"Keparat!" Leonel menendang kursi di ruang kerjanya hingga kursi itu terjungkal.
Wajah pria itu tampak suram, rahangnya mengeras dan sorot matanya yang biru nyaris menjadi lautan api.
"Pecat manajer keuangan dan investigasi seluruh departemen keuangan. Hubungi tim audit Johanson Corporation," titahnya kepada Mario sekretarisnya, nadanya penuh tekanan amarah melalui sambungan telepon.
Bukan hanya berita skandal seorang aktor yang membuatnya terancam kehilangan banyak uang, ia juga menemukan banyak kejanggalan pada laporan keuangan di perusahaan yang telah tujuh tahun ia pimpin.
Leonel Johanson, pria dengan manik mata biru seindah samudera itu adalah salah satu pewaris kekayaan keluarganya di London. Ia berkuasa penuh atas Glamour Entertainment, salah satu aset milik keluarga Johanson. Glamour Entertainment adalah sebuah agensi yang menaungi banyak model dan artis papan atas. Bukan hanya itu, ia juga memiliki sebuah rumah produksi, ada banyak film layar lebar yang sukses besar di pasaran di bawah kepemimpinannya.
Leonel adalah tipe pria santai yang sedikit bekerja, tetapi banyak menghasilkan uang. Sedikit berpikir, tetapi harus berhasil. Pria itu bahkan memiliki moto yang tergolong unik di dalam hidupnya yaitu : Santai itu perlu, malas itu wajib.
Setelah puas berkhotbah panjang lebar memarahi sekretarisnya dan beberapa orang yang dianggap tidak kompeten, Leonel duduk di depan dan menghidupkan laptopnya. Ia menggigit bibirnya yang tampak merah jambu sambil mata birunya fokus ke arah layar di depannya.
"Bajingan!" umpatnya lagi.
Pria itu baru saja membuka berita di internet tentang aktor yang ia bayar dengan harga fantastis untuk membintangi film yang ia produksi, pria itu mengakui jika telah mencabuli anak di bawah umur karena di bawah pengaruh ganja.
"Bodoh! Kau harus bertanggung jawab atas semua ini!" tinjunya melayang ke atas meja kayu di depannya. "Benar-benar sialan! Terkutuklah kau!"
Di dalam hidup Leonel, ia tidak pernah terpikir jika ia akan mengalami kebangkrutan seperti ini, kepala departemen keuangan menggelapkan uang perusahaan yang tidak sedikit dan filmnya terancam tidak laku di pasaran padahal biaya pembuatan film itu tidak sedikit. Pengambilan latar film di ambil di pegunungan Nepal, tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk membawa kru dan para pemain film ke sana. Bukan hanya itu saja, mereka juga harus membawa rombongan tim medis karena medan yang menjadi tempat pengambilan gambar sangat ekstrem, jurang-jurang yang menganga, hamparan salju dan cuaca yang tidak menentu mengharuskan tim pembuat film menyediakan peralatan medis yang benar-benar memadai karena hal itu mungkin saja di perlukan sewaktu-waktu.
Sekarang semua pekerjaan yang memakan waktu hampir dua tahun itu sia-sia. Selama kurun waktu itu begitu banyak dana yang di selewengkan oleh kepala bagian keuangan dan semua yang di kerjakan juga sia-sia saja karena Lonardo, aktor termahal di dunia perfilman di Hollywood saat ini mengakui dengan mudah kebejatannya.
"Apa kau tidak bisa membungkam berita untuk sebentar saja?" Leonel menggerutu. "Dasar manusia tidak berguna!"
Leonel mematikan laptopnya lalu bangkit dari duduknya, ia ingin mencabik-cabik wajah Lonardo menggunakan tangannya sendiri. Tetapi, itu tidak mungkin. Ia melangkah menuju pintu, yang ia inginkan sekarang adalah bersantai. Bagaimanapun ia berpikir keras, otaknya tidak akan bekerja. Mungkin bersantai di tepi pantai bersama salah satu model di agensinya bisa membuat pikiran lebih rileks.
Di dalam mobil Leonel memanggil Rebecca, salah satu model favoritnya yang telah berulang kali ia tiduri dan gadis itu juga dengan senang hati memberikan tubuhnya untuk dinikmati oleh bosnya. Tentu saja sebagai gantinya adalah transaksi kontrak pekerjaan bernilai jutaan Poundsterling.
Sepuluh menit kemudian Rebecca telah duduk di kursi belakang mobil bersama Leonel menuju West Wittering, Sussex.
"Kau yakin kita akan menuju Sussex?" tanya Rebecca sambil melepas sepatunya.
"Tentu saja, kau keberatan?" Leonel menaikkan sebelah alisnya.
Rebecca menyeringai. "Bagaimana pekerjaanku?"
"Mario akan memberitahu manajermu, dia akan mengurusnya." Leonel menyingkap kain di punggung bawah Rebecca, telapak tangannya mengelus kulit halus gadis itu.
"Aku tidak membawa bikini," erang Rebecca.
"Kau tidak memerlukan itu, lagi pula jika kau menggunakan bikini, aku juga pasti akan membuangnya," ucap Leonel sambil meraih tubuh Rebecca membawanya ke pangkuan.
Rebecca mengerang begitu bibir Leonel berada di lehernya. Mencumbuinya seperti biasa, pria tampan itu membuat Rebecca menggeliat. Menginginkan lebih.
"Berikan bibirmu padaku," geram Leonel.
Rebecca dengan patuh memberikan bibirnya kepada Leonel membiarkan pria itu menggodanya, mengisap bibir Rebecca dengan cara yang teramat sangat ahli, mendorong kan lidahnya masuk ke dalam rongga mulut gadis itu, membelainya hingga erangan-erangan kecil tertahan di tenggorokannya.
Sementara tangan Leonel dengan sangat ahli telah menanggalkan seluruh kain yang menempel di tubuh Rebecca. Membuat tubuh Rebecca tersaji di depannya dengan begitu nyata. Ia mencicipi setiap jengkal tubuh Rebecca menggunakan lidahnya hingga gadis itu melenguh karena nikmat.
"Puaskan aku," ucap Leonel dengan nada memerintah.
Rebecca membuka ikat pinggang Leonel, membuka ritsleting lalu menarik celana yang di kenakan pria itu. Membelai sebuah benda yang telah mengeras lalu memasukkannya ke dalam mulutnya.
Mereka melakukan di dalam mobil yang melaju membelah jalanan kota London menuju Sussex dengan tenang karena mobil yang di gunakan Leonel di lengkapi dengan sekat pembatas sopir dan penumpang. Leonel hanya cukup menekan tombol untuk memberikan perintah kepada sopirnya jika ia memerlukan atau hendak menginstruksikan sesuatu.
Holla, Mi Amor.
It's great to see you again.
So, jangan lupa untuk selalu tinggalkan jejak komentar dan Rating bintang 5 yah buat novel ini.
Love you all.
SAlam manis dari Cherry yang manis.
"Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal pikiranmu," ujar Rebecca sambil menggulung rambut pirangnya yang panjang.Saat itu Leonel bersama Rebecca telah memasuki hari kedua berada di tepi pantai West Wittering. Tidak banyak yang mereka lakukan sepanjang hari, di siang hari mereka pergi berjemur menikmati suasana pantai, malam hari berpesta alkohol dan bercinta kapan pun Leonel menginginkan."Aku hanya butuh sedikit liburan," ucap Leonel, ia menyesap bir dingin dari kaleng di tangannya.
Violeta berulang kali membolak-balik profil seorang pria di layar ponselnya, secepatnya ia harus bertemu pria itu. Dipastikan itu bisa menolongnya, harus bisa."Kau serius akan pergi ke London?" Xaniah, sekretarisnya bertanya dengan nada khawatir yang tidak dibuat-buat.Violeta mengalihkan pandangannya ke arah Xaniah. "Tidak ada pilihan lain," ujarnya."Apa aku harus ikut bersamamu?"
Ketukan lembut di pintu membuat Leonel mendongakkan kepalanya. Sekretarisnya, Mario berdiri di ambang pintu. Pria dengan tampang serius itu tidak seserius tampangnya, di samping sering mengejek Leonel ia juga sering membuat Leonel marah karena sering menyangkal dan membantah pendapat yang Leonel lontarkan. Tetapi, anehnya Leonel sendiri tidak bisa marah apa lagi berpikir untuk memecatnya. Mario bisa diandalkan dalam segi apa pun meski kadang ia melakukan hal di luar perintah Leonel.“Violeta Hubert ingin bertemu denganmu,” kata Mario sambil menyerahkan sebuah map.
“Hmmm... aku tidak mengatakan jika aku bersedia,” jawab Leonel.“Kita akan menikah tiga bulan. Ya, tiga bulan. Kau tahu jika hanya sehari lalu kita bercerai itu akan terlihat jika kita hanya bersandiwara, akan tampak aneh. Setelah kita beretmu kakekku dan aku mendapatkan perusahaanku, aku akan mentransfer berapa pun uang yang kau minta dan setelah itu surat cerai akan kukirim tiga bulan setelahnya.” Violeta menjelaskan dengan panjang lebar.“Hanya itu yang kudapatkan?” Leonel menaikkan sebelah alisnya. Samudra matanya masih me
Semua yang Violeta rencanakan berjalan mulus, seperti yang ia inginkan. Tetapi, ada yang tidak di sangka dan di duga. Takdir mengambil kakeknya begitu cepat. Di dalam perjalanan kembali dari kantor notaris, Violeta mendapat kabar dari pihak rumah sakit jika kakeknya mengembuskan napas terakhir, Violeta nyaris tidak mampu berdiri, ia mencengkeram jaket yang Leonel kenakan sambil menangis sejadi-jadinya di dada Leonel, pria yang belum genap satu hari menjadi suaminya. Ia kini benar-benar menjadi sebatang kara di Paris. Ia masih memiliki beberapa keluarga di Swiss, negara asal ibunya tetapi Violeta tidak menginginkan tinggal di sana. Tempat itu asing baginya.Rencana tinggal di Paris yang semula hanya unt
Mereka tiba di sebuah cafe bernama Cafe Procope, cafe itu adalah salah satu gerai kopi paling tua di Perancis yang masih berjaya hingga sekarang. Cafe itu didirikan oleh seorang chef bernama Francesco Procopio Dei Coltelli pada tahun 1688. Di tengah banyaknya gerai kopi baru yang menghadirkan berbagai kopi dengan varian baru, cafe ini tetap mempertahankan keaslian kopi buatannya. Interiornya pun juga masih sangat klasik tetapi suasana klasik itu justru membuat daya tarik sendiri. Selain berbagai kopi berkualitas seperti Lavazza Espresso, Cappucino, Irish Coffee yang dijajakan, ada juga berbagai menu khas Prancis seperti as coq au vin, escargots, tartare du boeuf and crème brûlée.
"Selamat ulang tahun, Nona."Seluruh pelayan di tempat tinggal Violeta berbaris tepat di depan pintu saat pintu terbuka, di tangan mereka memegangi satu tangkai bunga mawar berwarna merah menyala.Demi Tuhan. Leonel akan membalas Grace nanti, ia meminta tolong kepada Grace untuk menyiapkan kejutan kecil. Tetapi, bukan dengan membawa mawar merah seperti itu. Leonel meminta ide kepada Grace untuk memberi kejutan untuk Violeta yang tentu saja pelaksanaan kejutan itu dibantu oleh kepala pelayan di rumah itu karena mustahil Grace ada di Paris dalam waktu sekejap mata
"Kau sudah menyerahkan dirimu padaku, maka tidak ada jalan untuk kau kembali, Violeta." Leonel mendaratkan bibirnya di bibir Violeta, hanya kecupan kecil. "Meski kau menangis dan memohon untuk kulepaskan, aku tidak akan melepaskanmu." Bibir Violeta bergetar. Tetapi, ia tidak mengucapkan apa pun. Gadis itu perlahan meletakkan telapak tangannya di lengan Leonel, meraba kulit pria itu dengan gerakan yang sangat pelan. Leonel mendaratkan bibirnya di bibir Violeta, mengecupnya beberapa kali dengan kecupan-kecupan kecil yang menggoda. "Apa kau tahu cara berciuman?"
Epilogue
Leonel berbalik ia menatap Benji dengan tatapan dingin. “Kupastikan kalian akan bercerai, hari ini juga.”
“Ada sesuatu yang tidak aku tahu? Sayangku?” tanya Benji sambil mengemudikan mobilnya.
Pada akhirnya, mereka tidak membicarakan apa pun karena saat Rebecca kembali dari bekerja pukul dua belas malam, ia hanya mendapati Candy yang tengah mengemasi seluruh barang-barang mereka di dalam unit apartemen, sementara Brian tampak tertidur pulas di atas tempat tidur. Tidak ada Mark, juga Leonel. Pria itu melarikan diri darinya, anggap saja begitu.
“Dad, aku merindukanmu,” ucap Brian yang sedang bercakap-cakap dengan Benji menggunakan video call didampingi oleh Candy yang duduk di sebelahnya.
“Jadi, bagaimana caranya aku mencuci gelas jika kau memegangi tanganku?” Rebecca sedikit mendongak untuk menatap Leonel.
“Apa Brian menyusahkanmu?” tanya Rebecca sambil melepaskan sepatu hak tingginya dan bergegas melangkah ke kamarnya. Ia baru saja kembali dari bekerja pukul sebelas malam.
“Kau membawanya ke sini, apa kau tidak waras?”
Malam itu, mengenakan piama yang disiapkan mendadak oleh Prilly, Rebecca duduk bersandar pada ranjang sementara Brian dan Mark, masing-masing menggunakan paha Rebecca sebagai bantal di kepala mereka. Rebecca membacakan salah satu koleksi buku dongeng penghantar tidur milik Mark hingga kedua bocah itu tertidur.