Beranda / Pendekar / RAJA TANPA TAKHTA / Bab 4 Rahasia Di Balik Gunung Cindua

Share

Bab 4 Rahasia Di Balik Gunung Cindua

Penulis: mahmud23
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-01 11:05:18

Mukhayyam Hafiz menatap langit pagi yang berwarna jingga, berdiri di tepi sebuah tebing kecil di Gunung Cindua. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tak bergeming. Ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai, dan langkah-langkah berikutnya akan jauh lebih berat daripada apa yang sudah ia lewati. Kenangan percakapannya dengan pria berjubah putih malam sebelumnya masih segar dalam ingatan. Kata-kata pria itu tidak seperti nasihat biasa—itu adalah pesan yang dalam, seolah berasal dari dimensi lain.

Namun, pagi itu tidak berjalan biasa. Suara langkah kaki perlahan terdengar di belakangnya, disertai suara daun-daun kering yang terinjak. Mukhayyam berbalik, menemukan seorang pria tua yang tampak asing, tetapi auranya tidak kalah kuat dibandingkan pria berjubah putih tadi malam. Pria tua itu membawa tongkat kayu yang berukir rumit dan sebuah tas kecil di pundaknya.

“Selamat pagi, anak muda,” sapa pria itu dengan suara serak namun bersahabat.

“Selamat pagi,” jawab Mukhayyam hati-hati. Ia belum pernah melihat orang ini sebelumnya di sekitar desa atau dalam perjalanannya sejauh ini. “Siapa Anda, Tuan? Dan apa yang Anda lakukan di sini?”

Pria itu tersenyum kecil. “Namaku Nizar. Aku seorang penjaga gunung ini, atau setidaknya, itulah sebutanku bagi mereka yang percaya pada legenda Gunung Cindua.”

Mukhayyam menatapnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Penjaga gunung? Maksud Anda, ada sesuatu yang harus dijaga di sini?”

“Lebih dari yang bisa kau bayangkan, anak muda.” Nizar mengangguk kecil. “Kau sedang dalam perjalanan besar, bukan? Apa yang kau cari di gunung ini?”

Mukhayyam ragu sejenak sebelum menjawab, “Aku mencari kekuatan dan ilmu yang bisa membantuku menegakkan keadilan di dunia. Aku merasa ada sesuatu di gunung ini yang bisa membantuku mencapai tujuan itu.”

Nizar mengusap janggut putihnya, tampak berpikir. “Keinginanmu mulia, tetapi Gunung Cindua tidak memberikan hadiah kepada siapa saja. Ada rahasia di dalamnya yang hanya akan terungkap kepada mereka yang benar-benar siap.”

“Rahasia apa?” desak Mukhayyam, matanya berbinar penuh semangat.

Alih-alih menjawab langsung, Nizar mendekat dan duduk di atas sebuah batu besar. Ia mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke tanah, seolah memanggil ingatan yang sudah lama terkubur. “Gunung Cindua adalah tempat yang istimewa. Di dalamnya terkubur banyak rahasia kuno, pengetahuan yang hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu melewati ujian berat. Namun, rahasia itu juga membawa tanggung jawab besar.”

Mukhayyam mendekat, duduk di sebelah Nizar. “Tanggung jawab seperti apa?”

Nizar menatap lurus ke depan, ke arah puncak gunung yang tertutup kabut. “Tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan dunia. Kekuasaan yang ada di dalam gunung ini bukan untuk dipakai sembarangan. Banyak yang telah mencoba mencarinya, tetapi hanya sedikit yang berhasil, dan bahkan mereka yang berhasil sering kali dihancurkan oleh ambisi mereka sendiri.”

“Aku tidak mencari kekuasaan untuk diriku sendiri,” ujar Mukhayyam dengan suara tegas. “Aku hanya ingin melindungi orang-orang yang tidak bisa melindungi diri mereka sendiri. Dunia ini penuh dengan ketidakadilan, dan aku ingin mengubahnya.”

Nizar memalingkan wajahnya ke arah Mukhayyam, mata tuanya menatap dalam-dalam. “Keyakinanmu itu indah, anak muda. Tetapi apakah kau siap untuk menghadapi ujian yang akan menguji batas keyakinanmu?”

Mukhayyam mengangguk tanpa ragu. “Aku siap.”

Nizar tersenyum samar, lalu bangkit dari duduknya. “Kalau begitu, ikutlah denganku. Aku akan menunjukkan jalan menuju rahasia Gunung Cindua. Tetapi ingat, perjalanan ini tidak hanya akan menguji tubuhmu, tetapi juga hatimu dan jiwamu.”

Mukhayyam mengikuti Nizar menyusuri jalan setapak yang hampir tidak terlihat, tersembunyi di antara semak belukar. Perjalanan itu tidak mudah—tanahnya licin, dan banyak batu tajam yang membuat langkah mereka penuh kehati-hatian. Namun, Nizar berjalan dengan tenang, seolah ia sudah mengenal setiap sudut gunung itu.

Selama perjalanan, mereka terus berbicara. Nizar menceritakan legenda tentang para pencari kekuatan yang pernah datang ke Gunung Cindua. “Ada seorang panglima perang dari timur yang pernah mencoba menguasai rahasia gunung ini,” kisahnya. “Ia memiliki kekuatan yang luar biasa, tetapi hatinya dipenuhi dengan ambisi. Pada akhirnya, ia hancur karena rahasia gunung ini bukan untuk mereka yang memiliki niat buruk.”

“Bagaimana cara gunung ini menghancurkannya?” tanya Mukhayyam penasaran.

“Gunung ini bukan makhluk hidup, tetapi ia memiliki cara untuk mengungkapkan kebenaran,” jawab Nizar dengan misterius. “Setiap orang yang datang akan diuji. Ujiannya tidak selalu sama, tetapi intinya adalah mengukur keikhlasan dan niat mereka. Jika mereka gagal, maka gunung ini tidak akan memberikan apa-apa, bahkan bisa mengembalikan mereka dalam kehancuran.”

Mukhayyam terdiam, merenungkan kata-kata Nizar. Ia tidak tahu apa yang akan ia hadapi, tetapi ia merasa semakin yakin bahwa perjalanan ini adalah sesuatu yang harus ia lakukan.

Setelah berjam-jam berjalan, mereka akhirnya tiba di sebuah gua besar yang tersembunyi di balik air terjun kecil. Nizar berhenti di depan pintu masuk gua dan menoleh ke arah Mukhayyam.

“Ini adalah pintu masuk ke rahasia Gunung Cindua,” katanya. “Tetapi di sinilah perjalananku berakhir. Aku hanya penjaga, bukan pembimbing. Apa yang ada di dalam sana adalah milikmu untuk ditemui dan dihadapi.”

Mukhayyam mengangguk, berterima kasih kepada Nizar atas bantuannya. Namun sebelum ia masuk, Nizar memberikan satu nasihat terakhir. “Ingatlah, kekuatan sejati bukanlah tentang apa yang bisa kau lakukan kepada orang lain, tetapi tentang bagaimana kau menguasai dirimu sendiri. Tetaplah jujur pada hatimu, dan kau akan menemukan jalanmu.”

Dengan hati-hati, Mukhayyam melangkah masuk ke dalam gua. Di dalamnya, suasana berubah drastis—udara menjadi lebih dingin, dan hanya ada sedikit cahaya yang berasal dari celah-celah kecil di langit-langit gua. Ia berjalan perlahan, mencoba menyesuaikan diri dengan kegelapan.

Tiba-tiba, sebuah suara terdengar, menggema di seluruh gua. “Mukhayyam Hafiz,” suara itu berkata, penuh wibawa. “Kau telah datang untuk mencari kekuatan dan kebenaran. Tetapi apakah kau siap untuk menghadapi dirimu sendiri?”

Mukhayyam terdiam, bingung dengan pertanyaan itu. “Apa maksudmu?”

Suara itu tidak menjawab, tetapi tiba-tiba, bayangan-bayangan mulai muncul di sekelilingnya. Ia melihat dirinya sendiri, tetapi dalam berbagai bentuk—dirinya yang dipenuhi amarah, ketakutan, ambisi, dan keraguan. Setiap bayangan itu tampak hidup, berbicara dengan suara yang sama seperti miliknya.

“Kau tidak bisa melawan kami,” kata bayangan amarahnya. “Kami adalah bagian dari dirimu.”

Mukhayyam merasa tubuhnya gemetar. Ia tidak tahu bagaimana menghadapi bayangan-bayangan ini, tetapi ia tahu bahwa ini adalah ujian pertama. Ia harus menghadapi sisi gelap dalam dirinya sendiri sebelum ia bisa melangkah lebih jauh.

“Jika kalian adalah bagian dari diriku,” kata Mukhayyam dengan suara tegas, “maka aku tidak akan melawan kalian. Aku akan menerima kalian, tetapi aku tidak akan membiarkan kalian menguasai diriku.”

Dengan setiap kata yang ia ucapkan, bayangan-bayangan itu mulai memudar, satu per satu. Ketika semuanya hilang, suasana gua menjadi lebih terang, dan sebuah jalan baru terbuka di hadapannya.

Mukhayyam menarik napas dalam-dalam, merasa sedikit lega. Ia tahu bahwa ini baru awal dari ujiannya, tetapi ia merasa lebih siap dari sebelumnya. Dengan keyakinan yang semakin kuat, ia melangkah ke dalam kegelapan, menuju rahasia berikutnya yang menantinya di Gunung Cindua.

~~~~~~~~~~~~~~

Langkah Mukhayyam Hafiz di dalam gua semakin dalam, semakin sunyi. Setiap suara langkahnya menggema, memperkuat suasana misterius di tempat itu. Udara di sekitarnya semakin dingin, seolah ada sesuatu yang menyerap panas. Batu-batu dinding gua memantulkan cahaya samar dari celah di langit-langit, tetapi semakin jauh ia melangkah, semakin gelap jalan di depannya.

Setelah beberapa meter berjalan, ia tiba di persimpangan. Ada tiga lorong di depannya, masing-masing diterangi oleh obor kecil di dinding batu. Ia berhenti, mencoba merenung. Ketiga lorong itu tampak identik, tetapi ia tahu, pilihan yang salah bisa membawanya pada bahaya yang tidak ia ketahui.

Tiba-tiba, suara yang sebelumnya menggema di dalam gua kembali terdengar.

"Mukhayyam Hafiz," suara itu berbicara, penuh wibawa. "Di depanmu ada tiga jalan, tetapi hanya satu yang benar. Pilihanmu akan menentukan nasibmu."

Mukhayyam mencoba berpikir rasional. Ia mengamati lorong-lorong itu, tetapi tidak ada tanda yang jelas. Ia mencoba mengingat perkataan Nizar sebelum ia masuk ke dalam gua: Tetaplah jujur pada hatimu. Kata-kata itu terus terngiang di pikirannya.

"Jika ini tentang kejujuran pada hati," gumamnya pelan, "maka aku harus percaya pada intuisiku."

Dengan keyakinan penuh, ia memilih lorong di tengah. Langkahnya semakin mantap meskipun rasa ragu sempat muncul di hatinya.

---

Setelah beberapa saat berjalan, lorong itu membawanya ke sebuah ruangan besar yang diterangi oleh cahaya biru terang. Di tengah ruangan, ada sebuah altar batu yang dipenuhi ukiran kuno. Di atas altar, ada sebuah buku tebal dengan sampul emas, tampak tua namun penuh aura misterius.

Namun, sebelum Mukhayyam bisa mendekat, ia dikejutkan oleh kemunculan sosok hitam besar. Sosok itu berdiri tegak, berbentuk seperti manusia tetapi dengan mata merah menyala dan tubuh yang tampak terbuat dari bayangan pekat.

"Beraninya kau datang ke tempat ini!" Suara sosok itu bergema seperti gemuruh.

Mukhayyam tidak mundur, meskipun ia merasa tubuhnya gemetar. "Aku datang untuk mencari kebenaran dan kekuatan. Aku tidak berniat mencuri atau merusak apa pun di sini."

Sosok itu tertawa dingin. "Semua yang datang ke sini berkata demikian. Namun, tidak semua memiliki hati yang cukup kuat untuk membuktikannya."

Tiba-tiba, sosok itu mengayunkan tangannya ke arah Mukhayyam. Angin kencang muncul, mendorong Mukhayyam mundur hingga hampir jatuh. Namun, ia bertahan, memantapkan kakinya di lantai batu.

"Jika kau ingin melangkah lebih jauh," lanjut sosok itu, "kau harus mengalahkan aku. Tetapi kau tidak bisa melawanku dengan kekuatan fisik. Ini adalah pertarungan hati dan pikiran."

---

Ruangan itu tiba-tiba berubah. Mukhayyam kini berada di sebuah padang luas yang tandus. Di depannya, sosok hitam itu tampak jauh lebih besar daripada sebelumnya. Ia bisa merasakan tekanan luar biasa hanya dari kehadiran makhluk itu.

"Pertarungan hati dan pikiran," ulang Mukhayyam dalam hati. Ia mencoba mengingat ajaran orang tuanya, terutama nasihat dari ayahnya, Rasyid Ghazali, tentang pentingnya ketenangan dan keberanian dalam menghadapi ujian berat.

Sosok hitam itu mulai menyerang dengan bayangan-bayangan besar yang bergerak cepat ke arah Mukhayyam. Ia hampir saja terjatuh ketika salah satu bayangan menyentuhnya, meninggalkan rasa sakit seperti terbakar.

"Rasa takutmu adalah kelemahanmu!" teriak sosok itu.

Mukhayyam memejamkan matanya, mencoba fokus. Ia mengingat kembali tujuannya, mengapa ia memulai perjalanan ini. Ia memikirkan semua ketidakadilan yang telah ia lihat di desanya, mimpi-mimpi orang yang tidak bisa ia bantu.

"Jika aku takut, maka aku gagal," gumamnya. "Aku harus menghadapi ini."

Ketika ia membuka matanya, ia melihat sesuatu yang berbeda. Bayangan-bayangan yang menyerangnya tadi kini tampak melambat, seolah kehilangan kekuatan. Mukhayyam mulai melangkah maju dengan keyakinan, meskipun tubuhnya masih merasakan sakit dari serangan sebelumnya.

"Ketika aku menguasai diriku sendiri," kata Mukhayyam dengan suara lantang, "tidak ada yang bisa menghentikanku."

Bayangan-bayangan itu akhirnya memudar, dan sosok hitam besar itu mengecil hingga menjadi seukuran manusia biasa. Sosok itu menatap Mukhayyam dengan mata merahnya yang kini tampak lebih redup.

"Kau telah melewati ujian pertama," kata sosok itu. "Tetapi perjalananmu belum selesai. Jika kau ingin kebenaran, kau harus berani menghadapi rasa sakit yang lebih dalam."

Sebelum Mukhayyam bisa menjawab, ruangan kembali ke bentuk aslinya. Sosok hitam itu menghilang, meninggalkan altar batu dan buku kuno di depannya.

---

Mukhayyam mendekati altar itu dengan hati-hati. Ia merasa bahwa buku itu adalah kunci dari rahasia Gunung Cindua. Namun, ketika ia mencoba menyentuhnya, ia merasakan aliran energi kuat yang membuat tangannya bergetar.

"Tidak semudah itu, anak muda." Suara baru terdengar, kali ini jauh lebih lembut namun penuh wibawa. Dari belakang altar, seorang pria muncul, mengenakan jubah putih dengan simbol aneh di dadanya.

"Siapa Anda?" tanya Mukhayyam, sedikit terkejut.

"Aku adalah penjaga rahasia gunung ini," jawab pria itu. "Namaku Azhraf. Tugasmu belum selesai. Buku ini hanya bisa kau buka jika hatimu benar-benar siap."

"Apa lagi yang harus aku lakukan?"

Azhraf tersenyum tipis. "Kau harus mengorbankan sesuatu yang paling berharga bagimu. Itu adalah syarat terakhir."

Mukhayyam terdiam. Ia tidak tahu apa yang paling berharga baginya. Orang tuanya, desanya, atau bahkan mimpinya? Semua itu penting baginya.

"Bagaimana aku tahu apa yang harus aku korbankan?" tanya Mukhayyam.

"Itu adalah sesuatu yang hanya bisa kau jawab sendiri," jawab Azhraf sambil menghilang ke dalam bayangan.

---

Mukhayyam duduk di depan altar itu, memikirkan syarat terakhir. Ia mengingat semua pelajaran dari ayah dan ibunya, Rasyid Ghazali dan Syarifah Azurah. Ia mengingat bagaimana mereka selalu mengajarinya tentang pentingnya keberanian dan pengorbanan untuk kebaikan yang lebih besar.

"Aku tidak bisa memilih," bisiknya pelan. "Semuanya penting bagiku."

Namun, tiba-tiba, ia menyadari sesuatu. "Tetapi... jika aku tidak berani mengorbankan sesuatu, aku tidak akan pernah mencapai tujuanku."

Dengan tekad yang bulat, Mukhayyam berdiri dan menatap buku itu. Ia meletakkan tangannya di atasnya, siap menerima apa pun yang akan terjadi.

---

Cahaya terang tiba-tiba memenuhi ruangan, menyilaukan matanya. Ketika ia membuka matanya, ia berada di tempat yang berbeda—sebuah padang hijau luas dengan pohon besar di tengahnya. Di bawah pohon itu, seorang pria tua duduk sambil membaca buku yang mirip dengan buku yang ia temukan di altar.

"Selamat datang, Mukhayyam Hafiz," sapa pria itu tanpa melihat ke arahnya.

"Siapa Anda?" tanya Mukhayyam.

"Aku adalah bagian dari dirimu sendiri," jawab pria itu sambil menutup bukunya. "Aku adalah manifestasi dari apa yang kau cari. Tetapi sebelum kita melangkah lebih jauh, aku ingin bertanya: apa tujuanmu sebenarnya?"

Mukhayyam berpikir sejenak sebelum menjawab. "Tujuanku adalah menggunakan kekuatan ini untuk melindungi orang-orang yang tidak bisa melindungi diri mereka sendiri, untuk menegakkan keadilan."

Pria itu tersenyum tipis. "Jawabanmu benar, tetapi ingatlah, kekuatan ini bukan milikmu untuk disalahgunakan. Jika kau menyimpang dari jalanmu, kekuatan ini akan menghancurkanmu."

Cahaya terang kembali memenuhi pandangannya. Ketika ia sadar, ia kembali berada di gua, tetapi kali ini buku di atas altar telah terbuka, menampilkan halaman-halaman yang bercahaya. Mukhayyam tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan barunya, perjalanan yang akan membawanya pada takdir yang ia cari.

Dengan hati yang penuh keyakinan, ia mengambil buku itu dan melangkah keluar dari gua, siap menghadapi apa pun yang menunggunya di dunia luar.

Bab terkait

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 5 Legenda Yang Tak Pernah Usai

    Mentari pagi di Desa Cindua mulai merangkak naik, menyinari pegunungan yang kini tampak lebih megah setelah perjalanan Mukhayyam Hafiz. Namun, meski langit terlihat cerah, pikiran Mukhayyam tidak secerah itu. Langkahnya terasa berat ketika ia kembali ke rumahnya, membawa buku kuno yang kini berada dalam tas kulit di punggungnya.Di ambang pintu, ibunya, Syarifah Azurah, menunggu dengan tatapan cemas. "Mukhayyam, kemana saja kau semalam? Kami sangat khawatir!" ucapnya sambil mendekat, menyentuh wajah putranya untuk memastikan ia baik-baik saja.Mukhayyam menunduk sedikit, merasa bersalah karena membuat keluarganya cemas. "Maaf, Ibu. Aku harus pergi untuk mencari jawaban," jawabnya pelan.Ayahnya, Rasyid Ghazali, yang sedang duduk di beranda sambil memegang tongkat kayu, mengalihkan pandangannya dari ladang di kejauhan. "Jawaban apa yang kau cari hingga menghilang semalaman, Nak?" tanyanya dengan suara berat namun penuh rasa ingin tahu.Mukhayyam melepaskan tasnya dan duduk di dekat ked

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 6: Guru Pertama Mukhayyam

    Langit Desa Cindua berwarna abu-abu cerah pagi itu. Hembusan angin membawa aroma daun basah, menyegarkan udara desa yang tenang. Mukhayyam Hafiz melangkah dengan langkah mantap, membawa peta kuno yang dilipat rapi di saku bajunya. Ia berjalan menuju rumah Pak Bilal, pria tua yang kini menjadi tempatnya bertanya tentang misteri kitab dan peta yang ia temukan. Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda. Pak Bilal berdiri di depan rumahnya, seperti menunggu kedatangan Mukhayyam. Wajahnya serius, tetapi ada percikan kegembiraan di matanya. “Mukhayyam,” panggilnya, suaranya dalam dan penuh wibawa. “Hari ini adalah awal dari perjalanan yang sebenarnya. Sudah siap?” Mukhayyam mengangguk. “Aku siap, Pak Bilal. Apa yang harus aku lakukan?” Pak Bilal memiringkan kepalanya sedikit, matanya menyipit. “Kau sudah mempelajari dasar-dasarnya—kesabaran dan cara membaca peta itu dengan pikiran. Tapi perjalanan ini bukan tentang kau sendirian. Kau membutuhkan pembimbing, seseorang yang akan mengaj

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 7 Latihan Pagi Yang Berat

    Fajar belum sepenuhnya menyingsing, tetapi Gurutta Harun sudah berdiri di tengah lapangan kecil di tepi hutan. Ia menunggu dengan sabar sambil menyaksikan burung-burung berkicau di kejauhan. Di hadapannya, Mukhayyam Hafiz berusaha keras menyelesaikan perintah gurunya: berlari mengelilingi lapangan sebanyak lima puluh putaran.“Cepat, Mukhayyam!” seru Gurutta Harun dengan suara lantang. “Kau pikir musuhmu akan menunggumu istirahat? Jangan biarkan kelemahanmu menguasaimu!”Mukhayyam mengatur napasnya yang terengah-engah. Tubuhnya sudah mulai terasa lelah, tetapi tekad di dalam hatinya membuatnya terus berlari. Kakinya hampir menyerah, tetapi ia tahu bahwa ia tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan gurunya.“Gurutta,” katanya dengan nada terbata-bata, “bukankah kita bisa memulai dengan sesuatu yang lebih ringan? Mungkin latihan konsentrasi seperti kemarin?”Gurutta Harun tertawa kecil, tetapi ada nada tegas dalam tawanya. “Kau mengingi

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 8 Perjumpaan Dengan Si Tua Bijak

    Pagi itu, suasana di Desa Cindua terasa berbeda. Udara sejuk bercampur dengan aroma tanah yang baru saja diguyur hujan semalam, memberikan kedamaian yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Namun, hati Mukhayyam Hafiz tidak sepenuhnya tenang. Latihan-latihan berat yang diberikan Gurutta Harun mulai membuka matanya akan kerasnya kehidupan, tetapi ia merasa bahwa masih ada sesuatu yang hilang—jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar dalam benaknya. Gurutta Harun tampaknya memahami keresahan itu. Setelah menyelesaikan sarapan sederhana mereka, ia memandang Mukhayyam dengan tatapan penuh arti. “Mukhayyam,” katanya perlahan. “Hari ini, aku ingin kau bertemu dengan seseorang.” Mukhayyam menghentikan kunyahannya dan menatap gurunya dengan rasa ingin tahu. “Siapa, Gurutta?” “Seorang lelaki tua yang tinggal di pinggir hutan,” jawab Gurutta Harun. “Orang-orang di desa sering memanggilnya dengan sebutan Si Tua

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 9 Percakapan Tentang Kekuasaan

    Mukhayyam Hafiz duduk di beranda pondok Gurutta Harun. Malam itu angin sepoi-sepoi membawa aroma khas dari hutan di sekitarnya. Cahaya bulan menerangi desa Cindua dengan lembut, seolah menyoroti pemikiran yang berat di benak pemuda itu. Setelah bertemu Si Tua Bijak dan menjalani latihan yang melelahkan, kini ia merasa semakin dekat dengan pertanyaan besar yang terus menghantuinya: apa sebenarnya kekuasaan itu?Gurutta Harun keluar membawa dua cangkir teh panas. Ia meletakkan salah satunya di depan Mukhayyam dan duduk di kursi kayu di sampingnya. Gurutta tahu muridnya sedang bergulat dengan sesuatu yang penting.“Pikiranmu terlihat berat malam ini, Mukhayyam,” kata Gurutta, membuka percakapan.Mukhayyam menghela napas panjang. “Gurutta, saya ingin bertanya... apa sebenarnya kekuasaan itu?”Gurutta tersenyum tipis, seolah sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. Ia mengambil cangkir tehnya dan menyesap perlahan sebelum menjawab.“Kekuasaan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 10 Keiniginan Untuk Melangkah Lebih Jauh

    Pagi itu, udara di Desa Cindua terasa lebih segar dari biasanya. Embun pagi menempel di daun-daun hijau, dan suara burung berkicau merdu di antara pepohonan yang mulai tersentuh sinar matahari. Mukhayyam Hafiz duduk termenung di tepi sungai yang mengalir tenang, matanya mengikuti aliran air yang tak henti-hentinya bergerak. Perasaannya, sama seperti air itu—terus mengalir, selalu mencari jalan, namun belum menemukan tempat yang tepat.Ia merasa ada sesuatu yang tidak terungkapkan dalam hidupnya. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar belajar bela diri atau mendapatkan kekuasaan. Keinginan untuk menjadi pemimpin yang bijaksana dan bertanggung jawab semakin menguat dalam dirinya, tetapi ia merasa masih ada bagian dari dirinya yang harus dipahami terlebih dahulu.Pada saat itulah Gurutta Harun mendekatinya. Melihat wajah muridnya yang penuh tanda tanya, Gurutta tahu bahwa ada pergolakan dalam hati Mukhayyam yang perlu diselesaikan.“Mukhayyam, ada yang ingin k

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 11 Kisah Sang Pahlawan Yang Hilang

    Malam di Desa Cindua semakin pekat. Langit gelap hanya diterangi bintang-bintang kecil yang berserakan seperti berlian di atas hamparan sutra hitam. Di sudut desa, rumah Gurutta Harun menjadi tempat berkumpul beberapa tokoh penting desa. Di dalam ruangan kecil dengan penerangan dari lampu minyak, Mukhayyam Hafiz duduk bersila di dekat Gurutta Harun. Ia baru saja kembali dari perjalanan singkatnya ke tepian hutan, membawa pertanyaan yang membebani pikirannya.“Apa yang sebenarnya terjadi dengan Desa Cindua di masa lalu?” tanya Mukhayyam, menatap Gurutta Harun dengan penuh harap.Gurutta Harun mengangguk pelan, wajah tuanya penuh kebijaksanaan. “Kau ingin tahu tentang legenda yang sering dibicarakan oleh orang-orang tua di desa ini, bukan? Tentang Sang Pahlawan Yang Hilang?”Mukhayyam mengangguk mantap. “Ya, Guru. Banyak yang mengatakan bahwa ada seseorang yang dulu melindungi desa ini, tetapi ia menghilang begitu saja. Apa yang sebenarnya terjadi?”

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 12 Langkah Awal Menuju Perubahan

    Mukhayyam Hafiz berdiri di halaman belakang rumahnya. Udara pagi Desa Cindua terasa segar, tetapi pikirannya berputar-putar seperti badai. Keputusan untuk mencari pedang Syamsir Al-Fikri bukanlah sesuatu yang ia anggap enteng. Itu adalah panggilan yang mendalam, seperti dorongan batin yang tidak dapat ia abaikan.Ibunya, Syarifah Azurah, muncul dari pintu belakang membawa nampan kecil berisi segelas teh hangat dan sepiring kue tradisional. Ia menatap putranya yang termenung dengan senyum lembut.“Mukhayyam, kau kelihatan gelisah pagi ini,” ucap Azurah sembari menaruh nampan di atas meja kecil di teras.Mukhayyam tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Aku hanya memikirkan sesuatu, Ibu.”Azurah menatap putranya dengan penuh kasih. “Apa yang sedang kau pikirkan, Nak? Kadang-kadang berbagi pikiran bisa meringankan beban.”Mukhayyam mendekati ibunya dan duduk di sebelahnya. Ia mengambil secangkir teh, membiarkan uap hangatnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07

Bab terbaru

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 20 Penyatuan Fikiran dan Tubuh

    Langit pagi di tengah hutan itu tampak berwarna jingga, menyiratkan keindahan yang kontras dengan perjuangan berat yang sedang dialami Mukhayyam. Ia duduk bersila di atas batu datar, menghadap Juru Uji yang berdiri tegak di hadapannya. Tidak ada kata yang terucap sejak ujian sebelumnya, namun suasana itu tidak pernah terasa sunyi. Hutan berbicara melalui desiran angin dan kicauan burung, seolah ingin menjadi saksi atas perjalanan Mukhayyam menuju pemahaman yang lebih dalam.“Bagaimana rasanya sekarang, setelah melampaui ujian berat itu?” tanya Juru Uji, memecah keheningan.Mukhayyam menatap pria itu. “Aku merasa lebih ringan, tetapi pada saat yang sama, aku sadar bahwa aku masih membawa banyak hal yang belum bisa kulepaskan sepenuhnya.”“Itulah beban seorang pejuang,” ujar Juru Uji sambil melipat tangannya di belakang punggung. “Namun, ingatlah ini, Mukhayyam: tubuh yang kuat tidak akan ada artinya tanpa fikiran yang jernih. Ujian selanjutnya adalah tentan

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 19 Ujian Fisik Yang Pertama

    Mukhayyam berdiri di tepi sebuah sungai deras yang berkelok-kelok, sementara angin pagi meniupkan kabut tipis ke sekelilingnya. Di seberang sungai itu, hutan lebat tampak seperti benteng alami yang menghalangi jalan. Namun, yang menarik perhatian Mukhayyam adalah seorang lelaki berjubah abu-abu yang berdiri di tengah aliran sungai. Dengan tenang, lelaki itu memperhatikan Mukhayyam, seolah-olah sedang menunggu sesuatu. “Selamat datang, Mukhayyam Hafiz,” kata lelaki itu dengan suara berat namun jelas. “Aku adalah Juru Uji. Hari ini, kau akan menghadapi ujian fisik pertamamu. Bersiaplah.” Mukhayyam menatap lelaki itu dengan rasa waspada. “Apa ujian yang harus kulalui? Dan siapa yang memberimu hak untuk mengujiku?” tanyanya. Juru Uji tersenyum tipis. “Hak itu datang dari perjalanan yang kau pilih sendiri. Untuk melangkah lebih jauh, kau harus membuktikan bahwa kau mampu bertahan. Ujian ini bukan tentang siapa aku, tetapi tentang siapa dirimu.

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 18 Jalan yang Terbentang di Depan

    Pagi itu, udara dingin menyelimuti lereng Gunung Cindua. Kabut tipis menggantung di antara pepohonan, membuat suasana terlihat sunyi sekaligus misterius. Mukhayyam duduk di atas batu besar, menghadap jurang yang menghamparkan pemandangan lembah yang hijau. Pandangannya jauh menerawang, mencoba mencerna semua pelajaran dan percakapan yang ia lalui bersama Lian Huo.Di kejauhan, suara langkah kaki terdengar menghampiri. Lian Huo muncul dari balik kabut, membawa tongkat kayu tua yang menjadi ciri khasnya. Ia menghampiri Mukhayyam tanpa suara, hanya senyuman lembut di wajahnya. Setelah duduk di samping muridnya, ia membuka percakapan.“Kau terlihat gelisah lagi,” ujar Lian Huo.Mukhayyam tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang. “Ada begitu banyak hal yang harus kupikirkan, Guru. Aku merasa seperti berdiri di tengah persimpangan yang tak ada akhirnya.”“Persimpangan itu adalah ujianmu,” jawab Lian Huo sambil menatap lembah di bawah. “Setiap langka

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 17 Perasaan Mukhayyam Yang Tertahan

    Pagi itu terasa sunyi. Udara pagi yang segar mengalir melalui celah-celah pepohonan di sekitar desa. Mukhayyam berjalan menyusuri jalan setapak yang mengarah ke lembah, pikiran dan perasaannya dipenuhi dengan pertanyaan yang sulit dijawab. Sejak percakapan panjangnya dengan Lian Huo malam itu, ada perasaan yang semakin mengganggu batinnya—perasaan yang tidak mudah untuk ia jelaskan.Sebenarnya, Mukhayyam merasa lega setelah menerima kenyataan tentang kesendirian dan pengorbanan. Namun, ada bagian dalam dirinya yang tetap merasa seolah ada sesuatu yang tertahan, seolah perasaan yang ingin ia ungkapkan selalu terhalang oleh suatu kekuatan yang tak tampak. Setiap kali ia mencoba untuk fokus pada tujuannya, ia merasa ada suara dalam dirinya yang bertanya, apakah pengorbanan ini benar-benar sejalan dengan apa yang ia inginkan dalam hidup?Sambil berjalan, ia mengenang kembali perjalanan panjangnya bersama Lian Huo. Segala ajaran yang diterima, terutama tentang kekuatan

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 16 Pengorbanan di Tengah Kesendirian

    Keheningan malam menyelimuti desa, dan hanya terdengar suara angin yang berdesir melalui pepohonan. Mukhayyam duduk sendirian di depan rumah kecil yang menjadi tempat pelatihannya. Di bawah cahaya bulan yang temaram, wajahnya tampak penuh pemikiran. Walaupun telah banyak yang ia pelajari dari Lian Huo, banyak pertanyaan yang masih bergelayut di dalam benaknya. Tidak ada lagi latihan fisik untuk hari itu. Malam ini, ia hanya merenung.Lian Huo duduk di sampingnya, dengan tenang mengamati pemuda itu. Selama ini, mereka telah berbicara banyak tentang kekuatan fisik dan mental, tentang cara bertarung dan cara hidup, namun malam ini berbeda. Sesuatu dalam diri Mukhayyam tampaknya telah berubah. Ia merasa ada ketegangan dalam diri pemuda itu, dan Lian Huo bisa merasakannya dengan jelas.“Pemuda, ada yang mengganggumu,” ujar Lian Huo pelan, suaranya dalam dan penuh kebijaksanaan.Mukhayyam terkejut. Ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan perasaannya. Selama in

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 15 Pengajaran Beladiri dari Sang Guru

    Pagi itu, udara di Desa Cindua terasa lebih segar. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah yang basah, menambah kesegaran yang memberi semangat baru. Mukhayyam duduk di pinggir sungai kecil yang mengalir di dekat rumahnya, matanya terpejam, mencoba merasakan kedamaian yang telah lama hilang sejak perjalanan beratnya dimulai. Namun, meskipun alam di sekitarnya tampak tenang, pikirannya penuh dengan banyak pertanyaan dan kebingungannya tentang apa yang baru saja terjadi.Ia merasa bahwa pertarungan melawan pria misterius yang mengklaim dirinya sebagai penjaga kegelapan itu hanyalah permulaan dari sebuah perjalanan panjang yang lebih berat. Dengan tangan yang masih terasa gemetar akibat pertempuran malam sebelumnya, Mukhayyam merasa seolah-olah dunia ini menyimpan rahasia yang lebih besar dan lebih gelap yang harus ia ungkap. Dan untuk itu, ia harus siap, baik fisik maupun mental.Setelah pertempuran yang sulit itu, Darma membawanya pulang ke rumah, meskipun Mukhayyam t

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 14 Dalam Bayang-Bayang Kejahatan

    Malam semakin gelap saat Mukhayyam dan Darma memasuki wilayah yang lebih dalam dari desa yang mulai terasa asing. Hawa dingin menggigit kulit mereka, dan meskipun angin berhembus lembut, ada keheningan yang begitu berat menyelimuti udara, membuat Mukhayyam merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengintai mereka. Sesuatu yang tidak terlihat, tetapi bisa dirasakan dengan jelas.Mukhayyam berjalan di depan, tangannya menggenggam erat pedang yang sudah mulai terasa berat di pinggangnya. Darma di belakangnya, dengan wajah cemas, terus mengamati lingkungan sekitar mereka. Desa yang mereka lewati semakin sunyi, dan rumah-rumah yang tadinya penuh dengan kehidupan kini tampak gelap gulita. Tak ada suara riuh, tak ada jejak kehidupan yang berarti. Hanya ada bayang-bayang panjang yang berputar-putar, seakan-akan mengamati gerak-gerik mereka."Mukhayyam," suara Darma yang perlahan memecah keheningan malam itu. "Aku merasa ada sesuatu yang salah dengan semua ini. Desa ini... bukan

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 13 Menghadapi Rintangan Pertama

    Mukhayyam Hafiz berjalan menembus hutan lebat. Udara pagi yang dingin masih menyelimuti, tetapi keheningan alam mulai terusik oleh gemerisik langkah-langkah kecil di bawah kakinya. Hari itu, ia tahu perjalanan tak akan mudah. Jalan setapak yang ia pilih semakin menanjak dan licin karena embun pagi.Sementara ia melangkah hati-hati, terdengar suara samar di kejauhan. Awalnya, suara itu seperti dengungan, tetapi semakin ia mendekat, suara itu berubah menjadi jeritan halus bercampur gema. Ia berhenti sejenak, mencoba memahami arah suara tersebut.“Siapa di sana?” Mukhayyam memanggil, suaranya sedikit bergetar.Namun, jawaban yang ia dapatkan hanyalah keheningan. Meski begitu, nalurinya mengatakan bahwa ia harus lebih waspada. Pisau kecil pemberian Gurutta Harun dipegang erat di tangannya. Langkahnya semakin pelan, berusaha menghindari suara berisik dari ranting atau dedaunan.Ketika ia mendekati sumber suara, ia melihat sosok bayangan di antara pepoh

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 12 Langkah Awal Menuju Perubahan

    Mukhayyam Hafiz berdiri di halaman belakang rumahnya. Udara pagi Desa Cindua terasa segar, tetapi pikirannya berputar-putar seperti badai. Keputusan untuk mencari pedang Syamsir Al-Fikri bukanlah sesuatu yang ia anggap enteng. Itu adalah panggilan yang mendalam, seperti dorongan batin yang tidak dapat ia abaikan.Ibunya, Syarifah Azurah, muncul dari pintu belakang membawa nampan kecil berisi segelas teh hangat dan sepiring kue tradisional. Ia menatap putranya yang termenung dengan senyum lembut.“Mukhayyam, kau kelihatan gelisah pagi ini,” ucap Azurah sembari menaruh nampan di atas meja kecil di teras.Mukhayyam tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Aku hanya memikirkan sesuatu, Ibu.”Azurah menatap putranya dengan penuh kasih. “Apa yang sedang kau pikirkan, Nak? Kadang-kadang berbagi pikiran bisa meringankan beban.”Mukhayyam mendekati ibunya dan duduk di sebelahnya. Ia mengambil secangkir teh, membiarkan uap hangatnya

DMCA.com Protection Status