Di siang hari yang panas itu, Davin melihat melalui jendela kelasnya, mata pelajaran ketiga kelas Lisa adalah olahraga. Destiny Prameswari sang ketua kelas terlihat membawa beberapa bola basket. Umumnya sulit bagi seorang wanita untuk membawa beberapa buah bola basket sendirian seperti itu karena ukurannya yang cukup besar dan cukup berat, tapi melihat Destiny yang biasa saja, sepertinya dia tidak mendapat masalah dengan bola basket. Jadi, alasan Destiny menanyakan tentang bola basket kemarin ke Azka adalah karena pelajaran olahraga mereka hari ini tentang basket.
"Selain cantik dan tegas, Destiny juga adalah seorang gadis yang kuat" Azka yang duduk di belakang Davin berbisik, sepertinya dia juga sedang memperhatikan pelajaran olahraga kelas Lisa. Mata pelajaran ketiga di kelas Davin adalah sejarah, guru sejarah mereka itu adalah seorang pria paruh baya, pelajarannya itu membosankan dan bisa menjadi obat tidur di kelas. Guru mereka itu juga seseorang yang tidak peduli meski siswa-siswi yang sedang diajarnya tertidur atau keluar dari kelas tanpa pamitan, ia tetap melanjutkan pelajarannya. Maka saat Davin dan Azka memperhatikan keluar dan berbisik-bisik tadi, sang guru tidak memberi mereka teguran, hanya tetap bercerita mengenai sejarah.
Kini para murid perempuan dan laki-laki terlihat memisahkan diri, masing-masing membagi kelompok. Karena sekolah mereka adalah sekolah elite dan sekolah yang sulit sekali dimasuki, maka satu kelas hanya berisi dua puluh orang murid saja, sepuluh murid perempuan dan sepuluh murid laki-laki.
Pertandingan basket pun dimulai. Davin dan Azka hanya memperhatikan pertandingan para murid perempuan, Lisa dan Destiny terlihat berada di tim yang sama, sedangkan Alice berada di tim lawan. Beberapa menit pertandingan berjalan, kini skor keduanya seimbang. Alice melempar bola basket ke kronum—keranjang bola basket, namun memantul dan bola itu mengenai punggung Lisa, membuatnya terjatuh. Davin yang melihat itu tanpa sengaja berdiri, suara kursinya yang berderit membuat seisi kelas kini menatapnya, bahkan sang guru pun menatapnya sekejap sebelum akhirnya melanjutkan menulis catatan di papan tulis. Sadar dengan tingkahnya, Davin akhirnya kembali duduk.
Azka yang tadi melihat Lisa terjatuh juga terkejut, namun ia lebih terkejut saat tiba-tiba teman yang duduk di depannya itu berdiri. Ia menelungkupkan wajahnya guna meredam suara tawanya. Konyol sekali temannya itu, apa tadi dia berniat berlari ke lapangan dan menolong Lisa?
"Jangan tertawa" Davin berbisik pada Azka yang sedang menyembunyikan wajahnya itu. Ia memukul belakang kepala Azka, seperti yang sering Azka lakukan padanya, membuat pria itu kini menatapnya dengan kesal sembari memegangi belakang kepalanya.
Mereka kembali memantau lapangan, tidak ada Alice, Lisa dan Destiny di sana, mungkin mereka sedang ke UKS. Terkena bola basket tentu saja sakit karena bola itu keras, Azka sudah sering mengalaminya dan belum terbiasa hingga sekarang, entah bagaimana nasib Lisa sekarang. Sepertinya pertandingan basket itu sudah berakhir sekarang, sebagian murid sudah tidak ada.
***
"Maaf, maafkan aku, b-bagaimana ini" seperti yang biasa dilakukannya saat panik, kini Alice menggigiti kukunya melihat memar di punggung Lisa dikarenakan bola basket yang mengenainya. Matanya sudah mulai memerah dan berair.
"Apanya yang bagaimana? Tentu saja bantu aku mengkompresnya" Destiny yang berada di sebelahnya berujar dengan gemas, melihat Alice yang hanya berdiri dengan panik dan hanya menatapi punggung memar Lisa.
"Sudahlah, lagi pula ini tidak sesakit yang terlihat" bohong Lisa, sejujurnya ini lebih sakit daripada saat Ibunya atau Ayahnya menamparnya. Pandai sekali dia berbohong. Punggungnya itu jadi lebih baik karena Destiny menempelkan kain berisi es batu.
"Kau mau makan? Biar aku belikan di kantin" tawar Destiny, namun Lisa menggeleng. Rasa sakit di punggungnya lebih besar ketimbang rasa laparnya, ia hanya ingin minum dulu untuk sekarang.
"Tolong belikan aku minum saja" Destiny segera berjalan keluar UKS menuju kantin. Sebagai seseorang yang selalu ingin berteman dengan Lisa, ia tau minuman dan makanan apa saja yang gadis itu sukai. Sejak dulu, Destiny memang selalu mendekati Lisa, ia ingin menjadi temannya, namun gadis itu lebih suka menyendiri dibanding memiliki teman. Ia memang sering terlihat bersama Alice, namun bukan berarti ia berteman atau dekat dengan saudari kembar Lisa. Saat Destiny ingin ke kantin, ia selalu mengajak Lisa, namun gadis itu selalu menolak dan menyuruhnya untuk pergi bersama Alice, itulah sebabnya ia jadi sering terlihat bersama Alice.
Setelah membeli beberapa minuman kaleng yang sering Lisa minum, Destiny berjalan cepat menuju UKS. Sesampainya di UKS, ia melihat Alice yang kini menangis dan beberapa kali meminta maaf pada Lisa. Ia merotasikan bola matanya melihat pemandangan itu, ia tau Alice merasa sangat bersalah karena bola basket tadi memantul dan malah mengenai Lisa, tapi setidaknya ia bisa membantu merawat Lisa kan? Bukannya malah menangis dan terus-terusan minta maaf begitu, ia jadi heran kenapa Lisa masih bisa bertahan dengan kakak kembarnya itu hingga sekarang, dia pasti orang yang sabar.
"Pergilah ke kelas, pelajaran selanjutnya akan segera dimulai. Biar aku yang menjaga Lisa di sini dan meminta izin pada guru"
"Tapi—" ucapan Alice terpotong karena Destiny yang sekarang menunjuk pintu dengan raut wajah tegas yang tak ingin dibantah. Maka ia segera keluar dari UKS dengan raut wajah cemberut.
Lisa memperhatikan gadis dengan rambut sebahu yang kini sedang menata berbagai macam minuman kaleng pada nakas di depannya itu. Ia cukup terkesan pada Destiny yang selalu sabar menghadapinya, padahal ia selalu mendapat penolakan. Bukannya menyerah seperti orang lain, dia malah keras kepala dan terus-menerus ingin dekat dengan Lisa. Apa sebaiknya Lisa berteman saja dengannya? Mereka memiliki cukup banyak kemiripan pada sifat dan Destiny berbeda dengan gadis lain yang menginginkannya menjadi teman mereka. Yaah, tidak ada salahnya mencoba berteman dengan seseorang.
"Aku akan meminta izin pada wali kelas agar kau bisa beristirahat sampai nanti pulang sekolah" Destiny yang hendak berjalan keluar tiba-tiba berhenti kala ia merasakan cekalan di lengannya.
"Ayo makan bersama di kantin besok" butuh beberapa menit bagi Destiny untuk bereaksi, ia menatap Lisa dengan pandangan menyelidik.
"Kau serius?" tanya gadis itu memastikan, Lisa mengangguk singkat. Sepersekian detik kemudian, wajah Destiny terlihat berseri-seri, penantiannya sekian lama untuk diterima Lisa akhirnya ada hasilnya. Ia mengangguk-angguk antusias dengan senyum lebar, sebelum akhirnya pergi dari sana dengan riang. Orang di luar akan mengira Destiny baru saja menemukan berlian dan emas di UKS. Lisa tak menyangka, hanya mengajak Destiny makan bersama di kantin saja reaksinya akan sangat senang begitu. Apa selama ini ia terlalu mengabaikan Destiny yaa?
Lalisa Aldera terkenal sebagai anak yang baik dan pintar saat Sekolah Dasar. Maka saat memasuki Sekolah Menengah Pertama, ia jadi populer dan memiliki banyak teman. Namun karena memiliki banyak teman, ia jadi tidak pernah memiliki waktu untuk bersama Alice di sekolah.Sementara Lisa memiliki banyak teman di sekitarnya, Alice kebalikannya. Dia adalah anak yang dikenal pemalu, cengeng dan suka mengadu, hal itu membuat dirinya selalu sendirian di sekolah jika tidak sedang bersama Lisa.Alice yang dimanjakan di rumah, lalu Lisa yang memiliki banyak teman di sekolah. Itu adil, mereka memiliki kebahagiaan masing-masing. Memang awalnya Lisa berpikir seperti itu, namun lama-lama, ia tidak bisa melihat wajah murung Alice di sekolah karena dikucilkan. Hal itu membuatnya jadi sering mengajak Alice untuk ikut mengobrol bersama teman-temannya, mengajaknya ikut ke kantin dan mengajaknya ikut bermain, terkadang ia juga meminta teman-temannya un
"Bagaimana lukamu?" Lisa menoleh mendengar suara Alice. Pagi ini kakaknya itu terlihat lelah, dia pasti kurang tidur karena merawatnya semalam. "Sudah lebih baik" senyum terbit di bibir Alice kala mendengar jawaban Lisa. Setidaknya hari ini Lisa bisa beraktivitas dengan lebih nyaman. "Syukurlah kalau begitu" kedua gadis itu pun berjalan bersama hingga sampai di halaman rumah, mereka melihat Nyonya Aldera yang tersenyum senang bersama... Davin? "Oh! Itu dia Alice dan Lisa" ujar Nyonya Aldera saat melihat kedua putrinya, ia lantas mengisyaratkan Alice dan Lisa untuk segera mendekat. Alice dan Lisa saling bertatapan denga raut wajah bingung, mereka berjalan menuju sang Ibu. "Davin kemari untuk mengajak kalian berangkat ke sekolah bersama" ucap Nyonya Aldera masih dengan senyum senangnya, menyampaikan maksud Davin ada di rumah mereka pagi-pagi begini. Alice tersenyum cangg
"Dimana kembaranmu?" Davin bertanya saat melihat sosok Lisa yang berjalan sendirian ke arahnya, tidak ada tanda-tanda kehadiran Alice. "Bersama Zidan" Davin mengangguk. Meski Lisa tak menjelaskan sedang apa Alice bersama Zidan, namun ia tau bahwa pasangan itu sedang berkencan. Mereka itu sama seperti pasangan lain yang memiliki jadwal berkencan. Lisa memperhatikan dengan bingung Davin yang sedang mengobrol bersama sopirnya. Ia menjadi semakin kebingungan saat sopir itu keluar dari mobil dan berjalan pergi. Kini Davin memandangnya, menunjuk mobil dengan dagunya, memberi kode bahwa Lisa harus naik. Lisa menuruti saja kodean Davin itu, ia hendak membuka pintu mobil di belakang saat Davin tiba-tiba mengatakan. "Jangan duduk di sana, kau mau membuatku terlihat seperti seorang sopir?" Setelah obrolan super singkat yang terasa canggung itu, kini akhirnya mobil yang dikendarai Davin melaju di jalanan yang ramai
"Sekarang sudah malam dan kalian baru pulang, darimana kalian?" pertanyaan khas orang tua yang menemukan anak mereka pulang terlambat. Nyonya Aldera berdiri di dekat tangga dengan kedua tangan bersedekap, mata tajamnya menatap kedua anak gadisnya yang baru pulang. Ini memang belum terlalu malam, namun tetap saja ia mempertanyakan alasan kenapa dua gadis itu baru pulang sekarang. Umumnya, para orang tua khawatir karena anak-anak mereka pulang di malam hari tanpa memberi kabar hingga melontarkan berbagai pertanyaan pada anak mereka, namun Nyonya Aldera tidak begitu, ia hanya terlalu penasaran pada urusan kedua putrinya. "Ah, Ibu! Ibu sudah makan malam? Maaf tidak mengabari kalau kami akan pulang malam, kami baru saja menjenguk Nyonya Ganendra, ia masuk rumah sakit tadi sore" Alice menghampiri Nyonya Aldera dengan raut wajah ceria khasnya, kedua tangannya menggandeng tangan Nyonya Aldera dengan manja. Rayuan khas para anak perempuan untuk mencegah amarah sa
Sudah dapat ditebak bagaimana nasib Alice dan Lisa kemarin jika menilik dari raut wajah Alice yang murung pagi ini. Dengan enggan, Davin mulai berjalan mendekati kedua gadis itu. "Pergilah, aku yang akan bicara dengannya" Alice mengangguk menuruti ucapan Lisa, lantas kembali berjalan, meninggalkan Lisa dan Davin di koridor yang masih sepi itu. Sekarang masih pagi, mungkin baru ada beberapa murid di sekolah selain ketiga remaja itu. Dan sekarang di koridor sedang tidak ada murid lain, jadi Lisa dan Davin bisa leluasa untuk berbicara tanpa ada seseorang yang keheranan melihat kedua murid yang tidak pernah berinteraksi itu tiba-tiba saling berbicara. "Seperti yang kau perkirakan, kami dimarahi habis-habisan kemarin karena berbohong. Ah, lebih tepatnya Alice, aku hanya mendapat satu tamparan" ucap Lisa yang mengerti alasan mengapa Davin menemuinya dan Alice di koridor pagi-pagi begini. "Aku tidak perl
"Sepertinya hari ini adalah hari yang baik untuk Hera yaa?" pertanyaan Alice itu mengalihkan fokus ketiga temannya yang sedang asyik mengobrol dan membuat gadis bernama Hera itu mengangkat kepalanya dari ponsel."Ah, benar juga! Sedari tadi hanya Hera yang sibuk dengan ponselnya, bahkan sampai tersenyum sembari memandangi ponsel. Apa ada hal yang lebih menyenangkan dalam ponselmu dibanding perkumpulan kita setelah sekian lama?" Felia Maharza, si bungsu dari keluarga Maharza itu tertawa menggoda Hera, membuat gadis itu tersenyum malu-malu. Melihat respon Hera yang seperti itu, membuat keempat temannya tertawa."Emm, sebenarnya ini rahasia, tapi aku ingin sekali menceritakannya pada kalian. Jadi, tolong rahasiakan ini demi aku" keempat gadis itu mengangguk, menunjukkan jari kelingking mereka sebagai tanda perjanjian.Menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan agar tak gugup, Hera lantas mu
Lisa menoleh ketika mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Siapa yang ingin menemuinya malam-malam begini? Apa itu Alice? Ia beranjak dari tempat tidur untuk membuka pintu, dan benar saja, itu adalah Alice. Tadi siang, Alice mengatakan akan bertemu dengan teman-temannya untuk memperbaiki suasana hatinya, tapi apa yang terjadi dengannya? Wajahnya tidak terlihat baik, mata dan hidungnya memerah, terlihat jelas bahwa ia habis menangis.Alice masuk ke dalam kamar tanpa meminta persetujuan Lisa, ia duduk di pinggir tempat tidur."Kau... Habis menangis?" pertanyaan dari Lisa itu tidak langsung dijawab Alice, ia menghela napas, beberapa menit kemudian ia baru mulai mengatakan kejadian yang menimpanya hari ini."Aku putus dengan Zidan" kabar yang membuat Lisa terkejut dan kesal. Akhirnya mereka putus juga setelah melibatkan Lisa dalam hubungan rumit yang membuat hidupnya kacau. Menyebalkan sekali, di hari s
Sejak Davin menyatakan perasaan tertariknya pada Lisa, kepribadian gadis itu yang awalnya dingin menjadi lebih dingin pada Davin. Sebenarnya hari itu Davin sudah mendapat peringatan dari Lisa, tapi pria itu tidak menanggapinya dengan serius dan sikap Lisa setelah hari itu bagaikan sebuah pukulan bagi Davin. Gadis itu benar-benar menolaknya.Hari itu setelah Lisa mengetahui Davin memiliki perasaan tertarik padanya, ia membalasnya dengan mengatakan sebuah peringatan "Jangan jatuh cinta padaku" dan langsung pergi begitu saja tanpa menunggu respon Davin.Kejadian hari itu masih teringat jelas di benak Davin dan hingga sekarang ia masih mencoba untuk memperbaiki hubungannya dengan Lisa. Mereka memang tidak terlalu dekat hingga bisa disebut teman apalagi sahabat, tapi hubungan keduanya terbilang baik menilik dari interaksi Lisa dengan orang lain—tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa ia buruk dalam bersosialisasi.&