Ruang tamu keluarga Aldera kini sedang ramai. Keluarga Ganendra, keluarga yang belum lama ini menjadi rekan bisnis mereka kini sedang bertamu. Keluarga Aldera dan keluarga Ganendra sama-sama memiliki sejarah panjang, maka tak heran kini dunia para konglomerat sedang gempar karena keputusan mereka untuk bekerja sama. Dan tentu saja, untuk mempererat hubungan kedua keluarga itu, mereka sepakat untuk menjodohkan putra-putri mereka. Perjodohan antara putri tertua keluarga Aldera, Lalice Aldera dan putra tunggal keluarga Ganendra sedang asyik dibahas di ruang tamu keluarga Aldera.
"Permisi, maaf menyela" suara tenang putri bungsu keluarga Aldera, Lalisa Aldera berhasil menghentikan percakapan antara para orang tua, kini perhatian mereka tertuju pada gadis yang telah berdiri dari duduknya itu.
"Sepertinya, saya telah jatuh cinta pada Tuan Muda Ganendra. Karena itu, tolong pertimbangkan lagi tentang perjodohan antara kakak kembar saya dengannya" ruang tamu itu kini hening, mereka masih mencerna kata-kata Lisa.
"Ah, kalau permintaan itu terlalu sulit, maka bagaimana kalau kita meminta Tuan Muda Ganendra untuk memilih saja? Tolong—" Lisa menarik napas panjang, kedua tangannya bertaut gelisah, jantungnya berdegup kencang seolah ia baru saja berlari mengelilingi rumah besar keluarganya.
"Pilih antara saya dan Alice"
"Ma-maaf, Lisa hanya bercanda, dia memang selalu keterlaluan kalau bercanda. Tolong maklumi putri bungsu kami" Nyonya Aldera tertawa hambar dan berusaha menarik tangan Lisa untuk kembali duduk dengan paksa, namun Lisa segera menepisnya.
"Tidak, Ibu. Aku tidak sedang bercanda" memijat pangkal hidungnya, kini Nyonya Aldera ikut berdiri, ia merangkul bahu Lisa.
"Maaf, saya akan segera kembali" ujarnya dengan senyuman manisnya sebelum menggiring Lisa ke kamar.
Lisa tau bahwa Ibunya tidak akan menasehatinya dengan lembut, membujuknya agar mengikhlaskan tuan muda keluarga Ganendra, menyemangatinya agar mendapat pria yang mencintainya, pria yang lebih baik dari tuan muda itu dan apapun yang tidak akan pernah dilakukan ibunya. Maka ketika pintu kamarnya terkunci, ia sudah bersiap dengan semua hal buruk yang mungkin akan terjadi.
PLAKKK!
Sebuah tamparan keras mengawali hukumannya hari itu karena permintaan konyolnya. Rasa perih dan nyeri mulai menjalari pipinya. Apa Ibunya tidak merasakan apapun saat menamparnya? Maksudnya, tamparan itu kan keras, pasti telapak tangannya juga terasa perih kan setiap kali ia menampar Lisa? Setiap kali Ibunya atau Ayahnya menamparnya, Lisa selalu memikirkan hal itu, menunduk dan memperhatikan telapak tangan Ibunya atau Ayahnya yang juga memerah.
"Besok, minta maaflah pada Tuan dan Nyonya Ganendra, katakan pada mereka kalau kau hanya bercanda. Dasar perusak suasana" Nyonya Aldera pergi begitu saja setelah mengatakan itu, meninggalkan Lisa sendirian di kamarnya. Lisa juga sebenarnya tidak ingin mengatakan hal konyol tadi, ia hanya ingin menolong Alice dan menepati janjinya pagi tadi sebelum ketiga anggota keluarga Ganendra datang.
07.00 (keluarga Ganendra datang pukul 09.30)
"Kenapa gelisah begitu? Bukankah seharusnya kau senang karena calon suami masa depan mu akan datang kemari?" tanya Lisa yang melihat Alice sedari tadi menggigiti kukunya dengan raut wajah seperti ingin menangis.
"Kau pikir aku akan senang? Aku tidak kenal dengannya dan aku punya pacar!" seru Alice, matanya kini memerah. Baru kali ini Lisa melihatnya membenci keputusan yang diambil orang tua mereka, biasanya dia akan mendukung penuh apapun keputusan Tuan dan Nyonya Aldera.
"Lisa, tolong aku. Aku tidak ingin dijodohkan dengannya" lirih Alice, ia tampak sangat putus asa seolah tidak ada pilihan lain selain meminta tolong pada Lisa.
"Waktu kalian sebelum menikah itu masih sangat lama, kau bisa berpacaran dengan pacarmu dulu sampai beberapa tahun ke depan, lalu kau bisa mengenal Tuan Muda Ganendra dulu dan mendekatinya. Tidak perlu berlebihan begitu" Alice menggeleng pelan. Entah dia tidak bisa melakukan itu atau tidak mau melakukan itu.
"Itu saran yang paling mudah untukmu, atau kau mau yang sulit? Maka katakanlah pada Ayah dan Ibu bahwa kau memiliki seorang pacar dan tidak mau dijodohkan" kini air mata Alice mulai menetes. Menghela napas panjang, Lisa mengambil sekotak tisu dan menyodorkannya pada Alice.
"Jadi, kau mau aku membantumu seperti apa?" tanya Lisa akhirnya.
"Katakan pada Ayah dan Ibu bahwa kau menyukainya" kedua alis Lisa kini bertaut, apa Alice serius dengan itu?
"Kau mau aku mengorbankan diriku untuk masalahmu? Aku sudah mencarikan solusi yang mudah untukmu, kenapa memilih yang paling sulit seperti itu?" kekesalan Lisa pada kakak kembarnya itu selalu meningkat dari hari ke hari dan sepertinya hari ini meningkat cukup banyak. Lagi pula siapa yang tidak kesal? Dia mau Lisa mengorbankan diri untuk masalahnya, dia selalu mau untung sendiri!
"Tidak ada cara lain" air mata Alice kembali menetes. Duuh, Lisa seperti sedang menonton drama dengan pemain utama perempuan yang bodoh.
"Tidak ada cara lain katamu? Banyak cara yang lebih mudah yang bisa kau selesaikan sendiri tanpa mengorbankan orang lain seperti ini!" dengus Lisa, hampir saja ia berteriak pada Alice tadi.
"Kumohon tolong aku" lirih Alice dengan suara seraknya. Baiklah, sepertinya tidak ada cara lain untuk membuatnya berhenti menangis.
"Aku akan membantumu dengan cara konyolmu itu, tapi jangan salahkan aku jika nantinya kau tetap akan dijodohkan dengannya" raut wajah Alice mulai berubah, senyum perlahan terbit di bibirnya.
"Kau berjanji?" tanya Alice memastikan, menyodorkan jari kelingkingnya. Lisa mengangguk pasrah, menautkan jari kelingkingnya dengan jari Alice.
***
"Bagaimana menurutmu, Davin?" Nyonya Ganendra bertanya, Davin yang sedari tadi melamun hanya menoleh ke depan dengan raut wajah bingung. Ketiga anggota keluarga itu kini sudah berada di mobil hendak menuju ke rumah mereka. Tuan Ganendra yang menyetir dan di sampingnya ada Nyonya Ganendra lalu putra tunggal mereka duduk sendiri di belakang. Tuan Ganendra sudah terbiasa menyetir sendiri, jadi ia jarang bepergian bersama sopir. Sedari tadi mereka sedang membahas tentang Lisa, si putri bungsu keluarga Aldera yang tadi mengaku bahwa ia menyukai Davin.
"Lisa, bagaimana menurutmu? Kalian bertiga juga satu sekolah kan? Pasti sudah lama saling mengenal" Nyonya Ganendra mengulang pertanyaannya yang tadi membuat Davin bingung.
"Sejauh yang kulihat, Lisa itu seperti orang yang dingin, suaranya datar dan tidak terdengar ada emosi dalam suaranya, wajahnya pun tidak menunjukkan ekspresi. Mengenai sekolah, kami bertiga memang satu sekolah tapi kami tidak saling mengenal hingga hari ini" terlihat kernyitan pada dahi Nyonya Ganendra kala mendengar pernyataan Davin. Ia bingung tentu saja, bagaimana orang seperti Lisa bisa tiba-tiba menyukai Davin? Dan lagi, mereka sebelumnya tidak saling mengenal kan? Ada sesuatu yang membuat Lisa mengatakan itu, dan apa tujuannya mengatakan itu?
"Apa Ibu sekarang sedang memikirkan Lisa?" tanya Davin melihat raut wajah Nyonya Ganendra.
"Benar, ayo pilih saja antara Alice atau Lisa, Davin. Ibu mendukung apapun keputusanmu, jangan terlalu terburu-buru untuk memilih karena waktumu masih banyak" helaan napas terdengar kala Nyonya Ganendra mengatakan itu, kini ia tersenyum penuh arti pada Davin. Ia memang mengatakan bahwa akan mendukung apapun keputusan Davin, namun sebenarnya ia sedang tertarik pada Lisa dan ingin agar Davin memilih Lisa sebagai istrinya di masa depan.
"Bagaimana kemarin?" Alice menoleh kala mendengar suara yang sangat familiar itu. Ia tersenyum lebar kala sang pacar merangkulnya. Paginya di sekolah diawali dengan pertemuannya dan pacarnya di koridor. Akhir-akhir ini pacarnya itu sibuk di sekolah, jadi mereka jarang bertemu. "Masalah perjodohannya sepertinya akan segera selesai, aku meminta tolong pada Lisa dan tentu saja dia mau membantuku" Zidan Arkala—sang pacar mengangguk mengerti. Beberapa hari lalu memang Alice bercerita tentang perjodohannya dengan putra tunggal keluarga Ganendra, ia yang sudah beberapa tahun menjadi pacarnya tentu saja sudah bersiap untuk kemungkinan terburuk bahwa mereka akan putus, namun ternyata Alice dapat menyelesaikan masalahnya dengan bantuan Lisa. "Baguslah kalau begitu" Zidan mengusak rambut rapi Alice, membuat gadis itu kesal. Itu adalah salah satu kebiasaan Zidan yang tidak Alice sukai, karena pria itu selalu merusak tatanan rambutnya yan
Hari ini para guru ada rapat, sama seperti di sekolah pada umumnya, kini pun sekolah menjadi ramai karena para siswa-siswi bebas. Di saat-saat seperti ini, tempat yang paling ramai di sekolah adalah di kantin. Maka ketika Alice mengajak Lisa untuk makan di kantin, gadis itu langsung menolaknya. Lisa sedang tidak lapar sekarang dan sedang tidak ingin berada di tempat yang ramai. Lagi pula Alice pasti akan duduk dengan Zidan di kantin nanti, ia tidak ingin mengganggu pasangan itu. Sekarang Lisa hanya berjalan-jalan di koridor tanpa tujuan, ia bingung harus kemana. Di UKS pasti ada yang sedang tidur, di lapangan ramainya seperti di kantin karena sedang ada pertandingan basket dadakan, haruskah ia ke perpustakaan? Mungkin ke perpustakaan adalah ide yang cukup bagus, di sana hanya ada beberapa orang. Untung saja perpustakaan tidak dikunci karena biasanya dikunci jika guru penjaga perpustakaan sedang ikut rapat. "Saat kau bil
Di siang hari yang panas itu, Davin melihat melalui jendela kelasnya, mata pelajaran ketiga kelas Lisa adalah olahraga. Destiny Prameswari sang ketua kelas terlihat membawa beberapa bola basket. Umumnya sulit bagi seorang wanita untuk membawa beberapa buah bola basket sendirian seperti itu karena ukurannya yang cukup besar dan cukup berat, tapi melihat Destiny yang biasa saja, sepertinya dia tidak mendapat masalah dengan bola basket. Jadi, alasan Destiny menanyakan tentang bola basket kemarin ke Azka adalah karena pelajaran olahraga mereka hari ini tentang basket. "Selain cantik dan tegas, Destiny juga adalah seorang gadis yang kuat" Azka yang duduk di belakang Davin berbisik, sepertinya dia juga sedang memperhatikan pelajaran olahraga kelas Lisa. Mata pelajaran ketiga di kelas Davin adalah sejarah, guru sejarah mereka itu adalah seorang pria paruh baya, pelajarannya itu membosankan dan bisa menjadi obat tidur di kelas. Guru mereka itu juga seseorang yan
Lalisa Aldera terkenal sebagai anak yang baik dan pintar saat Sekolah Dasar. Maka saat memasuki Sekolah Menengah Pertama, ia jadi populer dan memiliki banyak teman. Namun karena memiliki banyak teman, ia jadi tidak pernah memiliki waktu untuk bersama Alice di sekolah.Sementara Lisa memiliki banyak teman di sekitarnya, Alice kebalikannya. Dia adalah anak yang dikenal pemalu, cengeng dan suka mengadu, hal itu membuat dirinya selalu sendirian di sekolah jika tidak sedang bersama Lisa.Alice yang dimanjakan di rumah, lalu Lisa yang memiliki banyak teman di sekolah. Itu adil, mereka memiliki kebahagiaan masing-masing. Memang awalnya Lisa berpikir seperti itu, namun lama-lama, ia tidak bisa melihat wajah murung Alice di sekolah karena dikucilkan. Hal itu membuatnya jadi sering mengajak Alice untuk ikut mengobrol bersama teman-temannya, mengajaknya ikut ke kantin dan mengajaknya ikut bermain, terkadang ia juga meminta teman-temannya un
"Bagaimana lukamu?" Lisa menoleh mendengar suara Alice. Pagi ini kakaknya itu terlihat lelah, dia pasti kurang tidur karena merawatnya semalam. "Sudah lebih baik" senyum terbit di bibir Alice kala mendengar jawaban Lisa. Setidaknya hari ini Lisa bisa beraktivitas dengan lebih nyaman. "Syukurlah kalau begitu" kedua gadis itu pun berjalan bersama hingga sampai di halaman rumah, mereka melihat Nyonya Aldera yang tersenyum senang bersama... Davin? "Oh! Itu dia Alice dan Lisa" ujar Nyonya Aldera saat melihat kedua putrinya, ia lantas mengisyaratkan Alice dan Lisa untuk segera mendekat. Alice dan Lisa saling bertatapan denga raut wajah bingung, mereka berjalan menuju sang Ibu. "Davin kemari untuk mengajak kalian berangkat ke sekolah bersama" ucap Nyonya Aldera masih dengan senyum senangnya, menyampaikan maksud Davin ada di rumah mereka pagi-pagi begini. Alice tersenyum cangg
"Dimana kembaranmu?" Davin bertanya saat melihat sosok Lisa yang berjalan sendirian ke arahnya, tidak ada tanda-tanda kehadiran Alice. "Bersama Zidan" Davin mengangguk. Meski Lisa tak menjelaskan sedang apa Alice bersama Zidan, namun ia tau bahwa pasangan itu sedang berkencan. Mereka itu sama seperti pasangan lain yang memiliki jadwal berkencan. Lisa memperhatikan dengan bingung Davin yang sedang mengobrol bersama sopirnya. Ia menjadi semakin kebingungan saat sopir itu keluar dari mobil dan berjalan pergi. Kini Davin memandangnya, menunjuk mobil dengan dagunya, memberi kode bahwa Lisa harus naik. Lisa menuruti saja kodean Davin itu, ia hendak membuka pintu mobil di belakang saat Davin tiba-tiba mengatakan. "Jangan duduk di sana, kau mau membuatku terlihat seperti seorang sopir?" Setelah obrolan super singkat yang terasa canggung itu, kini akhirnya mobil yang dikendarai Davin melaju di jalanan yang ramai
"Sekarang sudah malam dan kalian baru pulang, darimana kalian?" pertanyaan khas orang tua yang menemukan anak mereka pulang terlambat. Nyonya Aldera berdiri di dekat tangga dengan kedua tangan bersedekap, mata tajamnya menatap kedua anak gadisnya yang baru pulang. Ini memang belum terlalu malam, namun tetap saja ia mempertanyakan alasan kenapa dua gadis itu baru pulang sekarang. Umumnya, para orang tua khawatir karena anak-anak mereka pulang di malam hari tanpa memberi kabar hingga melontarkan berbagai pertanyaan pada anak mereka, namun Nyonya Aldera tidak begitu, ia hanya terlalu penasaran pada urusan kedua putrinya. "Ah, Ibu! Ibu sudah makan malam? Maaf tidak mengabari kalau kami akan pulang malam, kami baru saja menjenguk Nyonya Ganendra, ia masuk rumah sakit tadi sore" Alice menghampiri Nyonya Aldera dengan raut wajah ceria khasnya, kedua tangannya menggandeng tangan Nyonya Aldera dengan manja. Rayuan khas para anak perempuan untuk mencegah amarah sa
Sudah dapat ditebak bagaimana nasib Alice dan Lisa kemarin jika menilik dari raut wajah Alice yang murung pagi ini. Dengan enggan, Davin mulai berjalan mendekati kedua gadis itu. "Pergilah, aku yang akan bicara dengannya" Alice mengangguk menuruti ucapan Lisa, lantas kembali berjalan, meninggalkan Lisa dan Davin di koridor yang masih sepi itu. Sekarang masih pagi, mungkin baru ada beberapa murid di sekolah selain ketiga remaja itu. Dan sekarang di koridor sedang tidak ada murid lain, jadi Lisa dan Davin bisa leluasa untuk berbicara tanpa ada seseorang yang keheranan melihat kedua murid yang tidak pernah berinteraksi itu tiba-tiba saling berbicara. "Seperti yang kau perkirakan, kami dimarahi habis-habisan kemarin karena berbohong. Ah, lebih tepatnya Alice, aku hanya mendapat satu tamparan" ucap Lisa yang mengerti alasan mengapa Davin menemuinya dan Alice di koridor pagi-pagi begini. "Aku tidak perl