Barra menghela napas panjang. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, membuat buku jemarinya memutih, dan urat-urat di lehernya mengencang."Pintu rumah ini selalu terbuka, silakan Mami berkunjung kapan saja,” ucapnya, dengan suara tegas dan ekspresi wajah datar. “Tapi bukan untuk menetap," sambungnya.Airin menunduk dan tangan berhias cincin berlian itu meremas ujung bajunya. Mata wanita paruh baya itu mulai berkaca-kaca, lalu sejurus kemudian, bulir air mata jatuh."Mami hanya ... masih terpukul karena kehilangan Berliana, Bar.” Airin geleng-geleng, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Cindy. “Satu-satunya yang bisa menenangkan hati Mami, ya, Cleo. Dia mirip dengan Berliana." Suaranya bergetar, penuh permohonan.Ada sesuatu dalam ucapan wanita itu yang menjadikan Barra meragu, dia menatap Ibu Mertuanya lebih intens. Lalu, dengan suara rendah dan berat, dia berkata, "Baiklah. Tapi dengan satu syarat, jaga sikap Mami, terutama dengan Cindy.”Airin mengangguk cepat, seolah takut kesempa
Last Updated : 2025-03-16 Read more