Home / Pendekar / RAJA TANPA TAKHTA / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of RAJA TANPA TAKHTA: Chapter 1 - Chapter 10

20 Chapters

Bab 1 : Desa Cindua Yang Damai

Desa Cindua, sebuah tempat yang berada di tengah hamparan pegunungan yang hijau, telah menjadi saksi bisu dari banyak perubahan. Di sinilah, di sebuah desa kecil namun penuh sejarah, seorang anak muda bernama Mukhayyam Hafiz memulai perjalanan hidupnya. Walaupun takhta dan kerajaan bukanlah miliknya, Cindua adalah dunia yang ia kenal—dunia yang akan membentuknya menjadi seorang pemimpin yang luar biasa.Pagi itu, matahari perlahan naik ke langit, memancarkan sinarnya yang lembut, menerangi setiap sudut desa yang damai. Suara riang dari anak-anak yang bermain di luar rumah bergema, sementara udara pagi yang segar memberikan rasa tenang bagi penduduk yang sedang memulai aktivitas sehari-hari. Di dalam rumah kecil berbentuk kayu yang berada di ujung desa, Mukhayyam duduk bersama kedua orang tuanya, Rasyid Ghazali dan Syarifah Azurah.Mukhayyam, dengan wajah yang masih muda namun penuh tanda-tanda kedewasaan, tengah memperhatikan ayahnya yang duduk di hadapannya. Rasyid, seorang lelaki ya
last updateLast Updated : 2024-12-01
Read more

Bab 2: Kehidupan Mukhayyan Hafiz

Mukhayyam Hafiz bangun pagi-pagi sekali, seperti biasa, dengan cahaya mentari yang mulai menyinari langit di atas Desa Cindua. Tadi malam, ia tidur dengan pikiran yang dipenuhi dengan berbagai pertanyaan dan perasaan yang campur aduk. Keputusan untuk pergi, untuk mencari ilmu dan kekuatan, terasa semakin dekat. Namun, di balik keputusan itu ada banyak hal yang harus ia hadapi, banyak hal yang harus ia pahami tentang dirinya dan dunia yang ada di luar Desa Cindua.Di dapur, ibunya sudah menyiapkan sarapan seperti biasanya—nasi hangat, ikan goreng, dan sayur daun singkong. Ibu Syarifah selalu memiliki cara untuk memberikan kenyamanan dengan masakan sederhana yang penuh cinta. Mukhayyam memandang ibunya dengan penuh rasa terima kasih. Setiap gerakan ibunya di dapur terasa seperti bagian dari rutinitas yang tak pernah lepas dari kehidupannya. Sebuah rasa aman yang tidak bisa ia temukan di tempat lain."Sudah siap untuk berangkat, Nak?" tanya Syarifah dengan lembut, sambil menyajikan secan
last updateLast Updated : 2024-12-01
Read more

BaB 3: Mimpi Seorang Pemudah

Mukhayyam Hafiz berjalan tanpa henti, melewati padang rumput yang luas. Angin sore yang menyentuh kulitnya membawa rasa sejuk, seolah menenangkan jiwanya yang penuh gejolak. Setiap langkahnya mengantarkannya lebih jauh dari Desa Cindua, jauh dari rumah yang penuh dengan kenangan akan cinta dan harapan dari orang tua. Walau demikian, hatinya tetap tenang, seolah perjalanan panjang ini telah memantapkan dirinya untuk menghadapi segala yang akan datang.Namun, meski ada kedamaian dalam setiap langkah, dalam benaknya, pertanyaan-pertanyaan besar terus bermunculan. Apakah ia benar-benar siap untuk mengemban tanggung jawab yang begitu besar? Akankah pencariannya membawa hasil yang diinginkan? Semua itu hanya bisa dijawab setelah ia melewati berbagai ujian yang ada di depannya.Malam mulai turun, dan Mukhayyam memutuskan untuk beristirahat. Ia menemukan sebuah gua kecil di lereng bukit yang cukup aman untuk berlindung dari angin malam yang semakin dingin. Sambil duduk di atas batu datar, ia
last updateLast Updated : 2024-12-01
Read more

Bab 4 Rahasia Di Balik Gunung Cindua

Mukhayyam Hafiz menatap langit pagi yang berwarna jingga, berdiri di tepi sebuah tebing kecil di Gunung Cindua. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tak bergeming. Ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai, dan langkah-langkah berikutnya akan jauh lebih berat daripada apa yang sudah ia lewati. Kenangan percakapannya dengan pria berjubah putih malam sebelumnya masih segar dalam ingatan. Kata-kata pria itu tidak seperti nasihat biasa—itu adalah pesan yang dalam, seolah berasal dari dimensi lain.Namun, pagi itu tidak berjalan biasa. Suara langkah kaki perlahan terdengar di belakangnya, disertai suara daun-daun kering yang terinjak. Mukhayyam berbalik, menemukan seorang pria tua yang tampak asing, tetapi auranya tidak kalah kuat dibandingkan pria berjubah putih tadi malam. Pria tua itu membawa tongkat kayu yang berukir rumit dan sebuah tas kecil di pundaknya.“Selamat pagi, anak muda,” sapa pria itu dengan suara serak namun bersahabat.“Selamat pagi,” jawab Mukhayyam hati-hati. Ia bel
last updateLast Updated : 2024-12-01
Read more

Bab 5 Legenda Yang Tak Pernah Usai

Mentari pagi di Desa Cindua mulai merangkak naik, menyinari pegunungan yang kini tampak lebih megah setelah perjalanan Mukhayyam Hafiz. Namun, meski langit terlihat cerah, pikiran Mukhayyam tidak secerah itu. Langkahnya terasa berat ketika ia kembali ke rumahnya, membawa buku kuno yang kini berada dalam tas kulit di punggungnya.Di ambang pintu, ibunya, Syarifah Azurah, menunggu dengan tatapan cemas. "Mukhayyam, kemana saja kau semalam? Kami sangat khawatir!" ucapnya sambil mendekat, menyentuh wajah putranya untuk memastikan ia baik-baik saja.Mukhayyam menunduk sedikit, merasa bersalah karena membuat keluarganya cemas. "Maaf, Ibu. Aku harus pergi untuk mencari jawaban," jawabnya pelan.Ayahnya, Rasyid Ghazali, yang sedang duduk di beranda sambil memegang tongkat kayu, mengalihkan pandangannya dari ladang di kejauhan. "Jawaban apa yang kau cari hingga menghilang semalaman, Nak?" tanyanya dengan suara berat namun penuh rasa ingin tahu.Mukhayyam melepaskan tasnya dan duduk di dekat ked
last updateLast Updated : 2024-12-01
Read more

Bab 6: Guru Pertama Mukhayyam

Langit Desa Cindua berwarna abu-abu cerah pagi itu. Hembusan angin membawa aroma daun basah, menyegarkan udara desa yang tenang. Mukhayyam Hafiz melangkah dengan langkah mantap, membawa peta kuno yang dilipat rapi di saku bajunya. Ia berjalan menuju rumah Pak Bilal, pria tua yang kini menjadi tempatnya bertanya tentang misteri kitab dan peta yang ia temukan. Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda. Pak Bilal berdiri di depan rumahnya, seperti menunggu kedatangan Mukhayyam. Wajahnya serius, tetapi ada percikan kegembiraan di matanya. “Mukhayyam,” panggilnya, suaranya dalam dan penuh wibawa. “Hari ini adalah awal dari perjalanan yang sebenarnya. Sudah siap?” Mukhayyam mengangguk. “Aku siap, Pak Bilal. Apa yang harus aku lakukan?” Pak Bilal memiringkan kepalanya sedikit, matanya menyipit. “Kau sudah mempelajari dasar-dasarnya—kesabaran dan cara membaca peta itu dengan pikiran. Tapi perjalanan ini bukan tentang kau sendirian. Kau membutuhkan pembimbing, seseorang yang akan mengaj
last updateLast Updated : 2024-12-02
Read more

Bab 7 Latihan Pagi Yang Berat

Fajar belum sepenuhnya menyingsing, tetapi Gurutta Harun sudah berdiri di tengah lapangan kecil di tepi hutan. Ia menunggu dengan sabar sambil menyaksikan burung-burung berkicau di kejauhan. Di hadapannya, Mukhayyam Hafiz berusaha keras menyelesaikan perintah gurunya: berlari mengelilingi lapangan sebanyak lima puluh putaran.“Cepat, Mukhayyam!” seru Gurutta Harun dengan suara lantang. “Kau pikir musuhmu akan menunggumu istirahat? Jangan biarkan kelemahanmu menguasaimu!”Mukhayyam mengatur napasnya yang terengah-engah. Tubuhnya sudah mulai terasa lelah, tetapi tekad di dalam hatinya membuatnya terus berlari. Kakinya hampir menyerah, tetapi ia tahu bahwa ia tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan gurunya.“Gurutta,” katanya dengan nada terbata-bata, “bukankah kita bisa memulai dengan sesuatu yang lebih ringan? Mungkin latihan konsentrasi seperti kemarin?”Gurutta Harun tertawa kecil, tetapi ada nada tegas dalam tawanya. “Kau mengingi
last updateLast Updated : 2024-12-03
Read more

Bab 8 Perjumpaan Dengan Si Tua Bijak

Pagi itu, suasana di Desa Cindua terasa berbeda. Udara sejuk bercampur dengan aroma tanah yang baru saja diguyur hujan semalam, memberikan kedamaian yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Namun, hati Mukhayyam Hafiz tidak sepenuhnya tenang. Latihan-latihan berat yang diberikan Gurutta Harun mulai membuka matanya akan kerasnya kehidupan, tetapi ia merasa bahwa masih ada sesuatu yang hilang—jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar dalam benaknya. Gurutta Harun tampaknya memahami keresahan itu. Setelah menyelesaikan sarapan sederhana mereka, ia memandang Mukhayyam dengan tatapan penuh arti. “Mukhayyam,” katanya perlahan. “Hari ini, aku ingin kau bertemu dengan seseorang.” Mukhayyam menghentikan kunyahannya dan menatap gurunya dengan rasa ingin tahu. “Siapa, Gurutta?” “Seorang lelaki tua yang tinggal di pinggir hutan,” jawab Gurutta Harun. “Orang-orang di desa sering memanggilnya dengan sebutan Si Tua
last updateLast Updated : 2024-12-04
Read more

Bab 9 Percakapan Tentang Kekuasaan

Mukhayyam Hafiz duduk di beranda pondok Gurutta Harun. Malam itu angin sepoi-sepoi membawa aroma khas dari hutan di sekitarnya. Cahaya bulan menerangi desa Cindua dengan lembut, seolah menyoroti pemikiran yang berat di benak pemuda itu. Setelah bertemu Si Tua Bijak dan menjalani latihan yang melelahkan, kini ia merasa semakin dekat dengan pertanyaan besar yang terus menghantuinya: apa sebenarnya kekuasaan itu?Gurutta Harun keluar membawa dua cangkir teh panas. Ia meletakkan salah satunya di depan Mukhayyam dan duduk di kursi kayu di sampingnya. Gurutta tahu muridnya sedang bergulat dengan sesuatu yang penting.“Pikiranmu terlihat berat malam ini, Mukhayyam,” kata Gurutta, membuka percakapan.Mukhayyam menghela napas panjang. “Gurutta, saya ingin bertanya... apa sebenarnya kekuasaan itu?”Gurutta tersenyum tipis, seolah sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. Ia mengambil cangkir tehnya dan menyesap perlahan sebelum menjawab.“Kekuasaan
last updateLast Updated : 2024-12-05
Read more

Bab 10 Keiniginan Untuk Melangkah Lebih Jauh

Pagi itu, udara di Desa Cindua terasa lebih segar dari biasanya. Embun pagi menempel di daun-daun hijau, dan suara burung berkicau merdu di antara pepohonan yang mulai tersentuh sinar matahari. Mukhayyam Hafiz duduk termenung di tepi sungai yang mengalir tenang, matanya mengikuti aliran air yang tak henti-hentinya bergerak. Perasaannya, sama seperti air itu—terus mengalir, selalu mencari jalan, namun belum menemukan tempat yang tepat.Ia merasa ada sesuatu yang tidak terungkapkan dalam hidupnya. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar belajar bela diri atau mendapatkan kekuasaan. Keinginan untuk menjadi pemimpin yang bijaksana dan bertanggung jawab semakin menguat dalam dirinya, tetapi ia merasa masih ada bagian dari dirinya yang harus dipahami terlebih dahulu.Pada saat itulah Gurutta Harun mendekatinya. Melihat wajah muridnya yang penuh tanda tanya, Gurutta tahu bahwa ada pergolakan dalam hati Mukhayyam yang perlu diselesaikan.“Mukhayyam, ada yang ingin k
last updateLast Updated : 2024-12-06
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status