sariti. Namun, Ia sama sekali tidak gentar menghadapinya.

  “Percuma saja kau mencoba mempengaruhiku, gendammu tidak akan mampu menembusku, Nyai.” ucap Danuseka sembari mengibaskan salah satu tangannya di depan wajah ayu wanita yang tidak sedikit pun berkedip menatapnya.

Seringai tipis terukir di bibir tipis Sariti manakala Danuseka berucap, “Kau keras kepala, sama seperti Romomu. Baiklah... saat ini aku tidak perlu merayumu, sebab sebentar lagi kau akan kehilangan kesenanganmu, Danuseka!”

Slash!

Kilatan cahaya terang menderu dari telapak tangan Sariti. Tetapi secepat kilat Danuseka menghindarinya, ia juga melontarkan serangan balasan. Akibatnya ledakan kecil terjadi saat dua kekuatan beradu. Serangan terus terjadi di antara keduanya belah pihak, hingga akhirnya membuat Danuseka terpental beberapa langkah kebelakang.

“Sudahlah, Danuseka. Nikmatilah sisa-sisa kehidupanmu di tempat ini, tidak ada gunanya kau melawanku.”

 Setelah berucap Sariti terbang menjauhi Danuseka, bersamaan dengan itu kericuhan terjadi di beberapa penjuru puncak Punden. Artinya pertempuran besar telah terjadi. Danuseka baru menyadarinya, ia lantas melesat pergi tanpa menghiraukan kepergian Sariti. Keselamatan rekan-rekannya tentu lebih penting, oleh karena itu Danuseka memilih membantu mereka yang berjibaku melawan para siluman.

Blar!

Blar!

Dua ledakan membinasakan beberapa Siluman ular yang sedang menyerang salah satu tetua. Beruntung tetua itu juga memiliki kedigdayaan cukup mumpuni. Namun, Siluman ular bukanlah lawan yang tepat untuk rekannya.

“Kau tidak apa-apa, Kang?”

 “Saya baik-baik saja, Ki. Terimakasih. Baiknya kita segera bertindak, banyak makhluk aneh beterbangan di tempat ini,”

“Jika Kakang berkenan, ajaklah beberapa orang untuk turun. Saya khawatir terjadi sesuatu di bawah sana kang,” ujar Danuseka.

“Baik, Ki”

Tetua muda itu menuruti ucapan Danuseka, dirinya merasa siluman bukan lawan tepat untuknya. Terlebih lagi suara-suara kikikan kuntilanak yang selalu terdengar di telinga membuat konsentrasinya sering terganggu, tentu ia harus bisa menakar dirinya sendiri. Ia mengajak beberapa orang yang tidak memiliki ilmu kebatinan untuk turut serta ke perkampungan.

“Tenanglah, saya akan membersamai kalian,” ucap salah satu tetua yang tiba-tiba turut turun bersama rombongan.

“Baiklah, mari.”

 Sesampainya di pemukiman mereka dikejutkan dengan lengkingan jeritan seorang wanita, ya! Mereka terlambat datang.

 “Ibuk, Ibuk!”

 Belum habis rasa terkejutnya, teriakan kembali terdengar. Kini suara teriakan seorang bocah menghentikan ayunan langkahnya. Lelaki itu mendengarkan secara seksama asal suara, tetua muda yang mendapat tugas dari Danuseka berlari ke arah suara. Ia tidak memperdulikan rekan lainnya, sebab ia yakin yang berteriak memanggil sang ibu adalah Ajiseka, putra dari Danuseka.

“Apa yang terjadi, Ajiseka?”

“Ibu, Ki. Ibu di bawa pergi selendang berkepala manusia,” jawab Ajiseka sembari menitikkan air matanya.

Lelaki itu memegang pundak Ajiseka, “Jangan khawatirkan hal itu. Siapa-pun! sampaikan kepada Ki Danuseka tentang hal ini.”

Tanpa menunggu diminta untuk kedua kalinya, salah satu tetua langsung bergegas menuju puncak Punden. Ia harus segera menyampaikan kabar buruk itu kepada Danuseka.

Related chapters

  • AJISEKA    Bab 2. Penculikan.

    “Ki Danuseka!” Tiba-tiba saja Danuseka hadir di depan utusan yang memanggilnya, “Ada apa, Kang? Adakah sesuatu yang genting di bawah sana, Kang?” “Ketiwasan, Ki. Nyai dibawa makhluk selendang berkepala manusia, Ki!” Mendengar aduan itu dada Danuseka terasa sesak seketika, begitu juga dengan tubuhnya yang bergetar. Menandakan jika dirinya sedang dikuasai oleh amarah. Namun, ia mencoba menetralisir hal itu, sebab jika amarahnya memuncak hanya akan membuntukan pikirannya. Terlebih lagi, ia tidak bisa meninggalkan pertarungan begitu saja. “Kita selesaikan pertarungan dulu, Kang. Terlalu banyak siluman juga dedemit yang turut andil disini. Lalu, bagaimana keadaan di bawah, Kang?” “Saya tidak tau pasti, Ki. Tapi Ajiseka sudah diamankan oleh para tetua,” “Baiklah, waspadai sekeliling Kakang, jika ada yang mengganggu panggil saya secepatnya.” Tetua utusan mengangguk mengerti, sedangkan Danuseka sendiri segera kembali ke medan pertarungan. Kini fokus Danuseka adalah siluman selendang be

  • AJISEKA    Bab 3. Kebengisan Sariti

    Wilayah Punden semakin mencekam. Obor-obor menancap di sembarang tempat, menerangi sebagian lokasi yang semula gelap gulita. Ya! Pasukan dari golongan manusia yang dipimpin oleh Sariti mulai beraksi, mereka berasal dari suatu daerah yang telah dikuasai oleh pengaruh pimpinan lelembut wilayah punden.“Merekalah yang harus kalian bersihkan, binasakan! Tunjukkan bakti kalian kepadaku!” ujar Sariti.Titahnya terdengar jelas di telinga para abdinya yang menyebar. Bersembunyi di balik pepohonan dan semak. Ya! Hanya mereka yang mendengar titah itu.Kelompok Danuseka mulai tersudut. Puluhan siluman ular dan penampakan kuntilanak yang tiba-tiba muncul membuat beberapa tetua panik. Pasalnya, bukan kekuatan silumannya yang merepotkan, tetapi kehadiran makhluk bergaun putih yang acapkali membuat mereka kehilangan fokusnya.“Ki, lakukan sesuatu agar mereka tidak mengganggu.” Titah Danuseka.Tetua itu bergegas melakukan sesuai perintah Danuseka. Dia lebih memfokuskan diri menghadapi makhluk astral.

  • AJISEKA    Bab 4. Murka Danuseka.

    Ketika kebengisan dipertontonkan oleh Sariti, tetua wilayah punden tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa mengutuk sosok yang berdiri angkuh di atas sebuah batu besar. Ya! Sariti mengendalikan seluruh lawannya. Dia memanfaatkan amarah rekan-rekan Danuseka.Cukup lama tubuh para tetua berada dalam kendali Sariti. Selama itu pula mereka menyaksikan penyiksaan yang terjadi bahkan, ketika sanak saudaranya meregang nyawa mereka hanya bisa meratapi. Lebih mengejutkan lagi pelakunya adalah warga punden yang disusupi makhluk tinggi besar dan berbulu. Pantaslah mereka tidak lagi merasa iba kepada sesama manusia. Sebab sejatinya yang melakukan itu Adalah makhluk-makhluk itu.“Ki Danuseka!” tiba-tiba salah satu tetua berteriak memanggil nama pimpinannya. Dia tersadar pesan yang pernah disampaikan Danuseka.Di tempat yang jauh dari Punden Danuseka menghentikan pengejarannya, dengan jelas ia mendengar teriakan yang memanggil namanya. Seketika Danuseka sadar jika ia telah terkecoh oleh Sari

  • AJISEKA    5. Alam mimpi

    Terik mentari pagi menghangatkan wajah-wajah sendu warga Punden. Berjibaku mengurusi puluhan mayat sisa tragedi semalam, duka diwilayah Punden tidak terelakkan lagi. Jangankan puluhan nyawa, satu nyawa saja melayang akibat kebengisan, mereka sangat menyayangkannya. Belum genap satu bulan memangku tanggung jawab, Danuseka sudah di hadapkan dengan kenyataan pahit. Merasa terpukul karena tidak bisa mengemban amanah dari pendahulunya. Tetapi Danuseka tidak menunjukkan perih hatinya, ia masih terlihat tegar di depan warganya. Terlebih di depan Ajiseka, putra semata wayangnya. Dirinya lebih memilih turut membantu warga menyiapkan keperluan pemakaman. Ikut menggali lubang raksasa agar pekerjaan cepat selesai. Bahkan, Danuseka tidak segan membersihkan jenazah yang hendak dimakamkan. Lubang besar disiapkan untuk pemakaman warga, setidaknya ada tujuh lubang besar. Tetapi saat pemakaman berlangsung kejadian aneh menimpa mayat-mayat yang berasal dari luar Punden. Sekitar dua puluhan mayat meny

  • AJISEKA    6. Awal perjalanan.

    Cicit burung mengantar langkah riang Ajiseka. Tekadnya yang kuat membuat dirinya mantab meninggalkan ayahnya. Bahkan, embun pagi yang dingin tidak menyurutkan ayunan langkahnya.Tepi Selatan menjadi tujuan pertama Ajiseka, ia dijemput oleh dua orang tetua yang cukup mumpuni. Belum lagi pengawalan diam-diam Ki Dirgodono, tetua sepuh Punden yang jarang sekali berbaur dengan warga. Lelaki yang piawai dalam penyamaran dan ahli menekan aura kedigdayaannya.Untuk pertama kalinya Ajiseka keluar dari pemukiman, langkahnya begitu riang manakala dirinya melintasi hutan lebat. Bahkan, Ajiseka tidak khawatir jika ada binatang buas seperti yang pernah diceritakan oleh sang ibu. Sesekali Ajiseka bersiul menirukan kicauan burung, terkadang mengernyitkan dahinya saat mencurigai sesuatu.Tiba-tiba Ajiseka berhenti, ia menatap tajam pohon besar yang letaknya tidak jauh dari tempatnya berdiri.“Ki, apakah itu gubuk, Aki?” tanya Ajiseka kepada Ki Sawung, tetua sepuh yang menjemputnya.“Bukan Aji? Gubuk A

  • AJISEKA    7. Kehadiran Kumbolo

    Dewi Panguripan. Wanita dari bangsa lelembut beraliran putih, memiliki paras yang ayu dan berbudi baik. Sosoknya tidak banyak di kenal, sebab ia sendiri sejatinya sudah menjauh dari permasalahan-permasalahan dunia. Tetapi, tidak untuk keturunan penguasa Punden, pemilik keraton Setyaloka yang kini moksa. Kehadirannya yang tiba-tiba membuat Ki Sawung sedikit tergagap. “Ah, Nyai ... Maafkan saya yang tidak menyadari kehadiran Nyai,” “Tidak mengapa Ki Sawung, berikan ini kepadanya, biarkan dia sendiri yang mencari keberadaan padepokanku,” ucap Dewi Panguripan sembari memberikan Sebuah benda berbentuk daun berwarna kuning emas. “Maafkan saya Nyai, rasanya saya tidak tega membiarkan Ajiseka berangkat sendiri, Nyai?” “Tidak perlu khawatir, Ki. Dengan membawa benda ini lelembut wilayah Selatan tidak akan ada yang berani menyentuhnya, kecuali bocah itu mendapat rintangan lain. Kembalilah, energimu akan terkuras jika sukmamu terlalu lama di tempat ini.” Ki Sawung menyadari jika ucapan Dewi

  • AJISEKA    8. Ujian dari Kumbolo.

    Dhar!Dhar!Senyum mengembang manakala Ajiseka mampu membuat makhluk itu terpental jauh. Namun, bukan niat Ajiseka untuk melukai, ia gegas mengayunkan langkahnya menghampiri sosok yang baru saja terpental.“Maafkan aku, aku tidak berniat sekeras itu melemparmu,” tangan Ajiseka mencoba meraih pergelangan makhluk besar yang sedang terjerambab, tidak sedikit pun rasa takut dihati Ajiseka.“Kau yang mengajarkan diriku menyerang seperti itu. Bahkan, aku sama sekali belum pernah menggunakannya, sekali lagi maafkan aku,” ucap Ajiseka lagi.“Hua ha ha ha ha, Kau bocah kecil! Jangan bilang kau tidak tau sedang dimana dirimu saat ini, Kau tampak polos sekali,”Mendengar itu Ajiseka menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu ia menatap makhluk itu dengan raut muka yang bingung.“Lho, memangnya aku dimana? Di bumi kan? Bumi ciptaan sang pangeran kan? Setidaknya itu yang pernah Romo sampaikan kepadaku,” ucap Ajiseka.“Hua ha ha ha ... Ghoaar ... Kalau begitu, Kau harus mengalahkanku bocah kecil!”

  • AJISEKA    9. Penguasa Alam mimpi.

    Teng! Dalam sekejap Ajiseka tersadar, melihat sekeliling dan memastikan jika dirinya telah benar-benar kembali. Senyumnya mengembang manakala bilah-bilah bambu tersusun rapi mengitari Sekitarnya , artinya ia benar-benar berada di kediaman Ki Sawung. ‘Syukurlah aku sudah kembali.’ Monolog Ajiseka. Ia keluar dari bilik, berusaha mengayunkan langkah gontainya. Tetapi saat pandangan Ajiseka terarah di kegelapan malam, dirinya menangkap sekelebat bayangan. Persis seperti makhluk yang baru saja membersamainya di alam bawah sadar. “Terimakasih, Ki Kumbolo!” teriak Ajiseka. “Ada apa Ajiseka ...” jawab Kumbolo manakala berhenti melesat tepat di depan Ajiseka. “Eh? Tidak apa-apa, aku hanya mengucapkan terimakasih saja, Ki,” Ajiseka mengulum senyumnya, merasa lucu melihat makhluk yang begitu cepat kembali ke hadapannya. Tentu Ajiseka membayangkan Kumbolo yang begitu repot menghentikan laju dan kembali dalam sekejap. “Ah! Kau ini, baiklah” ucap Kumbolo, makhluk itu tidak lagi melesat, tetap

Latest chapter

  • AJISEKA    141. Akhir perjalanan manusia.

    Tidak sedikit warga yang langsung jatuh pingsan manakala sosok hitam besar memorak-porandakan tempat berlangsungnya Ritual doa-doa. Melihat hal itu Ajiseka tidak dapat menahan dirinya, pasalnya malam ini adalah malam sakral pemakaman jasad kuno leluhurnya. Ia langsung menghempaskan kekuatan besarnya ke arah sosok hitam besar itu, lebur dan tanpa ada perlawanan yang berarti.“Lanjutkan ritual doanya, Romo? Biarkan aji yang membersihkan area ini dari gangguan-gangguan itu,” ujar tegas Ajiseka.“Baiklah, saudaraku sekalian, mari lanjutan lantunan doa, agar esok hari dan seterusnya kita terbebas dari ketakutan. Yakinkan yang meragu dan gelisah agar kembali khusyuk, biarkan Ajiseka yang membereskan kekacauan ini.” ajak Danuseka.Disisi lain, tidak ada lagi makhluk yang membayangi arwah Sekar Sari. Ia mengambang di atas cungkup Punden, menyaksikan seluruh warga mendoakan dirinya agar tenang. Namun, ia terganggu dengan kehadiran Ajiseka yang juga mengambang.“Nyai, sesungguhnya apa yang meny

  • AJISEKA    140. Jasad leluhur

    Dhar!Dhar!Ajeng Ratri mengamuk manakala menyadari raga Sekar Sari telah di Hujam dengan senjata, akibatnya pertarungan terjadi di dalam ruangan itu. Bahkan, ruangan yang semula tertata rapi dengan wewangian yang semerbak, kini hancur lebur. Rumah gaib alam mimpi yang ia bangun sedemikian rupa senyatanya hancur dalam beberapa saat saja.“Bedebah! Tidak seharusnya aku percaya begitu saja dengan kalian!” Teriak Ajeng Ratri.Kemarahannya memuncak dan menyebabkan hawa panas tak terkira di dalam ruangan itu. Beruntung Sekar Pinesti lebih dulu menyusup dan keluar dari ruangan tanpa sepengetahuan wanita tua yang sedang di amuk amarah. Sedangkan Ajiseka sendiri masih bergeming, kemarahan wanita tua itu sama sekali tidak menjadi masalah untuk dirinya.“Hancurkan sepuasmu, Nyai ...” ujar Ajiseka.“Kau harus bertanggungjawab!” teriak Ajeng Ratri.Tubuh ringkihnya tiba-tiba membesar gagah dan hitam. Bahkan, ukurannya terus meningkat mengikuti amarahnya. Namun, lagi-lagi Ajiseka tetap bergeming.

  • AJISEKA    139. Raga mati Sariti

    Senja jingga terlewati, temaram pun mengantar sang malam mencapai puncak kelam. Di sebuah bangunan kuno di atas Puncak Punden, beberapa orang tengah khusyuk memanjatkan doa untuk leluhur yang disemayamkan di lokasi itu. Punden Kepaten, nama yang terlontar dari mulut Danuseka akibat beberapa kali menjadi tempat terjadinya kebengisan manusia yang bersekutu dengan siluman, juga arwah penasaran.Orang-orang itu tidak lain, Ajiseka berikut kedua orang tuanya, Projo dan beberapa orang yang memiliki pengaruh di wilayah Punden. Kecuali Dadungkolo, lurah Wono wingit yang membelot dan memilih bersekutu dengan siluman ular yang bernama Dewi Sengkolo.Obor-obor di tancapkan untuk sarana penerangan, lalu setelah selesai memanjatkan doa rombongan mereka bertolak ke wilayah selatan. Melewati desa Wono Kahuripan yang di pimpin oleh lurah Janudoro, penghujung desa terlewati. Namun, perjalanan belumlah selesai.Ajiseka dan rombongan berjalan menuju hamparan hutan sisi Selatan Punden, tempat dimana poho

  • AJISEKA    138. Laut Utara

    Seluruh warga Wono Wingit menghentikan aktivitas manakala terjadi gemuruh di angkasa, hal itu di sebabkan oleh pertarungan Ajiseka yang melintasi wilayah tepi Utara. Tidak hanya suara gemuruh yang menyebabkan kekhawatiran, pasalnya sesekali Ajiseka turun saat pemuda titisan iblis mendaratkan tubuhnya di pepohonan. Akibatnya kerusakan terjadi di area itu.Letak wilayah desa yang kebetulan berada di Utara punden, jelas terkena imbasnya. Beruntung pertarungan itu hanya melintas di pinggiran desa dan menghancurkan pepohonan yang ada. Melihat kekacauan yang terjadi, warga yang kebetulan hendak meladang memilih kembali ke desa.Sementara itu, Ajiseka terus menggempur pemuda titisan iblis hingga ke lautan. Beruntung pelarian musuhnya melewati jalur udara dan tidak lagi mendaratkan diri di wilayah perkampungan. Pada akhirnya laut Utara menjadi titik akhir pelarian, pertarungan sengit kembali terjadiLaut yang semula tenang kini dihiasi dengan deburan silih berganti, kebetulan keduanya memilik

  • AJISEKA    137. Danau yang hilang

    Alam yang temaram memanas. Senyatanya Danuseka tidak selemah seperti dugaan Ajeng Ratri, setiap digdaya yang dikeluarkan mampu di halau begitu mudah oleh Danuseka. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat alam ilusi buatan Ajeng Ratri itu hancur lebur, sayangnya setelah kehancuran itu terjadi Ajeng Ratri juga turut menghilang.Dan ketika Danuseka kembali ke alam nyata ia baru tersadar jika dirinya tengah di pecundangi oleh Sariti. Dirinya sengaja di giring ke alam ilusi agar wanita jelmaan itu terbebas dari incarannya. Danuseka yakin Sariti sudah pergi jauh meninggalkan wilayah Punden, lelaki itu lantas kembali berbaur dengan tiga rekannya.“Bagaimana, kang?” tanya Danuseka kepada Janudoro.“Sementara kekuatan mayat hidup itu berkurang banyak, Ki? Namun, kita harus mewaspadai jika nantinya mereka bangkit lagi,” jawab Janudoro.“Dimana Ki Sawung dan Ki Dirgodono, saya tidak melihat keberadaan mereka, Kang?”“Tenaga mereka terkuras habis dan sedang melakukan pemulihan, beruntung ada ba

  • AJISEKA    136. Memasuki alam mimpi

    Pertarungan terjadi di tiga tempat, Ajiseka masih dengan pemuda siluman titisan iblis. Janudoro, Ki Sawung dan Dirgodono meneruskan pertarungannya dengan mayat hidup. Di bantu oleh para siluman termasuk pimpinannya yang menyusupi raga mayat hidup, akibatnya sebagian makhluk itu saling serang dengan rekannya.Sedangkan Danuseka baru saja mengejar Sariti yang terbang kesana-kemari, ya! Pertarungan mereka lebih banyak terjadi di udara. Di pohon-pohon dan sesekali turun ke daratan. Tidak masuk akal memang, bahkan jika yang melawan Sariti bukanlah praktisi supranatural niscaya hanya akan menjadi mainan wanita jelmaan itu.Seperti halnya saat ini, Danuseka mengeluarkan digdayanya secara bersamaan. Pasalnya, pergerakan yang dilakukan Sariti sungguh gesit. Bahkan, cenderung menggunakan tipu muslihat yang sangat mengganggu konsentrasi Danuseka.“Danuseka... Sepertinya aku tidak perlu sungkan lagi terhadap leluhurmu, baiklah... Jika itu yang ada pikiranmu, maka kau tidak salah sedikit pun... Ak

  • AJISEKA    135. Seteru Danuseka dan Sariti

    Sorot penuh amarah terlihat jelas di tatapan mata Danuseka, sebab sosok arwah yang ada di depannya tidak lain adalah Sekar Sari atau Sariti. Dahulu semasa hidup dan di jaman terbentuknya keraton Setyaloka, Sekar Sari merupakan salah satu anak pemilik keraton dari istri kedua yang bernama Ajeng Ratri. Wanita yang memiliki ilmu hitam dan menguasai kekuatan ilusi, atau lebih dikenal dengan penguasa alam mimpi.Artinya, Sekar Sari atau Sariti juga salah satu leluhur Danuseka. Namun, karena sifat serakah dari Ajeng Ratri yang ingin menguasai keraton Setyaloka membuat ia harus terusir. Ia ditempatkan di sisi selatan bagian luar Setyaloka yang sekarang menjadi Punden.Bahkan, keberadaan arwah yang kini diselimuti oleh aura buruk dari alam kegelapan tidak luput dari sumpah serapah Sekar Sari sendiri yang juga di Amini oleh ibunya, Ajeng Ratri. Tidak heran, sebab kematiannya pun diwarnai dengan kekejian. Dan tidak disangka, sosok yang lebih dikenal dengan sebutan Sariti itu masih ingin menguas

  • AJISEKA    134. Sekar Sari alias Sariti

    Hampir tengah malam Danuseka dan dua rekannya masih berjibaku melawan hampir seratus mayat hidup yang di bangkitkan oleh pemuda titisan iblis. Bukan perkara mudah mengalahkan makhluk-makhluk itu, pasalnya mereka benar-benar kembali hidup, tetapi berbeda dengan layaknya manusia. Sebab perangai orang-orang itu lebih menyerupai makhluk kegelapan, datar dan hanya fokus menyerang saja.Keberadaan mayat hidup yang berwujud Roro Palupi, Danuseka langsung memikirkan sesuatu. Pasalnya, pimpinan padepokan itu tidak mungkin secara kebetulan menjadi korban untuk siluman danau tepi barat. Dan pada akhirnya pemikiran Danuseka berhenti pada satu sosok yang di anggap cukup memungkinkan menjadi tersangka.Sariti, wanita jelmaan itu menjadi satu-satunya orang yang memungkinkan menjadi pelaku. Pemikiran Danuseka tidak hanya berhenti di situ saja, ia menggabungkan rentetan peristiwa yang di ceritakan rekannya di wilayah selatan. Lelaki itu menggeleng pelan manakala semua rentetan kejadian itu masuk akal,

  • AJISEKA    133. Tulang yang kembali hidup

    Raja Tirta Dunya membisiki Ajiseka agar keluar dari pusaran air Danau, hal itu di lakukan karena tidak adanya pengawasan dari pihak lain. Sedangkan pemuda siluman ikan titisan iblis itu bukanlah lawan yang tepat untuk Ajiseka. Tentu raja Tirta Dunya sudah mempertimbangkan dan menelisik seberapa kuat kekuatan iblis yang berada ditubuh pemuda siluman itu.Sesaat setelah mendapat bisikan, Ajiseka langsung melesat ke daratan. Seketika pusaran air itu pudar dan beradu, akibatnya gelombang air yang cukup tinggi menyembur hampir setinggi tebing. Tidak lama setelah aktivitas air mereda pemuda siluman pun turut melesat ke atas menusuk Ajiseka.“Banyu Panguripan, ijinkan ibu melengkapi kekuatan yang ada di tubuhmu,” ujar Dewi Panguripan kepada Ajiseka.“Maksud Kanjeng Ibu?” jawab Ajiseka. Dirinya merasa kebingungan dengan maksud melengkapi yang di lontarkan oleh Ibu angkatnya.“Ibu harus merasuk dan melengkapi kekuatan yang kamu miliki. Sebentar lagi gelap dan Ibu yakin iblis itu akan mengumpul

DMCA.com Protection Status