Share

5

Lalisa Aldera terkenal sebagai anak yang baik dan pintar saat Sekolah Dasar. Maka saat memasuki Sekolah Menengah Pertama, ia jadi populer dan memiliki banyak teman. Namun karena memiliki banyak teman, ia jadi tidak pernah memiliki waktu untuk bersama Alice di sekolah. 

Sementara Lisa memiliki banyak teman di sekitarnya, Alice kebalikannya. Dia adalah anak yang dikenal pemalu, cengeng dan suka mengadu, hal itu membuat dirinya selalu sendirian di sekolah jika tidak sedang bersama Lisa. 

Alice yang dimanjakan di rumah, lalu Lisa yang memiliki banyak teman di sekolah. Itu adil, mereka memiliki kebahagiaan masing-masing. Memang awalnya Lisa berpikir seperti itu, namun lama-lama, ia tidak bisa melihat wajah murung Alice di sekolah karena dikucilkan. Hal itu membuatnya jadi sering mengajak Alice untuk ikut mengobrol bersama teman-temannya, mengajaknya ikut ke kantin dan mengajaknya ikut bermain, terkadang ia juga meminta teman-temannya untuk mengobrol dengan Alice. Namun caranya untuk menyatukan Alice dan teman-temannya itu hanya bertahan beberapa hari, lama-lama mereka kembali mengucilkan Alice karena sifatnya. 

Lisa adalah seseorang yang rela mengorbankan apapun demi membuat kakak kembarnya bahagia, ia sangat menyayangi Alice, sebuah kasih sayang yang menyesatkan sebenarnya, karena kasih sayang itu menyebabkan dirinya jadi tidak bahagia. 

Suatu hari, Lisa terpikirkan ide konyol untuk membuat Alice memiliki teman, sebuah ide yang mengorbankan dirinya sendiri namun bisa dipastikan akan berhasil. Ia akan mencoba ide itu pagi ini. 

Tiga orang kakak kelas perempuan terlihat berjalan ke arah tempat duduk Lisa, salah satu diantara mereka tersenyum, melambaikan tangan dan menyapa. "Hai, Lisa"

Lisa yang disapa hanya mengangguk dengan raut wajah bosan. Ketiga kakak kelas itu terlihat bingung dan saling bertatapan, ada apa dengan anak yang selalu ramah ini? Dalam hatinya, Lisa juga merasa bersalah karena telah bersikap tidak sopan seperti itu pada orang yang telah menyapanya, ditambah lagi, mereka itu kakak kelas, orang yang umurnya lebih tua darinya. 

"Kenapa? Suasana hatimu sedang buruk yaa?" tanya kakak kelas yang lain, ia juga tersenyum ramah, mungkin ia masih bisa memaklumi saat itu. 

"Itu tau" jawab Lisa singkat, ia mengambil buku novel yang belum selesai dibacanya dan mulai membaca. Kakak kelas yang sedari tadi diam kini terlihat mulai kesal, ia mendengus melihat tingkah Lisa, ia sepertinya sudah bersiap untuk marah-marah jika saja kakak kelas yang tadi menyapanya itu tidak mencegahnya. 

"Apa kamu mau ke kantin? Biasanya makanan bisa membuat suasana hatimu jadi membaik" Lisa hanya menggeleng menanggapi ajakan itu, matanya masih fokus menatapi deretan kata di buku. Bagus sekali aktingnya itu, hingga bisa membuat kakak kelas yang tadi menyapanya dan mengajaknya ke kantin kini menggumamkan umpatan dan pergi dari sana. 

Dari hari ke hari Lisa bersikap semakin menyebalkan pada orang-orang yang menghampirinya, membuat orang-orang yang dulu adalah temannya kini berteman dengan Alice. Gosip buruk tentangnya menyebar di sekolah dan akhirnya ia menjadi orang yang dikucilkan, menggantikan Alice. Lama-kelamaan sifat menyebalkannya itu menjadi kebiasaan, ia mulai bersikap menyebalkan juga pada orang tuanya, Alice dan orang-orang asing. Akibat dikucilkannya Lisa di sekolah dan di rumah, menjadikan dia orang yang selalu menyendiri dan menyukai kesendirian. 

***

"Kamu kenapa, Alice?" Nyonya Aldera bertanya saat melihat wajah Alice yang murung. Saat ini mereka ada di butik yang biasa mereka kunjungi dan Alice tidak pernah terlihat seperti itu saat berbelanja. Maka wajar saja Nyonya Aldera bingung saat melihat wajah Alice yang murung. 

Menghela napas panjang, Alice akhirnya bercerita mengenai insiden di sekolah tadi siang. Rasa bersalahnya masih belum juga hilang meski Lisa selalu menjawab "tidak apa-apa" dengan raut wajah tidak peduli. Di punggung kecil Lisa kini terdapat memar yang entah sampai kapan bisa sembuh, bagaimana bisa ia mengatakan "tidak apa-apa" dengan raut wajah tidak peduli? Melihat memar di punggungnya itupun semua orang juga pasti akan tau bahwa itu sangat menyakitkan, meski Lisa seolah tidak peduli. 

"Sudahlah tidak perlu khawatir, hanya sekedar bola basket, pasti nantinya juga sembuh. Kamu itu terlalu baik karena mengkhawatirkan orang seperti Lisa" ujar Nyonya Aldera setelah mendengar cerita Alice. 

"Apa Ibu juga pernah terkena bola basket?" tanya Alice, ia ingin memastikan seperti apa rasa sakitnya dan seberapa sakit, agar ia bisa tau apakah Lisa butuh penanganan medis atau tidak. 

"Tentu saja pernah, itu memang menyebabkan memar, tapi sebenarnya sama sekali tidak sakit. Kalau Lisa mengatakan bahwa itu sakit sekali, berarti dia adalah orang yang lemah" bohong Nyonya Aldera, ia mengatakan kebohongan itu agar Alice tidak terus-terusan kepikiran tentang Lisa. 

"Tapi—"

"Alice, kita sudah lama tidak berbelanja, apa kamu ingin merusak suasana hati Ibu karena terus membicarakan Lisa?" 

Helaan napas kembali terdengar, namun kemudian seulas senyum terbit di bibir Alice. "Baiklah, ayo kembali berbelanja, Ibu" 

Nyonya Aldera tersenyum mendenger suara Alice yang kembali terdengar semangat seperti biasa. Belanja baju, tas, sepatu dan makan malam di restoran mewah. Sore itu mereka menghabiskan waktu bersama hingga malam. 

Kini Alice sudah sampai di rumah, setelah menata semua belanjaannya di kamar dan mengganti baju, ia segera pergi ke kamar Lisa dengan nampan berisi kain dengan es batu di dalamnya dan salep untuk memar. Lisa terlihat sudah berbaring dengan nyaman di tempat tidurnya, namun Alice tau bahwa gadis itu belum tidur. Jika memang rasanya sangat sakit, pasti siapapun akan terjaga karena rasa sakit itu menyebabkan tubuh menjadi tidak nyaman. 

"Aku tau kau belum tidur" kata-kata Alice itu membuat Lisa kini terduduk dengan raut wajah menyelidik yang ditujukan pada kakaknya. 

"Bagaimana kau bisa tau? Apa terlihat sekali?" Alice menggeleng, melihat Lisa yang menutup matanya tadi juga sempat membuatnya berpikir bahwa Lisa sudah tidur, tapi ternyata belum, itu berarti prasangkanya terhadap luka adiknya itu memang benar. 

"Aku hanya menebak, tapi ternyata kau memang belum tidur. Itu berarti lukanya sangat sakit kan? Sampai-sampai kau tidak bisa tidur" tebakan Alice itu memang sepenuhnya benar, namun dengan keras kepala Lisa malah menggeleng. 

"Sudah kubilang ini bukan apa-apa, aku hanya selalu sulit tidur belakangan ini" bantahan Lisa itu tidak membuat Alice tertipu, ia menyuruh Lisa tengkurap agar ia bisa mengkompres memarnya dengan kain berisi es batu lalu mengolesinya dengan salep, seperti yang dilakukan Destiny tadi siang. 

"Salep ini harus dipakai setiap hari, aku akan memastikan kau memakainya besok. Jangan membantah, itu agar kau cepat sembuh, aku akan terus merasa bersalah karena pernah melukaimu hingga seperti ini, tapi setidaknya aku sudah mengobatinya" 

Lisa mendecih, lantas membalas kata-kata Alice. "Lagi pula itu bukan salahmu, kebetulan saja bolanya tidak masuk dan malah memantul ke arahku"

"Tapi tetap saja kan, jika aku melempar bolanya dengan benar dan bola itu masuk, pasti kau tidak akan terluka seperti ini" diam-diam senyum tipis terukir di belah bibir Lisa, meski selalu ada saat mereka tidak saling menyukai satu sama lain, namun tetap ada saat-saat yang manis seperti ini. 

"Apa kau sedang mengajakku berdebat sekarang?" pertanyaan Lisa itu sontak membuat Alice terkekeh. 

"Tidak, tidurlah. Aku akan pergi tidur setelah selesai dengan pengobatanmu" tidak perlu disuruh dua kali, Lisa sudah memejamkan mata dan bersiap pergi ke alam mimpi. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status