“Suamimu memerintahkan audit mendadak di departemen keuangan,” ujar Xaniah, wanita berkaca mata itu memberi tahu apa yang dilakukan Leonel.
Violeta mengedikkan bahunya. “Dia mengatakan akan menggantikan posisi sementara CEO. Tapi, ia sendiri masih tidur saat aku berangkat bekerja.”
“Tidur?”
“Ya. Di kamarku.”
Xaniah ternganga. “Kalian tidur satu kamar?”
“Bagaimanapun juga dia suamiku,” jawab Violeta.
“Kukira kalian hanya menjalankan pernikahan kontrak tanpa adanya gairah-gairah lain.”
“Memang hanya pernikahan kontrak dan gairah lain itu hanya kebutuhan orang dewasa, kurasa demikian,” ucap Violeta meski ia sendiri tidak yakin akan dengan apa yang baru saja terlontar dari bibirnya.
“Aku tidak yakin,” ujar Xaniah. “Kau harus berhati-hati karena faktanya banyak wanita lebih menggunakan perasaannya ketimbang logikanya.”
Violeta mengernyit, ia tidak percaya dengan ucapan Xaniah. “Aku menggunakan logika,” ucapnya.
“Kita lihat saja, apa akan ada perasaan yang membuatmu menjadi bodoh dan melupakan logikamu,” ucap Xaniah. Wanita itu tersenyum menggoda sambil berlalu dari ruang kerja Violeta.
Violeta hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan sekretarisnya. Ia yakin tidak akan menjadi bodoh karena saat Liam berkhianat buktinya ia bisa menggunakan logikanya. Ia tidak ambil pusing terhadap pria itu dan juga sahabatnya yang menikamnya dari belakang. Jadi, Violeta yakin jika ia juga akan bisa menggunakan logikanya nanti tanpa harus terjebak perasaan kepada Leonel meski tidak dipungkiri jika ia amat bergairah setiap kali suaminya menyentuhnya. Dan sepertinya Leonel juga merasakan itu karena pria itu selalu tidak sabar untuk menyentuhnya, menerkamnya seperti seekor singa yang lapar setiap kali mereka berdekatan.
Namun, Violeta yakin jika apa yang terjadi antara dirinya dan Leonel hanya dorongan pria dan wanita yang berdekatan karena kebutuhan orang dewasa. Bukan karena yang lain meski Violeta juga tidak memungkiri jika ia cukup mengagumi ketampanan Leonel dan ada sedikit debaran di dadanya.
Leonel mengambil posisi sebagai CEO setelah sehari pengumuman pernikahan mereka tetapi Violeta sama sekali tidak mengerti dengan cara kerja Leonel selama satu Minggu karena suaminya jarang berada di ruang kerjanya, suaminya juga sesuka hatinya saja datang ke perusahaan. Dan yang paling membuat Violeta jengkel, Leonel memecat dan membongkar pasang jajaran staf dan manajer sesuka hatinya.
Menurut pengamatan Violeta sejauh ini, wajar saja jika Glamour Entertainment mengalami kebangkrutan karena cara kerja Leonel yang terlalu santai dan seenaknya. Sekarang mungkin Hubert Corporation akan mengalami hal yang sama karena ulah Leonel. Ia hanya mampu berharap jika tiga bulan segera berlalu agar ia bisa menendang Leonel yang mulai mengacaukan perusahaannya.
Meskipun tidak dipungkiri jika Violeta merasa hidupnya lebih terasa hidup sejak adanya Leonel bersamanya, apa lagi orang tua Leonel sangat baik dan perhatian kepadanya. Ibu mertuanya selalu menanyakan kabarnya setiap hari, begitu juga saudara-saudara Leonel yang tidak kalah perhatian terhadapnya. Ia bahkan tergabung dalam grup chat yang anggotanya adalah keluarga besar Johanson, Violeta agak merasa canggung untuk turut sertakan mengobrol karena posisinya dan Leonel hanya pernikahan palsu.
Dalam artian ia hanya anggota palsu yang tidak perlu banyak berinteraksi dengan mereka, ia merasa harus menjaga jarak sebisa mungkin dengan mereka meski ia sangat antusias setiap kali membuka obrolan di grup itu. Obrolan mereka terlihat hangat, tidak dibuat-buat, dan sangat menyenangkan.
Terkadang Violeta merasa iri ingin merasakan kehangatan keluarga seperti itu. Tetapi, ia hanya bisa berharap. Ia yakin, suatu saat akan mendapatkan itu. Jika bukan dari keluarga Johanson mungkin dari keluarga yang lain.
Dering ponsel membuyarkan lamunan Violeta, ia meraih ponsel yang terletak di atas meja dan mengusap layarnya. Dua pesan masuk bersamaan membuat Violeta melengkungkan senyumnya. Satu dari ibu mertuanya dan satu dari suaminya, manis sekali. Bergegas Violeta membuka pesan ibu mertuanya yang menanyakan kabarnya hari ini lalu membalasnya, setelah itu ia membuka pesan Leonel yang mengatakan menunggunya di ruang kerjanya.
Violeta mendengus, seharusnya Leonel tahu posisinya. Di rumah ia adalah kepala rumah tangga meski palsu. Tetapi, di perusahaan ia adalah seorang direksi dan Leonel hanya seorang direktur. Chief Excecutive Officer. Posisi Violeta masih lebih tinggi, kenapa ia dengan sesuka hati memerintah orang yang lebih tinggi jabatannya?
Demi Tuhan, Violeta memang bangkit dari duduknya untuk menemui Leonel. Tetapi, ia bukan untuk menuruti kemauan pria yang baru saja datang ke perusahaan ketika matahari telah berada di atas kepala, Violeta ingin menceramahi pria itu.
“Apa kau tahu ini jam berapa?” tanya Violeta dengan emosi yang disabar-sabarkan begitu ia berdiri tepat di depan Leonel yang menatapnya.
“Kemarilah,” ucap Leonel, ia memberikan kode kepada Violeta agar mendekat kepadanya.
Violeta menata kesabarannya, ia mendekati suaminya yang duduk dengan gayanya yang sangat santai. Tidak ada sedikit pun wibawa apa lagi tatapan dingin khas seorang pemimpin perusahaan.
Leonel meraih pinggang Violeta, ia membenamkan wajahnya di perut rata Violeta. “Aku lapar,” ucapnya lirih sebelum Violeta membuka mulutnya.
Amarah yang telah Violeta persiapkan buyar seketika, perasaannya melembut. Tangannya terulur mengelus rambut Leonel yang disisir rapi.
“Kenapa kau tidak meminta pelayan menyiapkan sarapanmu sebelum kau pergi?” tanyanya lembut seolah memperlakukan Leonel seperti anak kecil.
“Aku ingin makan bersamamu, sarapan sendiri rasanya tidak menarik."
Ia dibesarkan di keluarga yang lengkap dan hangat, ia tidak terbiasa berada di meja makan sendirian. Jujur saja ia mulai merasa bosan berada di Paris, ia merindukan masakan koki di rumah orang tuanya, ia merindukan makan bersama orang tuanya, berkumpul bersama Grace, William, Sidney, Alexa.
“Aku akan memesankan makanan untukmu,” ujar Violeta, ia hendak beringsut menjauh tetapi Leonel menahannya.
“Ayo, makan di luar.”
Perasaan jengkel di benak Violeta kembali merayapi otaknya, ia menghela napasnya dalam-dalam lalu perlahan mengembuskannya. Tetapi, ia tidak bisa meledakkan amarahnya mana kala Leonel menengadahkan kepalanya, mata biru pria itu membuat amarahnya bagai tertelan samudera.
“Apa yang ingin kau makan?” Suara Violeta lembut, sama sekali tidak ada amarah.
“Kau,” ujar Leonel, ia menyeringai jail.
Violeta mengerucutkan bibirnya, kedua pipinya terasa memanas. “Jangan macam-macam, ini di kantor,” ujarnya.
Telapak tangan Leonel menjalar, ia meremas bokong sintal Violeta. “Sebenarnya aku ingin merasakanmu di sini juga. Tapi, perutku benar-benar lapar.”
Violeta terkekeh, mencoba menyembunyikan kegugupan juga rasa mendamba dari dirinya yang mungkin bisa di lihat oleh Leonel. “Ayo keluar."
Ia harus segera memotong situasi yang manis ini atau ia akan benar-benar dimakan oleh Leonel di tempat itu sementara ia tahu bagaimana gilanya Leonel dan juga dirinya setiap kali mereka menyatukan tubuh. Ia tidak bisa untuk tidak menjerit setiap kali Leonel memenuhinya dan yang pasti mereka butuh waktu yang tidak sebentar.
Keduanya keluar dari ruangan itu, Leonel menggenggam telapak tangan Violeta, mereka tampak intim, tidaknya jarak seolah-olah hubungan mereka nyata. Bukan sekedar kepalsuan yang akan terjalin selama tiga bulan.
Makan siang di kantin perusahaan, manis sekali. Selama ini Violeta belum pernah makan di tempat seperti itu meski tempat itu miliknya. Violeta mengamati kantin itu, ia juga membaca baik-baik setiap menu yang tersedia di sana.
“Kau belum pernah makan di tempat seperti ini?” tanya Leonel.
Violeta mengerjapkan matanya, ia mengangguk tetapi ia segera menggeleng. “A-aku....”
“Dasar, Nona Muda. Kau juga sesekali harus berinteraksi dengan karyawanmu.”
Violeta mengerucutkan bibirnya. Ternyata meskipun Leonel terlihat sangat santai, tidak peduli pada hal-hal rumit tetapi ia pria yang perhatian. Bahkan memikirkan hal-hal yang tidak terpikirkan olehnya.
"Aku akan mencobanya."
"Bagus, karyawan akan senang karena bisa melihat direksinya yang cantik di kantin, apa lagi melihatku yang tampan." Leonel mengedipkan sebelah matanya.
Sialan.
Pipi Violeta terasa memanas karena Leonel sangat seksi saat mengedipkan sebelah matanya. Menepis kegugupannya juga debaran jantungnya yang mulai meronta-ronta tidak menentu, Violeta menatap daging, telur, dan sosis di piring Leonel. Jika ia ingat-ingat Leonel tidak pernah makan kentang, ia hanya melihat pria itu memakan daging-dagingan dan sayur.
“Apa kau memakan daging setiap hari?”
“Tidak juga.”
“Tapi, kau tidak memakan kentang.”
“Aku menghindari karbohidrat terlalu banyak.”
Violeta melongo mendengar jawaban Leonel. “Apa kau takut gemuk?”
“Aku menjaga ototku,” jawab Leonel sambil memotong daging di piringnya lalu menusuknya menggunakan garpu dan mendekatkan ke bibir Violeta. “Kau juga harus banyak mengonsumsi daging.”
Bibir Violeta nyaris bergetar, ia membuka mulutnya untuk menerima daging dari Leonel. Ia sangat gugup karena selain kakeknya, Violeta tidak pernah di perlakukan oleh pria lain seperti itu.
Leonel menggaruk kepalanya yang mendadak terasa gatal. “Untuk apa dia berada di Paris?” tanyanya kepada Mario melalui sambungan telepon.“Tentu saja untuk bekerja karena Paris Fashion Week akan dimulai dua Minggu lagi,” jawab Mario. “Dia ingin bertemu denganmu.” “Jadwalkan saja,” ucap Leonel. “Kapan kau bisa?”
Violeta menelan ludah. “Tapi, setidaknya bisakah kau menjaga reputasi kita?” “Kau mulai menjadi istri yang pengatur, ya?” Leonel menaikkan sebelah alisnya.Violeta mengembuskan napasnya kasar sambil memejamkan matanya beberapa saat. “Ke mana saja kau tadi malam?” Leonel menopangkan dagunya, ia menatap Violeta dengan tatapan tidak suka. Menurut Leonel, mereka memang terikat pernikahan
“Kau masih memikirkannya?” tanya Laura membuyarkan lamunan Rebecca yang sedari tadi tampak tidak berkonsentrasi. Rebecca menghela napas pelan. “Apa terlihat begitu?” “Jelas sekali, wajahmu....” Laura me
Rebecca memejamkan matanya kembali. Alkohol tadi malam adalah sumber dosa terbesarnya tadi malam yang menurutnya tidak bisa dimaafkan. Ia bebas berkencan dengan siapa saja, ia bebas tidur dengan pria mana pun yang ia mau. Tetapi, tidak dengan pria beristri.Sama sekali bukan dirinya.
ChapterRebecca and Me“Suamimu ada di ruangannya,” ujar Xaniah yang baru saja memasuki ruang kerja Violeta.“Jadi, dia datang?” Violeta mengembuskan napasnya sedikit kasar, satu telapak tangannya berada di keningnya sedangkan sikunya bertumpu di atas meja.“Ya.”Violeta mengganti posisi tangannya, kali ini ia menyatukan telapak tangannya, membuat kedua telapak tangannya saling menggenggam erat di depan keningnya. Matanya terpejam. Hubungannya dengan Leonel sekarang benar-benar tidak sehat, pria itu bahkan tidak kembali ke rumah selama atau beberapa hari, suaminya juga tidak datang ke perusahaan meski semua pekerjaan ditangani dengan baik olehnya.“Ada beberapa dokumen yang harus ditanda tangani oleh suamimu,&rdqu
ChapterFake FamilyRebecca menoleh ke sumber suara, ia mendapati Leonel yang berdiri di ambang pintu, menyandarkan bahunya dengan gayanya yang sangat santai. Seperti biasa, selalu terlihat tampan.Selama ini Leonel belum pernah memasuki ruang khusus yang di peruntukan untuk Rebecca karena mereka selalu menjaga jarak setiap kali berada di Glamour Entertainment. Semua demi menghindari pergunjingan dari rekan sesama artis yang bernaung di bawah label Glamour Entertainment.“Kau....” Rebecca menegakkan punggungnya.“Kenapa?” Leonel menaikkan sebelah alisnya. “Takut jadi bahan gosip?”Tentu saja iya, gosip miring yang menerpa seorang publik figur adalah kutukan. Bagi Rebecca itu adalah hal yang paling ia hindari, ia telah mati-matian menjaga citra dirinya selama membangun karier, ia tidak ingin merasakannya. Apa lagi dengan urusan yang akan melibatkannya dalam skandal b
Chapter 19Consept"Selamat datang, Sayang," sapa Violeta. Ia berdiri untuk menyambut Leonel."Bagaimana hari ini? Apa menyenangkan?" tanya Leonel sambil mendekati violet dan mendaratkan kecupan manis di pelipis istrinya.Semua itu hanya sandiwara mereka berdua yang dilepas dengan sangat apik, akting mereka bahkan sempurna. Oscar bahkan berhutang piala kepada dua orang tersebut."Kau harus lebih memprioritaskan keluargamu, Leonel. Kembalilah dari bekerja lebih awal," ucap Alexander, ayahnya."Daddy-mu benar," sahut Prilly, ibunya."Baiklah, akan kucoba," kata Leonel pasrah. Tidak ada gunanya membantah orang tuanya.Violeta tersenyum. "Suamiku biasanya kembali lebih awal, ini hanya kebetulan saja banyak pekerjaan," ujarnya seraya bergelayut manja di pinggang Leonel.Prilly mengedikkan bahunya
Chapter 20Wedding Gown
Epilogue
Leonel berbalik ia menatap Benji dengan tatapan dingin. “Kupastikan kalian akan bercerai, hari ini juga.”
“Ada sesuatu yang tidak aku tahu? Sayangku?” tanya Benji sambil mengemudikan mobilnya.
Pada akhirnya, mereka tidak membicarakan apa pun karena saat Rebecca kembali dari bekerja pukul dua belas malam, ia hanya mendapati Candy yang tengah mengemasi seluruh barang-barang mereka di dalam unit apartemen, sementara Brian tampak tertidur pulas di atas tempat tidur. Tidak ada Mark, juga Leonel. Pria itu melarikan diri darinya, anggap saja begitu.
“Dad, aku merindukanmu,” ucap Brian yang sedang bercakap-cakap dengan Benji menggunakan video call didampingi oleh Candy yang duduk di sebelahnya.
“Jadi, bagaimana caranya aku mencuci gelas jika kau memegangi tanganku?” Rebecca sedikit mendongak untuk menatap Leonel.
“Apa Brian menyusahkanmu?” tanya Rebecca sambil melepaskan sepatu hak tingginya dan bergegas melangkah ke kamarnya. Ia baru saja kembali dari bekerja pukul sebelas malam.
“Kau membawanya ke sini, apa kau tidak waras?”
Malam itu, mengenakan piama yang disiapkan mendadak oleh Prilly, Rebecca duduk bersandar pada ranjang sementara Brian dan Mark, masing-masing menggunakan paha Rebecca sebagai bantal di kepala mereka. Rebecca membacakan salah satu koleksi buku dongeng penghantar tidur milik Mark hingga kedua bocah itu tertidur.