"Dimana kembaranmu?" Davin bertanya saat melihat sosok Lisa yang berjalan sendirian ke arahnya, tidak ada tanda-tanda kehadiran Alice.
"Bersama Zidan" Davin mengangguk. Meski Lisa tak menjelaskan sedang apa Alice bersama Zidan, namun ia tau bahwa pasangan itu sedang berkencan. Mereka itu sama seperti pasangan lain yang memiliki jadwal berkencan.
Lisa memperhatikan dengan bingung Davin yang sedang mengobrol bersama sopirnya. Ia menjadi semakin kebingungan saat sopir itu keluar dari mobil dan berjalan pergi. Kini Davin memandangnya, menunjuk mobil dengan dagunya, memberi kode bahwa Lisa harus naik. Lisa menuruti saja kodean Davin itu, ia hendak membuka pintu mobil di belakang saat Davin tiba-tiba mengatakan. "Jangan duduk di sana, kau mau membuatku terlihat seperti seorang sopir?"
Setelah obrolan super singkat yang terasa canggung itu, kini akhirnya mobil yang dikendarai Davin melaju di jalanan yang ramai. Beberapa menit berkendara, ponsel Davin tiba-tiba berdering tepat saat lampu lalu lintas menunjukkan tanda berhenti, lampu merah.
'Selamat sore Tuan Muda. Ini saya, Sekertaris Nyonya Ganendra' suara tegas seorang wanita di seberang membuat dahi Davin kini berkernyit. Pasti ada sesuatu yang penting hingga Sekertaris Ibunya itu meneleponnya.
"Ada apa?" tanya Davin langsung pada intinya. Ia sedang menyetir sekarang, lebih baik cepat mengetahui ada apa Sekertaris Ibunya menelepon, tidak ada waktu untuk berbasa-basi dan ia pun tak pandai berbasa-basi.
'Maag Nyonya kambuh lagi, sekarang beliau sedang ada di rumah sakit' helaan napas terdengar setelah sang Sekertaris menyampaikan berita buruk itu. Davin sudah menduga tentang ini tadi, namun tetap saja ia sempat berharap telepon itu bukan tentang penyakit maag Ibunya. Maagnya memang sering kambuh akhir-akhir ini karena Ibunya itu sibuk dan selalu telat makan, atau bahkan ia tak makan.
"Aku akan segera sampai di sana, apa Ayah juga sudah tau hal ini?" ucapan Davin itu membuat Lisa refleks menoleh. Ia tidak menguping dan sedang fokus memperhatikan jalanan yang ramai, namun ucapan Davin itu kini cukup membuatnya penasaran. Pria di sampingnya ini bilang dia akan segera sampai di sana, itu berarti mereka akan menuju sebuah tempat yang tentu saja bukan rumah keluarga Aldera.
'Tuan Ganendra sudah saya telepon tadi, beliau mengatakan akan datang kemari setelah pekerjaan di kantor selesai' itulah kalimat terakhir Sekertaris Nyonya Ganendra sebelum Davin mengakhiri obrolan mereka. Tak lama setelah itu, sebuah pesan masuk membuat ponsel Davin kembali berdering, itu adalah pesan dari Sekertaris Nyonya Ganendra yang mengirimkan lokasi rumah sakit tempat Nyonya Ganendra kini dirawat dan nomor kamarnya.
"Apa ada masalah?" tanya Lisa akhirnya setelah berusaha untuk tetap diam sedari tadi dan tidak memotong pembicaraan. Mobil kembali berjalan, Davin menoleh sekilas pada Lisa, lantas mengangguk.
"Ibuku memiliki penyakit maag, akhir-akhir ini sering kambuh dan sekarang dia ada di rumah sakit. Apa kau akan baik-baik saja kalau pulang telat?" Lisa mengangguk mengerti untuk penjelasan Davin tentang masalahnya sekarang dan anggukan yang berarti 'tidak apa-apa' untuk pertanyaan Davin.
"Asalkan aku dan Alice tiba di rumah bersamaan, Ibuku akan mengerti. Orang tua kami tidak tau tentang hubungan Alice dan Zidan, kalau kami tidak sampai di rumah bersamaan, Ibu akan tau bahwa aku atau Alice tidak ikut pulang bersamamu dan akan mulai mencurigai kami" penjelasan panjang Lisa itu hanya diangguki oleh Davin. Ia mendengarkannya sedari tadi, namun tidak tau harus merespon seperti apa. Di sisi lain, anggukan Davin itu cukup membuat Lisa kesal, ini pertama kalinya ia memberikan penjelasan panjang kepada seseorang setelah beberapa tahun memiliki image yang menyebalkan, dingin dan jarang bicara. Kenapa juga ia mau memberikan penjelasan panjang seperti itu pada Davin.
Beberapa menit lagi terlewati, kini mereka telah sampai di rumah sakit tempat Nyonya Ganendra dirawat. Rumah sakit yang besar dan mewah itu terletak tidak jauh dari rumah keluarga Ganendra, mungkin Nyonya Ganendra sedang mengerjakan pekerjaannya di rumah sebelum maagnya kambuh dan dilarikan ke rumah sakit terdekat. Kedua remaja itu berjalan beriringan menuju kamar VVIP tempat Nyonya Ganendra kini beristirahat.
Pintu kamar terbuka, memperlihatkan Nyonya Ganendra yang terbaring lemas dengan wajah pucat. Baju mewah yang biasa ia pakai kini tergantikan dengan baju khas rumah sakit. Sekertarisnya berdiri di sebelahnya dan kini menoleh saat mendengar pintu terbuka.
"Bagaimana keadaan Ibu?" tanya Davin pada sang Sekertaris.
"Dokter mengatakan Nyonya perlu dirawat beberapa hari, belum tau pastinya, Tuan Muda" Davin mengangguk mendengar jawaban sang Sekertaris, ia kini beralih pada Ibunya.
"Apa Ibu merasa baik-baik saja?" pertanyaan Davin itu membuat Nyonya Ganendra tersenyum lemah.
"Tidak ada orang sakit yang merasa baik-baik saja" jawab Nyonya Ganendra dengan suara lirih. Sejujurnya, Lisa merasa prihatin melihat keadaan Nyonya Ganendra. Nyonya Ganendra, yang beberapa hari lalu Lisa temui bersama ibunya itu terlihat cantik, berwibawa dan ramah. Dan Nyonya Ganendra yang Lisa temui sekarang adalah seorang wanita yang sakit dan lemah.
"Ibu seharusnya menjawab seperti itu saat aku menanyakan keadaan Ibu minggu lalu" minggu lalu yang dimaksud Davin adalah saat maag Nyonya Ganendra kambuh, saat itu ia hanya meminta resep obat pada dokter dan masih beraktivitas seperti biasa serta masih saja melewatkan jam makan.
"Minggu lalu keadaan Ibu tidak separah ini kok" balas Nyonya Ganendra tidak mau kalah dari putranya.
"Nah, seperti yang Ibu perintahkan pagi tadi, aku berangkat bersama Alice dan Lisa, lalu tadi hendak pulang bersama Lisa. Dan sebelum Ibu bertanya mengapa tidak ada Alice di sini, dia sedang main bersama temannya sekarang" ujar Davin berbohong tentang Alice, menarik tangan Lisa agar lebih mendekat. Lisa tersenyum tipis pada Nyonya Ganendra, yang dibalas senyum ramahnya.
"Aku akan mengantar Lisa ke rumahnya, setelah itu ganti baju dan akan kesini lagi"
"Saya pergi dulu, semoga anda cepat sehat kembali" pamit Lisa dengan senyum tipisnya sebelum tergesa-gesa menyusul Davin dengan langkah lebarnya.
"Oh benar, aku sedari tadi ingin menanyakan ini. Menurutmu bagaimana caranya mendekati Destiny? Tadi saat di kantin, kau terlihat dekat dengannya, jadi aku menanyakan ini padamu. Jadi, temanku entah kenapa tiba-tiba tertarik padanya, tapi pertemuan pertama mereka dan pertemuan kedua mereka sama sekali tidak baik, Destiny sepertinya akan membenci temanku, menilik dari pertemuan kedua mereka saat di kantin tadi siang"
"Kau tertarik pada Destiny?" pertanyaan Lisa itu membuat langkah Davin terhenti, Lisa yang sedari tadi berusaha menyamai langkahnya kini tak sengaja menabrak punggungnya. Dengan gerutuan dan berbagai umpatan untuk Davin, kini berganti Lisa yang berjalan di depan.
"Hei, tunggu! Sudah kubilang bukan, temanku yang tertarik padanya. Kau tau Azkara Julian kan? Teman yang selalu bersamaku itu, si kapten basket, dia tertarik pada Destiny" ucap Davin berusaha meluruskan kesalahpahaman, dengan mudah menyusul langkah Lisa.
"Biasanya begitu kan ketika seseorang curhat? 'Temanku menyukai seseorang, tapi blablabla'" Lisa menirukan gaya bicara para gadis remaja yang sedang curhat pada seseorang dengan mengatakan bahwa itu 'temannya', padahal kenyataannya adalah 'temannya' itu dia sendiri.
"Benar juga, tapi ini benar-benar temanku, Azka tertarik pada Destiny. Aku tidak tertarik pada ketua kelasmu itu, aku tertarik pada gadis lain" ucapan Davin itu membuat Lisa menoleh sejenak ke arahnya.
"Oh ya? Kalau begitu bagus, katakanlah pada orang tuamu kau ingin menikah dengan gadis itu di masa depan nanti, agar aku atau Alice tidak perlu terlibat lagi denganmu" Davin terkekeh mendengar kata-kata Lisa.
Percakapan mereka berakhir dengan kekehan Davin. Setelah menelepon Alice dan menjelaskan kejadian yang membuatnya baru akan pulang sekarang serta sepakat untuk pulang bersama sore itu, Davin segera mengantar Lisa menuju rumah keluarga Aldera.
"Sekarang sudah malam dan kalian baru pulang, darimana kalian?" pertanyaan khas orang tua yang menemukan anak mereka pulang terlambat. Nyonya Aldera berdiri di dekat tangga dengan kedua tangan bersedekap, mata tajamnya menatap kedua anak gadisnya yang baru pulang. Ini memang belum terlalu malam, namun tetap saja ia mempertanyakan alasan kenapa dua gadis itu baru pulang sekarang. Umumnya, para orang tua khawatir karena anak-anak mereka pulang di malam hari tanpa memberi kabar hingga melontarkan berbagai pertanyaan pada anak mereka, namun Nyonya Aldera tidak begitu, ia hanya terlalu penasaran pada urusan kedua putrinya. "Ah, Ibu! Ibu sudah makan malam? Maaf tidak mengabari kalau kami akan pulang malam, kami baru saja menjenguk Nyonya Ganendra, ia masuk rumah sakit tadi sore" Alice menghampiri Nyonya Aldera dengan raut wajah ceria khasnya, kedua tangannya menggandeng tangan Nyonya Aldera dengan manja. Rayuan khas para anak perempuan untuk mencegah amarah sa
Sudah dapat ditebak bagaimana nasib Alice dan Lisa kemarin jika menilik dari raut wajah Alice yang murung pagi ini. Dengan enggan, Davin mulai berjalan mendekati kedua gadis itu. "Pergilah, aku yang akan bicara dengannya" Alice mengangguk menuruti ucapan Lisa, lantas kembali berjalan, meninggalkan Lisa dan Davin di koridor yang masih sepi itu. Sekarang masih pagi, mungkin baru ada beberapa murid di sekolah selain ketiga remaja itu. Dan sekarang di koridor sedang tidak ada murid lain, jadi Lisa dan Davin bisa leluasa untuk berbicara tanpa ada seseorang yang keheranan melihat kedua murid yang tidak pernah berinteraksi itu tiba-tiba saling berbicara. "Seperti yang kau perkirakan, kami dimarahi habis-habisan kemarin karena berbohong. Ah, lebih tepatnya Alice, aku hanya mendapat satu tamparan" ucap Lisa yang mengerti alasan mengapa Davin menemuinya dan Alice di koridor pagi-pagi begini. "Aku tidak perl
"Sepertinya hari ini adalah hari yang baik untuk Hera yaa?" pertanyaan Alice itu mengalihkan fokus ketiga temannya yang sedang asyik mengobrol dan membuat gadis bernama Hera itu mengangkat kepalanya dari ponsel."Ah, benar juga! Sedari tadi hanya Hera yang sibuk dengan ponselnya, bahkan sampai tersenyum sembari memandangi ponsel. Apa ada hal yang lebih menyenangkan dalam ponselmu dibanding perkumpulan kita setelah sekian lama?" Felia Maharza, si bungsu dari keluarga Maharza itu tertawa menggoda Hera, membuat gadis itu tersenyum malu-malu. Melihat respon Hera yang seperti itu, membuat keempat temannya tertawa."Emm, sebenarnya ini rahasia, tapi aku ingin sekali menceritakannya pada kalian. Jadi, tolong rahasiakan ini demi aku" keempat gadis itu mengangguk, menunjukkan jari kelingking mereka sebagai tanda perjanjian.Menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan agar tak gugup, Hera lantas mu
Lisa menoleh ketika mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Siapa yang ingin menemuinya malam-malam begini? Apa itu Alice? Ia beranjak dari tempat tidur untuk membuka pintu, dan benar saja, itu adalah Alice. Tadi siang, Alice mengatakan akan bertemu dengan teman-temannya untuk memperbaiki suasana hatinya, tapi apa yang terjadi dengannya? Wajahnya tidak terlihat baik, mata dan hidungnya memerah, terlihat jelas bahwa ia habis menangis.Alice masuk ke dalam kamar tanpa meminta persetujuan Lisa, ia duduk di pinggir tempat tidur."Kau... Habis menangis?" pertanyaan dari Lisa itu tidak langsung dijawab Alice, ia menghela napas, beberapa menit kemudian ia baru mulai mengatakan kejadian yang menimpanya hari ini."Aku putus dengan Zidan" kabar yang membuat Lisa terkejut dan kesal. Akhirnya mereka putus juga setelah melibatkan Lisa dalam hubungan rumit yang membuat hidupnya kacau. Menyebalkan sekali, di hari s
Sejak Davin menyatakan perasaan tertariknya pada Lisa, kepribadian gadis itu yang awalnya dingin menjadi lebih dingin pada Davin. Sebenarnya hari itu Davin sudah mendapat peringatan dari Lisa, tapi pria itu tidak menanggapinya dengan serius dan sikap Lisa setelah hari itu bagaikan sebuah pukulan bagi Davin. Gadis itu benar-benar menolaknya.Hari itu setelah Lisa mengetahui Davin memiliki perasaan tertarik padanya, ia membalasnya dengan mengatakan sebuah peringatan "Jangan jatuh cinta padaku" dan langsung pergi begitu saja tanpa menunggu respon Davin.Kejadian hari itu masih teringat jelas di benak Davin dan hingga sekarang ia masih mencoba untuk memperbaiki hubungannya dengan Lisa. Mereka memang tidak terlalu dekat hingga bisa disebut teman apalagi sahabat, tapi hubungan keduanya terbilang baik menilik dari interaksi Lisa dengan orang lain—tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa ia buruk dalam bersosialisasi.&
"Sejak kapan kau mengenal Lisa?" pertanyaan Azka memecah keheningan diantara kedua remaja yang sedang berjalan bersebelahan itu. Ini kesempatan untuk mengobrol dengan Destiny, jadi Azka akan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya."Aku masih mengingatnya, pertemuan pertamaku dengan Lisa. Itu saat kami berumur 10 tahun" sebuah lengkungan tipis terukir di belah bibir Destiny, sepertinya ia sedang mengingat kejadian itu. Melihat senyuman Destiny membuat Azka ikut tersenyum, ia diam-diam bersorak dalam hati karena merasa obrolannya dengan Destiny akan berhasil kali ini."Apa kalian bersekolah di tempat yang sama waktu SD?" Azka kembali bertanya, namun kali ini hanya dijawab dengan gelengan oleh Destiny. Pemuda itu ingin bertanya lagi tentang bagaimana mereka bisa bertemu agar obrolan mereka terus berlanjut, namun tiba-tiba terpikirkan olehnya, bagaimana jika Destiny malah mengira ia menyukai Lisa karena terus bertanya tentang gadis it
Malam hari terasa berjalan lambat bagi Destiny, pikirannya terus tertuju pada sang Ibu, itu sebabnya ia terus terjaga sepanjang malam. Kedua matanya yang terlihat lelah menunjukkan dengan jelas bahwa tadi malam ia tidak tidur. Gadis kecil itu menuruni tangga dengan wajah lesu, mencekal lengan salah satu pekerja yang lewat di depannya dan dengan suara serak bertanya. "Apa Ibu sudah pulang?""Nona Destiny?!" pekerja wanita itu berseru, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan hingga membuat Destiny berkernyit bingung."Itu...." Destiny semakin kebingungan saat pekerja itu terlihat panik dan seperti bingung akan menjawab apa. Padahal pertanyaannya sangat sederhana, kenapa sepertinya sulit sekali untuk menjawabnya?"Dengan perasaan teramat sedih, saya ingin memberitau Nona—bahwa Nyonya telah kembali ke sisi-Nya pada pukul empat dini hari" seorang wanita paruh baya yang merupakan Kepala Pelayan itu maju dan bi
Ruang tamu keluarga Aldera kini sedang ramai. Keluarga Ganendra, keluarga yang belum lama ini menjadi rekan bisnis mereka kini sedang bertamu. Keluarga Aldera dan keluarga Ganendra sama-sama memiliki sejarah panjang, maka tak heran kini dunia para konglomerat sedang gempar karena keputusan mereka untuk bekerja sama. Dan tentu saja, untuk mempererat hubungan kedua keluarga itu, mereka sepakat untuk menjodohkan putra-putri mereka. Perjodohan antara putri tertua keluarga Aldera, Lalice Aldera dan putra tunggal keluarga Ganendra sedang asyik dibahas di ruang tamu keluarga Aldera. "Permisi, maaf menyela" suara tenang putri bungsu keluarga Aldera, Lalisa Aldera berhasil menghentikan percakapan antara para orang tua, kini perhatian mereka tertuju pada gadis yang telah berdiri dari duduknya itu. "Sepertinya, saya telah jatuh cinta pada Tuan Muda Ganendra. Karena itu, tolong pertimbangkan lagi tentang perjodohan antara kakak kembar sa