Hari ini para guru ada rapat, sama seperti di sekolah pada umumnya, kini pun sekolah menjadi ramai karena para siswa-siswi bebas. Di saat-saat seperti ini, tempat yang paling ramai di sekolah adalah di kantin. Maka ketika Alice mengajak Lisa untuk makan di kantin, gadis itu langsung menolaknya. Lisa sedang tidak lapar sekarang dan sedang tidak ingin berada di tempat yang ramai. Lagi pula Alice pasti akan duduk dengan Zidan di kantin nanti, ia tidak ingin mengganggu pasangan itu.
Sekarang Lisa hanya berjalan-jalan di koridor tanpa tujuan, ia bingung harus kemana. Di UKS pasti ada yang sedang tidur, di lapangan ramainya seperti di kantin karena sedang ada pertandingan basket dadakan, haruskah ia ke perpustakaan? Mungkin ke perpustakaan adalah ide yang cukup bagus, di sana hanya ada beberapa orang. Untung saja perpustakaan tidak dikunci karena biasanya dikunci jika guru penjaga perpustakaan sedang ikut rapat.
"Saat kau bilang kau menyukaiku, itu hanya bohong kan?" suara itu membuat Lisa menghentikan aktivitasnya mencari buku dan membuatnya menoleh.
"Kenapa? Kau tidak suka jika aku benar-benar menyukaimu?" bukannya menjawab, Lisa malah balas bertanya. Pria di depannya itu tersenyum, lantas menggeleng.
"Bukan begitu, rasanya aneh saja kau tiba-tiba mengatakan bahwa kau menyukaiku, seperti ada yang salah" kecurigaan Davin itu memang terbukti benar.
"Tolong pilih saja Alice untuk menjadi istrimu" mendengar ucapan Lisa itu, Davin terkekeh. Bisa-bisanya gadis ini mengatakan itu setelah kemarin mengatakan bahwa ia menyukai Davin?
"Kita lihat saja nanti" setelah mengatakan itu, Davin pergi begitu saja. Apa maksudnya itu? Apa ada kemungkinan besar dia akan memilih Lisa?
***
"Sedang memikirkan apa?" suara berat temannya itu berhasil menyadarkan Davin yang sedang melamun, pria itu menoleh dan menemukan si kapten basket yang dengan seenaknya meminum minumannya.
"Hanya ini dan itu" jawaban Davin itu membuat Azkara Julian—teman Davin sekaligus kapten tim basket sekolah memukul belakang kepalanya.
"Bagaimana menurutmu jika ada seorang gadis mengaku jika ia menyukaimu di depan orang tuamu, tapi lalu saat hanya berdua denganmu, dia mengatakan bahwa dia tidak menyukaimu" Azka melepas kaos hitamnya, menggantinya dengan seragam, ia lalu duduk disamping temannya itu.
"Apa-apaan itu? Rumit sekali, itu masalahmu?" Davin mengangguk, yang membuatnya lantas mendapat tepukan di bahunya dengan raut wajah Azka yang terlihat sedih. Davin lantas menceritakan tentang perjodohannya dengan Alice, kejadian kemarin, keinginan Ibunya dan kejadian di perpustakaan tadi.
"Masalah dengan si kembar Aldera yaa, mereka berdua itu misterius, terutama Lisa. Yang kutau tentang Alice, dia memiliki pacar, namanya Zidan Arkala, aku tidak tau apakah mereka teman atau bukan tapi Alice selalu terlihat bersama ketua kelasnya—Destiny Prameswari. Lalu yang kutau tentang Lisa hanyalah sifatnya, dia tidak dingin, hanya saja jarang tersenyum, dia juga selalu terlihat sendiri jika tidak sedang bersama Alice" jelas Azka. Memang mereka itu misterius, sampai-sampai Azka yang selalu tau segalanya itu hanya mengetahui info biasa tentang si kembar Aldera.
"Tidak penting sekali, semua orang juga tau tentang itu" Davin kembali mendapat pukulan di belakang kepalanya setelah mengatakan itu. Ia memang tidak tau berterimakasih, sudah diberi tau malah mengatakan itu dan pergi seenaknya. Setelah dari perpustakaan tadi Davin memang pergi ke tempat ganti baju para pria, menunggu Azka selesai dengan pertandingan basket mendadaknya dan memikirkan berbagai hal. Kini ia berjalan di koridor tanpa tujuan dengan Azka di sampingnya.
"Destiny Prameswari, bagaimana menurutmu?" pertanyaan itu membuat Davin sontak menghentikan langkahnya, dahinya berkernyit bingung. Kenapa tiba-tiba temannya itu menanyakan pendapatnya tentang si gadis galak dari kelas Lisa?
"Kau tertarik padanya? Hei! Sadarlah, dia tidak akan menyukai laki-laki sepertimu" pukulan ketiga kalinya di belakang kepala Davin terhenti saat seorang gadis muncul di depan mereka. Orang yang sedang mereka bicarakan, Destiny Prameswari!
"Apa bola basket sudah diletakkan kembali di gudang peralatan olahraga?" tanya Destiny dengan tatapan tajam menyelidik. Siapapun akan gugup saat ditatap begitu oleh gadis itu, seperti apa yang sedang dirasakan Davin dan Azka sekarang.
"Hah? Su-sudah" jawab Azka terbata, membuat Davin tidak lagi merasakan gugup dan kini sedang menahan tawa.
"Bagus, awas saja kalau besok bola basketnya tidak ada di gudang" seringai senyum terbit di bibir Destiny, membuat Azka kini menelan ludah dengan gugup. Setelah gadis itu pergi, barulah Azka merasa lega dan kembali bernapas dengan normal.
"Aku akan memeriksa kembali apakah bola basket sudah diletakkan di gudang" setelah mengatakan itu, Azka pergi begitu saja meninggalkan Davin yang kini menggeleng pelan karena tingkah temannya itu. Baru saja tadi menanyakan pendapatnya tentang Destiny, saat bertemu dengan gadis itu malah takut dan gugup.
Baru saja hendak melanjutkan jalannya, ia tiba-tiba berpapasan dengan Alice dan Zidan. Gadis itu sedang merangkul erat lengan pacarnya itu. Pertemuan yang canggung, sungguh Davin sangat membenci pertemuan yang sangat tidak tepat seperti ini. Ketiganya lama terdiam saling bertatapan sebelum bunyi dering ponsel milik Zidan menginterupsi. Ia pamit pada Alice untuk pergi sebentar mengangkat panggilan itu. Davin juga hendak pergi, namun suara Alice kini menghentikannya.
"Maaf, bisa bicara sebentar?" Davin mengangguk ragu. Kini Alice berada di depannya, memimpin jalan menuju tempat sepi untuk mereka bicara berdua. Apa yang akan gadis itu katakan?
Mereka pun tiba di gudang tempat peralatan musik, di sana memang sepi karena gudang itu sering dikunci, tapi ternyata hari ini tidak dikunci.
"Jadi begini, emm tolong pilih Lisa untuk menjadi istrimu" satu alis Davin terangkat kala mendengar ucapan Alice. Apa kedua gadis ini sedang mempermainkannya? Tadi Lisa mengatakan agar ia memilih Alice dan sekarang Alice mengatakan agar ia memilih Lisa.
"Uhh, kau tau kan, aku memiliki seorang pacar. Pria tadi, Zidan Arkala adalah pacarku" kedua tangan Alice saling bertaut, dia pasti sedang gugup saat ini. Sama seperti saat Lisa mengatakan bahwa ia menyukai Davin kemarin.
"Kita lihat saja nanti akhirnya bagaimana" itulah kata-kata terakhir Davin sebelum ia pergi begitu saja meninggalkan Alice.
Sebenarnya ada apa dengan mereka berdua? Apa ia benar-benar sedang dipermainkan? Mereka sudah jelas sama-sama tidak menginginkan dirinya sebagai suami di masa depan, tapi lalu kenapa Lisa kemarin tiba-tiba mengatakan bahwa ia menyukainya? Teka-teki yang cukup sulit, Davin butuh tempat yang sepi dan waktu yang banyak untuk berpikir.
Setelah berbicara langsung tadi dengan Lisa dan Alice, sekarang Davin sedikit mengerti karakter keduanya. Karakter mereka benar-benar berbeda. Dan satu hal lagi yang ia tau, Lisa merasakan gugup kemarin saat mengatakan bahwa gadis itu menyukainya. Suara dan ekspresinya yang datar itu berhasil menutupi kegugupannya, tapi melihat melalui gelagatnya yang menautkan kedua tangannya kemarin seperti Alice tadi, itu berarti ia gugup.
Di siang hari yang panas itu, Davin melihat melalui jendela kelasnya, mata pelajaran ketiga kelas Lisa adalah olahraga. Destiny Prameswari sang ketua kelas terlihat membawa beberapa bola basket. Umumnya sulit bagi seorang wanita untuk membawa beberapa buah bola basket sendirian seperti itu karena ukurannya yang cukup besar dan cukup berat, tapi melihat Destiny yang biasa saja, sepertinya dia tidak mendapat masalah dengan bola basket. Jadi, alasan Destiny menanyakan tentang bola basket kemarin ke Azka adalah karena pelajaran olahraga mereka hari ini tentang basket. "Selain cantik dan tegas, Destiny juga adalah seorang gadis yang kuat" Azka yang duduk di belakang Davin berbisik, sepertinya dia juga sedang memperhatikan pelajaran olahraga kelas Lisa. Mata pelajaran ketiga di kelas Davin adalah sejarah, guru sejarah mereka itu adalah seorang pria paruh baya, pelajarannya itu membosankan dan bisa menjadi obat tidur di kelas. Guru mereka itu juga seseorang yan
Lalisa Aldera terkenal sebagai anak yang baik dan pintar saat Sekolah Dasar. Maka saat memasuki Sekolah Menengah Pertama, ia jadi populer dan memiliki banyak teman. Namun karena memiliki banyak teman, ia jadi tidak pernah memiliki waktu untuk bersama Alice di sekolah.Sementara Lisa memiliki banyak teman di sekitarnya, Alice kebalikannya. Dia adalah anak yang dikenal pemalu, cengeng dan suka mengadu, hal itu membuat dirinya selalu sendirian di sekolah jika tidak sedang bersama Lisa.Alice yang dimanjakan di rumah, lalu Lisa yang memiliki banyak teman di sekolah. Itu adil, mereka memiliki kebahagiaan masing-masing. Memang awalnya Lisa berpikir seperti itu, namun lama-lama, ia tidak bisa melihat wajah murung Alice di sekolah karena dikucilkan. Hal itu membuatnya jadi sering mengajak Alice untuk ikut mengobrol bersama teman-temannya, mengajaknya ikut ke kantin dan mengajaknya ikut bermain, terkadang ia juga meminta teman-temannya un
"Bagaimana lukamu?" Lisa menoleh mendengar suara Alice. Pagi ini kakaknya itu terlihat lelah, dia pasti kurang tidur karena merawatnya semalam. "Sudah lebih baik" senyum terbit di bibir Alice kala mendengar jawaban Lisa. Setidaknya hari ini Lisa bisa beraktivitas dengan lebih nyaman. "Syukurlah kalau begitu" kedua gadis itu pun berjalan bersama hingga sampai di halaman rumah, mereka melihat Nyonya Aldera yang tersenyum senang bersama... Davin? "Oh! Itu dia Alice dan Lisa" ujar Nyonya Aldera saat melihat kedua putrinya, ia lantas mengisyaratkan Alice dan Lisa untuk segera mendekat. Alice dan Lisa saling bertatapan denga raut wajah bingung, mereka berjalan menuju sang Ibu. "Davin kemari untuk mengajak kalian berangkat ke sekolah bersama" ucap Nyonya Aldera masih dengan senyum senangnya, menyampaikan maksud Davin ada di rumah mereka pagi-pagi begini. Alice tersenyum cangg
"Dimana kembaranmu?" Davin bertanya saat melihat sosok Lisa yang berjalan sendirian ke arahnya, tidak ada tanda-tanda kehadiran Alice. "Bersama Zidan" Davin mengangguk. Meski Lisa tak menjelaskan sedang apa Alice bersama Zidan, namun ia tau bahwa pasangan itu sedang berkencan. Mereka itu sama seperti pasangan lain yang memiliki jadwal berkencan. Lisa memperhatikan dengan bingung Davin yang sedang mengobrol bersama sopirnya. Ia menjadi semakin kebingungan saat sopir itu keluar dari mobil dan berjalan pergi. Kini Davin memandangnya, menunjuk mobil dengan dagunya, memberi kode bahwa Lisa harus naik. Lisa menuruti saja kodean Davin itu, ia hendak membuka pintu mobil di belakang saat Davin tiba-tiba mengatakan. "Jangan duduk di sana, kau mau membuatku terlihat seperti seorang sopir?" Setelah obrolan super singkat yang terasa canggung itu, kini akhirnya mobil yang dikendarai Davin melaju di jalanan yang ramai
"Sekarang sudah malam dan kalian baru pulang, darimana kalian?" pertanyaan khas orang tua yang menemukan anak mereka pulang terlambat. Nyonya Aldera berdiri di dekat tangga dengan kedua tangan bersedekap, mata tajamnya menatap kedua anak gadisnya yang baru pulang. Ini memang belum terlalu malam, namun tetap saja ia mempertanyakan alasan kenapa dua gadis itu baru pulang sekarang. Umumnya, para orang tua khawatir karena anak-anak mereka pulang di malam hari tanpa memberi kabar hingga melontarkan berbagai pertanyaan pada anak mereka, namun Nyonya Aldera tidak begitu, ia hanya terlalu penasaran pada urusan kedua putrinya. "Ah, Ibu! Ibu sudah makan malam? Maaf tidak mengabari kalau kami akan pulang malam, kami baru saja menjenguk Nyonya Ganendra, ia masuk rumah sakit tadi sore" Alice menghampiri Nyonya Aldera dengan raut wajah ceria khasnya, kedua tangannya menggandeng tangan Nyonya Aldera dengan manja. Rayuan khas para anak perempuan untuk mencegah amarah sa
Sudah dapat ditebak bagaimana nasib Alice dan Lisa kemarin jika menilik dari raut wajah Alice yang murung pagi ini. Dengan enggan, Davin mulai berjalan mendekati kedua gadis itu. "Pergilah, aku yang akan bicara dengannya" Alice mengangguk menuruti ucapan Lisa, lantas kembali berjalan, meninggalkan Lisa dan Davin di koridor yang masih sepi itu. Sekarang masih pagi, mungkin baru ada beberapa murid di sekolah selain ketiga remaja itu. Dan sekarang di koridor sedang tidak ada murid lain, jadi Lisa dan Davin bisa leluasa untuk berbicara tanpa ada seseorang yang keheranan melihat kedua murid yang tidak pernah berinteraksi itu tiba-tiba saling berbicara. "Seperti yang kau perkirakan, kami dimarahi habis-habisan kemarin karena berbohong. Ah, lebih tepatnya Alice, aku hanya mendapat satu tamparan" ucap Lisa yang mengerti alasan mengapa Davin menemuinya dan Alice di koridor pagi-pagi begini. "Aku tidak perl
"Sepertinya hari ini adalah hari yang baik untuk Hera yaa?" pertanyaan Alice itu mengalihkan fokus ketiga temannya yang sedang asyik mengobrol dan membuat gadis bernama Hera itu mengangkat kepalanya dari ponsel."Ah, benar juga! Sedari tadi hanya Hera yang sibuk dengan ponselnya, bahkan sampai tersenyum sembari memandangi ponsel. Apa ada hal yang lebih menyenangkan dalam ponselmu dibanding perkumpulan kita setelah sekian lama?" Felia Maharza, si bungsu dari keluarga Maharza itu tertawa menggoda Hera, membuat gadis itu tersenyum malu-malu. Melihat respon Hera yang seperti itu, membuat keempat temannya tertawa."Emm, sebenarnya ini rahasia, tapi aku ingin sekali menceritakannya pada kalian. Jadi, tolong rahasiakan ini demi aku" keempat gadis itu mengangguk, menunjukkan jari kelingking mereka sebagai tanda perjanjian.Menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan agar tak gugup, Hera lantas mu
Lisa menoleh ketika mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Siapa yang ingin menemuinya malam-malam begini? Apa itu Alice? Ia beranjak dari tempat tidur untuk membuka pintu, dan benar saja, itu adalah Alice. Tadi siang, Alice mengatakan akan bertemu dengan teman-temannya untuk memperbaiki suasana hatinya, tapi apa yang terjadi dengannya? Wajahnya tidak terlihat baik, mata dan hidungnya memerah, terlihat jelas bahwa ia habis menangis.Alice masuk ke dalam kamar tanpa meminta persetujuan Lisa, ia duduk di pinggir tempat tidur."Kau... Habis menangis?" pertanyaan dari Lisa itu tidak langsung dijawab Alice, ia menghela napas, beberapa menit kemudian ia baru mulai mengatakan kejadian yang menimpanya hari ini."Aku putus dengan Zidan" kabar yang membuat Lisa terkejut dan kesal. Akhirnya mereka putus juga setelah melibatkan Lisa dalam hubungan rumit yang membuat hidupnya kacau. Menyebalkan sekali, di hari s