"Bagaimana lukamu?" Lisa menoleh mendengar suara Alice. Pagi ini kakaknya itu terlihat lelah, dia pasti kurang tidur karena merawatnya semalam.
"Sudah lebih baik" senyum terbit di bibir Alice kala mendengar jawaban Lisa. Setidaknya hari ini Lisa bisa beraktivitas dengan lebih nyaman.
"Syukurlah kalau begitu" kedua gadis itu pun berjalan bersama hingga sampai di halaman rumah, mereka melihat Nyonya Aldera yang tersenyum senang bersama... Davin?
"Oh! Itu dia Alice dan Lisa" ujar Nyonya Aldera saat melihat kedua putrinya, ia lantas mengisyaratkan Alice dan Lisa untuk segera mendekat. Alice dan Lisa saling bertatapan denga raut wajah bingung, mereka berjalan menuju sang Ibu.
"Davin kemari untuk mengajak kalian berangkat ke sekolah bersama" ucap Nyonya Aldera masih dengan senyum senangnya, menyampaikan maksud Davin ada di rumah mereka pagi-pagi begini. Alice tersenyum canggung menanggapi Nyonya Aldera.
"Sebaiknya kalian cepat berangkat, agar bisa sampai di sekolah tepat waktu" saran Nyonya Aldera, ketiga remaja itu pun berpamitan dan segera masuk ke dalam mobil Davin. Alice dan Lisa duduk bersama di belakang, sedangkan di depan ada Davin dan seorang sopir.
"Apa ada maksud tertentu kau menjemput kami?" Alice bertanya saat mobil mulai berjalan meninggalkan rumah besar keluarga Aldera.
"Kau pikir aku mau menjemput kalian? Aku tidak ada alasan untuk membantah perintah Ibu" jawaban Davin itu membuat Alice mendesis kesal, ia menyenggol lengan Lisa di sebelahnya yang sedari tadi diam.
"Lisa, katakan sesuatu" satu alis Lisa terangkat, ia menyumpal kedua telinganya dengan earphone, kini memalingkan wajahnya memperhatikan jalanan melalui kaca mobil.
"Jangan ganggu aku" kata-kata adiknya itu membuat Alice semakin kesal, ia mendengus dan ikut memalingkan wajahnya dari Lisa.
Beberapa menit perjalanan, kini akhirnya mereka sampai di sekolah. Alice turun lebih dulu dari mobil, rupanya ia melihat Zidan dan kini berlari mengejar pria itu. Kebiasaan Alice dan Zidan saat pagi adalah berjalan bersama di koridor, sampai-sampai jam keberangkatan mereka ke sekolah di sesuaikan agar saat pagi mereka bisa bertemu.
Lisa turun setelah Alice, ia hendak masuk ke halaman sekolah, namun tidak jadi saat seseorang menarik lengannya, membuatnya tertarik mundur.
"Hati-hati" Davin menunjuk sebuah genangan air yang letaknya hanya beberapa langkah dengan Lisa, ia hampir saja menginjak genangan itu dan membuat kotor sepatunya.
"Ah, hampir saja" Lisa melepas paksa cekalan tangan Davin pada lengannya, kedua earphone yang menyumpal telinganya juga sudah ia lepaskan. Gadis itu hendak kembali melanjutkan jalannya, namun untuk yang kedua kalinya, Davin mencekal lengannya.
"Ada yang mau kau katakan?"
"Itu, Ibu juga menyuruhku untuk pulang bersama kalian nanti" Lisa hanya mengangguk, lantas pergi.
Helaan napas terdengar, Davin kini merutuki dirinya sendiri yang malah mengatakan akan pulang bersama saudari kembar itu nanti. Ibunya memang menyuruhnya untuk berangkat dan pulang bersama si kembar Aldera hari ini, namun sebenarnya bukan itu yang akan ia katakan pada Lisa. Davin hanya ingin bertanya mengenai luka Lisa, hanya sekedar pertanyaan biasa mengenai kondisi gadis itu, namun mengapa ia tiba-tiba tidak bisa mengatakannya? Sebenarnya kenapa juga ia ingin menanyakan kondisinya? Ada apa dengannya? Pertanyaan-pertanyaan itu bergumul dalam pikiran Davin, pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya—ah bukan, lebih tepatnya sebuah pertanyaan yang tidak ingin ia ketahui jawabannya.
***
"BISAKAH KALIAN MINGGIR?" teriak Destiny pada sekumpulan murid perempuan di kantin yang menghalangi. Siang ini entah kenapa kantin sangat ramai dengan para murid perempuan. Suara petikan gitar mulai terdengar, kini para murid perempuan itu mulai berteriak. Destiny mendengus kesal, melihat sekumpulan murid perempuan di depannya yang tidak peduli dengan teriakannya. Kini ia tau penyebab kantin menjadi sangat ramai dengan murid perempuan, ternyata ada para murid laki-laki yang sering disebut 4 Sekawan di sini.
Rafael Dirgantara, murid kelas 10 yang terkenal karena wajah tampannya dan suaranya. Azkara Julian, murid kelas 11 yang terkenal karena menjadi kapten tim basket. Davin Ganendra, murid kelas 11 yang terkenal karena wajah tampannya, keluarganya dan kepintarannya. Dan terakhir, Yohan Ananta, murid kelas 12 yang terkenal karena pandai memainkan berbagai alat musik dan mantan anggota osis. Keempat pria itulah yang kini membuat kantin menjadi ramai, mereka sedang berkumpul.
Setelah terdengar suara petikan gitar yang dimainkan Yohan, kini mulai terdengar suara merdu Rafael yang menenangkan hati. Menenangkan hati bagi para murid perempuan yang menyukai mereka tentu saja, bagi Destiny yang sedang kesal, perpaduan suara petikan gitar Yohan dan suara Rafael malah membuat hatinya memanas. Bagaimana tidak kesal? Perkumpulan mereka itu membuat aktivitas kantin terhambat karena fans mereka.
"DIAM, BODOH! BERNYANYILAH DI PANGGUNG DAN JANGAN GANGGU AKTIVITAS MURID LAIN!" teriakan menggelegar Destiny itu membuat kantin hening, para murid perempuan kini menatap ke arahnya dan menyingkir dari hadapannya.
"Adakan acara fansign agar kantin tidak perlu rusuh seperti ini" para murid laki-laki yang tadi hendak ke kantin kini sahut-sahutan menyetujui ucapan Destiny.
Azka yang melihat Destiny kini menutupi wajahnya dengan gitar milik Yohan. Ia berniat untuk membuat kesan yang bagus pada pertemuan kedua mereka, namun tak disangka mereka malah bertemu di sini sebagai musuh. Pada pertemuan pertama mereka, pasti kesan Destiny terhadapnya cukup buruk karena saat itu ia tidak bisa mengontrol raut wajahnya yang gugup dan ketakutan. Dan pada pertemuan kedua mereka ini, kesan Destiny mengenai dirinya pasti lebih buruk.
"Destiny" panggilan Lisa itu membuat seisi kantin termasuk Destiny dan 4 Sekawan kini menoleh padanya.
"Ah, kau sudah selesai dengan catatanmu?" Lisa mengangguk, pandangannya kini terfokus pada seisi kantin.
"Ayo makan di cafe depan sekolah saja, di sini terlalu ramai, kau tidak suka tempat yang ramai bukan?" belum sempat mengangguk atau menjawab pertanyaan Destiny, tangan Lisa sudah ditarik oleh gadis itu. Para murid perempuan kini meneriaki Destiny, membuat Lisa semakin penasaran. Sebenarnya ada apa dengan Destiny sampai-sampai seisi murid perempuan di kantin itu memusuhinya? Destiny memang memiliki banyak musuh sejak dulu, namun hari ini musuhnya itu bertambah banyak sekali. Bisa-bisa seluruh murid perempuan di sekolah kecuali dirinya dan Alice akan menjadi musuhnya suatu saat nanti.
Mengingat kejadian di kantin tadi masih membuat Destiny kesal, suasana hatinya cukup membaik sekarang karena ia akan makan siang bersama Lisa. Ia harus siap menutup telinganya nanti saat melewati para murid perempuan agar tidak terus terpikirkan kejadian di kantin. Tindakannya itu sudah benar menurutnya, menegur—lebih tepatnya memarahi para murid perempuan dan 4 Sekawan yang menghambat aktivitas kantin. Tidak peduli ia akan dibilang perusak kebahagiaan orang atau perusak suasana, karena para murid perempuan yang memenuhi seisi kantin itu juga termasuk perusak suasana, mereka merusak suasana murid lain yang sedang lapar, tadinya sudah senang karena bel istirahat sudah berbunyi, ehh ternyata kantin sedang rusuh.
"Dimana kembaranmu?" Davin bertanya saat melihat sosok Lisa yang berjalan sendirian ke arahnya, tidak ada tanda-tanda kehadiran Alice. "Bersama Zidan" Davin mengangguk. Meski Lisa tak menjelaskan sedang apa Alice bersama Zidan, namun ia tau bahwa pasangan itu sedang berkencan. Mereka itu sama seperti pasangan lain yang memiliki jadwal berkencan. Lisa memperhatikan dengan bingung Davin yang sedang mengobrol bersama sopirnya. Ia menjadi semakin kebingungan saat sopir itu keluar dari mobil dan berjalan pergi. Kini Davin memandangnya, menunjuk mobil dengan dagunya, memberi kode bahwa Lisa harus naik. Lisa menuruti saja kodean Davin itu, ia hendak membuka pintu mobil di belakang saat Davin tiba-tiba mengatakan. "Jangan duduk di sana, kau mau membuatku terlihat seperti seorang sopir?" Setelah obrolan super singkat yang terasa canggung itu, kini akhirnya mobil yang dikendarai Davin melaju di jalanan yang ramai
"Sekarang sudah malam dan kalian baru pulang, darimana kalian?" pertanyaan khas orang tua yang menemukan anak mereka pulang terlambat. Nyonya Aldera berdiri di dekat tangga dengan kedua tangan bersedekap, mata tajamnya menatap kedua anak gadisnya yang baru pulang. Ini memang belum terlalu malam, namun tetap saja ia mempertanyakan alasan kenapa dua gadis itu baru pulang sekarang. Umumnya, para orang tua khawatir karena anak-anak mereka pulang di malam hari tanpa memberi kabar hingga melontarkan berbagai pertanyaan pada anak mereka, namun Nyonya Aldera tidak begitu, ia hanya terlalu penasaran pada urusan kedua putrinya. "Ah, Ibu! Ibu sudah makan malam? Maaf tidak mengabari kalau kami akan pulang malam, kami baru saja menjenguk Nyonya Ganendra, ia masuk rumah sakit tadi sore" Alice menghampiri Nyonya Aldera dengan raut wajah ceria khasnya, kedua tangannya menggandeng tangan Nyonya Aldera dengan manja. Rayuan khas para anak perempuan untuk mencegah amarah sa
Sudah dapat ditebak bagaimana nasib Alice dan Lisa kemarin jika menilik dari raut wajah Alice yang murung pagi ini. Dengan enggan, Davin mulai berjalan mendekati kedua gadis itu. "Pergilah, aku yang akan bicara dengannya" Alice mengangguk menuruti ucapan Lisa, lantas kembali berjalan, meninggalkan Lisa dan Davin di koridor yang masih sepi itu. Sekarang masih pagi, mungkin baru ada beberapa murid di sekolah selain ketiga remaja itu. Dan sekarang di koridor sedang tidak ada murid lain, jadi Lisa dan Davin bisa leluasa untuk berbicara tanpa ada seseorang yang keheranan melihat kedua murid yang tidak pernah berinteraksi itu tiba-tiba saling berbicara. "Seperti yang kau perkirakan, kami dimarahi habis-habisan kemarin karena berbohong. Ah, lebih tepatnya Alice, aku hanya mendapat satu tamparan" ucap Lisa yang mengerti alasan mengapa Davin menemuinya dan Alice di koridor pagi-pagi begini. "Aku tidak perl
"Sepertinya hari ini adalah hari yang baik untuk Hera yaa?" pertanyaan Alice itu mengalihkan fokus ketiga temannya yang sedang asyik mengobrol dan membuat gadis bernama Hera itu mengangkat kepalanya dari ponsel."Ah, benar juga! Sedari tadi hanya Hera yang sibuk dengan ponselnya, bahkan sampai tersenyum sembari memandangi ponsel. Apa ada hal yang lebih menyenangkan dalam ponselmu dibanding perkumpulan kita setelah sekian lama?" Felia Maharza, si bungsu dari keluarga Maharza itu tertawa menggoda Hera, membuat gadis itu tersenyum malu-malu. Melihat respon Hera yang seperti itu, membuat keempat temannya tertawa."Emm, sebenarnya ini rahasia, tapi aku ingin sekali menceritakannya pada kalian. Jadi, tolong rahasiakan ini demi aku" keempat gadis itu mengangguk, menunjukkan jari kelingking mereka sebagai tanda perjanjian.Menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan agar tak gugup, Hera lantas mu
Lisa menoleh ketika mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Siapa yang ingin menemuinya malam-malam begini? Apa itu Alice? Ia beranjak dari tempat tidur untuk membuka pintu, dan benar saja, itu adalah Alice. Tadi siang, Alice mengatakan akan bertemu dengan teman-temannya untuk memperbaiki suasana hatinya, tapi apa yang terjadi dengannya? Wajahnya tidak terlihat baik, mata dan hidungnya memerah, terlihat jelas bahwa ia habis menangis.Alice masuk ke dalam kamar tanpa meminta persetujuan Lisa, ia duduk di pinggir tempat tidur."Kau... Habis menangis?" pertanyaan dari Lisa itu tidak langsung dijawab Alice, ia menghela napas, beberapa menit kemudian ia baru mulai mengatakan kejadian yang menimpanya hari ini."Aku putus dengan Zidan" kabar yang membuat Lisa terkejut dan kesal. Akhirnya mereka putus juga setelah melibatkan Lisa dalam hubungan rumit yang membuat hidupnya kacau. Menyebalkan sekali, di hari s
Sejak Davin menyatakan perasaan tertariknya pada Lisa, kepribadian gadis itu yang awalnya dingin menjadi lebih dingin pada Davin. Sebenarnya hari itu Davin sudah mendapat peringatan dari Lisa, tapi pria itu tidak menanggapinya dengan serius dan sikap Lisa setelah hari itu bagaikan sebuah pukulan bagi Davin. Gadis itu benar-benar menolaknya.Hari itu setelah Lisa mengetahui Davin memiliki perasaan tertarik padanya, ia membalasnya dengan mengatakan sebuah peringatan "Jangan jatuh cinta padaku" dan langsung pergi begitu saja tanpa menunggu respon Davin.Kejadian hari itu masih teringat jelas di benak Davin dan hingga sekarang ia masih mencoba untuk memperbaiki hubungannya dengan Lisa. Mereka memang tidak terlalu dekat hingga bisa disebut teman apalagi sahabat, tapi hubungan keduanya terbilang baik menilik dari interaksi Lisa dengan orang lain—tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa ia buruk dalam bersosialisasi.&
"Sejak kapan kau mengenal Lisa?" pertanyaan Azka memecah keheningan diantara kedua remaja yang sedang berjalan bersebelahan itu. Ini kesempatan untuk mengobrol dengan Destiny, jadi Azka akan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya."Aku masih mengingatnya, pertemuan pertamaku dengan Lisa. Itu saat kami berumur 10 tahun" sebuah lengkungan tipis terukir di belah bibir Destiny, sepertinya ia sedang mengingat kejadian itu. Melihat senyuman Destiny membuat Azka ikut tersenyum, ia diam-diam bersorak dalam hati karena merasa obrolannya dengan Destiny akan berhasil kali ini."Apa kalian bersekolah di tempat yang sama waktu SD?" Azka kembali bertanya, namun kali ini hanya dijawab dengan gelengan oleh Destiny. Pemuda itu ingin bertanya lagi tentang bagaimana mereka bisa bertemu agar obrolan mereka terus berlanjut, namun tiba-tiba terpikirkan olehnya, bagaimana jika Destiny malah mengira ia menyukai Lisa karena terus bertanya tentang gadis it
Malam hari terasa berjalan lambat bagi Destiny, pikirannya terus tertuju pada sang Ibu, itu sebabnya ia terus terjaga sepanjang malam. Kedua matanya yang terlihat lelah menunjukkan dengan jelas bahwa tadi malam ia tidak tidur. Gadis kecil itu menuruni tangga dengan wajah lesu, mencekal lengan salah satu pekerja yang lewat di depannya dan dengan suara serak bertanya. "Apa Ibu sudah pulang?""Nona Destiny?!" pekerja wanita itu berseru, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan hingga membuat Destiny berkernyit bingung."Itu...." Destiny semakin kebingungan saat pekerja itu terlihat panik dan seperti bingung akan menjawab apa. Padahal pertanyaannya sangat sederhana, kenapa sepertinya sulit sekali untuk menjawabnya?"Dengan perasaan teramat sedih, saya ingin memberitau Nona—bahwa Nyonya telah kembali ke sisi-Nya pada pukul empat dini hari" seorang wanita paruh baya yang merupakan Kepala Pelayan itu maju dan bi