Violeta bermaksud meninggalkan Leonel yang tampaknya telah terlelap. Tetapi, saat ia mencoba beringsut, lengan kekar Leonel yang melingkar di pinggangnya menahannya.
“Mau ke mana?”
“A-aku ingin tidur di kamarku,” jawab Violeta setengah bergumam.
“Tidurlah di sini,” ujar Leonel, lengannya semakin erat mengungkung pinggang Violeta.
“T-tapi....”
“Jangan membantah suamimu.” Leonel membuka matanya, langsung menatap Violeta yang tampak gugup di dalam pelukannya. “Aku tidak akan mengganggu tidurmu.”
Wajah violet terasa memanas mengingat bagaimana tubuh mereka menyatu, bagaimana ia mengerang memanggil Leonel dan bagaimana Leonel menggeram kehilangan kendali setiap kali mendapatkan pelepasannya. Demi Tuhan, Violeta rela diganggu oleh Leonel hingga pagi. Ia tidak keberatan jika tidak tidur asalkan Leonel menyentuhnya lagi, berada di dalam dirinya. Memenuhinya.
“Tidurlah,” ucap Leonel, pria itu mendaratkan kecupannya di kening Violeta.
Violeta mengangguk, ia membenamkan wajahnya di dada suaminya, ia menghirup aroma suaminya. Pria itu beraroma segar dengan sentuhan kayu-kayuan yang hangat, Violeta menghirupnya penuh dengan perasaan seolah sedang menyimpan aroma suaminya ke dalam ingatannya karena mungkin malam ini tidak akan terulang lagi di dalam hidupnya. Tetapi, meski hanya beberapa hari dan hanya satu malam, ia pernah bersama pria yang memperlakukannya dengan baik, bukan pria seperti Liam yang hanya memanfaatkan uangnya.
Meski canggung dan kaku, Violeta akhirnya memeluk pinggang Leonel, ia tidak ingin memikirkan apa pun malam ini.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Leonel yang rupanya tahu kegelisahan yang disimpan oleh istrinya.
“Besok pengumuman direksi baru Hubert Corporation,” jawab Violeta lirih.
“Kau gugup?”
“Sedikit,” jawab Violeta pelan.
“Kau takut berpidato di depan umum?”
Violeta menggeleng. Namun, ia segera menyadari jika Leonel mungkin tidak melihatnya ia segera menyahut, “Entahlah, rasanya... hanya tidak bisa percaya jika aku mendapatkan semuanya....”
“Ada akan menemanimu besok. Jika kau menginginkan.”
Violet mendongakkan kepalanya, ia mendapati mata Leonel masih terbuka. Tatapan keduanya bersobok, beberapa detik mereka saling menatap sebelum akhirnya ia kembali membenamkan wajahnya di dada Leonel. “Aku menyusahkanmu, ya?”
Leonel menyapukan bibirnya di atas kepala Violeta, jantungnya berpacu cepat tidak menentu dan entah apa yang terjadi pada dirinya. Sedikit pun ia tidak ingin melepaskan Violeta dari dekapannya apa lagi meninggalkan gadis yang baru saja ia ubah menjadi wanita itu sendirian di Paris. Jika ia kembali ke London, ia ingin membawa serta Violeta.
Kesadaran merayapi otaknya, Leonel ingat jika antara dirinya dan Violeta hanya ada pernikahan palsu. Tetapi, ia tidak ingin peduli dengan hal itu untuk saat ini.
Keheningan menyeruak di antara keduanya, perlahan pula napas keduanya melemah, kantuk mulai menguasai, lalu mereka berdua terbuai dalam mimpi-mimpi indah yang mengiringi tidur mereka hingga matahari mulai menyapa dan sinarnya mulai menyeruak di antara tirai jendela kamar.
Bangun tidur dengan seorang wanita di dalam pelukannya, selain Rebecca, Violeta adalah yang ke dua. Leonel menatap rambut berwarna gelap yang tergerai di atas bantal lalu beralih ke wajah cantik Violeta yang tampak begitu damai terbuai dalam mimpinya. Leonel beringsut, ia menjauhkan tubuhnya dari Violeta yang masih dalam keadaan tanpa busana di balik selimut. Pria itu memasuki kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya lalu setelah beberapa menit ia keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melingkar rendah di pinggangnya.
“Kau bangun?” sapa Leonel saat menyadari jika Violeta telah membuka matanya.
Violeta hanya mengangguk.
“Apa kau masih mengantuk?” tanya Leonel, ia mengira jika Violeta kelelahan dan masih mengantuk karena istrinya tidak bersuara.
Pada faktanya Violeta merasa sangat canggung terhadap Leonel karena mengingat semua yang terjadi tadi malam, mengingat bagaimana Leonel mempermainkan lidahnya di antara kedua pahanya. Mengingat betapa liar dirinya merengek dan gelisah menginginkan Leonel memuaskannya.
“Kau bisa menunda pengumuman besok,” kata Leonel.
Namun, detik berikutnya ia mengutuk keanehan yang terjadi pada dirinya karena sikapnya kepada Violeta begitu manis dan lembut. Ia merasa jika dirinya di depan Violeta seolah bukanlah dirinya yang sesungguhnya.
“Maksudku....” Leonel hendak meralat ucapannya.
“Tidak, bukan itu. Tapi... a-aku....”
Violeta bingung bagaimana menjelaskan kepada Leonel jika ia memerlukan pakaiannya.
“Ada apa?”
Wajah Violeta justru memerah dan ia menarik selimut hingga menutupi wajahnya.
“Apa bagian itu sakit?” tanya Leonel dengan nada khawatir. “Biar aku memeriksanya.”
Leonel tanpa aba-aba menarik selimut yang menutupi tubuh Violeta, spontan wanita itu memekik. Ia berusaha menutupi bagian dadanya juga mengatupkan kedua pahanya.
“Oh, damn!” Leonel mengumpat karena fokusnya langsung tertuju kepada tubuh indah Violeta yang terlihat jelas, tidak seperti tadi malam karena tadi malam mereka melakukan hubungan suami istri di bawah cahaya temaram.
Kali ini, kulit indah Violeta bisa ia nikmati tanpa terhalang temaram lampu. Liuk dan lekuk tubuh Violeta sempurna. “Kau sangat cantik,” gumamnya. Entah bergumam atau menggeram.
Detik selanjutnya, Leonel telah menyapukan bibirnya di atas kulit istrinya sementara Violeta sama sekali tidak menolak. Ia menikmati sentuhan Leonel pagi itu. Apa lagi saat pria itu membuang handuk yang melingkar di pinggangnya, Violeta dapat dengan jelas melihat benda tumpul yang telah mengeras.
Ketika Leonel mendesak masuk, Violeta lebih rileks. Ia menikmati tahap demi tahap Leonel membawanya dalam permainan yang memabukkan, menerkamnya dengan cara yang luar biasa ahli hingga berkali-kali ia memanggil nama Leonel seolah tidak ingin mengakhiri pergumulan dengan Leonel pagi itu, si billionaire bangkrut yang ia sewa sebagai suaminya.
***
Violeta memasuki ruang pertemuan di mana para petinggi dan investor menunggunya, pertemuan dijadwalkan pukul sepuluh pagi. Jadi, Violeta memasuki ruang pertemuan lima menit sebelum pertemuan berlangsung.
Seluruh mata tertuju kepadanya. Seharusnya demikian karena ia adalah pemilik tunggal Hubert Corporation. Sayangnya, hampir semua yang hadir di ruangan itu lebih tertarik kepada siapa yang datang bersamanya. Yang jelas bukan Xaniah sekretarisnya, tetapi Leonel suaminya. Pria itu hanya mengenakan setelah semi formal, berbeda dengan semua yang hadir di sana yang mengenakan setelan formal lengkap dengan jas dan dasi yang rapi.
Pria itu bersikeras untuk mendampinginya mengumumkan kepemilikan perusahaan meski Violeta telah mengatakan jika ia tidak perlu didampingi. Jika selama ini Violeta duduk sebagai CEO dan Samuel, pamannya di kursi direksi maka mulai hari ini ia menggantikan posisi pamannya.
Ekspresi puas di wajah Violeta tampak begitu nyata, ia telah menantikan momen ini, sepanjang ayahnya meninggal. Baginya, Samuel tidak pantas mengambil alih perusahaan milik ayahnya karena pria itu telah mendapatkan bagiannya tetapi memilih untuk menjual semua asetnya kepada mendiang ayah Violeta lalu pergi ke Swiss, menetap di sana bersama Paris, istrinya. Wanita yang seharusnya menjadi ibu tiri Violeta tetapi Samuel merebut kebahagiaan ayahnya, juga dirinya.
Namun, sekali lagi. Kebahagiaan Violeta hanya berlangsung beberapa menit karena para investor terang-terangan mengatakan akan menarik investasi mereka di Hubert Corporation. Dan di pastikan jika saham Hubert Corporation anjlok hingga angka 40%.
Wajah Violeta pias seketika meski ia masih mampu mempertahankan ketenangannya, ia merasakan pelipisnya yang mendadak terasa sangat sakit, tadi malam ia kurang tidur karena aktivitas bersama suaminya. Dan sekarang ia harus menghadapi kemungkinan anjloknya saham perusahaan hanya dalam beberapa menit pemberitahuan bahwa ia adalah penerus tunggal Hubert Corporation. Para investor pasti beranggapan jika ia tidak mampu memegang perusahaan besar hanya karena ia seorang wanita dan masih terlalu muda.
Violeta menghela napasnya, rasanya sangat kesal ketika orang-orang memandang sebelah mata. Violeta di besarkan dan dididik dengan baik oleh kakeknya langsung, pendiri Hubert Corporation, ia yakin, jika dirinya mampu memegang kendali perusahaan itu.
“Akan kubuat kalian menyesal telah menarik saham kalian,” gumam Violeta, pelan, tetapi penuh tekanan emosi. Hanya terdengar oleh telinganya sendiri.
Leonel berdehem. “Izinkan saya berbicara di sini,” ucapnya memecah kericuhan, suaranya terdengar berat dan tegas. Pria bermata biru itu menyapukan pandangannya ke seluruh orang yang ada di depannya.
Violeta menegang, begitu juga Xaniah. Mereka berdua saling melirik karena di dalam rangkaian acara tidak ada jadwal Leonel untuk berbicara.
“Pertama, perkenalkan saya adalah Leonel Johanson.” Pria itu menjeda kalimatnya, ia kembali menyapukan pandangannya ke seluruh orang di depannya, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. “Kalian pasti tidak asing dengan namaku, Johanson. Ya, aku seorang Johanson begitu juga Violeta karena kami baru saja menikah.”
Seperti dugaannya, semua orang menatap Leonel beralih menatap Violeta dengan tatapan bertanya-tanya.
“Istriku adalah pemilik perusahaan ini sekaligus pemegang saham tertinggi di sini, ia adalah satu-satunya penerus keluarga Hubert. Sudah sewajarnya perusahaan jatuh ke tangannya bukan?” Leonel berbicara dengan gaya yang sangat santai, pria itu bahkan meletakkan satu sikunya di atas meja. “Kalian meragukan kemampuan istriku tercinta ini bukan?”
Leonel meraih telapak tangan Violeta, tatapan mata birunya menatap Violeta, lembut, penuh kasih sayang. Pria itu membawa telapak tangannya ke dekat bibirnya lalu menghadiahkan kecupan kecil di sana. Violeta nyaris membeliak tetapi ia masih bisa mempertahankan ketenangannya, yang jelas wajahnya merona, bibirnya sedikit terbuka. Ia membalas tatapan Leonel, sama lembutnya. Seolah mereka benar-benar pasangan yang saling mencintai.
“Kalian meragukan kemampuan istriku tercinta, itu berarti kalian meragukan kemampuan seorang Johanson.”
"Leonel, apa kau tahu apa yang kau lakukan tadi?"Violeta mencubit batang hidung di antara ke dua alisnya, ia terduduk di tepi ranjangnya. Leonel dengan terang-terangan mengumumkan hubungan mereka padalah sudah bisa dipastikan tiga bulan yang akan datang mereka akan bercerai. Tidak mudah meyakinkan para investor, mereka meminta bukti dari pernikahan Leonel dan Violeta karena mustahil seorang Johanson menikahi seorang Hubert tanpa terendus oleh siapa pun.Pria itu dengan entengnya menjawab akan mengunggah akta nikah mereka di halaman media sosial Violeta dan juga
“Suamimu memerintahkan audit mendadak di departemen keuangan,” ujar Xaniah, wanita berkaca mata itu memberi tahu apa yang dilakukan Leonel.Violeta mengedikkan bahunya. “Dia mengatakan akan menggantikan posisi sementara CEO. Tapi, ia sendiri masih tidur saat aku berangkat bekerja.” “Tidur?” “Ya. Di kamarku.”
Leonel menggaruk kepalanya yang mendadak terasa gatal. “Untuk apa dia berada di Paris?” tanyanya kepada Mario melalui sambungan telepon.“Tentu saja untuk bekerja karena Paris Fashion Week akan dimulai dua Minggu lagi,” jawab Mario. “Dia ingin bertemu denganmu.” “Jadwalkan saja,” ucap Leonel. “Kapan kau bisa?”
Violeta menelan ludah. “Tapi, setidaknya bisakah kau menjaga reputasi kita?” “Kau mulai menjadi istri yang pengatur, ya?” Leonel menaikkan sebelah alisnya.Violeta mengembuskan napasnya kasar sambil memejamkan matanya beberapa saat. “Ke mana saja kau tadi malam?” Leonel menopangkan dagunya, ia menatap Violeta dengan tatapan tidak suka. Menurut Leonel, mereka memang terikat pernikahan
“Kau masih memikirkannya?” tanya Laura membuyarkan lamunan Rebecca yang sedari tadi tampak tidak berkonsentrasi. Rebecca menghela napas pelan. “Apa terlihat begitu?” “Jelas sekali, wajahmu....” Laura me
Rebecca memejamkan matanya kembali. Alkohol tadi malam adalah sumber dosa terbesarnya tadi malam yang menurutnya tidak bisa dimaafkan. Ia bebas berkencan dengan siapa saja, ia bebas tidur dengan pria mana pun yang ia mau. Tetapi, tidak dengan pria beristri.Sama sekali bukan dirinya.
ChapterRebecca and Me“Suamimu ada di ruangannya,” ujar Xaniah yang baru saja memasuki ruang kerja Violeta.“Jadi, dia datang?” Violeta mengembuskan napasnya sedikit kasar, satu telapak tangannya berada di keningnya sedangkan sikunya bertumpu di atas meja.“Ya.”Violeta mengganti posisi tangannya, kali ini ia menyatukan telapak tangannya, membuat kedua telapak tangannya saling menggenggam erat di depan keningnya. Matanya terpejam. Hubungannya dengan Leonel sekarang benar-benar tidak sehat, pria itu bahkan tidak kembali ke rumah selama atau beberapa hari, suaminya juga tidak datang ke perusahaan meski semua pekerjaan ditangani dengan baik olehnya.“Ada beberapa dokumen yang harus ditanda tangani oleh suamimu,&rdqu
ChapterFake FamilyRebecca menoleh ke sumber suara, ia mendapati Leonel yang berdiri di ambang pintu, menyandarkan bahunya dengan gayanya yang sangat santai. Seperti biasa, selalu terlihat tampan.Selama ini Leonel belum pernah memasuki ruang khusus yang di peruntukan untuk Rebecca karena mereka selalu menjaga jarak setiap kali berada di Glamour Entertainment. Semua demi menghindari pergunjingan dari rekan sesama artis yang bernaung di bawah label Glamour Entertainment.“Kau....” Rebecca menegakkan punggungnya.“Kenapa?” Leonel menaikkan sebelah alisnya. “Takut jadi bahan gosip?”Tentu saja iya, gosip miring yang menerpa seorang publik figur adalah kutukan. Bagi Rebecca itu adalah hal yang paling ia hindari, ia telah mati-matian menjaga citra dirinya selama membangun karier, ia tidak ingin merasakannya. Apa lagi dengan urusan yang akan melibatkannya dalam skandal b
Epilogue
Leonel berbalik ia menatap Benji dengan tatapan dingin. “Kupastikan kalian akan bercerai, hari ini juga.”
“Ada sesuatu yang tidak aku tahu? Sayangku?” tanya Benji sambil mengemudikan mobilnya.
Pada akhirnya, mereka tidak membicarakan apa pun karena saat Rebecca kembali dari bekerja pukul dua belas malam, ia hanya mendapati Candy yang tengah mengemasi seluruh barang-barang mereka di dalam unit apartemen, sementara Brian tampak tertidur pulas di atas tempat tidur. Tidak ada Mark, juga Leonel. Pria itu melarikan diri darinya, anggap saja begitu.
“Dad, aku merindukanmu,” ucap Brian yang sedang bercakap-cakap dengan Benji menggunakan video call didampingi oleh Candy yang duduk di sebelahnya.
“Jadi, bagaimana caranya aku mencuci gelas jika kau memegangi tanganku?” Rebecca sedikit mendongak untuk menatap Leonel.
“Apa Brian menyusahkanmu?” tanya Rebecca sambil melepaskan sepatu hak tingginya dan bergegas melangkah ke kamarnya. Ia baru saja kembali dari bekerja pukul sebelas malam.
“Kau membawanya ke sini, apa kau tidak waras?”
Malam itu, mengenakan piama yang disiapkan mendadak oleh Prilly, Rebecca duduk bersandar pada ranjang sementara Brian dan Mark, masing-masing menggunakan paha Rebecca sebagai bantal di kepala mereka. Rebecca membacakan salah satu koleksi buku dongeng penghantar tidur milik Mark hingga kedua bocah itu tertidur.