Violeta memperbaiki posisi kaca mata hitam yang bertengger di atas hidungnya yang mancung, ia juga membenarkan posisi kerudungnya. Hari ini adalah pemakaman neneknya, satu-satunya wanita di dunia ini yang mencintai Violeta dengan sepenuh jiwa raga meninggalkannya. Berulang kali Violeta menyeka air matanya, meski ia tahu sebanyak apa pun air matanya yang tumpah tidak akan berguna. Neneknya tetap meninggalkan dirinya menyusul ibu dan ayahnya, sekarang ia hanya memiliki kakeknya. Satu-satunya keluarga di Perancis, jika takdir sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak.
Suara pastor bergema seolah menembus udara yang dingin di akhir musim gugur. Suaranya terdengar kuat dan keras.
"Tuhan yang maha pengasih... dengarlah umat-Mu...."
Di sebelahnya, Liam berdiri, sebelah lengannya merangkul bahu Violeta untuk menguatkan gadis itu menyaksikan peti yang berisi jasad neneknya di masukkan ke dalam liang lahad dan kemudian secara perlahan di timbun dengan tanah hingga menyisakan sebuah gundukan yang di tancapi tanda salib di atasnya. Liam adalah kekasih Violeta, pria itu begitu sabar mendampinginya sejak neneknya masuk rumah sakit hingga dinyatakan meninggal.
Prosesi pemakaman berjalan dengan khidmat dan berjalan sesuai dengan protokol kepercayaan yang mereka anut. Setelah semua yang hadir di upacara pemakaman satu persatu meninggalkan tempat itu, Violeta menekuk kakinya, mengulurkan tangannya untuk menyentuh hamparan bunga yang telah di taburkan di atas gundukan tanah. Di bawah sana, neneknya sendirian, kedinginan dan gelap.
"Tuhan, jaga dia di surga-Mu," ucapnya lirih.
Liam kembali mengusap pundak Violeta. "Tuhan pasti menjaga nenekmu dengan baik, dia pasti bahagia di sisi Tuhan," ucapnya.
Violeta mengangguk, kepergian neneknya terasa sangat berat karena kakeknya tidak bisa menerima itu, pria itu mengalami stroke mendadak dan harus dilarikan ke rumah sakit. Jika kakeknya meninggalnya itu berarti ia akan menjadi sebatang kara di Perancis. Violeta menyeka air matanya menggunakan ujung kerudung yang ia kenakan, gadis itu mengatur napasnya sambil memindah telapak tangannya menyentuh salib yang tertancap di atas tanah itu.
"Grandmom, aku akan mengunjungimu lagi secepatnya, sekarang aku harus menemui Granddad." Bibir gadis itu tampak bergetar.
***
Satu tahun kemudian.
Di lorong rumah sakit, Violeta duduk termangu. Kakeknya kembali masuk ruang operasi untuk pemasangan alat-alat bantu karena organ tubuhnya yang mulai tidak berfungsi dengan baik. Entah berapa kali pria tua itu harus berada di atas meja operasi. Rasa sakit mendera batin Violeta setiap kali ia mengingat tubuh renta kakeknya harus menghadapi pisau bedah. Bukan mendoakan kakeknya menyusul neneknya dan kedua orang tuanya. Tetapi, jika di hadapkan pada kenyataannya kakeknya harus berulang kali menghadapi operasi untuk menyambung nyawanya, Violeta lebih rela melihat kakeknya pergi meskipun perasaannya mungkin jauh lebih sakit.
Ia menyeka bulir bening yang mengalir di wajahnya. Berkali-kali ia memosisikan kedua tangannya di depan dadanya untuk berdoa, berkali-kali juga ia melirik jam tangannya. Rasanya waktu bergulir begitu lama, operasi akan berjalan tiga jam dan baru empat puluh menit terlalui. Akhirnya Violeta memutuskan untuk menuju kantin rumah sakit untuk mendapatkan secangkir cokelat panas untuk membuatnya lebih rileks, mungkin.
Baru saja Violeta keluar dari lift dan hendak berbelok di ujung lorong, samar-samar ia mendengar suara yang sangat ia kenal. Itu adalah suara Liam, kekasihnya dan Felicia, sahabatnya. Violeta hanya tersenyum, tidak ada gunanya memasukkan semuanya ke dalam hati, hidupnya lebih penting dan lebih baik ia menyimpan energi untuk memikirkan kesehatan kakeknya yang pasti jauh lebih penting.
Holla, Mi Amor.
Salam kenal dari Cherry Blossom.
Ini adalah tulisan pertamaku di sini, semoga kalian menyukainya.
Salam Manis dari Cherry yang manis.
"Keparat!" Leonel menendang kursi di ruang kerjanya hingga kursi itu terjungkal. Wajah pria itu tampak suram, rahangnya mengeras dan sorot matanya yang biru nyaris menjadi lautan api."Pecat manajer keua
"Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal pikiranmu," ujar Rebecca sambil menggulung rambut pirangnya yang panjang.Saat itu Leonel bersama Rebecca telah memasuki hari kedua berada di tepi pantai West Wittering. Tidak banyak yang mereka lakukan sepanjang hari, di siang hari mereka pergi berjemur menikmati suasana pantai, malam hari berpesta alkohol dan bercinta kapan pun Leonel menginginkan."Aku hanya butuh sedikit liburan," ucap Leonel, ia menyesap bir dingin dari kaleng di tangannya.
Violeta berulang kali membolak-balik profil seorang pria di layar ponselnya, secepatnya ia harus bertemu pria itu. Dipastikan itu bisa menolongnya, harus bisa."Kau serius akan pergi ke London?" Xaniah, sekretarisnya bertanya dengan nada khawatir yang tidak dibuat-buat.Violeta mengalihkan pandangannya ke arah Xaniah. "Tidak ada pilihan lain," ujarnya."Apa aku harus ikut bersamamu?"
Ketukan lembut di pintu membuat Leonel mendongakkan kepalanya. Sekretarisnya, Mario berdiri di ambang pintu. Pria dengan tampang serius itu tidak seserius tampangnya, di samping sering mengejek Leonel ia juga sering membuat Leonel marah karena sering menyangkal dan membantah pendapat yang Leonel lontarkan. Tetapi, anehnya Leonel sendiri tidak bisa marah apa lagi berpikir untuk memecatnya. Mario bisa diandalkan dalam segi apa pun meski kadang ia melakukan hal di luar perintah Leonel.“Violeta Hubert ingin bertemu denganmu,” kata Mario sambil menyerahkan sebuah map.
“Hmmm... aku tidak mengatakan jika aku bersedia,” jawab Leonel.“Kita akan menikah tiga bulan. Ya, tiga bulan. Kau tahu jika hanya sehari lalu kita bercerai itu akan terlihat jika kita hanya bersandiwara, akan tampak aneh. Setelah kita beretmu kakekku dan aku mendapatkan perusahaanku, aku akan mentransfer berapa pun uang yang kau minta dan setelah itu surat cerai akan kukirim tiga bulan setelahnya.” Violeta menjelaskan dengan panjang lebar.“Hanya itu yang kudapatkan?” Leonel menaikkan sebelah alisnya. Samudra matanya masih me
Semua yang Violeta rencanakan berjalan mulus, seperti yang ia inginkan. Tetapi, ada yang tidak di sangka dan di duga. Takdir mengambil kakeknya begitu cepat. Di dalam perjalanan kembali dari kantor notaris, Violeta mendapat kabar dari pihak rumah sakit jika kakeknya mengembuskan napas terakhir, Violeta nyaris tidak mampu berdiri, ia mencengkeram jaket yang Leonel kenakan sambil menangis sejadi-jadinya di dada Leonel, pria yang belum genap satu hari menjadi suaminya. Ia kini benar-benar menjadi sebatang kara di Paris. Ia masih memiliki beberapa keluarga di Swiss, negara asal ibunya tetapi Violeta tidak menginginkan tinggal di sana. Tempat itu asing baginya.Rencana tinggal di Paris yang semula hanya unt
Mereka tiba di sebuah cafe bernama Cafe Procope, cafe itu adalah salah satu gerai kopi paling tua di Perancis yang masih berjaya hingga sekarang. Cafe itu didirikan oleh seorang chef bernama Francesco Procopio Dei Coltelli pada tahun 1688. Di tengah banyaknya gerai kopi baru yang menghadirkan berbagai kopi dengan varian baru, cafe ini tetap mempertahankan keaslian kopi buatannya. Interiornya pun juga masih sangat klasik tetapi suasana klasik itu justru membuat daya tarik sendiri. Selain berbagai kopi berkualitas seperti Lavazza Espresso, Cappucino, Irish Coffee yang dijajakan, ada juga berbagai menu khas Prancis seperti as coq au vin, escargots, tartare du boeuf and crème brûlée.
"Selamat ulang tahun, Nona."Seluruh pelayan di tempat tinggal Violeta berbaris tepat di depan pintu saat pintu terbuka, di tangan mereka memegangi satu tangkai bunga mawar berwarna merah menyala.Demi Tuhan. Leonel akan membalas Grace nanti, ia meminta tolong kepada Grace untuk menyiapkan kejutan kecil. Tetapi, bukan dengan membawa mawar merah seperti itu. Leonel meminta ide kepada Grace untuk memberi kejutan untuk Violeta yang tentu saja pelaksanaan kejutan itu dibantu oleh kepala pelayan di rumah itu karena mustahil Grace ada di Paris dalam waktu sekejap mata
Epilogue
Leonel berbalik ia menatap Benji dengan tatapan dingin. “Kupastikan kalian akan bercerai, hari ini juga.”
“Ada sesuatu yang tidak aku tahu? Sayangku?” tanya Benji sambil mengemudikan mobilnya.
Pada akhirnya, mereka tidak membicarakan apa pun karena saat Rebecca kembali dari bekerja pukul dua belas malam, ia hanya mendapati Candy yang tengah mengemasi seluruh barang-barang mereka di dalam unit apartemen, sementara Brian tampak tertidur pulas di atas tempat tidur. Tidak ada Mark, juga Leonel. Pria itu melarikan diri darinya, anggap saja begitu.
“Dad, aku merindukanmu,” ucap Brian yang sedang bercakap-cakap dengan Benji menggunakan video call didampingi oleh Candy yang duduk di sebelahnya.
“Jadi, bagaimana caranya aku mencuci gelas jika kau memegangi tanganku?” Rebecca sedikit mendongak untuk menatap Leonel.
“Apa Brian menyusahkanmu?” tanya Rebecca sambil melepaskan sepatu hak tingginya dan bergegas melangkah ke kamarnya. Ia baru saja kembali dari bekerja pukul sebelas malam.
“Kau membawanya ke sini, apa kau tidak waras?”
Malam itu, mengenakan piama yang disiapkan mendadak oleh Prilly, Rebecca duduk bersandar pada ranjang sementara Brian dan Mark, masing-masing menggunakan paha Rebecca sebagai bantal di kepala mereka. Rebecca membacakan salah satu koleksi buku dongeng penghantar tidur milik Mark hingga kedua bocah itu tertidur.