Lalisa Aldera terkenal sebagai anak yang baik dan pintar saat Sekolah Dasar. Maka saat memasuki Sekolah Menengah Pertama, ia jadi populer dan memiliki banyak teman. Namun karena memiliki banyak teman, ia jadi tidak pernah memiliki waktu untuk bersama Alice di sekolah.
Sementara Lisa memiliki banyak teman di sekitarnya, Alice kebalikannya. Dia adalah anak yang dikenal pemalu, cengeng dan suka mengadu, hal itu membuat dirinya selalu sendirian di sekolah jika tidak sedang bersama Lisa.
Alice yang dimanjakan di rumah, lalu Lisa yang memiliki banyak teman di sekolah. Itu adil, mereka memiliki kebahagiaan masing-masing. Memang awalnya Lisa berpikir seperti itu, namun lama-lama, ia tidak bisa melihat wajah murung Alice di sekolah karena dikucilkan. Hal itu membuatnya jadi sering mengajak Alice untuk ikut mengobrol bersama teman-temannya, mengajaknya ikut ke kantin dan mengajaknya ikut bermain, terkadang ia juga meminta teman-temannya untuk mengobrol dengan Alice. Namun caranya untuk menyatukan Alice dan teman-temannya itu hanya bertahan beberapa hari, lama-lama mereka kembali mengucilkan Alice karena sifatnya.
Lisa adalah seseorang yang rela mengorbankan apapun demi membuat kakak kembarnya bahagia, ia sangat menyayangi Alice, sebuah kasih sayang yang menyesatkan sebenarnya, karena kasih sayang itu menyebabkan dirinya jadi tidak bahagia.
Suatu hari, Lisa terpikirkan ide konyol untuk membuat Alice memiliki teman, sebuah ide yang mengorbankan dirinya sendiri namun bisa dipastikan akan berhasil. Ia akan mencoba ide itu pagi ini.
Tiga orang kakak kelas perempuan terlihat berjalan ke arah tempat duduk Lisa, salah satu diantara mereka tersenyum, melambaikan tangan dan menyapa. "Hai, Lisa"
Lisa yang disapa hanya mengangguk dengan raut wajah bosan. Ketiga kakak kelas itu terlihat bingung dan saling bertatapan, ada apa dengan anak yang selalu ramah ini? Dalam hatinya, Lisa juga merasa bersalah karena telah bersikap tidak sopan seperti itu pada orang yang telah menyapanya, ditambah lagi, mereka itu kakak kelas, orang yang umurnya lebih tua darinya.
"Kenapa? Suasana hatimu sedang buruk yaa?" tanya kakak kelas yang lain, ia juga tersenyum ramah, mungkin ia masih bisa memaklumi saat itu.
"Itu tau" jawab Lisa singkat, ia mengambil buku novel yang belum selesai dibacanya dan mulai membaca. Kakak kelas yang sedari tadi diam kini terlihat mulai kesal, ia mendengus melihat tingkah Lisa, ia sepertinya sudah bersiap untuk marah-marah jika saja kakak kelas yang tadi menyapanya itu tidak mencegahnya.
"Apa kamu mau ke kantin? Biasanya makanan bisa membuat suasana hatimu jadi membaik" Lisa hanya menggeleng menanggapi ajakan itu, matanya masih fokus menatapi deretan kata di buku. Bagus sekali aktingnya itu, hingga bisa membuat kakak kelas yang tadi menyapanya dan mengajaknya ke kantin kini menggumamkan umpatan dan pergi dari sana.
Dari hari ke hari Lisa bersikap semakin menyebalkan pada orang-orang yang menghampirinya, membuat orang-orang yang dulu adalah temannya kini berteman dengan Alice. Gosip buruk tentangnya menyebar di sekolah dan akhirnya ia menjadi orang yang dikucilkan, menggantikan Alice. Lama-kelamaan sifat menyebalkannya itu menjadi kebiasaan, ia mulai bersikap menyebalkan juga pada orang tuanya, Alice dan orang-orang asing. Akibat dikucilkannya Lisa di sekolah dan di rumah, menjadikan dia orang yang selalu menyendiri dan menyukai kesendirian.
***
"Kamu kenapa, Alice?" Nyonya Aldera bertanya saat melihat wajah Alice yang murung. Saat ini mereka ada di butik yang biasa mereka kunjungi dan Alice tidak pernah terlihat seperti itu saat berbelanja. Maka wajar saja Nyonya Aldera bingung saat melihat wajah Alice yang murung.
Menghela napas panjang, Alice akhirnya bercerita mengenai insiden di sekolah tadi siang. Rasa bersalahnya masih belum juga hilang meski Lisa selalu menjawab "tidak apa-apa" dengan raut wajah tidak peduli. Di punggung kecil Lisa kini terdapat memar yang entah sampai kapan bisa sembuh, bagaimana bisa ia mengatakan "tidak apa-apa" dengan raut wajah tidak peduli? Melihat memar di punggungnya itupun semua orang juga pasti akan tau bahwa itu sangat menyakitkan, meski Lisa seolah tidak peduli.
"Sudahlah tidak perlu khawatir, hanya sekedar bola basket, pasti nantinya juga sembuh. Kamu itu terlalu baik karena mengkhawatirkan orang seperti Lisa" ujar Nyonya Aldera setelah mendengar cerita Alice.
"Apa Ibu juga pernah terkena bola basket?" tanya Alice, ia ingin memastikan seperti apa rasa sakitnya dan seberapa sakit, agar ia bisa tau apakah Lisa butuh penanganan medis atau tidak.
"Tentu saja pernah, itu memang menyebabkan memar, tapi sebenarnya sama sekali tidak sakit. Kalau Lisa mengatakan bahwa itu sakit sekali, berarti dia adalah orang yang lemah" bohong Nyonya Aldera, ia mengatakan kebohongan itu agar Alice tidak terus-terusan kepikiran tentang Lisa.
"Tapi—"
"Alice, kita sudah lama tidak berbelanja, apa kamu ingin merusak suasana hati Ibu karena terus membicarakan Lisa?"
Helaan napas kembali terdengar, namun kemudian seulas senyum terbit di bibir Alice. "Baiklah, ayo kembali berbelanja, Ibu"
Nyonya Aldera tersenyum mendenger suara Alice yang kembali terdengar semangat seperti biasa. Belanja baju, tas, sepatu dan makan malam di restoran mewah. Sore itu mereka menghabiskan waktu bersama hingga malam.
Kini Alice sudah sampai di rumah, setelah menata semua belanjaannya di kamar dan mengganti baju, ia segera pergi ke kamar Lisa dengan nampan berisi kain dengan es batu di dalamnya dan salep untuk memar. Lisa terlihat sudah berbaring dengan nyaman di tempat tidurnya, namun Alice tau bahwa gadis itu belum tidur. Jika memang rasanya sangat sakit, pasti siapapun akan terjaga karena rasa sakit itu menyebabkan tubuh menjadi tidak nyaman.
"Aku tau kau belum tidur" kata-kata Alice itu membuat Lisa kini terduduk dengan raut wajah menyelidik yang ditujukan pada kakaknya.
"Bagaimana kau bisa tau? Apa terlihat sekali?" Alice menggeleng, melihat Lisa yang menutup matanya tadi juga sempat membuatnya berpikir bahwa Lisa sudah tidur, tapi ternyata belum, itu berarti prasangkanya terhadap luka adiknya itu memang benar.
"Aku hanya menebak, tapi ternyata kau memang belum tidur. Itu berarti lukanya sangat sakit kan? Sampai-sampai kau tidak bisa tidur" tebakan Alice itu memang sepenuhnya benar, namun dengan keras kepala Lisa malah menggeleng.
"Sudah kubilang ini bukan apa-apa, aku hanya selalu sulit tidur belakangan ini" bantahan Lisa itu tidak membuat Alice tertipu, ia menyuruh Lisa tengkurap agar ia bisa mengkompres memarnya dengan kain berisi es batu lalu mengolesinya dengan salep, seperti yang dilakukan Destiny tadi siang.
"Salep ini harus dipakai setiap hari, aku akan memastikan kau memakainya besok. Jangan membantah, itu agar kau cepat sembuh, aku akan terus merasa bersalah karena pernah melukaimu hingga seperti ini, tapi setidaknya aku sudah mengobatinya"
Lisa mendecih, lantas membalas kata-kata Alice. "Lagi pula itu bukan salahmu, kebetulan saja bolanya tidak masuk dan malah memantul ke arahku"
"Tapi tetap saja kan, jika aku melempar bolanya dengan benar dan bola itu masuk, pasti kau tidak akan terluka seperti ini" diam-diam senyum tipis terukir di belah bibir Lisa, meski selalu ada saat mereka tidak saling menyukai satu sama lain, namun tetap ada saat-saat yang manis seperti ini.
"Apa kau sedang mengajakku berdebat sekarang?" pertanyaan Lisa itu sontak membuat Alice terkekeh.
"Tidak, tidurlah. Aku akan pergi tidur setelah selesai dengan pengobatanmu" tidak perlu disuruh dua kali, Lisa sudah memejamkan mata dan bersiap pergi ke alam mimpi.
"Bagaimana lukamu?" Lisa menoleh mendengar suara Alice. Pagi ini kakaknya itu terlihat lelah, dia pasti kurang tidur karena merawatnya semalam. "Sudah lebih baik" senyum terbit di bibir Alice kala mendengar jawaban Lisa. Setidaknya hari ini Lisa bisa beraktivitas dengan lebih nyaman. "Syukurlah kalau begitu" kedua gadis itu pun berjalan bersama hingga sampai di halaman rumah, mereka melihat Nyonya Aldera yang tersenyum senang bersama... Davin? "Oh! Itu dia Alice dan Lisa" ujar Nyonya Aldera saat melihat kedua putrinya, ia lantas mengisyaratkan Alice dan Lisa untuk segera mendekat. Alice dan Lisa saling bertatapan denga raut wajah bingung, mereka berjalan menuju sang Ibu. "Davin kemari untuk mengajak kalian berangkat ke sekolah bersama" ucap Nyonya Aldera masih dengan senyum senangnya, menyampaikan maksud Davin ada di rumah mereka pagi-pagi begini. Alice tersenyum cangg
"Dimana kembaranmu?" Davin bertanya saat melihat sosok Lisa yang berjalan sendirian ke arahnya, tidak ada tanda-tanda kehadiran Alice. "Bersama Zidan" Davin mengangguk. Meski Lisa tak menjelaskan sedang apa Alice bersama Zidan, namun ia tau bahwa pasangan itu sedang berkencan. Mereka itu sama seperti pasangan lain yang memiliki jadwal berkencan. Lisa memperhatikan dengan bingung Davin yang sedang mengobrol bersama sopirnya. Ia menjadi semakin kebingungan saat sopir itu keluar dari mobil dan berjalan pergi. Kini Davin memandangnya, menunjuk mobil dengan dagunya, memberi kode bahwa Lisa harus naik. Lisa menuruti saja kodean Davin itu, ia hendak membuka pintu mobil di belakang saat Davin tiba-tiba mengatakan. "Jangan duduk di sana, kau mau membuatku terlihat seperti seorang sopir?" Setelah obrolan super singkat yang terasa canggung itu, kini akhirnya mobil yang dikendarai Davin melaju di jalanan yang ramai
"Sekarang sudah malam dan kalian baru pulang, darimana kalian?" pertanyaan khas orang tua yang menemukan anak mereka pulang terlambat. Nyonya Aldera berdiri di dekat tangga dengan kedua tangan bersedekap, mata tajamnya menatap kedua anak gadisnya yang baru pulang. Ini memang belum terlalu malam, namun tetap saja ia mempertanyakan alasan kenapa dua gadis itu baru pulang sekarang. Umumnya, para orang tua khawatir karena anak-anak mereka pulang di malam hari tanpa memberi kabar hingga melontarkan berbagai pertanyaan pada anak mereka, namun Nyonya Aldera tidak begitu, ia hanya terlalu penasaran pada urusan kedua putrinya. "Ah, Ibu! Ibu sudah makan malam? Maaf tidak mengabari kalau kami akan pulang malam, kami baru saja menjenguk Nyonya Ganendra, ia masuk rumah sakit tadi sore" Alice menghampiri Nyonya Aldera dengan raut wajah ceria khasnya, kedua tangannya menggandeng tangan Nyonya Aldera dengan manja. Rayuan khas para anak perempuan untuk mencegah amarah sa
Sudah dapat ditebak bagaimana nasib Alice dan Lisa kemarin jika menilik dari raut wajah Alice yang murung pagi ini. Dengan enggan, Davin mulai berjalan mendekati kedua gadis itu. "Pergilah, aku yang akan bicara dengannya" Alice mengangguk menuruti ucapan Lisa, lantas kembali berjalan, meninggalkan Lisa dan Davin di koridor yang masih sepi itu. Sekarang masih pagi, mungkin baru ada beberapa murid di sekolah selain ketiga remaja itu. Dan sekarang di koridor sedang tidak ada murid lain, jadi Lisa dan Davin bisa leluasa untuk berbicara tanpa ada seseorang yang keheranan melihat kedua murid yang tidak pernah berinteraksi itu tiba-tiba saling berbicara. "Seperti yang kau perkirakan, kami dimarahi habis-habisan kemarin karena berbohong. Ah, lebih tepatnya Alice, aku hanya mendapat satu tamparan" ucap Lisa yang mengerti alasan mengapa Davin menemuinya dan Alice di koridor pagi-pagi begini. "Aku tidak perl
"Sepertinya hari ini adalah hari yang baik untuk Hera yaa?" pertanyaan Alice itu mengalihkan fokus ketiga temannya yang sedang asyik mengobrol dan membuat gadis bernama Hera itu mengangkat kepalanya dari ponsel."Ah, benar juga! Sedari tadi hanya Hera yang sibuk dengan ponselnya, bahkan sampai tersenyum sembari memandangi ponsel. Apa ada hal yang lebih menyenangkan dalam ponselmu dibanding perkumpulan kita setelah sekian lama?" Felia Maharza, si bungsu dari keluarga Maharza itu tertawa menggoda Hera, membuat gadis itu tersenyum malu-malu. Melihat respon Hera yang seperti itu, membuat keempat temannya tertawa."Emm, sebenarnya ini rahasia, tapi aku ingin sekali menceritakannya pada kalian. Jadi, tolong rahasiakan ini demi aku" keempat gadis itu mengangguk, menunjukkan jari kelingking mereka sebagai tanda perjanjian.Menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan agar tak gugup, Hera lantas mu
Lisa menoleh ketika mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Siapa yang ingin menemuinya malam-malam begini? Apa itu Alice? Ia beranjak dari tempat tidur untuk membuka pintu, dan benar saja, itu adalah Alice. Tadi siang, Alice mengatakan akan bertemu dengan teman-temannya untuk memperbaiki suasana hatinya, tapi apa yang terjadi dengannya? Wajahnya tidak terlihat baik, mata dan hidungnya memerah, terlihat jelas bahwa ia habis menangis.Alice masuk ke dalam kamar tanpa meminta persetujuan Lisa, ia duduk di pinggir tempat tidur."Kau... Habis menangis?" pertanyaan dari Lisa itu tidak langsung dijawab Alice, ia menghela napas, beberapa menit kemudian ia baru mulai mengatakan kejadian yang menimpanya hari ini."Aku putus dengan Zidan" kabar yang membuat Lisa terkejut dan kesal. Akhirnya mereka putus juga setelah melibatkan Lisa dalam hubungan rumit yang membuat hidupnya kacau. Menyebalkan sekali, di hari s
Sejak Davin menyatakan perasaan tertariknya pada Lisa, kepribadian gadis itu yang awalnya dingin menjadi lebih dingin pada Davin. Sebenarnya hari itu Davin sudah mendapat peringatan dari Lisa, tapi pria itu tidak menanggapinya dengan serius dan sikap Lisa setelah hari itu bagaikan sebuah pukulan bagi Davin. Gadis itu benar-benar menolaknya.Hari itu setelah Lisa mengetahui Davin memiliki perasaan tertarik padanya, ia membalasnya dengan mengatakan sebuah peringatan "Jangan jatuh cinta padaku" dan langsung pergi begitu saja tanpa menunggu respon Davin.Kejadian hari itu masih teringat jelas di benak Davin dan hingga sekarang ia masih mencoba untuk memperbaiki hubungannya dengan Lisa. Mereka memang tidak terlalu dekat hingga bisa disebut teman apalagi sahabat, tapi hubungan keduanya terbilang baik menilik dari interaksi Lisa dengan orang lain—tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa ia buruk dalam bersosialisasi.&
"Sejak kapan kau mengenal Lisa?" pertanyaan Azka memecah keheningan diantara kedua remaja yang sedang berjalan bersebelahan itu. Ini kesempatan untuk mengobrol dengan Destiny, jadi Azka akan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya."Aku masih mengingatnya, pertemuan pertamaku dengan Lisa. Itu saat kami berumur 10 tahun" sebuah lengkungan tipis terukir di belah bibir Destiny, sepertinya ia sedang mengingat kejadian itu. Melihat senyuman Destiny membuat Azka ikut tersenyum, ia diam-diam bersorak dalam hati karena merasa obrolannya dengan Destiny akan berhasil kali ini."Apa kalian bersekolah di tempat yang sama waktu SD?" Azka kembali bertanya, namun kali ini hanya dijawab dengan gelengan oleh Destiny. Pemuda itu ingin bertanya lagi tentang bagaimana mereka bisa bertemu agar obrolan mereka terus berlanjut, namun tiba-tiba terpikirkan olehnya, bagaimana jika Destiny malah mengira ia menyukai Lisa karena terus bertanya tentang gadis it