Mereka tiba di sebuah cafe bernama Cafe Procope, cafe itu adalah salah satu gerai kopi paling tua di Perancis yang masih berjaya hingga sekarang. Cafe itu didirikan oleh seorang chef bernama Francesco Procopio Dei Coltelli pada tahun 1688. Di tengah banyaknya gerai kopi baru yang menghadirkan berbagai kopi dengan varian baru, cafe ini tetap mempertahankan keaslian kopi buatannya. Interiornya pun juga masih sangat klasik tetapi suasana klasik itu justru membuat daya tarik sendiri. Selain berbagai kopi berkualitas seperti Lavazza Espresso, Cappucino, Irish Coffee yang dijajakan, ada juga berbagai menu khas Prancis seperti as coq au vin, escargots, tartare du boeuf and crème brûlée.
“Ini gerai kopi tertua di sini,” ujar Violeta memberi tahu Leonel.
Leonel mengamati suasana cafe yang tampak ramai dan interior yang klasik. “Menarik,” katanya. “Kau sering ke sini?”
“Tidak juga,” jawab Violeta. “Hanya beberapa kali... dulu.”
Leonel mengangguk-anggukkan kepalanya, ia meraih buku menu yang tersedia di atas meja.
“Apa yang ingin kau pesan?” tanya Violeta.
Leonel mulai membolak-balik dan mengamati tulisan di buku menu yang ada di tangannya. “Aku ingin kopi biasa,” jawabnya setelah berpikir beberapa detik.
“Baiklah, apa kau ingin makan sesuatu?”
“Dua Creame Brulle,” jawab Leonel cepat.
“Kau lapar?”
“Kau yang makan, kulihat kau semakin kurus.”
Bibir Violeta mengerucut. “Aku tidak kurus, hanya langsing.”
Leonel tertawa geli. “Menurutku kurus,” ujarnya dengan nada menggoda.
Tidak menghiraukan ucapan Leonel, Violeta memanggil pelayan, tidak menunggu lama seorang pelayan dengan cekatan menghampiri mereka dan Violeta berbicara menggunakan bahasa Perancis untuk memesan kopi.
Diam-diam Leonel mengamati Violeta yang sedang berbicara dengan cara yang sangat sopan kepada pelayan, cara violet berbicara, cara Violeta mengedipkan matanya. Leonel mengamati baik-baik setiap gerakan Violeta yang tampak begitu anggun dan cantik. Perasaannya mulai tidak menentu, ada sedikit perasaan ingin melindungi gadis itu, ada perasaan lembut setiap menatap sepasang mata berwarna hijau agak gelap milik Violeta.
“Sepertinya hari ini aku ingin berkeliling kota Paris,” ujar Leonel saat pelayan telah menjauh.
Violeta tersenyum tipis. “Baiklah, aku akan menjadi pemandumu,” katanya bersemangat.
Leonel tersenyum, seakan ia puas karena Violeta tampak antusias dan tidak lagi bersikap murung seperti saat di pemakaman tadi. “Aku ingin ke Montmartre,” ujarnya.
“Baiklah, itu cocok untukmu.” Violeta tersenyum, ia menggeser sikunya yang berada di atas meja karena pelayan datang membawakan pesanan mereka.
“Voice votre cafe, Mademoselle,” kata pelayan itu dengan ramah.
“Merci,” ucap Violeta kepada pelayan.
Leonel mengernyit, ia sedikit mengerti bahasa Perancis karena ia telah berulang kali mengunjungi kota ini untuk beberapa urusan. Orang-orang di Perancis jarang yang menggunakan bahasa Inggris dan para turis biasanya harus berusaha mengerti dengan bahasa Perancis karena orang-orang Perancis jarang yang mau peduli dengan bahasa yang bukan merupakan bahasa mereka. Banyak orang yang mengatakan jika orang-orang Perancis terlalu sombong dan tidak peduli kepada orang lain.
“Aku akan mengajarimu bahasa Perancis,” ujar Violeta sambil tersenyum manis.
“Tidak perlu, aku tidak tertarik.” Leonel menarik cangkir kopinya.
“Surce atau edulcorant?” tanya Violeta seraya menunjuk dua pot kecil cairan di depannya, cairan itu adalah gula dan pemanis buatan.
“Tidak keduanya,” jawab Leonel, ia sedikit jengkel. Bukankah barusan ia mengatakan tidak ingin belajar bahasa Perancis? Tetapi, Violeta justru mengajaknya berbicara menggunakan bahasa Perancis.
“Aku yakin kau sebenarnya bisa berbahasa Perancis.”
Leonel menyesap kopinya, ia tersenyum dibalik cangkirnya. “Aku seorang Johanson, bahasa Perancis bagiku mudah, sayangnya aku tidak tertarik karena bahasa bangsaku adalah bahasa dunia, untuk apa aku repot-repot belajar bahasa lain.” Ia mengucapkannya dengan nada sangat sombong setelah ia menyesap kopinya.
“Dasar sombong,” gerutu Violeta. Ia mengaduk cokelat panas di gelasnya lalu menyendok coklat panasnya menggunakan sendok, menikmati coklat panas itu sesendok demi sesendok.
“Makan Creame Brulle-mu,” perintah Leonel.
“Aku tidak lapar,” ujar Violeta.
Leonel menarik satu mangkuk Creame Brulle kemudian mulai menyendok isinya. “Aa...,” perintahnya. Ia mendekatkan sendiri berisi Creame Brulle ke bibir Violeta.
Violeta mengerjapkan matanya. “A-aku bisa makan sendiri,” ucapnya, ia hendak meraih sendok di tangan Leonel tetapi pria di depannya menatapnya dengan tatapan seolah tidak ingin di bantah.
Violeta akhirnya membuka mulutnya, menikmati suapan demi suapan hingga dua mangkuk Creame Brulle telah berpindah ke dalam perutnya.
“Gadis baik, kau sangat patuh,” puji Leonel puas karena Violeta sama sekali tidak membantahnya.
Ia bangkit dari duduknya, berjalan menuju meja kasir untuk membayar semua tagihan kemudian kembali ke meja menghampiri Violeta. “Ayo,” ajaknya.
Violeta bangkit dari duduknya, ia memasang mantel panjangnya di bantu oleh Leonel kemudian mereka berdua keluar dari cafe itu menuju area parkir di mana mobil mereka berada untuk menuju ke Montmartre seperti yang Leonel inginkan. Sepanjang perjalanan Violeta berceloteh panjang lebar menceritakan masa kecilnya, menceritakan kakek dan neneknya dan sesekali ia juga menceritakan wanita bernama Paris yang ia sebut sebagai mantan ibu tirinya.
Leonel telah bertemu wanita itu, juga Samuel adik ayah Violeta saat pemakaman Mark Hubert. Dari nada bicara Violeta, terdengar jika istrinya itu tidak menyukai kedua orang itu tetapi Leonel tidak ingin mengorek masalah itu. Selain bukan urusannya mereka juga telah tiba di Montmartre, sebuah wilayah di pinggiran kota Paris yang tidak kalah romantisnya dengan kota Paris.
Tempat itu terbilang antik dan menawan, tempat itu berada di sebuah bukit dengan ketinggian 130 meter. Mengingat tempatnya berada di bukit tidak heran jika banyak tangga-tangga curam dan sempit diapit oleh bangunan-bangunan apartemen.
“Apa kau juga ingin mengunjungi Gereja?” tanya Violeta sambil melangkahkan kakinya keluar dari mobil di bantu Leonel yang mengulurkan tangannya.
“Aku bukan pria beriman, aku kesini karena ingin melihat studio peninggalan para seniman Perancis,” jawab Leonel acuh.
Lagi pula Leonel tidak sudi meniti tiga ratus anak tangga untuk mendatangi Gereja. Yang benar saja. Ada banyak Gereja yang bisa ia kunjungi di Paris maupun London tanpa harus membuat dirinya lelah menapaki anak tangga.
“Tapi, kita telah di sini, bagaimana jika kita sekalian saja berkunjung?”
Leonel menelan ludahnya karena tidak bisa lagi berkelit apa lagi cara Violeta menatapnya seolah gadis itu sedang membujuk dengan cara yang amat manis. “Setelah kita melihat studio seni,” ujarnya.
**
“Kau kedinginan?” tanya Leonel sambil menggenggam erat tangan Violeta, ia menuntun Violeta menuruni tangga setelah mereka selesai berdoa di Gereja Secre Ceour.
“Tidak juga,” jawab Violeta berbohong. Ia sangat merasa kedinginan bahkan bibirnya sedikit bergetar.
Matahari telah mulai tenggelam meski langit masih tampak cerah, udara semakin terasa dingin hingga menusuk ke kulit meski mereka mengenakan mantel yang cukup tebal.
“Apa doamu tadi?” tanya Leonel. Ia meraih telapak tangan Violeta dan mendapati jika tangan gadis itu sedingin es. "Kau kedinginan."
“Cukup Tuhan yang tahu doaku,” ujar Violeta malu-malu. Tubuhnya nyaris melayang saat telapak tangan Leonel yang lebar dan tentunya hangat menggenggam tangannya.
“Oh, begitu, ya?” Leonel menghentikan langkahnya, ia membalikkan badannya. Pria itu menatap Violeta. “Aku ingin tahu.”
Violeta terkekeh. “Tidak boleh,” ujarnya. Kedua pipi gadis itu bersemu merah.
Violeta sendiri tidak tahu harus memohon apa kepada Tuhan, ia memiliki segalanya, satu-satunya yang tidak ia miliki sekarang adalah keluarga. Lagi pula permintaannya itu bukankah tidak bisa dibeli dengan materi?
“Tapi, aku suamimu dan aku ingin tahu,” ucap Leonel, nadanya memaksa.
Suami....
Violeta merasa pipinya semakin memanas mendengar kata suami yang dilontarkan oleh Leonel, gadis itu menyeringai. “Rahasia.”
*Voice votre cafe, Mademoselle = Ini kopi anda, Nona
*Merci = Terima kasih
*Surce = Gula
*Edulcorant = Pemanis buatan
"Selamat ulang tahun, Nona."Seluruh pelayan di tempat tinggal Violeta berbaris tepat di depan pintu saat pintu terbuka, di tangan mereka memegangi satu tangkai bunga mawar berwarna merah menyala.Demi Tuhan. Leonel akan membalas Grace nanti, ia meminta tolong kepada Grace untuk menyiapkan kejutan kecil. Tetapi, bukan dengan membawa mawar merah seperti itu. Leonel meminta ide kepada Grace untuk memberi kejutan untuk Violeta yang tentu saja pelaksanaan kejutan itu dibantu oleh kepala pelayan di rumah itu karena mustahil Grace ada di Paris dalam waktu sekejap mata
"Kau sudah menyerahkan dirimu padaku, maka tidak ada jalan untuk kau kembali, Violeta." Leonel mendaratkan bibirnya di bibir Violeta, hanya kecupan kecil. "Meski kau menangis dan memohon untuk kulepaskan, aku tidak akan melepaskanmu." Bibir Violeta bergetar. Tetapi, ia tidak mengucapkan apa pun. Gadis itu perlahan meletakkan telapak tangannya di lengan Leonel, meraba kulit pria itu dengan gerakan yang sangat pelan. Leonel mendaratkan bibirnya di bibir Violeta, mengecupnya beberapa kali dengan kecupan-kecupan kecil yang menggoda. "Apa kau tahu cara berciuman?"
Violeta bermaksud meninggalkan Leonel yang tampaknya telah terlelap. Tetapi, saat ia mencoba beringsut, lengan kekar Leonel yang melingkar di pinggangnya menahannya. “Mau ke mana?” “A-aku ingin tidur di kamarku,” jawab Violeta setengah bergumam.“Tidurlah di sini,” ujar Leonel, lengannya semakin erat mengungkung pinggang Violeta.
"Leonel, apa kau tahu apa yang kau lakukan tadi?"Violeta mencubit batang hidung di antara ke dua alisnya, ia terduduk di tepi ranjangnya. Leonel dengan terang-terangan mengumumkan hubungan mereka padalah sudah bisa dipastikan tiga bulan yang akan datang mereka akan bercerai. Tidak mudah meyakinkan para investor, mereka meminta bukti dari pernikahan Leonel dan Violeta karena mustahil seorang Johanson menikahi seorang Hubert tanpa terendus oleh siapa pun.Pria itu dengan entengnya menjawab akan mengunggah akta nikah mereka di halaman media sosial Violeta dan juga
“Suamimu memerintahkan audit mendadak di departemen keuangan,” ujar Xaniah, wanita berkaca mata itu memberi tahu apa yang dilakukan Leonel.Violeta mengedikkan bahunya. “Dia mengatakan akan menggantikan posisi sementara CEO. Tapi, ia sendiri masih tidur saat aku berangkat bekerja.” “Tidur?” “Ya. Di kamarku.”
Leonel menggaruk kepalanya yang mendadak terasa gatal. “Untuk apa dia berada di Paris?” tanyanya kepada Mario melalui sambungan telepon.“Tentu saja untuk bekerja karena Paris Fashion Week akan dimulai dua Minggu lagi,” jawab Mario. “Dia ingin bertemu denganmu.” “Jadwalkan saja,” ucap Leonel. “Kapan kau bisa?”
Violeta menelan ludah. “Tapi, setidaknya bisakah kau menjaga reputasi kita?” “Kau mulai menjadi istri yang pengatur, ya?” Leonel menaikkan sebelah alisnya.Violeta mengembuskan napasnya kasar sambil memejamkan matanya beberapa saat. “Ke mana saja kau tadi malam?” Leonel menopangkan dagunya, ia menatap Violeta dengan tatapan tidak suka. Menurut Leonel, mereka memang terikat pernikahan
“Kau masih memikirkannya?” tanya Laura membuyarkan lamunan Rebecca yang sedari tadi tampak tidak berkonsentrasi. Rebecca menghela napas pelan. “Apa terlihat begitu?” “Jelas sekali, wajahmu....” Laura me
Epilogue
Leonel berbalik ia menatap Benji dengan tatapan dingin. “Kupastikan kalian akan bercerai, hari ini juga.”
“Ada sesuatu yang tidak aku tahu? Sayangku?” tanya Benji sambil mengemudikan mobilnya.
Pada akhirnya, mereka tidak membicarakan apa pun karena saat Rebecca kembali dari bekerja pukul dua belas malam, ia hanya mendapati Candy yang tengah mengemasi seluruh barang-barang mereka di dalam unit apartemen, sementara Brian tampak tertidur pulas di atas tempat tidur. Tidak ada Mark, juga Leonel. Pria itu melarikan diri darinya, anggap saja begitu.
“Dad, aku merindukanmu,” ucap Brian yang sedang bercakap-cakap dengan Benji menggunakan video call didampingi oleh Candy yang duduk di sebelahnya.
“Jadi, bagaimana caranya aku mencuci gelas jika kau memegangi tanganku?” Rebecca sedikit mendongak untuk menatap Leonel.
“Apa Brian menyusahkanmu?” tanya Rebecca sambil melepaskan sepatu hak tingginya dan bergegas melangkah ke kamarnya. Ia baru saja kembali dari bekerja pukul sebelas malam.
“Kau membawanya ke sini, apa kau tidak waras?”
Malam itu, mengenakan piama yang disiapkan mendadak oleh Prilly, Rebecca duduk bersandar pada ranjang sementara Brian dan Mark, masing-masing menggunakan paha Rebecca sebagai bantal di kepala mereka. Rebecca membacakan salah satu koleksi buku dongeng penghantar tidur milik Mark hingga kedua bocah itu tertidur.