Semua yang Violeta rencanakan berjalan mulus, seperti yang ia inginkan. Tetapi, ada yang tidak di sangka dan di duga. Takdir mengambil kakeknya begitu cepat. Di dalam perjalanan kembali dari kantor notaris, Violeta mendapat kabar dari pihak rumah sakit jika kakeknya mengembuskan napas terakhir, Violeta nyaris tidak mampu berdiri, ia mencengkeram jaket yang Leonel kenakan sambil menangis sejadi-jadinya di dada Leonel, pria yang belum genap satu hari menjadi suaminya. Ia kini benar-benar menjadi sebatang kara di Paris. Ia masih memiliki beberapa keluarga di Swiss, negara asal ibunya tetapi Violeta tidak menginginkan tinggal di sana. Tempat itu asing baginya.
Rencana tinggal di Paris yang semula hanya untuk waktu satu hari, mendadak berubah. Leonel mendampingi Violeta menerima ucapan belasungkawa dari orang-orang yang datang untuk melayat, juga turut andil mengurus pemakaman Mark bersama Samuel, paman Violeta yang datang dari Swiss bersama istrinya. Kemudian atas dasar kemanusiaan, Leonel terus mendampingi Violeta yang masih dalam suasana berkabung. Setiap hari gadis itu pergi ke pemakaman, menaburkan bunga untuk ke empat orang keluarganya yang telah meninggalkannya.
Minggu pagi itu luar biasa dingin, Paris di selimuti hawa dingin yang menusuk ke tulang. Mungkin beberapa hari lagi salju akan segera turun menyelimuti kota itu. Leonel duduk berjongkok di samping Violeta, ia beberapa kali diam-diam meniup kedua telapak tangannya sendiri yang nyaris kaku karena hawa dingin sambil melirik Violeta yang masih diam tidak bergeming menatap makam kakeknya yang masih basah. Gadis itu sesekali menjilati bibirnya yang tampak sedikit pucat, mungkin untuk menghangatkannya. Masih seperti kemarin, Violeta masih mencucurkan air matanya dan Leonel tidak tahu harus bagaimana menghentikan air mata gadis itu,. Meski ia memiliki seorang adik perempuan. Tetapi, ia tidak pernah melihat Alexa menangis karena sedih. Adiknya hanya menangis karena menginginkan sesuatu seperti menginginkan sihir yang harus terjadi dalam sekejap. Sedangkan Violeta, ia menangis karena ia menjadi sebatang kara.
Leonel mengamati langit yang tampak tidak secerah hari-hari yang telah ia lalui selama di Paris. “Sepertinya akan turun hujan, bagaimana jika kita kembali?”
Violeta menyeka air matanya menggunakan punggung telapak tangannya, tanpa menoleh ke arah Leonel ia berucap, “Semua yang kusayangi, mengapa semua meninggalkan aku pergi secepat ini?” isaknya sambil sebelah tangannya mengusap papan salib bertuliskan Mark Hubert.
Leonel beringsut mendekati Violeta, lengannya merengkuh pundak istrinya, telapak tangannya mengusap pundak Violeta pelan dan begitu lembut untuk memberikan rasa tenang. Ia tidak tahu harus berkata apa. Yang jelas ia hanya bisa memberikan itu untuk menenangkan Violeta, ia tidak mungkin mengatakan kepada Violeta bahwa ia tidak akan meninggalkan Violeta sendirian karena pada faktanya mereka tidak terikat apa-apa selain pernikahan di atas kertas yang nyatanya hanya pernikahan palsu.
Leonel kembali mengusap pundak Violeta. “Kelak kau pasti akan menemukan orang yang tidak akan meninggalkanmu.” Suaranya terdengar berat bahkan nyaris tersekat di tenggorokannya.
Violeta mengangguk lemah, ia mencengkeram papan hingga buku-buku jarinya memutih. “Granddad, aku akan mengunjungimu lagi besok,” gumamnya itu disela isaknya.
Dengan gerakan enggan Violeta bangkit dari duduknya di bantu oleh Leonel yang mengulurkan tangannya. “Terima kasih.” Ia meraih uluran tangan Leonel.
Leonel tersenyum samar, sebelah tangannya memperbaiki bagian leher mantel yang di kenakan oleh Violeta karena kerahnya yang sedikit beringsut turun agar Violeta tidak kedinginan.
“Bagaimana jika kita pergi minum kopi?” tanya Leonel. “Maksudku... kau terlalu lama mengurung diri di dalam kamar, sebelum kita kembali bagaimana jika kita....” Suara Leonel terdengar ragu-ragu tetapi ia tidak bermaksud apa-apa selain membuat Violeta keluar dari rasa dukanya yang mendalam karena gadis hanya mengurung diri di dalam kamar sepanjang hari sejak kepergian Mark Hubert.
Violeta menghela napasnya, ia sekilas menatap Leonel. “Kau pasti bosan, ya? Aku membuatmu terperangkap di sini.”
Demi Tuhan, ini sudah Leonel duga. Violeta pasti akan mengira jika ia bosan berada di dalam rumah sepanjang hari. Sama sekali tidak seperti itu karena faktanya ia adalah manusia yang paling menyukai tempat yang bernama kamar. Tempatnya bersantai dan bermalas-malasan bermain game.
Pria itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Tidak juga, aku hanya bosan dengan kopi buatan pelayan di rumahmu,” ujarnya berbohong.
Violeta berniat menarik telapak tangannya yang masih di genggam oleh Leonel tetapi merasakan hangatnya kulit pria itu, Violeta mengurungkannya. “Baiklah, ayo kita pergi ke kedai kopi,” katanya.
Leonel melangkah diikuti oleh Violeta menyusuri jalanan kecil di pemakaman. Mereka masih saling menggenggam erat meski sepanjang perjalanan tidak satu pun di antara mereka yang bersuara untuk memecahkan keheningan yang membentang di antara mereka, keduanya baru saja melepaskan genggaman tangan mereka saat hendak memasuki mobil.
“Apa kau masih kedinginan?” tanya Leonel saat mereka berdua telah duduk di kursi penumpang mobil sedan keluaran terbaru yang berharga jutaan Dolar.
“Aku akan baik-baik saja setelah pemanas jok di aktifkan,” jawab Violeta. Wajahnya tampak lebih merona, bibirnya juga terlihat tidak terlalu pucat lagi.
“Baguslah,” gumam Leonel.
“Terima kasih,” ujar Violeta sambil merapikan rambut panjangnya yang di tata lurus. “Omong-omong, bagaimana perusahaanmu? Kau meninggalkannya terlalu lama.”
Leonel tersenyum tipis. “Tidak masalah, Mario mengurus semua.”
“Maksudku, kau telah banyak membantuku beberapa hari ini. Kau tidak perlu iba atau bersimpatik lagi karena sekarang aku benar-benar sendiri,” ucap Violeta dengan nada getir. Ia tidak ingin berhutang apa pun kepada Leonel, apa lagi terlalu dekat dengan pria itu karena urusan mereka sebenarnya telah selesai. Violeta telah mendapatkan apa yang menjadi tujuannya sekarang.
Violeta diam-diam menghela napasnya dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, rasanya dadanya begitu sesak setiap ia mengingat pahitnya kehidupan, menjadi sebatang kara di usia yang masih terlalu muda. Tuhan memberikan begitu banyak harta untuknya tetapi ia tidak tahu harus bersama siapa menikmati harta miliknya itu.
Dulu, setiap hari setelah bekerja ia selalu kembali ke rumah sakit untuk berbicara dengan kakeknya hingga malam merayap ia baru kembali ke tempat tinggalnya. Bahkan tidak jarang jika ia memutuskan untuk menginap di rumah sakit karena di rumahnya selain pelayan tidak satu pun orang yang bisa ia ajak berbincang. Sekarang, entah sampai kapan, ia hanya akan berbicara dengan pelayan dan pegawai di perusahaan.
“Aku akan kembali setelah ulang tahunmu, aku harus memastikan semua berjalan seperti keinginanmu,” ujar Leonel tegas, tetapi lembut.
Ia menatap Violeta dengan perasaan berkecamuk, bukan masalah bonus yang membuatnya resah karena belum ia dapatkan. Tetapi, Violeta adalah gadis yang tampak rapuh, masih terlalu muda dan jelas begitu polos. Bagaimana mungkin ia akan menjalankan perusahaan Hubert sendirian sementara mungkin di luar sana akan banyak orang yang akan memanfaatkan situasi ini, begitu pemberitahuan resmi nanti di umumkan bahwa penerus perusahaan Hubert adalah seorang gadis muda, Leonel yakin jika situasi tidak akan semudah yang Violeta bayangkan.
Ia telah memegang Glamour Entertainment bertahun-tahun saja masih bisa kecolongan, apalagi Violeta? Leonel tiba-tiba merasa terdorong untuk bertahan di Paris sebentar lagi untuk memastikan jika semuanya berjalan seperti yang Violeta inginkan. Ia tidak ingin siapa pun memanfaatkan Violeta apa lagi sampai menyakitinya, gadis yang menjadi istrinya itu bisa saja berakhir buruk jika tidak ada seorang pun yang menemaninya hingga ia benar-benar bisa merelakan kepergian kakeknya dan mampu memegang kendali penuh atas perusahaan yang akan menjadi tanggung jawabnya. Dan untuk masalah keuangan Glamour Entertainment, ia bisa meminta bantuan William kakaknya, Sidney juga bisa menggantikannya duduk di kursi pimpinan Glamour Entertainment selama ia berada di Paris. Memiliki banyak saudara memang menyenangkan.
Ia melirik Violeta yang tampak menatap jalanan melalaui kaca jendela mobil, gadis itu begitu murung. Leonel diam-diam menggeram. Frustrasi.
Untuk apa aku begitu peduli pada Violeta?
Mereka tiba di sebuah cafe bernama Cafe Procope, cafe itu adalah salah satu gerai kopi paling tua di Perancis yang masih berjaya hingga sekarang. Cafe itu didirikan oleh seorang chef bernama Francesco Procopio Dei Coltelli pada tahun 1688. Di tengah banyaknya gerai kopi baru yang menghadirkan berbagai kopi dengan varian baru, cafe ini tetap mempertahankan keaslian kopi buatannya. Interiornya pun juga masih sangat klasik tetapi suasana klasik itu justru membuat daya tarik sendiri. Selain berbagai kopi berkualitas seperti Lavazza Espresso, Cappucino, Irish Coffee yang dijajakan, ada juga berbagai menu khas Prancis seperti as coq au vin, escargots, tartare du boeuf and crème brûlée.
"Selamat ulang tahun, Nona."Seluruh pelayan di tempat tinggal Violeta berbaris tepat di depan pintu saat pintu terbuka, di tangan mereka memegangi satu tangkai bunga mawar berwarna merah menyala.Demi Tuhan. Leonel akan membalas Grace nanti, ia meminta tolong kepada Grace untuk menyiapkan kejutan kecil. Tetapi, bukan dengan membawa mawar merah seperti itu. Leonel meminta ide kepada Grace untuk memberi kejutan untuk Violeta yang tentu saja pelaksanaan kejutan itu dibantu oleh kepala pelayan di rumah itu karena mustahil Grace ada di Paris dalam waktu sekejap mata
"Kau sudah menyerahkan dirimu padaku, maka tidak ada jalan untuk kau kembali, Violeta." Leonel mendaratkan bibirnya di bibir Violeta, hanya kecupan kecil. "Meski kau menangis dan memohon untuk kulepaskan, aku tidak akan melepaskanmu." Bibir Violeta bergetar. Tetapi, ia tidak mengucapkan apa pun. Gadis itu perlahan meletakkan telapak tangannya di lengan Leonel, meraba kulit pria itu dengan gerakan yang sangat pelan. Leonel mendaratkan bibirnya di bibir Violeta, mengecupnya beberapa kali dengan kecupan-kecupan kecil yang menggoda. "Apa kau tahu cara berciuman?"
Violeta bermaksud meninggalkan Leonel yang tampaknya telah terlelap. Tetapi, saat ia mencoba beringsut, lengan kekar Leonel yang melingkar di pinggangnya menahannya. “Mau ke mana?” “A-aku ingin tidur di kamarku,” jawab Violeta setengah bergumam.“Tidurlah di sini,” ujar Leonel, lengannya semakin erat mengungkung pinggang Violeta.
"Leonel, apa kau tahu apa yang kau lakukan tadi?"Violeta mencubit batang hidung di antara ke dua alisnya, ia terduduk di tepi ranjangnya. Leonel dengan terang-terangan mengumumkan hubungan mereka padalah sudah bisa dipastikan tiga bulan yang akan datang mereka akan bercerai. Tidak mudah meyakinkan para investor, mereka meminta bukti dari pernikahan Leonel dan Violeta karena mustahil seorang Johanson menikahi seorang Hubert tanpa terendus oleh siapa pun.Pria itu dengan entengnya menjawab akan mengunggah akta nikah mereka di halaman media sosial Violeta dan juga
“Suamimu memerintahkan audit mendadak di departemen keuangan,” ujar Xaniah, wanita berkaca mata itu memberi tahu apa yang dilakukan Leonel.Violeta mengedikkan bahunya. “Dia mengatakan akan menggantikan posisi sementara CEO. Tapi, ia sendiri masih tidur saat aku berangkat bekerja.” “Tidur?” “Ya. Di kamarku.”
Leonel menggaruk kepalanya yang mendadak terasa gatal. “Untuk apa dia berada di Paris?” tanyanya kepada Mario melalui sambungan telepon.“Tentu saja untuk bekerja karena Paris Fashion Week akan dimulai dua Minggu lagi,” jawab Mario. “Dia ingin bertemu denganmu.” “Jadwalkan saja,” ucap Leonel. “Kapan kau bisa?”
Violeta menelan ludah. “Tapi, setidaknya bisakah kau menjaga reputasi kita?” “Kau mulai menjadi istri yang pengatur, ya?” Leonel menaikkan sebelah alisnya.Violeta mengembuskan napasnya kasar sambil memejamkan matanya beberapa saat. “Ke mana saja kau tadi malam?” Leonel menopangkan dagunya, ia menatap Violeta dengan tatapan tidak suka. Menurut Leonel, mereka memang terikat pernikahan
Epilogue
Leonel berbalik ia menatap Benji dengan tatapan dingin. “Kupastikan kalian akan bercerai, hari ini juga.”
“Ada sesuatu yang tidak aku tahu? Sayangku?” tanya Benji sambil mengemudikan mobilnya.
Pada akhirnya, mereka tidak membicarakan apa pun karena saat Rebecca kembali dari bekerja pukul dua belas malam, ia hanya mendapati Candy yang tengah mengemasi seluruh barang-barang mereka di dalam unit apartemen, sementara Brian tampak tertidur pulas di atas tempat tidur. Tidak ada Mark, juga Leonel. Pria itu melarikan diri darinya, anggap saja begitu.
“Dad, aku merindukanmu,” ucap Brian yang sedang bercakap-cakap dengan Benji menggunakan video call didampingi oleh Candy yang duduk di sebelahnya.
“Jadi, bagaimana caranya aku mencuci gelas jika kau memegangi tanganku?” Rebecca sedikit mendongak untuk menatap Leonel.
“Apa Brian menyusahkanmu?” tanya Rebecca sambil melepaskan sepatu hak tingginya dan bergegas melangkah ke kamarnya. Ia baru saja kembali dari bekerja pukul sebelas malam.
“Kau membawanya ke sini, apa kau tidak waras?”
Malam itu, mengenakan piama yang disiapkan mendadak oleh Prilly, Rebecca duduk bersandar pada ranjang sementara Brian dan Mark, masing-masing menggunakan paha Rebecca sebagai bantal di kepala mereka. Rebecca membacakan salah satu koleksi buku dongeng penghantar tidur milik Mark hingga kedua bocah itu tertidur.