"Leonel, apa kau tahu apa yang kau lakukan tadi?"
Violeta mencubit batang hidung di antara ke dua alisnya, ia terduduk di tepi ranjangnya. Leonel dengan terang-terangan mengumumkan hubungan mereka padalah sudah bisa dipastikan tiga bulan yang akan datang mereka akan bercerai. Tidak mudah meyakinkan para investor, mereka meminta bukti dari pernikahan Leonel dan Violeta karena mustahil seorang Johanson menikahi seorang Hubert tanpa terendus oleh siapa pun.
Pria itu dengan entengnya menjawab akan mengunggah akta nikah mereka di halaman media sosial Violeta dan juga dirinya karena akta nikah tidak ada di tangan mereka melainkan berada di rumah, tepatnya Violeta menyimpan benda itu di kamarnya. Dan mereka baru saja melakukan itu, mengunggah akta nikah di halaman media sosial mereka.
"Aku sudah mengatakan, aku bisa mengatasi semua ini. Kau membuatku berhutang terlalu banyak padamu." Violeta menggerutu, ia tidak ingin berhutang apa pun lagi kepada Leonel.
Ia membawa Leonel ke Paris untuk satu hari saja, faktanya hingga sekarang pria itu masih berada di Paris dan sekarang ia malah bertindak sebagai pahlawan bagi perusahaannya.
"Apa yang salah? Kau istriku, sudah seharusnya aku menyelamatkan perusahaanmu," ucap Leonel, nadanya terdengar tidak terima.
Istriku.
Violeta menelan ludah. Sepertinya ia terjebak oleh permainan yang ia ciptakan sendiri.
"Pernikah kita sekarang diketahui banyak orang. Kau tidak memikirkan itu, Leonel." Nada suara Violeta terdengar sangat panik.
Leonel menatap wajah Violeta yang sedikit pucat, di samping kurang tidur gadis itu tampak stres dan lelah hari ini. "Seperti katamu, kita bisa mengakhirinya nanti setelah tiga bulan, tinggal katakan saja kepada semua orang jika kita tidak cocok kemudian kita bercerai."
Seringan kapas, ucapan pria itu meluncur begitu saja dan membuat batin Violeta terasa tertusuk meski ia tahu apa yang diucapkan Leonel adalah gagasan darinya. Pria itu hanya mengulang ucapannya.
"Apa kau memiliki kekasih yang kau jaga perasaannya hingga kau begitu panik?" Leonel menyipitkan matanya, mencari-cari sesuatu di mata Violeta.
"Itu bukan urusanmu," jawab Violeta ketus.
Dari jawaban Violeta. Leonel berasumsi jika istrinya memiliki kekasih. Perasaan jengkel merayapi dirinya, bisa-bisanya Violeta mengincar dirinya sedangkan ia memiliki kekasih. Memikirkan hal itu membuat emosi Leonel meradang karena telah melangkah sejauh ini.
"Kau memiliki kekasih, untuk apa kau memanfaatkan aku?"
Violeta tergagap, ini sama sekali di luar kendalinya. Rencananya hanya menikahi Leonel untuk satu hari, bukan untuk tiga bulan. Yang tiga bulan itu adalah gugatan perceraian mereka nanti.
"Karena hanya nama Johanson yang pasti dianggap pantas untuk melindungiku di mata Kakek dan pamanku," ujar Violeta rasional.
Keluarga Johanson adalah keluarga terpandang, bukan sembarangan, dan juga kaya raya. Sejajar dengan keluarga Hubert.
Leonel menghela napasnya, menata emosinya. Ia juga terbayang bagaimana Violeta mengerang di bawah kuasanya, mungkin wanita itu membayangkan kekasihnya.
Sialan, kau harus membayar semua ini, Violeta. Kau pikir aku boneka mainan hanya karena aku dalam keadaan bangkrut?
Sudut bibir Leonel berkedut, ia menyeringai licik di dalam hatinya. "Kalau begitu agar kita impas, aku ingin kau menuruti kemauanku."
"Hah?" Violeta mengerutkan kedua alisnya. "Kau menginginkan saham di perusahaanku? Katakan berapa kau ingin?"
"Lebih dari itu," ucap Leonel. Kali ini seringai licik itu benar-benar tergambar di bibirnya.
"Kau? Apa maksudmu? Kau ingin mengambil alih perusahaanku?" Violeta tidak menyangka jika pria pilihannya yang ia kira berbeda dari Liam nyatanya lebih licik.
"Aku menginginkanmu, di atas ranjangku selama kontrak perjanjian kita," ujar Leonel tegas. "Dan selama itu pula, kau tidak diperbolehkan menemui kekasih sialanmu itu."
Violeta merasa kepalanya menjadi gatal tidak terkira, ia ingin menggaruknya tetapi rasanya mustahil, ia juga ingin tertawa keras-keras. Tetapi, sekali lagi itu mustahil.
Ada apa dengan Leonel?
"Bagaimana Glamour Entertainment? Kau meninggalkan terlalu lama."
"Kau ingin sekali bebas rupanya, ya?"
Violeta mengerutkan kedua alisnya. "Kebebasan apa?"
Leonel menatap Violeta, jengkel. Sekarang semua telah terlanjur. Ia telah mengumumkan pernikahannya yang itu berarti ibunya sebentar lagi akan memarahinya. Leonel berani bertaruh akan hal itu. Ia benar-benar terjebak oleh Violeta, seharusnya ia tidak menolong gadis licik itu. Ralat, wanita licik.
Karena tiga bulan ke depan ia telah terikat dengan Violeta, maka Violeta juga harus merasakan pembalasannya, wanita itu harus patuh padanya dan tidak boleh menemui kekasihnya sebagai gantinya.
"Kau ingin aku kembali ke London, agar kau bisa bebas berkencan dengan kekasihmu?"
Violeta kehilangan kata-katanya. Kekasih, kekasih yang mana? Liam? Pria itu mungkin telah tenggelam di rawa-rawa. Terakhir ia bertemu Liam adalah saat pria itu menemuinya untuk meminjam sejumlah uang, ia bersedia meminjamkan uang itu kepada Liam meski ia tahu jika Liam berbohong. Entah karena ia terlalu lemah atau mudah di bohongi karena ekspresi wajah Liam yang terlihat begitu meyakinkan dan menyedihkan saat datang kepadanya.
Leonel mendekati Violeta, ia meraih dagu istrinya. "Kenapa diam? Apa yang sedang kau rencanakan?"
Entah harus tertawa atau menangis menghadapi kecurigaan Leonel. "A-aku tidak merencanakan apa-apa," gumam Violeta.
"Hmmm... begitu rupanya." Rahang Leonel mengeras, sedikit pun ia tidak percaya kepada Violeta. "Akan kubuat kau memikirkan aku."
Pria itu mendekatkan bibirnya ke bibir Violeta. "Jangan coba-coba memikirkan pria lain saat suamimu ini mengajakmu bercinta," geramnya.
Violeta hendak menjawab, tetapi terlambat. Bibir Leonel telah mendarat di bibirnya. Pria itu menciuminya, sedikit kasar seolah meluapkan kekesalannya. Violeta tidak berdaya, saat lidah Leonel menyentuh lidahnya, membelainya, menggodanya, menghantarkan arus listrik ke sekujur tubuhnya. Violeta mengerang, kedua telapak tangannya berada dada Leonel, membelainya yang masih terbungkus kain. Ia merasakan jika kedua dadanya sakit dan pangkal pahanya juga terasa nyeri, ia ingin Leonel memenuhinya. Tetapi, ia tidak tahu bagaimana caranya meminta kepada pria itu.
Namun, Leonel adalah pria yang paling mengerti dirinya. Sepertinya begitu, pria itu melucuti seluruh pakaian mereka, lalu menggoda seluruh tubuh Violeta menggunakan bibirnya sebelum menyatukan tubuh mereka. Violeta menjerit, rasanya lebih baik di bandingkan tadi malam, juga tadi pagi.
Meski Leonel sedikit kasar, tetapi Violeta menikmatinya. Lebih dari itu, ia tidak rela setiap kali Leonel menarik diri menjauhinya. Ia ingin Leonel terus memenuhinya. Lagi dan lagi.
"Tidak bisakah mereka menunggu," omel Leonel. Pria itu menyurukkan kepalanya di ceruk leher Violeta, ia baru saja mendapatkan pelepasan dengan sedikit terburu-buru karena ponselnya terus saja berdering nyaris tidak berjeda.
Perlahan ia memisahkan dirinya dari Violeta meski ia enggan. Ia turun dari tempat tidur mencari ponselnya yang masih berada di dalam saku pakaiannya yang berceceran di lantai kamar.
Ketika menemukan ponselnya, bibir Leonel membentuk senyum hambar. Seperti prediksinya, ibunya, William kakaknya, Grace dan Alexa adiknya memanggil, tidak terkecuali Sidney saudara kembarnya. Mereka pasti telah melihat posting-an di halaman media sosial. Dan ia akan terkena ceramah ibunya kemudian pertanyaan-pertanyaan lain dari saudaranya.
Leonel mengusap layar ponselnya untuk memanggil ibunya, secepat kilat, baru saja sering pertama ibunya menjawab panggilannya.
"Leonel, apa kami mengajarimu menjadi pria kurang ajar?" Pertanyaan pertama ibunya membuat pria itu menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Kalian mengajariku dengan baik," jawab Leonel dengan nada malas khas miliknya.
"Bawa menantuku ke sini dan beri dia pernikahan yang layak," ucap ibunya dengan nada galak.
Leonel mengernyit, ia mengutuki kebodohannya yang mengambil keputusan terburu-buru hanya karena merasa iba kepada Violeta. "Aku akan membawanya ke rumah. Nanti, jika... tidak banyak pekerjaan." Leonel menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Pekerjaan? Sejak kapan kau peduli kepada pekerjaan?" tanya ibunya, nadanya terdengar sinis.
Ia mengalihkan tatapannya kepada Violeta yang duduk sambil memegangi selimut yang menutupi dadanya. Wajah istrinya tampak merona meski cekungan matanya tampak sedikit dalam.
Sialan! Meski tampak lelah, Violeta terlihat masih menggairahkan.
Ia kembali mengutuk dirinya karena setiap kali menatap wajah Violeta, ia tidak bisa marah meski gadis itu telah membuatnya terjebak, ia justru bergairah.
Leonel berdehem, ia meraba benda di antara kedua pahanya yang telah menegang kembali sambil mendekati tempat tidur. "Mom, istriku ingin menyapamu," ujarnya berusaha melarikan diri dari situasi sulit, ia tidak bisa lagi berkelit dari amarah ibunya.
Violeta membeliak, apa lagi dalam hitungan setengah detik Leonel telah menempelkan ponsel di telinganya.
“Suamimu memerintahkan audit mendadak di departemen keuangan,” ujar Xaniah, wanita berkaca mata itu memberi tahu apa yang dilakukan Leonel.Violeta mengedikkan bahunya. “Dia mengatakan akan menggantikan posisi sementara CEO. Tapi, ia sendiri masih tidur saat aku berangkat bekerja.” “Tidur?” “Ya. Di kamarku.”
Leonel menggaruk kepalanya yang mendadak terasa gatal. “Untuk apa dia berada di Paris?” tanyanya kepada Mario melalui sambungan telepon.“Tentu saja untuk bekerja karena Paris Fashion Week akan dimulai dua Minggu lagi,” jawab Mario. “Dia ingin bertemu denganmu.” “Jadwalkan saja,” ucap Leonel. “Kapan kau bisa?”
Violeta menelan ludah. “Tapi, setidaknya bisakah kau menjaga reputasi kita?” “Kau mulai menjadi istri yang pengatur, ya?” Leonel menaikkan sebelah alisnya.Violeta mengembuskan napasnya kasar sambil memejamkan matanya beberapa saat. “Ke mana saja kau tadi malam?” Leonel menopangkan dagunya, ia menatap Violeta dengan tatapan tidak suka. Menurut Leonel, mereka memang terikat pernikahan
“Kau masih memikirkannya?” tanya Laura membuyarkan lamunan Rebecca yang sedari tadi tampak tidak berkonsentrasi. Rebecca menghela napas pelan. “Apa terlihat begitu?” “Jelas sekali, wajahmu....” Laura me
Rebecca memejamkan matanya kembali. Alkohol tadi malam adalah sumber dosa terbesarnya tadi malam yang menurutnya tidak bisa dimaafkan. Ia bebas berkencan dengan siapa saja, ia bebas tidur dengan pria mana pun yang ia mau. Tetapi, tidak dengan pria beristri.Sama sekali bukan dirinya.
ChapterRebecca and Me“Suamimu ada di ruangannya,” ujar Xaniah yang baru saja memasuki ruang kerja Violeta.“Jadi, dia datang?” Violeta mengembuskan napasnya sedikit kasar, satu telapak tangannya berada di keningnya sedangkan sikunya bertumpu di atas meja.“Ya.”Violeta mengganti posisi tangannya, kali ini ia menyatukan telapak tangannya, membuat kedua telapak tangannya saling menggenggam erat di depan keningnya. Matanya terpejam. Hubungannya dengan Leonel sekarang benar-benar tidak sehat, pria itu bahkan tidak kembali ke rumah selama atau beberapa hari, suaminya juga tidak datang ke perusahaan meski semua pekerjaan ditangani dengan baik olehnya.“Ada beberapa dokumen yang harus ditanda tangani oleh suamimu,&rdqu
ChapterFake FamilyRebecca menoleh ke sumber suara, ia mendapati Leonel yang berdiri di ambang pintu, menyandarkan bahunya dengan gayanya yang sangat santai. Seperti biasa, selalu terlihat tampan.Selama ini Leonel belum pernah memasuki ruang khusus yang di peruntukan untuk Rebecca karena mereka selalu menjaga jarak setiap kali berada di Glamour Entertainment. Semua demi menghindari pergunjingan dari rekan sesama artis yang bernaung di bawah label Glamour Entertainment.“Kau....” Rebecca menegakkan punggungnya.“Kenapa?” Leonel menaikkan sebelah alisnya. “Takut jadi bahan gosip?”Tentu saja iya, gosip miring yang menerpa seorang publik figur adalah kutukan. Bagi Rebecca itu adalah hal yang paling ia hindari, ia telah mati-matian menjaga citra dirinya selama membangun karier, ia tidak ingin merasakannya. Apa lagi dengan urusan yang akan melibatkannya dalam skandal b
Chapter 19Consept"Selamat datang, Sayang," sapa Violeta. Ia berdiri untuk menyambut Leonel."Bagaimana hari ini? Apa menyenangkan?" tanya Leonel sambil mendekati violet dan mendaratkan kecupan manis di pelipis istrinya.Semua itu hanya sandiwara mereka berdua yang dilepas dengan sangat apik, akting mereka bahkan sempurna. Oscar bahkan berhutang piala kepada dua orang tersebut."Kau harus lebih memprioritaskan keluargamu, Leonel. Kembalilah dari bekerja lebih awal," ucap Alexander, ayahnya."Daddy-mu benar," sahut Prilly, ibunya."Baiklah, akan kucoba," kata Leonel pasrah. Tidak ada gunanya membantah orang tuanya.Violeta tersenyum. "Suamiku biasanya kembali lebih awal, ini hanya kebetulan saja banyak pekerjaan," ujarnya seraya bergelayut manja di pinggang Leonel.Prilly mengedikkan bahunya
Epilogue
Leonel berbalik ia menatap Benji dengan tatapan dingin. “Kupastikan kalian akan bercerai, hari ini juga.”
“Ada sesuatu yang tidak aku tahu? Sayangku?” tanya Benji sambil mengemudikan mobilnya.
Pada akhirnya, mereka tidak membicarakan apa pun karena saat Rebecca kembali dari bekerja pukul dua belas malam, ia hanya mendapati Candy yang tengah mengemasi seluruh barang-barang mereka di dalam unit apartemen, sementara Brian tampak tertidur pulas di atas tempat tidur. Tidak ada Mark, juga Leonel. Pria itu melarikan diri darinya, anggap saja begitu.
“Dad, aku merindukanmu,” ucap Brian yang sedang bercakap-cakap dengan Benji menggunakan video call didampingi oleh Candy yang duduk di sebelahnya.
“Jadi, bagaimana caranya aku mencuci gelas jika kau memegangi tanganku?” Rebecca sedikit mendongak untuk menatap Leonel.
“Apa Brian menyusahkanmu?” tanya Rebecca sambil melepaskan sepatu hak tingginya dan bergegas melangkah ke kamarnya. Ia baru saja kembali dari bekerja pukul sebelas malam.
“Kau membawanya ke sini, apa kau tidak waras?”
Malam itu, mengenakan piama yang disiapkan mendadak oleh Prilly, Rebecca duduk bersandar pada ranjang sementara Brian dan Mark, masing-masing menggunakan paha Rebecca sebagai bantal di kepala mereka. Rebecca membacakan salah satu koleksi buku dongeng penghantar tidur milik Mark hingga kedua bocah itu tertidur.