“Hmmm... aku tidak mengatakan jika aku bersedia,” jawab Leonel.
“Kita akan menikah tiga bulan. Ya, tiga bulan. Kau tahu jika hanya sehari lalu kita bercerai itu akan terlihat jika kita hanya bersandiwara, akan tampak aneh. Setelah kita beretmu kakekku dan aku mendapatkan perusahaanku, aku akan mentransfer berapa pun uang yang kau minta dan setelah itu surat cerai akan kukirim tiga bulan setelahnya.” Violeta menjelaskan dengan panjang lebar.
“Hanya itu yang kudapatkan?” Leonel menaikkan sebelah alisnya. Samudra matanya masih menatap wajah Violeta yang tampak cantik hari ini. Ralat, bukan hanya hari ini. Gadis itu cantik setiap hari hanya saja mengesalkan. Matanya berwarna hijau, ia memiliki bintik-bintik samar di kulitnya yang tampak begitu halus dan seindah batu pualam. Bulu mata dan alisnya rapi juga tebal, rambutnya panjang berwarna cokelat, tampaknya rambut itu juga selembut sutra.
“Maksudmu?” Violeta mengerutkan alisnya.
“Bonusku sebagai suamimu,” ucap Leonel sambil meraih ujung rambut Violeta lalu memainkannya menggunakan jemarinya.
“A-apa maksudmu?” Violeta tergagap.
Leonel terkekeh. “Jangan katakan kau masih perawan.”
Violeta memalingkan wajahnya yang terasa memanas, ia memang pernah berciuman di bibir dengan Liam, tapi hanya berciuman bukan melakukan hubungan badan. “Kalau iya, kenapa?” tanyanya dengan nada ketus.
“Kalau begitu aku lebih tertarik mengambil bonusku ketimbang bayaranku,” ucap Leonel. Diam-diam ia melirik bagian dada Violeta yang terhalang kain, tidak terlalu besar tapi bisa di pastikan benda itu padat kenyal dan menyenangkan.
“Jadi, kau bersedia?”
“Demi bonusku,” jawab Leonel.
“Hah?”
“Iya, aku bersedia,” jawab Leonel disertai seringai licik di bibirnya.
Berhubungan badan dengan seorang perawan. Pasti surga yang mengirimkan Violeta untuknya. Membayangkan gadis polos di depannya berada di bawah tubuhnya menjerit-jerit karena kenikmatan sudah membuatnya frustrasi karena bagian di antara kedua pahanya mengeras.
“Jadi begini, kita akan siapkan pernikahan mendadak, aku akan mengatakan pada kakekku bahwa kita bertemu secara tidak sengaja dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku menyamar sebagai gadis miskin saat itu, bagaimana? Apa terdengar seperti kisah cinta sejati?” Violeta menyampaikan rencananya.
Demi Tuhan! Leonel tidak peduli dengan rencana Violeta. Sama sekali tidak peduli, yang ia pedulikah sekarang ini ia hanya ingin membawa gadis itu ke ranjang, menikmati bibirnya, membelai lidahnya, menggigit ujung puncak dadanya lalu memasukinya. Membuat Violeta menjerit memanggil namanya dan meminta untuk segera dipuaskan.
Damn it!
Leonel mengumpat di dalam hatinya. Sesuatu di antara kedua pahanya semakin mengeras dan otaknya juga mulai tidak bisa di kendalikan. Ia menginginkan mencicipi gadis itu sekarang, gadis yang masih tersegel yang belum pernah ia temui sepanjang hidupnya sebagai seorang pria yang dengan mudah mendapatkan wanita.
“Ayo kita ke hotel,” ucap Leonel.
“Apa?”
“Ke hotel,” jawab Leonel.
Violeta membeliak. “Kau benar-benar pria mesum!”
“Aku ingin mengambil bonus yang kau janjikan terlebih dulu,” ucap Leonel tanpa berbasa-basi basi.
VioletaVioleta menyipitkan kedua matanya, ia pernah tertipu oleh Liam dan itu tidak akan pernah ia biarkan terjadi lagi. Tidak akan pernah. “Aku belum mengatakan bersedia memberikan bonus,” ucap Violeta.
“Kalau begitu aku tidak bersedia,” ujar Leonel, sudut bibirnya terangkat. Menyeringai licik, samar.
“Jangan bermain-main, Tuan Johanson. Barusan kau mengatakan bersedia,” protes Violeta.
“Kita belum sepakat.” Leonel menegakkan punggungnya.
“Kalau begitu akan aku beberkan bahwa kau sedang dalam keadaan bangkrut,” ancam Violeta.
“Jangan macam-macam, Violeta.” Leonel menyipitkan matanya. Ia telah bersusah payah menyembunyikan kebangkrutannya dari siapa pun selain Mario, jika gadis ini berani membongkar keadaan keuangannya, bisa dipastikan tamat harga dirinya sebagai salah satu Billionaire muda di Britania Raya. Dan ia akan sulit mendapatkan teman kencan.
Yang benar saja!
Leonel mendengus kesal, bisa-bisanya ia dipermainkan oleh gadis kecil, dalam hidupnya ia belum pernah dipermainkan oleh wanita karena ia memang menghindari bentuk hubungan yang merepotkan bersama wanita di luar sana.
"Dengar, besok aku akan menjemputmu pukul sepuluh," ujar Violeta.
"Ke hotel?"
Violeta membeliak. "Apa hanya hotel yang ada di dalam pikiranmu?" Gadis itu bersungut-sungut.
"Aku pria normal," ucap Leonel tanpa rasa malu.
"Besok kita menikah!"
"Jadi, bagaimana bonusku?"
Violeta merasa degup jantungnya berdetak tidak normal seperti biasanya, wajahnya juga terasa memanas. Ia telah berjanji kepada Leonel untuk memberikan kesuciannya, itu berarti ia akan tidur dengan pria tampan itu.
"Itu akan kau dapatkan setelah kita menikah dan menemui kakekku, setelah warisan ada di tanganku," jawabnya sambil melengos membuang wajahnya untuk menatap ke arah lain.
Leonel terkekeh. Ia meraih telapak tangan Violeta lalu menghadiahkan kecupan kecil di punggung telapak tangan gadis itu. "Baiklah, calon istriku, sampai jumpa besok."
***
“Jadi, malam ini adalah malam pengantin kita?” Leonel menyapukan bibirnya di pundak Violeta yang terbungkus pakaiannya.
Meski hanya sekilas Violeta bisa merasakan jika sentuhan itu sangat menggoda, tubuhnya menegang karena gugup.
“Sudah kukatakan, kita bertemu kakekku dukungan juga pengacara keluargaku,” ucapnya ketus, mencoba untuk menyembunyikan kegugupan yang merayapi perasaannya.
“Mmmhhh... repot sekali,” geram Leonel sambil mengikuti langkah panjang Violeta menuju mobil.
Violet menyeret Leonel ke kantor catatan sipil, entah bagaimana caranya semua berjalan begitu cepat, gadis itu rupanya telah merencanakan dengan sangat matang rencana pernikahan mereka. Leonel hanya tinggal memberikan tanda tangan dan tanda pengenal miliknya. Bukan hanya sampai di situ, Leonel juga mengikuti kemauan Violeta sesuai dengan isi kontrak yang telah mereka sepakati. Mereka menuju ke Paris, menemui kakek Violeta yang ternyata terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, keadaan pria itu sangat memprihatinkan, selang medis yang tampak begitu rumit terpasang tubuhnya telah begitu renta dan tampak lelah.
Violeta memperkenalkan Leonel kepada kakeknya, gadis itu terisak. Menangis menyaksikan satu-satunya orang yang menyayanginya menurut dokter yang menangani kakeknya mungkin tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi.
“Granddad, kau tahu? Leonel sangat mencintaiku, dia akan melakukan apa pun untukku, keluarganya juga sangat menyayangiku, ibunya adalah pendesain perhiasan, apa kau tahu keluarga Johanson di London?” ucap Violeta sambil menggenggam tangan keriput kakeknya.
Pria itu tampak menatap cucunya kemudian beralih menatap Leonel bergantian lalu mengangguk. Bibirnya tampak menyunggingkan senyuman membuat jantung Leonel terasa di hantam badai penyesalan karena ia sedang membohongi pria tua itu.
“Kami akan melakukan pesta pernikahan tiga bulan lagi, kau tahu kan? Pernikahan yang kuimpikan tidak sederhana, tidak mungkin aku melakukannya dengan terburu-buru, perlu waktu yang lama untuk mempersiapkan semuanya,” ucap Violeta yang di angguki oleh kakeknya dengan lemah.
Secara alami Leonel mengelus punggung Violeta untuk menenangkannya.
“Kau jangan khawatir, aku akan menjaga Violeta seumur hidupku, aku berjanji.” Seolah ucapan itu meluncur begitu saja dari bibir Leonel dan sedetik kemudian ia menyesalinya.
Ia merasa sangat kesal kepada Violeta yang sekarang telah menjadi istrinya, gadis itu tidak mengatakan jika sandiwara mereka untuk kepentingan seorang yang hampir menemui ajalnya dan membuatnya harus berkata-kata manis meski tidak seorang pun yang memintanya untuk berjanji di depan kakek Violeta.
Sepertinya aku harus segera pergi ke gereja untuk melakukan penebusan dosa di depan Tuhan.
Di dalam mobil yang melaju membelah jalanan kota Paris, mereka dalam perjalanan menuju kantor notaris yang mengurus surat-surat warisan milik Violeta, Leonel menggenggam telapak tangan istrinya, ia berdehem. “Kakekmu, dia sakit apa?”
“Organ tubuhnya banyak yang tidak berfungsi, dokter mengatakan umurnya mungkin hanya akan bertahan beberapa minggu lagi, aku ingin dia bisa tenang meninggalkan aku, dia..,” ucap Violeta susah payah sambil menyeka air matanya.
“Perusahaan itu? Kenapa kau begitu berambisi?”
“Perusahaan itu milik keluarga, saat ayahku sakit dan akan tahu jika umurnya tidak akan bertahan lebih lama lagi, ia menyerahkan perusahaan untuk di kelola adiknya dan berwasiat untuk memberikan kepadaku saat usiaku dua puluh lima tahun dan telah menikah. Beberapa hari lagi usiaku dua puluh lima tahun,” jawab Violeta. Kali ini suaranya lebih tenang.
Leonel mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kenapa kau begitu risau jika perusahaan itu berada di tangan pamanmu?”
“Pamanku... dia memiliki hidupnya sendiri, aku tidak tega melihatnya harus melakukan perjalanan dari Swiss ke Paris setiap Minggu hanya untuk mengurus perusahaanku, ia memiliki keluarga dan urusan sendiri. Rasanya tidak adil ia harus mengurusku sementara aku telah dewasa, aku bisa mengurus diriku sendiri,” kata Violeta dengan nada murung.
Sebenarnya tidak begitu, ia tidak rela jika perusahaan itu di kuasai oleh pamannya, orang yang pernah merebut istri ayahnya dan membuat ayahnya menjadi semakin pemurung setelah bercerai dari Paris. Ayahnya frustrasi, mungkin begitu, ia mulai mabuk-mabukan dan karena usianya yang tidak muda lagi di tambah kecanduan alkohol, kondisinya memburuk. Tetapi, entah bagaimana jalan pikiran ayahnya, pria itu justru ingin memasrahkan perusahaan kepada adiknya yang jelas-jelas telah mengambil istrinya.
“Ibumu?”
Air mata Violeta kembali mengalir. “Aku tidak pernah melihatnya,” jawabnya terisak.
“Maafkan aku,” kata Leonel, ia merasa tidak nyaman karena telah salah melontarkan pertanyaan.
Violeta menyeka air matanya. “Tidak masalah, ibuku meninggal saat melahirkan aku. Aku membunuhnya, ya?”
Jantung Leonel terasa terpotong mendengar semua yang Violeta ucapkan. Ia di besarkan di tengah keluarga yang hangat dan lengkap sedangkan Violeta? Wanita yang telah menjadi istrinya bahkan tidak pernah merasakan kehangatan seorang ibu. Perasaan iba menjalari otak dan hatinya, tanpa sadar ia merengkuh Violeta ke dalam pelukannya.
Leonel menelan ludahnya yang terasa begitu berat. “Itu bukan salahmu,” ucapnya dengan suara parau.
Keadaan menjadi hening, hanya deru napas dan detak jantung keduanya yang terdengar di rongga telinga mereka, Violeta merasa pelukan Leonel begitu memenangkan, seolah dada bidang pria itu adalah satu-satunya tempatnya paling aman untuknya berlindung.
Semua yang Violeta rencanakan berjalan mulus, seperti yang ia inginkan. Tetapi, ada yang tidak di sangka dan di duga. Takdir mengambil kakeknya begitu cepat. Di dalam perjalanan kembali dari kantor notaris, Violeta mendapat kabar dari pihak rumah sakit jika kakeknya mengembuskan napas terakhir, Violeta nyaris tidak mampu berdiri, ia mencengkeram jaket yang Leonel kenakan sambil menangis sejadi-jadinya di dada Leonel, pria yang belum genap satu hari menjadi suaminya. Ia kini benar-benar menjadi sebatang kara di Paris. Ia masih memiliki beberapa keluarga di Swiss, negara asal ibunya tetapi Violeta tidak menginginkan tinggal di sana. Tempat itu asing baginya.Rencana tinggal di Paris yang semula hanya unt
Mereka tiba di sebuah cafe bernama Cafe Procope, cafe itu adalah salah satu gerai kopi paling tua di Perancis yang masih berjaya hingga sekarang. Cafe itu didirikan oleh seorang chef bernama Francesco Procopio Dei Coltelli pada tahun 1688. Di tengah banyaknya gerai kopi baru yang menghadirkan berbagai kopi dengan varian baru, cafe ini tetap mempertahankan keaslian kopi buatannya. Interiornya pun juga masih sangat klasik tetapi suasana klasik itu justru membuat daya tarik sendiri. Selain berbagai kopi berkualitas seperti Lavazza Espresso, Cappucino, Irish Coffee yang dijajakan, ada juga berbagai menu khas Prancis seperti as coq au vin, escargots, tartare du boeuf and crème brûlée.
"Selamat ulang tahun, Nona."Seluruh pelayan di tempat tinggal Violeta berbaris tepat di depan pintu saat pintu terbuka, di tangan mereka memegangi satu tangkai bunga mawar berwarna merah menyala.Demi Tuhan. Leonel akan membalas Grace nanti, ia meminta tolong kepada Grace untuk menyiapkan kejutan kecil. Tetapi, bukan dengan membawa mawar merah seperti itu. Leonel meminta ide kepada Grace untuk memberi kejutan untuk Violeta yang tentu saja pelaksanaan kejutan itu dibantu oleh kepala pelayan di rumah itu karena mustahil Grace ada di Paris dalam waktu sekejap mata
"Kau sudah menyerahkan dirimu padaku, maka tidak ada jalan untuk kau kembali, Violeta." Leonel mendaratkan bibirnya di bibir Violeta, hanya kecupan kecil. "Meski kau menangis dan memohon untuk kulepaskan, aku tidak akan melepaskanmu." Bibir Violeta bergetar. Tetapi, ia tidak mengucapkan apa pun. Gadis itu perlahan meletakkan telapak tangannya di lengan Leonel, meraba kulit pria itu dengan gerakan yang sangat pelan. Leonel mendaratkan bibirnya di bibir Violeta, mengecupnya beberapa kali dengan kecupan-kecupan kecil yang menggoda. "Apa kau tahu cara berciuman?"
Violeta bermaksud meninggalkan Leonel yang tampaknya telah terlelap. Tetapi, saat ia mencoba beringsut, lengan kekar Leonel yang melingkar di pinggangnya menahannya. “Mau ke mana?” “A-aku ingin tidur di kamarku,” jawab Violeta setengah bergumam.“Tidurlah di sini,” ujar Leonel, lengannya semakin erat mengungkung pinggang Violeta.
"Leonel, apa kau tahu apa yang kau lakukan tadi?"Violeta mencubit batang hidung di antara ke dua alisnya, ia terduduk di tepi ranjangnya. Leonel dengan terang-terangan mengumumkan hubungan mereka padalah sudah bisa dipastikan tiga bulan yang akan datang mereka akan bercerai. Tidak mudah meyakinkan para investor, mereka meminta bukti dari pernikahan Leonel dan Violeta karena mustahil seorang Johanson menikahi seorang Hubert tanpa terendus oleh siapa pun.Pria itu dengan entengnya menjawab akan mengunggah akta nikah mereka di halaman media sosial Violeta dan juga
“Suamimu memerintahkan audit mendadak di departemen keuangan,” ujar Xaniah, wanita berkaca mata itu memberi tahu apa yang dilakukan Leonel.Violeta mengedikkan bahunya. “Dia mengatakan akan menggantikan posisi sementara CEO. Tapi, ia sendiri masih tidur saat aku berangkat bekerja.” “Tidur?” “Ya. Di kamarku.”
Leonel menggaruk kepalanya yang mendadak terasa gatal. “Untuk apa dia berada di Paris?” tanyanya kepada Mario melalui sambungan telepon.“Tentu saja untuk bekerja karena Paris Fashion Week akan dimulai dua Minggu lagi,” jawab Mario. “Dia ingin bertemu denganmu.” “Jadwalkan saja,” ucap Leonel. “Kapan kau bisa?”
Epilogue
Leonel berbalik ia menatap Benji dengan tatapan dingin. “Kupastikan kalian akan bercerai, hari ini juga.”
“Ada sesuatu yang tidak aku tahu? Sayangku?” tanya Benji sambil mengemudikan mobilnya.
Pada akhirnya, mereka tidak membicarakan apa pun karena saat Rebecca kembali dari bekerja pukul dua belas malam, ia hanya mendapati Candy yang tengah mengemasi seluruh barang-barang mereka di dalam unit apartemen, sementara Brian tampak tertidur pulas di atas tempat tidur. Tidak ada Mark, juga Leonel. Pria itu melarikan diri darinya, anggap saja begitu.
“Dad, aku merindukanmu,” ucap Brian yang sedang bercakap-cakap dengan Benji menggunakan video call didampingi oleh Candy yang duduk di sebelahnya.
“Jadi, bagaimana caranya aku mencuci gelas jika kau memegangi tanganku?” Rebecca sedikit mendongak untuk menatap Leonel.
“Apa Brian menyusahkanmu?” tanya Rebecca sambil melepaskan sepatu hak tingginya dan bergegas melangkah ke kamarnya. Ia baru saja kembali dari bekerja pukul sebelas malam.
“Kau membawanya ke sini, apa kau tidak waras?”
Malam itu, mengenakan piama yang disiapkan mendadak oleh Prilly, Rebecca duduk bersandar pada ranjang sementara Brian dan Mark, masing-masing menggunakan paha Rebecca sebagai bantal di kepala mereka. Rebecca membacakan salah satu koleksi buku dongeng penghantar tidur milik Mark hingga kedua bocah itu tertidur.