Home / Pendekar / RAJA TANPA TAKHTA / Bab 5 Legenda Yang Tak Pernah Usai

Share

Bab 5 Legenda Yang Tak Pernah Usai

Author: mahmud23
last update Last Updated: 2024-12-01 11:06:40

Mentari pagi di Desa Cindua mulai merangkak naik, menyinari pegunungan yang kini tampak lebih megah setelah perjalanan Mukhayyam Hafiz. Namun, meski langit terlihat cerah, pikiran Mukhayyam tidak secerah itu. Langkahnya terasa berat ketika ia kembali ke rumahnya, membawa buku kuno yang kini berada dalam tas kulit di punggungnya.

Di ambang pintu, ibunya, Syarifah Azurah, menunggu dengan tatapan cemas. "Mukhayyam, kemana saja kau semalam? Kami sangat khawatir!" ucapnya sambil mendekat, menyentuh wajah putranya untuk memastikan ia baik-baik saja.

Mukhayyam menunduk sedikit, merasa bersalah karena membuat keluarganya cemas. "Maaf, Ibu. Aku harus pergi untuk mencari jawaban," jawabnya pelan.

Ayahnya, Rasyid Ghazali, yang sedang duduk di beranda sambil memegang tongkat kayu, mengalihkan pandangannya dari ladang di kejauhan. "Jawaban apa yang kau cari hingga menghilang semalaman, Nak?" tanyanya dengan suara berat namun penuh rasa ingin tahu.

Mukhayyam melepaskan tasnya dan duduk di dekat kedua orang tuanya. Ia membuka tas tersebut perlahan, mengeluarkan buku kuno dengan hati-hati. Cahaya emas dari sampulnya menyilaukan mata, membuat Syarifah terperangah.

"Ini… dari mana kau mendapatkannya?" tanya Rasyid, suaranya bergetar antara kagum dan curiga.

Mukhayyam menjelaskan perjalanannya ke Gunung Cindua, bagaimana ia menghadapi sosok bayangan besar, bertemu dengan penjaga bernama Azhraf, hingga ujian yang memaksanya untuk mempertaruhkan segalanya. Ceritanya mengalir seperti aliran sungai, tak henti-hentinya menggugah emosi. Ibunya beberapa kali terkejut, sementara ayahnya menyimak dengan serius, tidak menyela sama sekali.

"Ayah… Ibu… buku ini bukan sembarang buku," kata Mukhayyam saat selesai menceritakan pengalamannya. "Ini adalah kunci menuju sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bisa mengubah dunia. Tapi aku belum tahu apa yang sebenarnya aku hadapi."

Syarifah menatap suaminya dengan kekhawatiran. "Rasyid, apa ini ada hubungannya dengan legenda yang pernah kau ceritakan dulu?"

Rasyid mengangguk perlahan, wajahnya berubah serius. "Mukhayyam, apa kau tahu tentang Legenda Pendekar Tanpa Takhta?"

Mukhayyam menggeleng. "Tidak, Ayah. Apa itu?"

Rasyid menarik napas panjang sebelum mulai berbicara. "Legenda ini sudah ada sejak zaman leluhur kita. Diceritakan bahwa di suatu masa, akan lahir seorang pemuda yang tidak memiliki takhta, tetapi memiliki kekuatan yang melampaui para raja. Ia akan menggunakan kekuatan itu untuk melindungi yang lemah dan menghancurkan ketidakadilan. Namun, perjalanan pemuda itu tidak pernah mudah. Ia harus melewati banyak ujian, menghadapi kebenaran pahit, dan memilih antara takdir atau kehancuran."

Mukhayyam mendengarkan dengan penuh perhatian, pikirannya mencoba menghubungkan cerita ayahnya dengan pengalaman yang baru saja ia alami. "Ayah, apakah kau pikir… aku adalah pemuda dalam legenda itu?"

Rasyid menatapnya lama sebelum menjawab. "Aku tidak tahu, Mukhayyam. Tetapi jika buku itu memilihmu, mungkin memang ada alasan di baliknya."

---

Percakapan mereka terhenti ketika suara ketukan pintu terdengar. Seorang pria tua masuk, mengenakan pakaian lusuh dan membawa tongkat bambu yang sudah usang. Wajahnya keriput, tetapi matanya penuh dengan kebijaksanaan. Itu adalah Pak Bilal, tetua desa sekaligus teman dekat Rasyid.

"Maaf mengganggu," ujar Pak Bilal dengan nada tenang. "Aku mendengar dari penduduk desa bahwa Mukhayyam baru saja kembali dari Gunung Cindua. Apakah benar?"

Rasyid mengangguk, memberi isyarat agar Pak Bilal duduk bersama mereka. "Benar, Pak Bilal. Anak ini telah menemukan sesuatu yang luar biasa," katanya sambil menunjuk buku kuno di pangkuan Mukhayyam.

Mata Pak Bilal membelalak saat melihat buku itu. Ia mengangkat tongkatnya, menunjuk ke arah buku tersebut. "Itu… itu adalah Kitab Perubahan. Tidak mungkin! Sudah ratusan tahun kitab itu menghilang!"

"Kitab Perubahan?" tanya Mukhayyam, bingung.

Pak Bilal mengangguk, suaranya kini penuh semangat. "Kitab itu bukan sekadar buku biasa. Ia berisi rahasia terbesar dari leluhur kita—ilmu yang mampu mengendalikan alam, pikiran, dan jiwa. Tapi kitab itu juga berbahaya. Jika digunakan oleh orang yang salah, ia bisa membawa kehancuran."

"Tapi kenapa kitab ini memilihku?" tanya Mukhayyam, masih merasa dirinya hanyalah seorang pemuda biasa.

Pak Bilal menatapnya dalam-dalam. "Karena takdir, Mukhayyam. Kau adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirimu sendiri. Kau adalah penerus dari garis keturunan pendekar tanpa takhta."

---

Percakapan itu berlangsung lama, penuh dengan pertanyaan dari Mukhayyam yang dijawab oleh Rasyid dan Pak Bilal. Mereka berbicara tentang legenda, ujian yang mungkin akan datang, dan peran Mukhayyam dalam sejarah desa mereka. Suasana berubah tegang ketika Pak Bilal menyebutkan bahwa tidak semua orang akan menerima keberadaan Mukhayyam sebagai calon pemimpin.

"Kau harus berhati-hati," kata Pak Bilal. "Ada orang-orang yang menginginkan kekuatan kitab itu untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka tidak akan ragu untuk menyerangmu, bahkan membahayakan keluargamu."

Syarifah, yang mendengar itu, langsung memegang tangan Mukhayyam dengan erat. "Apa ini terlalu berbahaya, Rasyid? Mungkin kita harus menyembunyikan kitab itu."

Rasyid menggeleng. "Tidak, Azurah. Jika ini memang takdir Mukhayyam, maka kita tidak bisa menghindarinya. Yang bisa kita lakukan adalah mendukungnya dan memastikan ia siap menghadapi apa pun."

Mukhayyam menatap ayah dan ibunya dengan tekad. "Aku tidak akan mundur. Jika ini adalah jalanku, maka aku akan melaluinya, apa pun yang terjadi."

Pak Bilal tersenyum kecil. "Kau memiliki keberanian yang besar, Mukhayyam. Tetapi keberanian saja tidak cukup. Kau perlu belajar, memahami kitab itu, dan mempersiapkan dirimu untuk perjalanan panjang ke depan."

"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Mukhayyam.

Pak Bilal berdiri, menatap ke arah pegunungan di kejauhan. "Besok pagi, datanglah ke rumahku. Ada sesuatu yang perlu kau ketahui sebelum kau membuka halaman pertama kitab itu."

---

Malam itu, Mukhayyam tidak bisa tidur. Ia duduk di depan jendela kamarnya, memandang bintang-bintang yang bersinar di langit. Ia memikirkan semua yang telah ia alami dan tanggung jawab besar yang kini ada di pundaknya.

Syarifah mengetuk pintu kamar dan masuk dengan lembut. "Mukhayyam, kau belum tidur?"

Mukhayyam menggeleng. "Banyak yang ada di pikiranku, Ibu."

Syarifah duduk di sebelahnya, memegang bahunya dengan lembut. "Aku tahu ini berat bagimu, Nak. Tetapi ingatlah, kau tidak sendirian. Aku dan ayahmu selalu ada di sini untukmu."

"Ibu, apa kau tidak takut? Jika aku gagal, semuanya bisa berakhir buruk."

Syarifah tersenyum, meskipun matanya tampak berkaca-kaca. "Tentu saja aku takut. Tapi aku juga percaya padamu. Aku percaya bahwa kau adalah pemuda yang kuat dan berhati tulus. Itu lebih penting daripada apa pun."

Percakapan mereka berlangsung hingga malam larut, membawa kehangatan yang membuat Mukhayyam merasa lebih tenang. Ia tahu, apapun yang terjadi, keluarganya akan selalu menjadi sumber kekuatannya.

---

Keesokan paginya, Mukhayyam berangkat ke rumah Pak Bilal. Ia membawa kitab itu dengan hati-hati, penuh harapan sekaligus kekhawatiran. Ketika ia tiba, Pak Bilal sudah menunggunya di beranda, memegang sebuah gulungan kertas tua.

"Ini adalah peta leluhur," kata Pak Bilal sambil menyerahkan gulungan itu kepada Mukhayyam. "Peta ini akan membantumu memahami kitab tersebut. Tetapi ingat, setiap petunjuk yang ada di dalamnya harus dipecahkan dengan hati dan pikiran, bukan kekuatan semata."

Mukhayyam membuka peta itu, melihat simbol-simbol aneh yang tidak ia pahami. "Apa maksud semua ini?"

"Itulah yang harus kau cari tahu," jawab Pak Bilal. "Ini adalah awal dari perjalananmu. Dan ingatlah, perjalanan ini bukan hanya tentang

~~~~~~~~~~

Mukhayyam menatap peta tua di tangannya dengan tatapan penuh kebingungan. Gambar-gambar yang tergurat di atasnya terlihat aneh—seperti simbol-simbol kuno yang tidak memiliki arti jelas. Pak Bilal, yang duduk bersila di beranda rumahnya, tersenyum kecil melihat reaksi Mukhayyam.

"Jangan terlalu keras memaksakan dirimu untuk memahami semuanya sekaligus," kata Pak Bilal sambil menuangkan teh ke dalam dua cangkir. "Peta itu adalah ujian pertama. Ia tidak akan mengungkapkan rahasianya begitu saja. Kau harus belajar melihat dengan mata hati, bukan hanya mata kepala."

Mukhayyam mengerutkan dahi. "Apa maksudnya, Pak Bilal? Aku tidak mengerti bagaimana peta ini bisa membantuku memahami kitab itu. Bahkan aku tidak tahu harus mulai dari mana."

Pak Bilal menyeruput tehnya dengan perlahan, lalu menatap pemuda itu dengan tajam. "Kitab dan peta itu bukan hanya alat biasa. Mereka hidup. Mereka berbicara kepada siapa yang dipilihnya. Kau harus sabar dan mendengarkan apa yang ingin mereka sampaikan. Setiap simbol, setiap garis, memiliki makna yang hanya bisa dipahami jika kau membuka pikiran dan hatimu."

Mukhayyam menghela napas panjang, masih bingung dengan semua petunjuk yang terasa begitu abstrak. "Tapi bagaimana caranya? Aku tidak pernah belajar tentang hal seperti ini sebelumnya."

Pak Bilal tersenyum tipis. "Karena itulah kau harus memulai dari dasar. Pertama-tama, kau harus memahami dirimu sendiri. Jika kau tidak mengenal siapa dirimu, bagaimana kau bisa memahami sesuatu yang lebih besar dari dirimu sendiri?"

---

Pak Bilal kemudian berdiri dan mengajak Mukhayyam berjalan ke sebuah ruangan kecil di belakang rumahnya. Ruangan itu dipenuhi dengan buku-buku tua, gulungan-gulungan kertas, dan berbagai benda kuno yang tampaknya memiliki nilai sejarah yang besar. Di tengah ruangan, ada sebuah meja kayu kecil dengan sebuah lilin yang menyala.

"Ini adalah ruang belajarku," kata Pak Bilal. "Dulu, ayahku yang mengajariku di sini, seperti aku akan mengajarimu sekarang. Tapi ingat, Mukhayyam, ilmu yang kau pelajari di sini bukan sekadar untuk dirimu sendiri. Kau harus menggunakannya untuk kebaikan yang lebih besar."

Mukhayyam mengangguk, merasa sedikit lebih percaya diri. "Aku siap belajar, Pak Bilal. Aku ingin tahu apa yang harus aku lakukan untuk memecahkan misteri ini."

Pak Bilal menepuk bahunya dengan lembut. "Bagus. Pelajaran pertama adalah kesabaran. Duduklah di depan meja itu, dan pandanglah peta itu dengan tenang. Jangan mencoba mencari jawabannya secara langsung. Biarkan pikiranmu mengembara, dan biarkan simbol-simbol itu berbicara kepadamu."

Mukhayyam mengangguk lagi dan melakukan apa yang diperintahkan. Ia duduk di depan meja kayu, membuka peta itu perlahan, dan mulai memandanginya dengan penuh konsentrasi. Awalnya, yang ia lihat hanyalah garis-garis acak dan simbol-simbol aneh. Namun, semakin lama ia memandang, semakin ia merasa seperti ditarik masuk ke dalam peta itu.

---

Waktu berlalu tanpa terasa. Matahari yang tadinya tinggi di langit kini mulai merendah, menciptakan bayangan panjang di luar ruangan. Pak Bilal tidak berkata apa-apa, membiarkan Mukhayyam tenggelam dalam pikirannya sendiri. Akhirnya, setelah berjam-jam, Mukhayyam mengangkat kepalanya.

"Aku melihat sesuatu," katanya pelan, suaranya sedikit gemetar. "Bukan dengan mataku, tapi dengan pikiranku. Simbol-simbol itu… mereka seperti menunjukkan jalan. Ada aliran energi yang menghubungkan mereka, seperti sebuah peta menuju sesuatu."

Pak Bilal tersenyum puas. "Kau mulai memahami, Mukhayyam. Itulah langkah pertama. Kau harus belajar mempercayai intuisi dan perasaanmu. Ilmu yang terkandung dalam kitab itu bukan hanya tentang logika, tetapi juga tentang harmoni antara pikiran, hati, dan jiwa."

Mukhayyam merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, seperti sebuah pintu yang baru saja terbuka. Namun, ia juga merasa cemas. "Pak Bilal, kalau ini baru langkah pertama, apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah aku benar-benar siap untuk menghadapi apa yang ada di depan?"

Pak Bilal menatapnya dengan penuh kebijaksanaan. "Kesiapan bukanlah sesuatu yang kau miliki sejak awal, Mukhayyam. Ia adalah sesuatu yang kau kembangkan selama perjalananmu. Kau tidak akan pernah merasa benar-benar siap, tetapi kau harus tetap melangkah maju."

---

Keesokan harinya, Mukhayyam kembali ke rumahnya dengan peta di tangan. Ia tidak bisa berhenti memikirkan apa yang ia alami di rumah Pak Bilal. Ibunya, Syarifah Azurah, sedang menjemur pakaian di halaman ketika ia tiba.

"Mukhayyam, kau terlihat berbeda hari ini," kata Syarifah sambil tersenyum. "Apa yang kau pelajari dari Pak Bilal?"

Mukhayyam ragu sejenak sebelum menjawab. "Aku belajar tentang kesabaran, Ibu. Dan tentang bagaimana melihat sesuatu dengan cara yang berbeda. Tapi ini baru permulaan. Aku merasa masih ada banyak hal yang belum aku pahami."

Syarifah mengangguk pelan, tatapannya penuh kasih. "Kau berjalan di jalan yang sulit, Nak. Tapi aku percaya kau akan menemukan jawaban yang kau cari. Ingatlah, apa pun yang terjadi, keluarga ini selalu ada untukmu."

Ucapan ibunya membuat hati Mukhayyam terasa lebih ringan. Ia tahu perjalanan ini bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang melindungi orang-orang yang ia cintai.

---

Di malam hari, ketika desa sudah sunyi, Mukhayyam memutuskan untuk membuka kitab itu untuk pertama kalinya. Ia duduk di depan meja kayu kecil di kamarnya, menyalakan lilin, dan meletakkan kitab itu di atas meja. Dengan hati-hati, ia membuka halaman pertama.

Tulisan-tulisan kuno yang tergurat di dalamnya tampak seperti bahasa asing yang tidak ia mengerti. Namun, saat ia memandang lebih lama, tulisan-tulisan itu mulai berubah. Mereka bergerak, membentuk kata-kata yang perlahan bisa ia baca.

"Hanya mereka yang memiliki hati yang murni dan jiwa yang kuat yang dapat memahami rahasia kitab ini. Setiap halaman adalah ujian, setiap ujian adalah langkah menuju kebenaran. Bersiaplah, karena jalan di depan penuh dengan bahaya dan godaan."

Mukhayyam merasa merinding membaca kata-kata itu. Ia menutup kitab itu dengan hati-hati, merasa bahwa ia perlu waktu untuk mencerna semuanya. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang luar biasa.

---

Di pagi hari berikutnya, desa Cindua mulai diselimuti kabar angin yang aneh. Beberapa penduduk mengaku melihat sosok misterius berkeliaran di sekitar desa pada malam hari. Sosok itu tinggi, berjubah hitam, dan membawa aura yang menyeramkan.

Rasyid Ghazali, yang biasanya tenang, tampak gelisah mendengar kabar itu. "Mukhayyam, aku rasa ini bukan kebetulan. Mungkin ada hubungannya dengan kitab itu."

Mukhayyam mengangguk, merasa bahwa ia harus bersiap menghadapi apapun yang akan datang. "Aku tidak akan lari dari tanggung jawab ini, Ayah. Aku akan melindungi desa ini, apa pun yang terjadi."

Rasyid menepuk pundaknya dengan bangga. "Itu semangat yang aku harapkan darimu, Nak. Tetapi ingatlah, kau tidak bisa melakukannya sendirian. Gunakan apa yang kau pelajari, dan percayalah pada dirimu sendiri."

Mukhayyam tahu bahwa ini adalah saatnya ia membuktikan dirinya. Dengan kitab di tangannya dan tekad di hatinya, ia bersiap menghadapi tantangan yang ada di depan. Legenda yang tak pernah usai itu kini menjadi bagian dari hidupnya, dan ia bertekad untuk menulis babak baru dalam sejarah Desa Cindua.

Related chapters

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 6: Guru Pertama Mukhayyam

    Langit Desa Cindua berwarna abu-abu cerah pagi itu. Hembusan angin membawa aroma daun basah, menyegarkan udara desa yang tenang. Mukhayyam Hafiz melangkah dengan langkah mantap, membawa peta kuno yang dilipat rapi di saku bajunya. Ia berjalan menuju rumah Pak Bilal, pria tua yang kini menjadi tempatnya bertanya tentang misteri kitab dan peta yang ia temukan. Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda. Pak Bilal berdiri di depan rumahnya, seperti menunggu kedatangan Mukhayyam. Wajahnya serius, tetapi ada percikan kegembiraan di matanya. “Mukhayyam,” panggilnya, suaranya dalam dan penuh wibawa. “Hari ini adalah awal dari perjalanan yang sebenarnya. Sudah siap?” Mukhayyam mengangguk. “Aku siap, Pak Bilal. Apa yang harus aku lakukan?” Pak Bilal memiringkan kepalanya sedikit, matanya menyipit. “Kau sudah mempelajari dasar-dasarnya—kesabaran dan cara membaca peta itu dengan pikiran. Tapi perjalanan ini bukan tentang kau sendirian. Kau membutuhkan pembimbing, seseorang yang akan mengaj

    Last Updated : 2024-12-02
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 7 Latihan Pagi Yang Berat

    Fajar belum sepenuhnya menyingsing, tetapi Gurutta Harun sudah berdiri di tengah lapangan kecil di tepi hutan. Ia menunggu dengan sabar sambil menyaksikan burung-burung berkicau di kejauhan. Di hadapannya, Mukhayyam Hafiz berusaha keras menyelesaikan perintah gurunya: berlari mengelilingi lapangan sebanyak lima puluh putaran.“Cepat, Mukhayyam!” seru Gurutta Harun dengan suara lantang. “Kau pikir musuhmu akan menunggumu istirahat? Jangan biarkan kelemahanmu menguasaimu!”Mukhayyam mengatur napasnya yang terengah-engah. Tubuhnya sudah mulai terasa lelah, tetapi tekad di dalam hatinya membuatnya terus berlari. Kakinya hampir menyerah, tetapi ia tahu bahwa ia tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan gurunya.“Gurutta,” katanya dengan nada terbata-bata, “bukankah kita bisa memulai dengan sesuatu yang lebih ringan? Mungkin latihan konsentrasi seperti kemarin?”Gurutta Harun tertawa kecil, tetapi ada nada tegas dalam tawanya. “Kau mengingi

    Last Updated : 2024-12-03
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 8 Perjumpaan Dengan Si Tua Bijak

    Pagi itu, suasana di Desa Cindua terasa berbeda. Udara sejuk bercampur dengan aroma tanah yang baru saja diguyur hujan semalam, memberikan kedamaian yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Namun, hati Mukhayyam Hafiz tidak sepenuhnya tenang. Latihan-latihan berat yang diberikan Gurutta Harun mulai membuka matanya akan kerasnya kehidupan, tetapi ia merasa bahwa masih ada sesuatu yang hilang—jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar dalam benaknya. Gurutta Harun tampaknya memahami keresahan itu. Setelah menyelesaikan sarapan sederhana mereka, ia memandang Mukhayyam dengan tatapan penuh arti. “Mukhayyam,” katanya perlahan. “Hari ini, aku ingin kau bertemu dengan seseorang.” Mukhayyam menghentikan kunyahannya dan menatap gurunya dengan rasa ingin tahu. “Siapa, Gurutta?” “Seorang lelaki tua yang tinggal di pinggir hutan,” jawab Gurutta Harun. “Orang-orang di desa sering memanggilnya dengan sebutan Si Tua

    Last Updated : 2024-12-04
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 9 Percakapan Tentang Kekuasaan

    Mukhayyam Hafiz duduk di beranda pondok Gurutta Harun. Malam itu angin sepoi-sepoi membawa aroma khas dari hutan di sekitarnya. Cahaya bulan menerangi desa Cindua dengan lembut, seolah menyoroti pemikiran yang berat di benak pemuda itu. Setelah bertemu Si Tua Bijak dan menjalani latihan yang melelahkan, kini ia merasa semakin dekat dengan pertanyaan besar yang terus menghantuinya: apa sebenarnya kekuasaan itu?Gurutta Harun keluar membawa dua cangkir teh panas. Ia meletakkan salah satunya di depan Mukhayyam dan duduk di kursi kayu di sampingnya. Gurutta tahu muridnya sedang bergulat dengan sesuatu yang penting.“Pikiranmu terlihat berat malam ini, Mukhayyam,” kata Gurutta, membuka percakapan.Mukhayyam menghela napas panjang. “Gurutta, saya ingin bertanya... apa sebenarnya kekuasaan itu?”Gurutta tersenyum tipis, seolah sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. Ia mengambil cangkir tehnya dan menyesap perlahan sebelum menjawab.“Kekuasaan

    Last Updated : 2024-12-05
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 10 Keiniginan Untuk Melangkah Lebih Jauh

    Pagi itu, udara di Desa Cindua terasa lebih segar dari biasanya. Embun pagi menempel di daun-daun hijau, dan suara burung berkicau merdu di antara pepohonan yang mulai tersentuh sinar matahari. Mukhayyam Hafiz duduk termenung di tepi sungai yang mengalir tenang, matanya mengikuti aliran air yang tak henti-hentinya bergerak. Perasaannya, sama seperti air itu—terus mengalir, selalu mencari jalan, namun belum menemukan tempat yang tepat.Ia merasa ada sesuatu yang tidak terungkapkan dalam hidupnya. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar belajar bela diri atau mendapatkan kekuasaan. Keinginan untuk menjadi pemimpin yang bijaksana dan bertanggung jawab semakin menguat dalam dirinya, tetapi ia merasa masih ada bagian dari dirinya yang harus dipahami terlebih dahulu.Pada saat itulah Gurutta Harun mendekatinya. Melihat wajah muridnya yang penuh tanda tanya, Gurutta tahu bahwa ada pergolakan dalam hati Mukhayyam yang perlu diselesaikan.“Mukhayyam, ada yang ingin k

    Last Updated : 2024-12-06
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 11 Kisah Sang Pahlawan Yang Hilang

    Malam di Desa Cindua semakin pekat. Langit gelap hanya diterangi bintang-bintang kecil yang berserakan seperti berlian di atas hamparan sutra hitam. Di sudut desa, rumah Gurutta Harun menjadi tempat berkumpul beberapa tokoh penting desa. Di dalam ruangan kecil dengan penerangan dari lampu minyak, Mukhayyam Hafiz duduk bersila di dekat Gurutta Harun. Ia baru saja kembali dari perjalanan singkatnya ke tepian hutan, membawa pertanyaan yang membebani pikirannya.“Apa yang sebenarnya terjadi dengan Desa Cindua di masa lalu?” tanya Mukhayyam, menatap Gurutta Harun dengan penuh harap.Gurutta Harun mengangguk pelan, wajah tuanya penuh kebijaksanaan. “Kau ingin tahu tentang legenda yang sering dibicarakan oleh orang-orang tua di desa ini, bukan? Tentang Sang Pahlawan Yang Hilang?”Mukhayyam mengangguk mantap. “Ya, Guru. Banyak yang mengatakan bahwa ada seseorang yang dulu melindungi desa ini, tetapi ia menghilang begitu saja. Apa yang sebenarnya terjadi?”

    Last Updated : 2024-12-07
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 12 Langkah Awal Menuju Perubahan

    Mukhayyam Hafiz berdiri di halaman belakang rumahnya. Udara pagi Desa Cindua terasa segar, tetapi pikirannya berputar-putar seperti badai. Keputusan untuk mencari pedang Syamsir Al-Fikri bukanlah sesuatu yang ia anggap enteng. Itu adalah panggilan yang mendalam, seperti dorongan batin yang tidak dapat ia abaikan.Ibunya, Syarifah Azurah, muncul dari pintu belakang membawa nampan kecil berisi segelas teh hangat dan sepiring kue tradisional. Ia menatap putranya yang termenung dengan senyum lembut.“Mukhayyam, kau kelihatan gelisah pagi ini,” ucap Azurah sembari menaruh nampan di atas meja kecil di teras.Mukhayyam tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Aku hanya memikirkan sesuatu, Ibu.”Azurah menatap putranya dengan penuh kasih. “Apa yang sedang kau pikirkan, Nak? Kadang-kadang berbagi pikiran bisa meringankan beban.”Mukhayyam mendekati ibunya dan duduk di sebelahnya. Ia mengambil secangkir teh, membiarkan uap hangatnya

    Last Updated : 2024-12-07
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 13 Menghadapi Rintangan Pertama

    Mukhayyam Hafiz berjalan menembus hutan lebat. Udara pagi yang dingin masih menyelimuti, tetapi keheningan alam mulai terusik oleh gemerisik langkah-langkah kecil di bawah kakinya. Hari itu, ia tahu perjalanan tak akan mudah. Jalan setapak yang ia pilih semakin menanjak dan licin karena embun pagi.Sementara ia melangkah hati-hati, terdengar suara samar di kejauhan. Awalnya, suara itu seperti dengungan, tetapi semakin ia mendekat, suara itu berubah menjadi jeritan halus bercampur gema. Ia berhenti sejenak, mencoba memahami arah suara tersebut.“Siapa di sana?” Mukhayyam memanggil, suaranya sedikit bergetar.Namun, jawaban yang ia dapatkan hanyalah keheningan. Meski begitu, nalurinya mengatakan bahwa ia harus lebih waspada. Pisau kecil pemberian Gurutta Harun dipegang erat di tangannya. Langkahnya semakin pelan, berusaha menghindari suara berisik dari ranting atau dedaunan.Ketika ia mendekati sumber suara, ia melihat sosok bayangan di antara pepoh

    Last Updated : 2024-12-08

Latest chapter

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 20 Penyatuan Fikiran dan Tubuh

    Langit pagi di tengah hutan itu tampak berwarna jingga, menyiratkan keindahan yang kontras dengan perjuangan berat yang sedang dialami Mukhayyam. Ia duduk bersila di atas batu datar, menghadap Juru Uji yang berdiri tegak di hadapannya. Tidak ada kata yang terucap sejak ujian sebelumnya, namun suasana itu tidak pernah terasa sunyi. Hutan berbicara melalui desiran angin dan kicauan burung, seolah ingin menjadi saksi atas perjalanan Mukhayyam menuju pemahaman yang lebih dalam.“Bagaimana rasanya sekarang, setelah melampaui ujian berat itu?” tanya Juru Uji, memecah keheningan.Mukhayyam menatap pria itu. “Aku merasa lebih ringan, tetapi pada saat yang sama, aku sadar bahwa aku masih membawa banyak hal yang belum bisa kulepaskan sepenuhnya.”“Itulah beban seorang pejuang,” ujar Juru Uji sambil melipat tangannya di belakang punggung. “Namun, ingatlah ini, Mukhayyam: tubuh yang kuat tidak akan ada artinya tanpa fikiran yang jernih. Ujian selanjutnya adalah tentan

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 19 Ujian Fisik Yang Pertama

    Mukhayyam berdiri di tepi sebuah sungai deras yang berkelok-kelok, sementara angin pagi meniupkan kabut tipis ke sekelilingnya. Di seberang sungai itu, hutan lebat tampak seperti benteng alami yang menghalangi jalan. Namun, yang menarik perhatian Mukhayyam adalah seorang lelaki berjubah abu-abu yang berdiri di tengah aliran sungai. Dengan tenang, lelaki itu memperhatikan Mukhayyam, seolah-olah sedang menunggu sesuatu. “Selamat datang, Mukhayyam Hafiz,” kata lelaki itu dengan suara berat namun jelas. “Aku adalah Juru Uji. Hari ini, kau akan menghadapi ujian fisik pertamamu. Bersiaplah.” Mukhayyam menatap lelaki itu dengan rasa waspada. “Apa ujian yang harus kulalui? Dan siapa yang memberimu hak untuk mengujiku?” tanyanya. Juru Uji tersenyum tipis. “Hak itu datang dari perjalanan yang kau pilih sendiri. Untuk melangkah lebih jauh, kau harus membuktikan bahwa kau mampu bertahan. Ujian ini bukan tentang siapa aku, tetapi tentang siapa dirimu.

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 18 Jalan yang Terbentang di Depan

    Pagi itu, udara dingin menyelimuti lereng Gunung Cindua. Kabut tipis menggantung di antara pepohonan, membuat suasana terlihat sunyi sekaligus misterius. Mukhayyam duduk di atas batu besar, menghadap jurang yang menghamparkan pemandangan lembah yang hijau. Pandangannya jauh menerawang, mencoba mencerna semua pelajaran dan percakapan yang ia lalui bersama Lian Huo.Di kejauhan, suara langkah kaki terdengar menghampiri. Lian Huo muncul dari balik kabut, membawa tongkat kayu tua yang menjadi ciri khasnya. Ia menghampiri Mukhayyam tanpa suara, hanya senyuman lembut di wajahnya. Setelah duduk di samping muridnya, ia membuka percakapan.“Kau terlihat gelisah lagi,” ujar Lian Huo.Mukhayyam tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang. “Ada begitu banyak hal yang harus kupikirkan, Guru. Aku merasa seperti berdiri di tengah persimpangan yang tak ada akhirnya.”“Persimpangan itu adalah ujianmu,” jawab Lian Huo sambil menatap lembah di bawah. “Setiap langka

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 17 Perasaan Mukhayyam Yang Tertahan

    Pagi itu terasa sunyi. Udara pagi yang segar mengalir melalui celah-celah pepohonan di sekitar desa. Mukhayyam berjalan menyusuri jalan setapak yang mengarah ke lembah, pikiran dan perasaannya dipenuhi dengan pertanyaan yang sulit dijawab. Sejak percakapan panjangnya dengan Lian Huo malam itu, ada perasaan yang semakin mengganggu batinnya—perasaan yang tidak mudah untuk ia jelaskan.Sebenarnya, Mukhayyam merasa lega setelah menerima kenyataan tentang kesendirian dan pengorbanan. Namun, ada bagian dalam dirinya yang tetap merasa seolah ada sesuatu yang tertahan, seolah perasaan yang ingin ia ungkapkan selalu terhalang oleh suatu kekuatan yang tak tampak. Setiap kali ia mencoba untuk fokus pada tujuannya, ia merasa ada suara dalam dirinya yang bertanya, apakah pengorbanan ini benar-benar sejalan dengan apa yang ia inginkan dalam hidup?Sambil berjalan, ia mengenang kembali perjalanan panjangnya bersama Lian Huo. Segala ajaran yang diterima, terutama tentang kekuatan

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 16 Pengorbanan di Tengah Kesendirian

    Keheningan malam menyelimuti desa, dan hanya terdengar suara angin yang berdesir melalui pepohonan. Mukhayyam duduk sendirian di depan rumah kecil yang menjadi tempat pelatihannya. Di bawah cahaya bulan yang temaram, wajahnya tampak penuh pemikiran. Walaupun telah banyak yang ia pelajari dari Lian Huo, banyak pertanyaan yang masih bergelayut di dalam benaknya. Tidak ada lagi latihan fisik untuk hari itu. Malam ini, ia hanya merenung.Lian Huo duduk di sampingnya, dengan tenang mengamati pemuda itu. Selama ini, mereka telah berbicara banyak tentang kekuatan fisik dan mental, tentang cara bertarung dan cara hidup, namun malam ini berbeda. Sesuatu dalam diri Mukhayyam tampaknya telah berubah. Ia merasa ada ketegangan dalam diri pemuda itu, dan Lian Huo bisa merasakannya dengan jelas.“Pemuda, ada yang mengganggumu,” ujar Lian Huo pelan, suaranya dalam dan penuh kebijaksanaan.Mukhayyam terkejut. Ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan perasaannya. Selama in

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 15 Pengajaran Beladiri dari Sang Guru

    Pagi itu, udara di Desa Cindua terasa lebih segar. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah yang basah, menambah kesegaran yang memberi semangat baru. Mukhayyam duduk di pinggir sungai kecil yang mengalir di dekat rumahnya, matanya terpejam, mencoba merasakan kedamaian yang telah lama hilang sejak perjalanan beratnya dimulai. Namun, meskipun alam di sekitarnya tampak tenang, pikirannya penuh dengan banyak pertanyaan dan kebingungannya tentang apa yang baru saja terjadi.Ia merasa bahwa pertarungan melawan pria misterius yang mengklaim dirinya sebagai penjaga kegelapan itu hanyalah permulaan dari sebuah perjalanan panjang yang lebih berat. Dengan tangan yang masih terasa gemetar akibat pertempuran malam sebelumnya, Mukhayyam merasa seolah-olah dunia ini menyimpan rahasia yang lebih besar dan lebih gelap yang harus ia ungkap. Dan untuk itu, ia harus siap, baik fisik maupun mental.Setelah pertempuran yang sulit itu, Darma membawanya pulang ke rumah, meskipun Mukhayyam t

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 14 Dalam Bayang-Bayang Kejahatan

    Malam semakin gelap saat Mukhayyam dan Darma memasuki wilayah yang lebih dalam dari desa yang mulai terasa asing. Hawa dingin menggigit kulit mereka, dan meskipun angin berhembus lembut, ada keheningan yang begitu berat menyelimuti udara, membuat Mukhayyam merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengintai mereka. Sesuatu yang tidak terlihat, tetapi bisa dirasakan dengan jelas.Mukhayyam berjalan di depan, tangannya menggenggam erat pedang yang sudah mulai terasa berat di pinggangnya. Darma di belakangnya, dengan wajah cemas, terus mengamati lingkungan sekitar mereka. Desa yang mereka lewati semakin sunyi, dan rumah-rumah yang tadinya penuh dengan kehidupan kini tampak gelap gulita. Tak ada suara riuh, tak ada jejak kehidupan yang berarti. Hanya ada bayang-bayang panjang yang berputar-putar, seakan-akan mengamati gerak-gerik mereka."Mukhayyam," suara Darma yang perlahan memecah keheningan malam itu. "Aku merasa ada sesuatu yang salah dengan semua ini. Desa ini... bukan

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 13 Menghadapi Rintangan Pertama

    Mukhayyam Hafiz berjalan menembus hutan lebat. Udara pagi yang dingin masih menyelimuti, tetapi keheningan alam mulai terusik oleh gemerisik langkah-langkah kecil di bawah kakinya. Hari itu, ia tahu perjalanan tak akan mudah. Jalan setapak yang ia pilih semakin menanjak dan licin karena embun pagi.Sementara ia melangkah hati-hati, terdengar suara samar di kejauhan. Awalnya, suara itu seperti dengungan, tetapi semakin ia mendekat, suara itu berubah menjadi jeritan halus bercampur gema. Ia berhenti sejenak, mencoba memahami arah suara tersebut.“Siapa di sana?” Mukhayyam memanggil, suaranya sedikit bergetar.Namun, jawaban yang ia dapatkan hanyalah keheningan. Meski begitu, nalurinya mengatakan bahwa ia harus lebih waspada. Pisau kecil pemberian Gurutta Harun dipegang erat di tangannya. Langkahnya semakin pelan, berusaha menghindari suara berisik dari ranting atau dedaunan.Ketika ia mendekati sumber suara, ia melihat sosok bayangan di antara pepoh

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 12 Langkah Awal Menuju Perubahan

    Mukhayyam Hafiz berdiri di halaman belakang rumahnya. Udara pagi Desa Cindua terasa segar, tetapi pikirannya berputar-putar seperti badai. Keputusan untuk mencari pedang Syamsir Al-Fikri bukanlah sesuatu yang ia anggap enteng. Itu adalah panggilan yang mendalam, seperti dorongan batin yang tidak dapat ia abaikan.Ibunya, Syarifah Azurah, muncul dari pintu belakang membawa nampan kecil berisi segelas teh hangat dan sepiring kue tradisional. Ia menatap putranya yang termenung dengan senyum lembut.“Mukhayyam, kau kelihatan gelisah pagi ini,” ucap Azurah sembari menaruh nampan di atas meja kecil di teras.Mukhayyam tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Aku hanya memikirkan sesuatu, Ibu.”Azurah menatap putranya dengan penuh kasih. “Apa yang sedang kau pikirkan, Nak? Kadang-kadang berbagi pikiran bisa meringankan beban.”Mukhayyam mendekati ibunya dan duduk di sebelahnya. Ia mengambil secangkir teh, membiarkan uap hangatnya

DMCA.com Protection Status