"Kau sudah menyerahkan dirimu padaku, maka tidak ada jalan untuk kau kembali, Violeta." Leonel mendaratkan bibirnya di bibir Violeta, hanya kecupan kecil. "Meski kau menangis dan memohon untuk kulepaskan, aku tidak akan melepaskanmu."
Bibir Violeta bergetar. Tetapi, ia tidak mengucapkan apa pun. Gadis itu perlahan meletakkan telapak tangannya di lengan Leonel, meraba kulit pria itu dengan gerakan yang sangat pelan.
Leonel mendaratkan bibirnya di bibir Violeta, mengecupnya beberapa kali dengan kecupan-kecupan kecil yang menggoda. "Apa kau tahu cara berciuman?"
Seketika tubuh Violeta memegang, ia pernah berciuman di bibir dengan Liam tetapi ciuman itu juga hanya seperti yang Leonel lakukan barusan. Bukan seperti ciuman yang ia lihat di televisi atau yang teman-temannya lakukan bersama kekasih mereka.
Leonel tersenyum miring melihat reaksi Violeta yang begitu kikuk, ia yakin jika istrinya memang tidak berpengalaman dalam hal berciuman. "Aku akan mengajarimu dengan benar."
Leonel membungkukkan badannya, ia mulai menggoda bibir Violeta, menjilatinya dengan cara yang sangat sensual. Ia adalah idola para gadis di Glamour Entertainment, mereka yang pernah naik ke atas ranjangnya maka mereka akan merasa jika diri mereka telah naik kelas. Tidak heran jika Leonel begitu ahli dalam urusan badaniah di atas tempat tidur.
"Buka bibirmu, sayangku," bisik Leonel. "Ya begitu," bisiknya lagi saat bibir Violeta sedikit terbuka.
Leonel segera mendesakkan lidahnya masuk ke dalam rongga mulut Violeta, mulai menyentuh lidah Violeta yang mungil dengan perlahan, membelai lidah istrinya dengan lidahnya yang lembut selembut kain beludru.
Tubuh Violeta bergetar, ciuman Leonel begitu hangat, lembut, dan membangkitkan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasa seolah kupu-kupu beterbangan di perutnya lalu menghantarkan getaran aneh di sekujur tubuhnya. Jari-jarinya mulai mencengkeram kulit Leonel, erat seolah ia takut jika rasa nyaman dari cumbuan bibir pria itu berakhir.
"A-apa kita akan memulainya?" tanya Violeta saat bibir mereka terlepas.
Leonel menyingkirkan sejumput rambut di kening istrinya. "Malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang, kita tidak perlu terburu-buru."
Violeta mengerjapkan matanya, wajahnya tampak bersemu merah. Ragu-ragu ia membalas tatapan Leonel. "A-aku sangat gugup," ujarnya.
Leonel menarik tali gaun tidur yang dikenakan oleh Violeta, ia membiarkan gaun tipis meluncur perlahan ke bawah perut Violeta. Gadis itu tidak mengenakan bra hingga langsung menampakkan gundukan kenyal di dada istrinya yang berwarna putih, tampak begitu kencang dengan puncak berwarna merah jambu. Merekah dengan sempurna dan telah mengeras.
"Sangat indah," geram Leonel.
Ia menyentuh satu bagian itu perlahan dengan gerakan memutar menggunakan ujung jemarinya, memilin ujungnya kemudian meremasnya perlahan. Ia mengusapnya kembali lalu menjepit puncak dada menggunakan jemarinya, perlahan namun menggoda.
Violeta mengerang, ia belum pernah merasakan sentuhan seperti itu dari seorang pria. Rasanya seluruh kulitnya menjerit dalam suka cita, rasanya ia menginginkan kedua dadanya di perlakukan sama oleh Leonel karena sebelah dadanya juga sama kerasnya, sama bergairahnya.
Leonel mendaratkan bibirnya di bibir Violeta, mengisapnya perlahan. Kali ini Violeta bereaksi, gadis yang akan ia ambil kesuciannya itu membalas cumbuannya meski sangat kaku dan canggung. Leonel memindahkan telapak tangannya di punggung Violeta, perlahan mengelusnya seoalh sedang menenangkan istrinya agar lebih rileks. Cumbuan bibir mereka semakin dalam, bergairah dan menuntut.
Perlahan Leonel mendorong Violeta hingga berbaring di rasa tempat tidur, telapak tangannya mulai menyusuri jengkal demi jengkal kulit Violeta yang lembut, selembut kulit bayi. Sedikit tidak sabar ia membuang gaun tidur yang masih melingkar di pinggang Violeta tanpa melepas tautan bibir mereka karena rasa bibir Violeta lebih manis dari pada yang ia kira, lidah Violeta juga lebih lembut. Ia tidak bisa berhenti untuk terus memagut bibir istrinya.
Bibir Leonel turun ke bawah, menjelajah leher istrinya, memberikan beberapa tanda kepemilikan di sana. Tanda yang belum pernah ia berikan kepada wanita mana pun yang pernah ia nikmati di atas tempat tidur bahkan Rebecca sekali pun. Tidak hanya menjelajah leher Violeta, ia mulai menjelajah dada gadis yang beberapa menit lagi akan ia ubah menjadi seorang wanita. Bibirnya menjepit puncak dada Violeta, lidahnya mempermainkan, menjilati, menggoda dengan cara yang teramat ahli. Sesekali ia menggigit bagian itu. Pelan namun mampu membuat Violeta melenguh. Memanggil namanya dengan suara parau. Sementara sebelah tangannya berada di bagian kenyal yang lainnya, menggoda dengan cara yang tak kalah ahli.
Violeta merintih, sesuatu yang tidak pernah muncul ke permukaan di dalam dirinya seolah meronta-ronta. Gejolak di dalam dirinya yang tidak pernah ia rasakan seolah menuntut untuk di puaskan meski ia sendiri tidak tahu bagaimana caranya.
"Leonel...." Violeta memanggil nama suaminya, merintih.
Leonel tidak menyahut, bibitnya turun ke bawah. Mengecup perut rata istrinya lalu lidahnya menjilati kulit yang seindah batu pualam seolah ia menjilati es krim yang begitu nikmat.
Violeta meremas kain seprei, ia merasakan ribuan kupu-kupu beterbangan di bawah perutnya. "Leonel...."
Gadis itu memanggil suaminya, ia ingin pria itu berhenti menjilatinya. Ia ingin Leonel memberikan apa yang ia inginkan. Tetapi, bibirnya tidak mampu menyuarakan apa yang ada di otaknya. Suaranya tersekat di tenggorokannya berganti dengan erangan yang terus terlepas dari bibirnya, serak, dan parau.
Leonel perlahan menarik kain terakhir yang melekat di tubuh istrinya. Ia menatap bagian di antara kedua paha Violeta. Bibirnya menyunggingkan senyum, ia tidak menduga jika hidupnya sangat beruntung. Di London, ada banyak gadis yang dengan senang hati naik ke ranjangnya karena status sosialnya yang tinggi. Ia tidak perlu repot-repot membayar mereka, kecuali gadis-gadis di Glamour Entertainment. Sekarang di Paris, seorang gadis perawan naik ke ranjangnya.
Ketika tubuhnya berubah menjadi benar-benar tidak mengenakan sehelai benang pun, Violeta secara refleks mengatupkan kedua pahanya. Ia juga menutupi dadanya menggunakan kedua telapak tangannya.
Leonel menatap wajah Violeta yang tampak merah merona, tatapan matanya keruh berkabut gairah. Sama seperti dirinya. Lia menjauh dari Violeta, turun dari ranjang untuk melepaskan kaos yang ia kenakan melalui kepalanya.
"Lihat saja jika kau ingin melihat," ujar Leonel seolah mengerti jika Violeta mencuri-curi menatapnya yang sedang melepaskan pakaiannya.
Wajah Violeta semakin memerah, apa lagi saat Leonel melepaskan boxer yang ia kenakan hingga benda yang tampak tegang di antara paha pria itu menyembul. Violeta menekan ludahnya, benda itu besar, kaku dan panjang. Nyalinya menciut, ia tidak yakin jika benda itu bisa masuk ke dalam tubuhnya.
"Kau ingin menyentuhnya?" Leonel duduk di samping Violeta berbaring.
Violeta menggeleng cepat.
Leonel tersenyum. "Tapi, kurasa kau harus menyentuhnya."
Pria itu meraih telapak tangan Violeta, menuntunnya menyentuh benda keras miliknya.
Leonel menggeram saat telapak tangan Violeta yang mungil menggenggam tubuhnya yang kaku. Telapak tangan gadis itu sangat lembut dan hangat.
"Dia akan masuk ke sini," ujar Leonel, ia mengelus bagian di antara kedua paha Violeta.
Violeta mengerjapkan matanya, tangannya yang menggenggam tubuh Leonel yang selalu baja bergetar. "A-apa dia bisa masuk?"
Leonel merenggangkan kedua kaki Violeta. "Aku akan berhati-hati."
Violeta mengangguk, tatapan matanya tampak goyah. Menyadari itu Leonel tersenyum, ia mendekatkan wajahnya lalu mengecup bibir Violeta. Kembali mencumbui bibir gadis itu sementara jemarinya mempermainkan area di antara kedua paha Violeta. Perlahan ia memasukkan satu jemarinya, tidak sampai ke dalam karena ia akan merobeknya dengan caranya nanti. Bukan menggunakan jemarinya.
Violeta menegang manakala jemari Leonel berada di dalam dirinya, rasanya menyenangkan. Tetapi, kurang.
Ya, kurang dalam.
"Leonel...." Ia merengek di antara ciuman mereka, gadis itu menginjak lebih.
Leonel menghentikan cumbuan bibirnya, sudut bibirnya tersenyum. "Aku tahu," geramnya. Ia menjauhkan tangannya.
Menggeser dirinya, di depan Violeta. Tetapi bukan menyatukan tubuhnya melainkan mulai menjilati bagian sensitif yang telah basah, merekah dan siap untuk ia masuki. Menggodanya menggunakan lidahnya, menyiksa Violeta dengan caranya yang sangat ahli.
Violeta merasakan tubuhnya seolah terbang, ia menggeliat, dadanya melengkung ke atas. Lidah Leonel begitu hangat menyentuh dirinya, menjilati, menggoda, dan menyusup ke dalam dirinya. Menghantarkan gelombang-gelombang panas yang melemparkan dirinya ke dalam gulungan-gulungan ombak hingga ia terpental lalu pikirannya kosong, tubuhnya terasa pecah berkeping-keping.
Violeta mengatur napasnya, ia mengira jika dirinya telah mati dalam kenikmatan meski nyatanya saat ia membuka mata, ia masih hidup. Jemarinya mencengkeram kain seprei dengan erat, sementara dadanya masih naik turun disertai lututnya yang terasa lemas.
"Bersiaplah, sayangku." Leonel telah memosisikan dirinya di atas tubuh Violeta. "Kita akan memulai permainan yang sesungguhnya."
Violeta mengangguk, ia tahu jika wajahnya terasa sangat panas bahkan rasa panas itu menjalar ke telinga dan lehernya. Kakinya juga masih terasa lemas dan bergetar. Tetapi, saat kulit terdalamnya di sentuh oleh bagian dari Leonel yang keras ia kembali menegang.
"Aku akan berhati-hati," geram Leonel. "Apa sakit?"
Violeta menggelengkan kepalanya, tidak ada rasa sakit. Justru yang ada rasa menginginkan Leonel mendorong benda hangat itu lebih dalam lagi. Sayangnya ketika Leonel mendorong lebih dalam, rasa sakit itu benar-benar ada.
Violeta terpekik, ia berpegangan di kedua bahu Leonel yang sekeras batu. Secara alami ia berusaha beringsut mundur menjauh dari Leonel.
"Sakit...," erangnya. Benar kata Leonel, ia merasakan sakit yang luar biasa hingga seolah tubuhnya terbelah.
"Hanya sebentar sakitnya, aku akan menggantinya dengan yang lebih baik, bertahanlah," geram Leonel nyaris tidak sabar.
Ia tidak tahu jika membobol keperawanan memerlukan kesabaran dan juga sedikit tenaga. Ia kembali mendorong pinggulnya, mendesakkan tubuhnya agar menyatu dengan sempurna. Andai tidak memikirkan Violeta yang tampak benar-benar kesakitan, Leonel tidak akan berhati-hati karena faktanya ia ingin segera menggoyangkan pinggulnya memuaskan dirinya yang telah lama tidak menikmati pelepasan.
Leonel berusaha mendesakkan pinggulnya, meski Violeta sedikit melawannya hingga ia benar-benar kehilangan kesabarannya, ia mengentakkan pinggulnya hingga mereka menyatu dengan sempurna diiringi jeritan tertahan dari tenggorokan Violeta yang entah mengapa terdengar begitu indah di telinga Leonel. Jeritan seorang perawan yang sedang ia ambil mahkotanya.
Terlalu sempit, menjepit, dan terasa begitu hangat. Leonel berhenti, ia tidak bergerak, ia menyurukkan kepalanya di ceruk leher Violeta. Sementara punggungnya terasa perih, kuku Violeta masih menancap di sana.
Violeta bermaksud meninggalkan Leonel yang tampaknya telah terlelap. Tetapi, saat ia mencoba beringsut, lengan kekar Leonel yang melingkar di pinggangnya menahannya. “Mau ke mana?” “A-aku ingin tidur di kamarku,” jawab Violeta setengah bergumam.“Tidurlah di sini,” ujar Leonel, lengannya semakin erat mengungkung pinggang Violeta.
"Leonel, apa kau tahu apa yang kau lakukan tadi?"Violeta mencubit batang hidung di antara ke dua alisnya, ia terduduk di tepi ranjangnya. Leonel dengan terang-terangan mengumumkan hubungan mereka padalah sudah bisa dipastikan tiga bulan yang akan datang mereka akan bercerai. Tidak mudah meyakinkan para investor, mereka meminta bukti dari pernikahan Leonel dan Violeta karena mustahil seorang Johanson menikahi seorang Hubert tanpa terendus oleh siapa pun.Pria itu dengan entengnya menjawab akan mengunggah akta nikah mereka di halaman media sosial Violeta dan juga
“Suamimu memerintahkan audit mendadak di departemen keuangan,” ujar Xaniah, wanita berkaca mata itu memberi tahu apa yang dilakukan Leonel.Violeta mengedikkan bahunya. “Dia mengatakan akan menggantikan posisi sementara CEO. Tapi, ia sendiri masih tidur saat aku berangkat bekerja.” “Tidur?” “Ya. Di kamarku.”
Leonel menggaruk kepalanya yang mendadak terasa gatal. “Untuk apa dia berada di Paris?” tanyanya kepada Mario melalui sambungan telepon.“Tentu saja untuk bekerja karena Paris Fashion Week akan dimulai dua Minggu lagi,” jawab Mario. “Dia ingin bertemu denganmu.” “Jadwalkan saja,” ucap Leonel. “Kapan kau bisa?”
Violeta menelan ludah. “Tapi, setidaknya bisakah kau menjaga reputasi kita?” “Kau mulai menjadi istri yang pengatur, ya?” Leonel menaikkan sebelah alisnya.Violeta mengembuskan napasnya kasar sambil memejamkan matanya beberapa saat. “Ke mana saja kau tadi malam?” Leonel menopangkan dagunya, ia menatap Violeta dengan tatapan tidak suka. Menurut Leonel, mereka memang terikat pernikahan
“Kau masih memikirkannya?” tanya Laura membuyarkan lamunan Rebecca yang sedari tadi tampak tidak berkonsentrasi. Rebecca menghela napas pelan. “Apa terlihat begitu?” “Jelas sekali, wajahmu....” Laura me
Rebecca memejamkan matanya kembali. Alkohol tadi malam adalah sumber dosa terbesarnya tadi malam yang menurutnya tidak bisa dimaafkan. Ia bebas berkencan dengan siapa saja, ia bebas tidur dengan pria mana pun yang ia mau. Tetapi, tidak dengan pria beristri.Sama sekali bukan dirinya.
ChapterRebecca and Me“Suamimu ada di ruangannya,” ujar Xaniah yang baru saja memasuki ruang kerja Violeta.“Jadi, dia datang?” Violeta mengembuskan napasnya sedikit kasar, satu telapak tangannya berada di keningnya sedangkan sikunya bertumpu di atas meja.“Ya.”Violeta mengganti posisi tangannya, kali ini ia menyatukan telapak tangannya, membuat kedua telapak tangannya saling menggenggam erat di depan keningnya. Matanya terpejam. Hubungannya dengan Leonel sekarang benar-benar tidak sehat, pria itu bahkan tidak kembali ke rumah selama atau beberapa hari, suaminya juga tidak datang ke perusahaan meski semua pekerjaan ditangani dengan baik olehnya.“Ada beberapa dokumen yang harus ditanda tangani oleh suamimu,&rdqu
Epilogue
Leonel berbalik ia menatap Benji dengan tatapan dingin. “Kupastikan kalian akan bercerai, hari ini juga.”
“Ada sesuatu yang tidak aku tahu? Sayangku?” tanya Benji sambil mengemudikan mobilnya.
Pada akhirnya, mereka tidak membicarakan apa pun karena saat Rebecca kembali dari bekerja pukul dua belas malam, ia hanya mendapati Candy yang tengah mengemasi seluruh barang-barang mereka di dalam unit apartemen, sementara Brian tampak tertidur pulas di atas tempat tidur. Tidak ada Mark, juga Leonel. Pria itu melarikan diri darinya, anggap saja begitu.
“Dad, aku merindukanmu,” ucap Brian yang sedang bercakap-cakap dengan Benji menggunakan video call didampingi oleh Candy yang duduk di sebelahnya.
“Jadi, bagaimana caranya aku mencuci gelas jika kau memegangi tanganku?” Rebecca sedikit mendongak untuk menatap Leonel.
“Apa Brian menyusahkanmu?” tanya Rebecca sambil melepaskan sepatu hak tingginya dan bergegas melangkah ke kamarnya. Ia baru saja kembali dari bekerja pukul sebelas malam.
“Kau membawanya ke sini, apa kau tidak waras?”
Malam itu, mengenakan piama yang disiapkan mendadak oleh Prilly, Rebecca duduk bersandar pada ranjang sementara Brian dan Mark, masing-masing menggunakan paha Rebecca sebagai bantal di kepala mereka. Rebecca membacakan salah satu koleksi buku dongeng penghantar tidur milik Mark hingga kedua bocah itu tertidur.