"Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal pikiranmu," ujar Rebecca sambil menggulung rambut pirangnya yang panjang.
Saat itu Leonel bersama Rebecca telah memasuki hari kedua berada di tepi pantai West Wittering. Tidak banyak yang mereka lakukan sepanjang hari, di siang hari mereka pergi berjemur menikmati suasana pantai, malam hari berpesta alkohol dan bercinta kapan pun Leonel menginginkan.
"Aku hanya butuh sedikit liburan," ucap Leonel, ia menyesap bir dingin dari kaleng di tangannya.
"Jadi, apa kita akan berlama-lama di sini?" Rebecca merebahkan tubuhnya di atas kursi pantai, ia hanya mengenakan bikini yang di beli mendadak dari toko bikini terdekat di area pantai.
Leonel melirik Rebecca, jika gadis itu tahu bahwa ia di bawah ancaman kebangkrutan. Mungkin ia tidak akan bisa menikmati tubuh indah Rebecca dengan cuma-cuma sesuka hatinya. Ia berdehem.
"Sepertinya bermain air bukan gagasan yang buruk," ujarnya seraya meletakkan kaleng bir di tangannya ke atas meja.
Senja mulai menguning, pengunjung pantai juga hanya ada mereka berdua karena mereka berada di resor yang di sewa secara pribadi, keindahan alam seperti itu sayang untuk dilewatkan. Leonel mengulurkan tangannya kepada Rebecca yang tentu disambut dengan manis oleh gadis cantik itu lalu mereka berdua bergandengan tangan menuju bibir pantai.
"Aku akan menulis nama kita di atas pasir," ucap Rebecca sambil mengambil sebuah ranting yang tergeletak dibatas pasir.
"Jangan konyol, itu pekerjaan anak kecil," ucap Leonel dengan nada jijik.
Rebecca terkekeh, ia tidak memedulikan keengganan Leonel, ia mulai menulis namanya dan Leonel di atas pasir lalu ia duduk di samping tulisan itu tanpa alas. Kaki jenjangnya tampak terulur di pasir dan ombak di pantai sesekali menjilati kulitnya.
Leonel menatap matahari yang semakin tenggelam di ujung cakrawala, hari semakin gelap. Ia berjalan mendekati Rebecca yang tampak begitu menikmati senja, bibirnya yang tipis tampak merekahkan senyum. Sangat cantik.
"Kau sepertinya sangat menikmati liburan kita," ucap Leonel sambil duduk di samping Rebecca.
"Oh, kau merusak nama kita," protes Rebecca.
"Mereka akan hilang tersapu ombak, tidak ada bedanya jika aku merusaknya," ucap Leonel tanpa rasa bersalah.
Rebecca terekeh. "Ini adalah senja terbaik dalam hidupku, kurasa."
Leonel tersenyum miring. "Jadi ini lebih baik dari lantai di Dubai?"
Ia telah berulang kali membawa Rebecca berlibur, bisa dibilang gadis itu adalah model yang paling sering ia tiduri di banding model lain karena Rebecca sangat cantik, tubuhnya paling indah dan yang utama gadis itu tidak pernah menuntut apa pun darinya.
"Oh, itu tidak bisa kulupakan," ucap Rebecca sambil tersenyum manis.
Setiap kenangan bersama Leonel, ia tidak bisa melupakannya, setiap kali ia meraba otot perut pria itu, adalah kenangan terindahnya.
"Kalau begitu, bagaimana jika kita...." Leonel menatap dada Rebecca yang terbungkus bikini.
Dalam sedetik bibir Leonel telah memagut bibir Rebecca menggodanya, menggigitnya perlahan lalu menjejalkan lidahnya ke dalam rongga mulut gadis itu, membelai lidah Rebecca dengan lidahnya yang hangat.
Telapak tangan Leonel mengusap punggung Rebecca, dengan sekali tarik tali bikini telah terlepas dan bikini itu meluncur ke pangkuan Rebecca, membuat telapak tangan Leonel bebas menjamah setiap inci kulit gadis itu tanpa penghalang apa pun.
Rebecca mengerang, sentuhan Leonel adalah sentuhan terbaik di dunia. Leonel adalah pria pujaannya. Demi Leonel, ia tidak pernah menjalin hubungan dengan pria mana pun karena ia tahu jika Leonel menyukainya. Meski ia tahu, jenis suka Leonel bukan suka dalam artian ketertarikan untuk menjalin sebuah hubungan tetapi hanya sebatas ketertarikan gairah seksual.
Namun, di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Ia ingin menjadi milik Leonel saja meski Leonel tidak mungkin memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Tidak ada salahnya berharap, Rebecca ingin suatu saat Leonel melihatnya dan menempatkan dirinya di hatinya, sama seperti dirinya.
Leonel membaringkan Rebecca, menarik kain terakhir yang membungkus tubuh Rebecca. Membelai kulit perut Rebecca Perlahan sambil bibirnya terus mencumbui dada kenyal gadis yang hanya pasrah terbaring di atas pasti dengan tatapan mata berkabut gairah, Perlahan Leonel memasukkan satu jemarinya ke dalam tubuh Rebecca, menggodanya dengan cara yang luar biasa ahli hingga Rebecca gelisah dan terus memanggil namanya.
"Leonel, aku menginginkanmu," erangnya.
Leonel menjauhkan bibirnya dari dada Rebecca, ia menyeringai. "Kau tidak sabaran," katanya.
"Cepatlah, oh Tuhan. Leonel, jarimu... itu tidak cukup," erang Rebecca.
"Berapa jari kau ingin?" Leonel menambahkan satu jemarinya.
"Leonel jangan menggodaku." Rebecca benar-benar memohon.
Leonel menjauhkan tangannya, ia merogoh saku celananya untuk mengambil bungkusan kondom, merobeknya lalu memasangkannya di bagian tubuhnya. "Kau ingin memuaskan dirimu atau kau ingin aku puaskan?"
Rebecca terkekeh, gadis itu bangkit lalu menerjang tubuh Leonel. "Begini lebih baik," katanya yang telah mengambil kendali atas diri Leonel.
Mereka bercinta di atas pasir pantai dengan berbagai posisi dan gaya, mereka tidak peduli dengan ombak yang berulang kali menjilati kulit mereka. Tidak terhitung berapa kali Rebecca menjerit memanggil nama Leonel, tidak terhitung berapa kali juga dirinya mendapatkan pelepasan karena Leonel selalu menyentuh titik terdalamnya.
"Sepertinya setelah ini kau akan kesulitan berjalan," ucap Leonel yang baru saja mendapatkan pelepasannya yang ke tiga kali dan waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam.
Rebecca, gadis itu sepadan dengannya, jeritan liarnya membuat semangat Leonel semakin berkobar hingga ia sulit mengendalikan dirinya dan terus memompa pinggulnya. Dan yang pasti, gadis itu tidak pernah meminta ikatan apa pun darinya. Leonel menyukai Rebecca, gadis yang sama tidak sekali tidak pernah merepotkannya.
***
"Leonel, perusahaan Hubert dari Perancis menawarkan kerja sama," ucap Mario pagi itu. Satu jam Mario telah berdiskusi dengan Leonel nyatanya yang ia dapatkan hanya pekerjaannya yang terbengkalai.
Leonel yang sedang duduk bersandar dengan nyaman di kursi kerjanya mengerutkan keningnya. "Apa kebangkrutan Glamour Entertainment telah terendus media?"
"Tidak mungkin," jawab Mario.
Leonel mengusap lehernya, menyentuh jakunnya menggunakan ujung jemarinya. "Jadwalkan saja, secepatnya," katanya.
"Kau yakin tidak ingin meminta bantuan keluargamu untuk menambal kebocoran keuangan perusahaan ini?"
Leonel menatap tajam Mario, sekretarisnya. "Kau tidak percaya kemampuanku?"
Pria itu bangkit dari duduknya, ia mengedikkan kedua bahunya lalu berucap. "Aku tidak sabar untuk melihat kemampuanmu."
Leonel menegakkan posisi duduknya. "Hei! Sialan! Aku bosmu!"
Pria itu meneriaki sekretarisnya yang kurang ajar karena meremehkan kemampuannya. Sayangnya, Mario telah hilang dibalik pintu tanpa mempedulikan omelannya.
Holla, Mi Amor.
It's great to see you again.
So, jangan lupa untuk selalu tinggalkan jejak komentar dan Rating bintang 5 yah buat novel ini.
Love you all.
SAlam manis dari Cherry yang manis.
Violeta berulang kali membolak-balik profil seorang pria di layar ponselnya, secepatnya ia harus bertemu pria itu. Dipastikan itu bisa menolongnya, harus bisa."Kau serius akan pergi ke London?" Xaniah, sekretarisnya bertanya dengan nada khawatir yang tidak dibuat-buat.Violeta mengalihkan pandangannya ke arah Xaniah. "Tidak ada pilihan lain," ujarnya."Apa aku harus ikut bersamamu?"
Ketukan lembut di pintu membuat Leonel mendongakkan kepalanya. Sekretarisnya, Mario berdiri di ambang pintu. Pria dengan tampang serius itu tidak seserius tampangnya, di samping sering mengejek Leonel ia juga sering membuat Leonel marah karena sering menyangkal dan membantah pendapat yang Leonel lontarkan. Tetapi, anehnya Leonel sendiri tidak bisa marah apa lagi berpikir untuk memecatnya. Mario bisa diandalkan dalam segi apa pun meski kadang ia melakukan hal di luar perintah Leonel.“Violeta Hubert ingin bertemu denganmu,” kata Mario sambil menyerahkan sebuah map.
“Hmmm... aku tidak mengatakan jika aku bersedia,” jawab Leonel.“Kita akan menikah tiga bulan. Ya, tiga bulan. Kau tahu jika hanya sehari lalu kita bercerai itu akan terlihat jika kita hanya bersandiwara, akan tampak aneh. Setelah kita beretmu kakekku dan aku mendapatkan perusahaanku, aku akan mentransfer berapa pun uang yang kau minta dan setelah itu surat cerai akan kukirim tiga bulan setelahnya.” Violeta menjelaskan dengan panjang lebar.“Hanya itu yang kudapatkan?” Leonel menaikkan sebelah alisnya. Samudra matanya masih me
Semua yang Violeta rencanakan berjalan mulus, seperti yang ia inginkan. Tetapi, ada yang tidak di sangka dan di duga. Takdir mengambil kakeknya begitu cepat. Di dalam perjalanan kembali dari kantor notaris, Violeta mendapat kabar dari pihak rumah sakit jika kakeknya mengembuskan napas terakhir, Violeta nyaris tidak mampu berdiri, ia mencengkeram jaket yang Leonel kenakan sambil menangis sejadi-jadinya di dada Leonel, pria yang belum genap satu hari menjadi suaminya. Ia kini benar-benar menjadi sebatang kara di Paris. Ia masih memiliki beberapa keluarga di Swiss, negara asal ibunya tetapi Violeta tidak menginginkan tinggal di sana. Tempat itu asing baginya.Rencana tinggal di Paris yang semula hanya unt
Mereka tiba di sebuah cafe bernama Cafe Procope, cafe itu adalah salah satu gerai kopi paling tua di Perancis yang masih berjaya hingga sekarang. Cafe itu didirikan oleh seorang chef bernama Francesco Procopio Dei Coltelli pada tahun 1688. Di tengah banyaknya gerai kopi baru yang menghadirkan berbagai kopi dengan varian baru, cafe ini tetap mempertahankan keaslian kopi buatannya. Interiornya pun juga masih sangat klasik tetapi suasana klasik itu justru membuat daya tarik sendiri. Selain berbagai kopi berkualitas seperti Lavazza Espresso, Cappucino, Irish Coffee yang dijajakan, ada juga berbagai menu khas Prancis seperti as coq au vin, escargots, tartare du boeuf and crème brûlée.
"Selamat ulang tahun, Nona."Seluruh pelayan di tempat tinggal Violeta berbaris tepat di depan pintu saat pintu terbuka, di tangan mereka memegangi satu tangkai bunga mawar berwarna merah menyala.Demi Tuhan. Leonel akan membalas Grace nanti, ia meminta tolong kepada Grace untuk menyiapkan kejutan kecil. Tetapi, bukan dengan membawa mawar merah seperti itu. Leonel meminta ide kepada Grace untuk memberi kejutan untuk Violeta yang tentu saja pelaksanaan kejutan itu dibantu oleh kepala pelayan di rumah itu karena mustahil Grace ada di Paris dalam waktu sekejap mata
"Kau sudah menyerahkan dirimu padaku, maka tidak ada jalan untuk kau kembali, Violeta." Leonel mendaratkan bibirnya di bibir Violeta, hanya kecupan kecil. "Meski kau menangis dan memohon untuk kulepaskan, aku tidak akan melepaskanmu." Bibir Violeta bergetar. Tetapi, ia tidak mengucapkan apa pun. Gadis itu perlahan meletakkan telapak tangannya di lengan Leonel, meraba kulit pria itu dengan gerakan yang sangat pelan. Leonel mendaratkan bibirnya di bibir Violeta, mengecupnya beberapa kali dengan kecupan-kecupan kecil yang menggoda. "Apa kau tahu cara berciuman?"
Violeta bermaksud meninggalkan Leonel yang tampaknya telah terlelap. Tetapi, saat ia mencoba beringsut, lengan kekar Leonel yang melingkar di pinggangnya menahannya. “Mau ke mana?” “A-aku ingin tidur di kamarku,” jawab Violeta setengah bergumam.“Tidurlah di sini,” ujar Leonel, lengannya semakin erat mengungkung pinggang Violeta.
Epilogue
Leonel berbalik ia menatap Benji dengan tatapan dingin. “Kupastikan kalian akan bercerai, hari ini juga.”
“Ada sesuatu yang tidak aku tahu? Sayangku?” tanya Benji sambil mengemudikan mobilnya.
Pada akhirnya, mereka tidak membicarakan apa pun karena saat Rebecca kembali dari bekerja pukul dua belas malam, ia hanya mendapati Candy yang tengah mengemasi seluruh barang-barang mereka di dalam unit apartemen, sementara Brian tampak tertidur pulas di atas tempat tidur. Tidak ada Mark, juga Leonel. Pria itu melarikan diri darinya, anggap saja begitu.
“Dad, aku merindukanmu,” ucap Brian yang sedang bercakap-cakap dengan Benji menggunakan video call didampingi oleh Candy yang duduk di sebelahnya.
“Jadi, bagaimana caranya aku mencuci gelas jika kau memegangi tanganku?” Rebecca sedikit mendongak untuk menatap Leonel.
“Apa Brian menyusahkanmu?” tanya Rebecca sambil melepaskan sepatu hak tingginya dan bergegas melangkah ke kamarnya. Ia baru saja kembali dari bekerja pukul sebelas malam.
“Kau membawanya ke sini, apa kau tidak waras?”
Malam itu, mengenakan piama yang disiapkan mendadak oleh Prilly, Rebecca duduk bersandar pada ranjang sementara Brian dan Mark, masing-masing menggunakan paha Rebecca sebagai bantal di kepala mereka. Rebecca membacakan salah satu koleksi buku dongeng penghantar tidur milik Mark hingga kedua bocah itu tertidur.