"Sekarang sudah malam dan kalian baru pulang, darimana kalian?" pertanyaan khas orang tua yang menemukan anak mereka pulang terlambat. Nyonya Aldera berdiri di dekat tangga dengan kedua tangan bersedekap, mata tajamnya menatap kedua anak gadisnya yang baru pulang. Ini memang belum terlalu malam, namun tetap saja ia mempertanyakan alasan kenapa dua gadis itu baru pulang sekarang. Umumnya, para orang tua khawatir karena anak-anak mereka pulang di malam hari tanpa memberi kabar hingga melontarkan berbagai pertanyaan pada anak mereka, namun Nyonya Aldera tidak begitu, ia hanya terlalu penasaran pada urusan kedua putrinya.
"Ah, Ibu! Ibu sudah makan malam? Maaf tidak mengabari kalau kami akan pulang malam, kami baru saja menjenguk Nyonya Ganendra, ia masuk rumah sakit tadi sore" Alice menghampiri Nyonya Aldera dengan raut wajah ceria khasnya, kedua tangannya menggandeng tangan Nyonya Aldera dengan manja. Rayuan khas para anak perempuan untuk mencegah amarah sang ibu.
"Nyonya Ganendra sakit?" tanya Nyonya Aldera terkejut mendengar alasan yang dipaparkan Alice. Perlu sebuah anggukan dari Alice untuk bisa meyakinkan Nyonya Aldera bahwa ia tidak salah dengar saat ini.
"Kalau begitu kita harus menjenguk Nyonya Ganendra besok" Alice kembali mengangguk, kali ini menyetujui ucapan Nyonya Aldera. Dahi Nyonya Aldera terlihat berkerut, menandakan ia sedang fokus berpikir, ia berpikir mengenai apa yang harus dibawanya besok. Haruskah ia membawa buah? Bunga? Minuman yang menyehatkan? Atau mungkin lebih baik makanan?
"Benar Ibu, kita harus menjenguk Nyonya Ganendra besok. Kalau begitu aku dan Lisa akan menyerahkan surat izin untuk tidak berangkat besok, agar kita bisa menyiapkan keperluan untuk menjenguk Nyonya Ganendra dan kami bisa menemani Ibu" Nyonya Aldera tidak terlalu mendengarkan Alice, ia masih fokus berpikir, namun ia mengangguk-angguk menyetujui ucapan Alice.
Nyonya Aldera dan Alice mulai menaiki satu-persatu anak tangga dengan obrolan mengenai Nyonya Ganendra yang masih berlanjut. Tanpa sepengetahuan Nyonya Aldera, Alice mengacungkan jempol pada Lisa yang berjalan di belakang, menandakan rencana mereka sukses karena Nyonya Aldera tidak mencurigai mereka. Seulas senyum tipis terbit di bibir Lisa, baguslah ia tidak perlu ikut campur dalam kebohongan Alice dan tidak perlu ikut merayu Ibunya. Alice memang berhasil membohongi Nyonya Aldera dan tidak menimbulkan kecurigaan sedikit pun, namun entah kenapa perasaan Lisa masih tidak tenang. Seperti ada sesuatu yang ia lupakan, sesuatu yang penting yang seharusnya membuatnya sangat khawatir sekarang. Tapi, apa?
Perasaan yang mengganjal itu masih terasa hingga siang hari ini, saat dirinya, Alice dan Ibunya sedang bersiap untuk menjenguk Nyonya Ganendra. Semakin Lisa berusaha mengingatnya, semakin ia tidak dapat mengingatnya. Ia sudah bertanya pada Alice jikalau memang benar ada suatu hal penting yang mereka lupakan, namun ia hanya mendapat tatapan bingung dari Alice sebagai sebuah jawaban.
Mari lupakan sebentar soal perasaan itu, kini Lisa harus fokus pada kegiatannya bersama Alice dan Ibunya. Ibunya itu sudah memutuskan untuk membawa buah-buahan dan sekotak bolu sebagai buah tangan untuk menjenguk Nyonya Ganendra. Buah adalah hal yang umum dibawa oleh orang-orang sebagai buah tangan saat menjenguk orang sakit. Sedangkan bolu, mereka membawanya karena Nyonya Ganendra menyukainya, itu dikatakannya saat bertamu di rumah keluarga Aldera, bolu cokelat buatan pelayan rumah keluarga Aldera.
"Kau masih memikirkan tentang 'hal yang kau lupakan' itu?" pertanyaan Alice itu membuat lamunan Lisa buyar seketika, ia menoleh ke samping memperhatikan Alice sebelum kembali memandang ke depan. Karena sedari tadi memikirkan 'hal yang dilupakan' itu, ia jadi tidak sadar penampilannya dan Alice saat ini seperti tertukar. Alice saat ini memakai kemeja lengan panjang dan celana jeans dengan rambut diikat, itu adalah penampilan khasnya saat pergi. Sedangkan dirinya memakai sweeter oversize dan celana jeans pendek dengan rambut terurai, penampilan feminin khas Alice.
"Aku sedang berusaha untuk melupakannya" memang sedari tadi Lisa sedang berusaha melupakannya, namun usahanya itu sia-sia. Alice menatap prihatin pada Lisa. Berusaha melupakan hal yang terlupakan, hah.... Rumit sekali.
Terdengar suara pintu terbuka, Alice dan Lisa masuk mengikuti Nyonya Aldera. Terlihat Nyonya Ganendra yang berbaring di ranjang dan Davin yang duduk di sofa. Nyonya Ganendra terlihat lebih baik hari ini daripada kemarin saat Lisa menjenguknya sebentar bersama Davin.
"Selamat siang Nyonya Ganendra, kemarin saya dengar anda sakit jadi hari ini saya langsung kemari" Nyonya Ganendra terlihat terkejut melihat kedatangan Nyonya Aldera, namun sedetik kemudian segaris senyum terlihat di belah bibirnya. Davin juga terlihat terkejut, namun kini ia telah bangkit dari duduknya dan ikut tersenyum ramah, berdiri di sisi Nyonya Ganendra.
"Anda tidak perlu repot-repot menjenguk saya seperti ini, Nyonya. Tapi terimakasih sudah menyempatkan waktu anda hanya demi saya" kedua wanita itu saling melempar senyum ramah satu sama lain dilengkapi nada bicara yang terdengar ramah dan ucapan-ucapan yang terkesan perhatian. Etika para nyonya keluarga besar, sebuah topeng yang menjaga image mereka di hadapan orang lain. Namun tidak semua wanita dari keluarga besar seperti itu, ada juga beberapa wanita yang memang memiliki sifat ramah dan perhatian pada orang lain.
"Sudah seharusnya kan saya menjenguk anda, nantinya kan kita akan jadi keluarga" Nyonya Aldera melirik Alice dan Davin, keduanya tersenyum canggung menanggapi kode dari Nyonya Aldera. Nyonya Ganendra yang juga menyadari arti lirikan Nyonya Aldera hanya menunjukkan senyum ramahnya, ia sedang tertarik pada Lisa jadi kali ini ia tidak setuju dengan Nyonya Aldera.
"Oh omong-omong, saya membawa buah-buahan dan kue bolu kesukaan Nyonya" Nyonya Aldera menunjuk buah-buahan yang dibawa Lisa dan sekotak kue bolu yang dibawa Alice.
"Waah, anda masih ingat kue bolu kesukaan saya. Nyonya Aldera benar-benar orang yang sangat perhatian yaaa" buah-buahan dan kue bolu itu kini diletakkan di meja.
"Sebenarnya kue bolu itu adalah saran dari Alice, dia masih teringat saat hari minggu keluarga Ganendra berkunjung ke rumah, Nyonya mengatakan bahwa kue bolunya sangat lezat. Saya kemari juga karena Alice yang meminta, katanya kemarin sepulang sekolah dia kemari bersama Davin dan Lisa tapi hanya sebentar dan tidak membawa buah tangan, jadi merasa tidak enak" pujian berlebihan Nyonya Aldera untuk Alice kini mengingatkan Lisa pada 'hal yang dilupakan' itu, hal yang sedari kemarin malam terus mengganggunya karena tidak dapat diingatnya. Ia menelan saliva dengan susah payah, jantungnya mulai berdetak cepat. Ketiga remaja itu kini saling berpandangan, menyadari bahwa kebohongan mereka terbongkar.
Berbeda dengan reaksi gugup ketiga remaja yang telah berbohong itu, Nyonya Ganendra kini terlihat bingung. "Alice? Tapi kemarin Davin bilang Alice sedang main bersama temannya, jadi tidak ikut kemari, saya juga hanya melihat Davin dan Lisa" senyum Nyonya Aldera segera meluntur, namun sepersekian detik kemudian ia kembali memperbaiki ekspresinya, kali ini senyumnya terlihat semakin lebar.
"Oh ya? Saya pasti salah mengira Lisa sebagai Alice saat dia menceritakan insiden anda yang masuk rumah sakit" alasan Nyonya Aldera itu semakin membuat Lisa dan Alice gugup. Alasannya itu secara tidak langsung mengatakan bahwa Nyonya Aldera adalah seorang ibu yang buruk karena tidak dapat mengenali putrinya sendiri. Ia seperti sedang mempermalukan dirinya sendiri saat ini.
"Mereka memang sangat sulit dibedakan" Nyonya Ganendra tersenyum maklum menatap Lisa dan Alice yang membalas senyumnya dengan canggung, mereka sedang gugup sekarang dan bersiap untuk segala kemungkinan terburuk nanti saat pulang.
"Oh, sepertinya saya telah banyak menyita waktu anda, Nyonya harus banyak istirahat agar cepat sembuh. Saya dan anak-anak pamit dulu" Nyonya Aldera tersenyum dan mengangguk pada Nyonya Ganendra serta Davin, diikuti Alice dan Lisa. Nyonya Ganendra tidak merespon lagi, ia hanya membalas tersenyum dan mengangguk.
***
PLAKKKK!!!
PLAKKKK!!!
Tamparan keras dari Nyonya Aldera kini didapat Alice dan Lisa. Tamparan pertama yang didapat Alice dan tamparan kesekian kalinya yang didapat Lisa. Kedua gadis itu kini menunduk, tak berani membalas tatapan sang Ibu yang menatap mereka dengan nyalang. Mereka mengakui bahwa kali ini mereka salah karena telah berbohong dan malah berakhir mempermalukan sang Ibu.
"BERANINYA KALIAN BERBOHONG PADAKU!" teriakan pertama Nyonya Aldera setelah sedari tadi berusaha menahan amarahnya. Napasnya memburu dan dadanya naik turun, menandakan bahwa ia sedang sangat marah sekarang.
"KAU JUGA, ALICE! KENAPA SEKARANG KAU BERANI PADA IBUMU HAH?" Lisa melirik pada presensi Alice di sebelahnya. Satu pipinya kini memerah karena tamparan tadi, matanya memerah karena menahan air mata yang siap meluncur deras dan ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakan tangisnya. Dirinya, yang sudah sering dimarahi sejak kecil juga terkadang menangis setelah dimarahi, bagaimana dengan Alice yang baru kali ini menghadapi amarah sang Ibu? Ia hanya berharap Alice tidak akan bersedih terlalu lama.
"KATAKAN PADAKU! APA ALASAN KALIAN BERBOHONG?"
"Itu karena aku, Ibu. Aku memiliki pacar dan kemarin hanya Lisa yang pulang bersama Davin karena aku pergi bersama pacarku" jelas Alice dengan suara lirih, hampir seperti gumaman. Pasti sulit untuk bicara sembari menahan tangisan, apalagi saat sedang ketakutan, Lisa ingin sekali mengatakan pada kakaknya itu bahwa ia sangat berani bisa berkata jujur. Di saat seperti ini, Lisa tidak bisa membantu apa-apa untuk Alice, ia tidak bisa menutupi kebohongan dengan sebuah kebohongan lagi, masalahnya akan bertambah rumit nanti.
"KENAPA KAU MALAH MEMILIKI PACAR SAAT SEHARUSNYA KAU SUDAH BERTUNANGAN DENGAN DAVIN SEKARANG?!" teriakan Nyonya Aldera semakin keras, ia menjadi semakin marah sekarang. Nyonya Aldera yang paling menginginkan Alice menjadi tunangan Davin dan kini Alice mengecewakannya hanya karena pacarnya.
"KAU HARUS PUTUS DENGAN PACARMU!" teriakan Nyonya Aldera itu kini membuat Alice berani mengangkat kepalanya dan balas menatapnya dengan terkejut.
"TIDAK! AKU TIDAK MAU!" tolak Alice yang dengan tidak sengaja berteriak. Teriakannya itu kini mengakibatkan satu pipi mulusnya memerah, kini kedua pipinya memerah karena tamparan sang Ibu. Mendengar tamparan kedua kalinya di pipi Alice itu membuat Lisa sontak mengangkat kepalanya dan menatap mata Ibunya dengan tak kalah tajam, ia berteriak memperingatkan. "IBU!!!"
Alice kini menangis di pelukan Lisa, ia sudah tak dapat menahan air mata dan isakannya lagi. Isakan pilu itu memenuhi seisi ruang tamu, isakan yang menyayat hati, membuat orang-orang dengan hati lembut yang mendengarnya jadi ingin ikut menangis.
"Aku tidak mau tau! Kau harus segera putus dengannya, atau kau tidak akan pernah kumaafkan!" itu memang bukan teriakan, namun ucapan sang Ibu itu setajam belati, menambah luka di hati Alice. Ia menyayangi Ibunya, namun ia juga menyayangi Zidan sang pacar. Lalu, ia harus bagaimana?
Sudah dapat ditebak bagaimana nasib Alice dan Lisa kemarin jika menilik dari raut wajah Alice yang murung pagi ini. Dengan enggan, Davin mulai berjalan mendekati kedua gadis itu. "Pergilah, aku yang akan bicara dengannya" Alice mengangguk menuruti ucapan Lisa, lantas kembali berjalan, meninggalkan Lisa dan Davin di koridor yang masih sepi itu. Sekarang masih pagi, mungkin baru ada beberapa murid di sekolah selain ketiga remaja itu. Dan sekarang di koridor sedang tidak ada murid lain, jadi Lisa dan Davin bisa leluasa untuk berbicara tanpa ada seseorang yang keheranan melihat kedua murid yang tidak pernah berinteraksi itu tiba-tiba saling berbicara. "Seperti yang kau perkirakan, kami dimarahi habis-habisan kemarin karena berbohong. Ah, lebih tepatnya Alice, aku hanya mendapat satu tamparan" ucap Lisa yang mengerti alasan mengapa Davin menemuinya dan Alice di koridor pagi-pagi begini. "Aku tidak perl
"Sepertinya hari ini adalah hari yang baik untuk Hera yaa?" pertanyaan Alice itu mengalihkan fokus ketiga temannya yang sedang asyik mengobrol dan membuat gadis bernama Hera itu mengangkat kepalanya dari ponsel."Ah, benar juga! Sedari tadi hanya Hera yang sibuk dengan ponselnya, bahkan sampai tersenyum sembari memandangi ponsel. Apa ada hal yang lebih menyenangkan dalam ponselmu dibanding perkumpulan kita setelah sekian lama?" Felia Maharza, si bungsu dari keluarga Maharza itu tertawa menggoda Hera, membuat gadis itu tersenyum malu-malu. Melihat respon Hera yang seperti itu, membuat keempat temannya tertawa."Emm, sebenarnya ini rahasia, tapi aku ingin sekali menceritakannya pada kalian. Jadi, tolong rahasiakan ini demi aku" keempat gadis itu mengangguk, menunjukkan jari kelingking mereka sebagai tanda perjanjian.Menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan agar tak gugup, Hera lantas mu
Lisa menoleh ketika mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Siapa yang ingin menemuinya malam-malam begini? Apa itu Alice? Ia beranjak dari tempat tidur untuk membuka pintu, dan benar saja, itu adalah Alice. Tadi siang, Alice mengatakan akan bertemu dengan teman-temannya untuk memperbaiki suasana hatinya, tapi apa yang terjadi dengannya? Wajahnya tidak terlihat baik, mata dan hidungnya memerah, terlihat jelas bahwa ia habis menangis.Alice masuk ke dalam kamar tanpa meminta persetujuan Lisa, ia duduk di pinggir tempat tidur."Kau... Habis menangis?" pertanyaan dari Lisa itu tidak langsung dijawab Alice, ia menghela napas, beberapa menit kemudian ia baru mulai mengatakan kejadian yang menimpanya hari ini."Aku putus dengan Zidan" kabar yang membuat Lisa terkejut dan kesal. Akhirnya mereka putus juga setelah melibatkan Lisa dalam hubungan rumit yang membuat hidupnya kacau. Menyebalkan sekali, di hari s
Sejak Davin menyatakan perasaan tertariknya pada Lisa, kepribadian gadis itu yang awalnya dingin menjadi lebih dingin pada Davin. Sebenarnya hari itu Davin sudah mendapat peringatan dari Lisa, tapi pria itu tidak menanggapinya dengan serius dan sikap Lisa setelah hari itu bagaikan sebuah pukulan bagi Davin. Gadis itu benar-benar menolaknya.Hari itu setelah Lisa mengetahui Davin memiliki perasaan tertarik padanya, ia membalasnya dengan mengatakan sebuah peringatan "Jangan jatuh cinta padaku" dan langsung pergi begitu saja tanpa menunggu respon Davin.Kejadian hari itu masih teringat jelas di benak Davin dan hingga sekarang ia masih mencoba untuk memperbaiki hubungannya dengan Lisa. Mereka memang tidak terlalu dekat hingga bisa disebut teman apalagi sahabat, tapi hubungan keduanya terbilang baik menilik dari interaksi Lisa dengan orang lain—tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa ia buruk dalam bersosialisasi.&
"Sejak kapan kau mengenal Lisa?" pertanyaan Azka memecah keheningan diantara kedua remaja yang sedang berjalan bersebelahan itu. Ini kesempatan untuk mengobrol dengan Destiny, jadi Azka akan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya."Aku masih mengingatnya, pertemuan pertamaku dengan Lisa. Itu saat kami berumur 10 tahun" sebuah lengkungan tipis terukir di belah bibir Destiny, sepertinya ia sedang mengingat kejadian itu. Melihat senyuman Destiny membuat Azka ikut tersenyum, ia diam-diam bersorak dalam hati karena merasa obrolannya dengan Destiny akan berhasil kali ini."Apa kalian bersekolah di tempat yang sama waktu SD?" Azka kembali bertanya, namun kali ini hanya dijawab dengan gelengan oleh Destiny. Pemuda itu ingin bertanya lagi tentang bagaimana mereka bisa bertemu agar obrolan mereka terus berlanjut, namun tiba-tiba terpikirkan olehnya, bagaimana jika Destiny malah mengira ia menyukai Lisa karena terus bertanya tentang gadis it
Malam hari terasa berjalan lambat bagi Destiny, pikirannya terus tertuju pada sang Ibu, itu sebabnya ia terus terjaga sepanjang malam. Kedua matanya yang terlihat lelah menunjukkan dengan jelas bahwa tadi malam ia tidak tidur. Gadis kecil itu menuruni tangga dengan wajah lesu, mencekal lengan salah satu pekerja yang lewat di depannya dan dengan suara serak bertanya. "Apa Ibu sudah pulang?""Nona Destiny?!" pekerja wanita itu berseru, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan hingga membuat Destiny berkernyit bingung."Itu...." Destiny semakin kebingungan saat pekerja itu terlihat panik dan seperti bingung akan menjawab apa. Padahal pertanyaannya sangat sederhana, kenapa sepertinya sulit sekali untuk menjawabnya?"Dengan perasaan teramat sedih, saya ingin memberitau Nona—bahwa Nyonya telah kembali ke sisi-Nya pada pukul empat dini hari" seorang wanita paruh baya yang merupakan Kepala Pelayan itu maju dan bi
Ruang tamu keluarga Aldera kini sedang ramai. Keluarga Ganendra, keluarga yang belum lama ini menjadi rekan bisnis mereka kini sedang bertamu. Keluarga Aldera dan keluarga Ganendra sama-sama memiliki sejarah panjang, maka tak heran kini dunia para konglomerat sedang gempar karena keputusan mereka untuk bekerja sama. Dan tentu saja, untuk mempererat hubungan kedua keluarga itu, mereka sepakat untuk menjodohkan putra-putri mereka. Perjodohan antara putri tertua keluarga Aldera, Lalice Aldera dan putra tunggal keluarga Ganendra sedang asyik dibahas di ruang tamu keluarga Aldera. "Permisi, maaf menyela" suara tenang putri bungsu keluarga Aldera, Lalisa Aldera berhasil menghentikan percakapan antara para orang tua, kini perhatian mereka tertuju pada gadis yang telah berdiri dari duduknya itu. "Sepertinya, saya telah jatuh cinta pada Tuan Muda Ganendra. Karena itu, tolong pertimbangkan lagi tentang perjodohan antara kakak kembar sa
"Bagaimana kemarin?" Alice menoleh kala mendengar suara yang sangat familiar itu. Ia tersenyum lebar kala sang pacar merangkulnya. Paginya di sekolah diawali dengan pertemuannya dan pacarnya di koridor. Akhir-akhir ini pacarnya itu sibuk di sekolah, jadi mereka jarang bertemu. "Masalah perjodohannya sepertinya akan segera selesai, aku meminta tolong pada Lisa dan tentu saja dia mau membantuku" Zidan Arkala—sang pacar mengangguk mengerti. Beberapa hari lalu memang Alice bercerita tentang perjodohannya dengan putra tunggal keluarga Ganendra, ia yang sudah beberapa tahun menjadi pacarnya tentu saja sudah bersiap untuk kemungkinan terburuk bahwa mereka akan putus, namun ternyata Alice dapat menyelesaikan masalahnya dengan bantuan Lisa. "Baguslah kalau begitu" Zidan mengusak rambut rapi Alice, membuat gadis itu kesal. Itu adalah salah satu kebiasaan Zidan yang tidak Alice sukai, karena pria itu selalu merusak tatanan rambutnya yan