Beranda / Pendekar / RAJA TANPA TAKHTA / BaB 3: Mimpi Seorang Pemudah

Share

BaB 3: Mimpi Seorang Pemudah

Penulis: mahmud23
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-01 11:01:42

Mukhayyam Hafiz berjalan tanpa henti, melewati padang rumput yang luas. Angin sore yang menyentuh kulitnya membawa rasa sejuk, seolah menenangkan jiwanya yang penuh gejolak. Setiap langkahnya mengantarkannya lebih jauh dari Desa Cindua, jauh dari rumah yang penuh dengan kenangan akan cinta dan harapan dari orang tua. Walau demikian, hatinya tetap tenang, seolah perjalanan panjang ini telah memantapkan dirinya untuk menghadapi segala yang akan datang.

Namun, meski ada kedamaian dalam setiap langkah, dalam benaknya, pertanyaan-pertanyaan besar terus bermunculan. Apakah ia benar-benar siap untuk mengemban tanggung jawab yang begitu besar? Akankah pencariannya membawa hasil yang diinginkan? Semua itu hanya bisa dijawab setelah ia melewati berbagai ujian yang ada di depannya.

Malam mulai turun, dan Mukhayyam memutuskan untuk beristirahat. Ia menemukan sebuah gua kecil di lereng bukit yang cukup aman untuk berlindung dari angin malam yang semakin dingin. Sambil duduk di atas batu datar, ia mengeluarkan sedikit bekal dari tasnya—roti kering dan air yang sudah hampir habis. Ia makan dengan perlahan, memikirkan segala sesuatu yang telah terjadi sejak meninggalkan desa. Tiba-tiba, ia merasa seperti ada yang mengawasinya. Pandangannya menatap lurus ke depan, melampaui kegelapan malam yang semakin pekat.

Lama ia terdiam, sampai akhirnya ia merasakan sebuah kehadiran yang familiar. Suara lembut, namun penuh ketegasan, terdengar jelas di telinganya.

“Bersiaplah, Mukhayyam,” suara itu datang dari belakang, dan Mukhayyam dengan cepat memutar tubuhnya, mengenali sosok yang sudah tidak asing lagi.

“Pria tua itu...” gumamnya pelan.

Di hadapannya, berdiri pria tua yang ia temui di hutan beberapa hari lalu. Mata pria itu bersinar tajam, penuh wibawa, meski wajahnya sudah keriput. Dengan langkah lambat, pria itu mendekat, dan duduk di samping Mukhayyam tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Apa maksudmu dengan ‘bersiaplah’?” tanya Mukhayyam, mencoba memecah keheningan yang canggung. Suara Mukhayyam agak kasar karena perasaan terkejut.

Pria tua itu mengangguk pelan, matanya menatap jauh ke dalam malam. “Perjalananmu baru saja dimulai, Mukhayyam. Tidak semua yang kau temui akan memberikan jawaban yang mudah. Mimpi besar yang ada dalam hatimu, itu akan diuji dengan cara yang tak terduga.”

Mukhayyam terdiam. Kata-kata pria itu begitu dalam, dan ia merasa seolah ada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar kekuatan fisik yang sedang ia cari. Ia memandang pria itu, seolah berharap mendapatkan penjelasan lebih lanjut.

“Banyak orang yang memimpikan keadilan, Mukhayyam. Tetapi sedikit yang benar-benar mengerti apa arti keadilan itu,” lanjut pria tua itu, suaranya terdengar penuh kebijaksanaan. “Keadilan bukan hanya soal memberi hukuman atau penghargaan. Keadilan sejati adalah tentang pengorbanan, tentang memilih jalan yang sulit meskipun banyak yang mencoba menggoda untuk berbalik arah.”

Mukhayyam mengerutkan kening. “Jadi, apa yang harus aku lakukan? Bagaimana cara aku mengetahui apa yang benar?”

Pria tua itu menatap Mukhayyam dengan tatapan tajam yang seolah menembus jiwa. “Kau akan tahu itu bukan dengan cara berpikir, Mukhayyam. Tetapi dengan cara merasakannya dalam hati. Keadilan tidak selalu datang dengan kata-kata atau perintah, tetapi dalam tindakan dan keputusan yang kau buat. Perjalanan ini adalah tentang menemukan siapa dirimu sesungguhnya.”

Mukhayyam terdiam. Ia memandangi bintang-bintang yang berkelip di langit malam, mencoba menyerap setiap kata yang baru saja diucapkan pria itu. Tiba-tiba, sebuah perasaan berat muncul di hatinya—sebuah pemahaman bahwa perjuangan yang ia jalani akan jauh lebih sulit daripada yang ia bayangkan.

“Aku ingin menjadi pemimpin yang adil. Aku ingin orang-orang melihatku sebagai seseorang yang bisa membawa perubahan,” kata Mukhayyam, suaranya penuh tekad. “Tapi aku takut. Aku takut kalau aku salah, atau kalau aku tidak cukup kuat untuk bertahan.”

Pria tua itu tersenyum lembut, lalu meletakkan tangannya di bahu Mukhayyam. “Takut adalah bagian dari perjalanan ini, Mukhayyam. Setiap pemimpin yang besar pernah merasa takut. Tetapi ketakutan itu bukan untuk dihindari, melainkan untuk dihadapi. Karena hanya dengan menghadapi ketakutan kita bisa menemukan kekuatan yang sebenarnya.”

Mukhayyam merenung sejenak, mencoba memahami makna kata-kata pria itu. Lalu ia mengangkat wajahnya, berhadapan dengan pria tua itu. “Aku ingin tahu lebih banyak. Aku ingin tahu apa yang harus aku pelajari untuk bisa menjadi seperti yang aku impikan.”

Pria tua itu mengangguk, lalu berdiri perlahan. “Kau akan menemukan banyak pelajaran dalam perjalananmu, Mukhayyam. Tetapi ingatlah satu hal, kekuatan sejati bukanlah sesuatu yang bisa kau raih dengan mudah. Itu adalah hasil dari kesabaran, pengorbanan, dan perjalanan yang panjang.”

Mukhayyam berdiri dan mengikutinya. “Lalu, kemana aku harus pergi sekarang?”

Pria tua itu mengarah ke utara, ke arah pegunungan yang tampak jauh di horizon. “Ke sana. Di sana kau akan menemui seseorang yang dapat membimbingmu lebih jauh. Tetapi ingat, perjalananmu bukan hanya tentang fisik. Ini adalah perjalanan yang juga akan menguji hatimu.”

Mukhayyam mengangguk, memahami bahwa ini adalah langkah awal dari perjalanan panjang yang akan membentuk dirinya menjadi pemimpin yang sejati. Ia merasakan semangat yang membara dalam dirinya. Kini ia tahu bahwa mimpi besar yang ada dalam hatinya bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk semua orang yang membutuhkan perubahan.

“Aku siap,” ujar Mukhayyam dengan penuh keyakinan.

Pria tua itu tersenyum puas, lalu berbalik pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Mukhayyam, meskipun merasa bingung dengan banyaknya petunjuk yang harus dipahami, tidak merasa takut. Malah, ia merasa lebih kuat. Ia tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan tantangan, tetapi ia tidak akan berhenti. Ia akan terus maju, mengejar mimpinya untuk menjadi pemimpin yang membawa perubahan.

Dengan tekad baru yang membara di dalam dirinya, Mukhayyam melanjutkan langkahnya menuju utara, menuju pegunungan yang menjulang tinggi. Setiap langkah terasa lebih pasti, seolah ia semakin dekat dengan takdirnya. Tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan ini adalah ujian bagi dirinya, ujian yang tidak hanya menguji kekuatannya, tetapi juga hati dan jiwanya.

Mimpi seorang pemuda yang ingin membawa keadilan kini mulai menapaki jalan yang penuh dengan tantangan dan cobaan. Namun, Mukhayyam Hafiz tidak akan pernah berhenti, karena ia tahu bahwa kekuatan sejati terletak pada keteguhan hati yang tidak tergoyahkan.

~~~~~~~~~~~~

Mukhayyam Hafiz melangkah semakin jauh ke arah pegunungan yang disebutkan oleh pria tua tersebut. Suara angin berdesir melalui pepohonan yang tinggi, dan sesekali, langkahnya diselingi oleh suara gemerisik daun yang gugur. Selama perjalanan panjang ini, pikirannya terus terngiang pada percakapan dengan pria tua yang tampaknya memiliki pengetahuan mendalam tentang perjalanan hidupnya yang baru dimulai.

Tantangan yang dihadapi oleh Mukhayyam bukan hanya fisik, tetapi juga mental. Ia tahu bahwa perjalanan yang sedang ia tempuh bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan dengan mudah. Tidak ada jalan pintas menuju kekuatan sejati, dan ia harus menghadapi kenyataan bahwa setiap langkah akan membentuk dirinya menjadi sosok yang lebih kuat—baik secara fisik maupun spiritual.

Namun, ia merasa seolah-olah ia bergerak menuju sesuatu yang lebih besar dari sekadar pencarian kekuatan fisik atau kekuasaan. Sebuah pemahaman mulai meresap dalam dirinya—bahwa pencariannya adalah tentang menemukan siapa dirinya yang sebenarnya dan apa yang ingin ia capai dalam hidup ini.

Saat malam semakin larut, Mukhayyam akhirnya mencapai kaki pegunungan. Di sana, udara semakin dingin, dan langit dipenuhi dengan bintang-bintang yang berkelip. Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, mencoba merasakan setiap detail yang ada di sekitarnya. Di atas sana, di puncak yang tinggi, adalah tempat yang diyakini oleh banyak orang sebagai tempat suci, tempat di mana mereka yang mencari pengetahuan dan kekuatan sejati akan mendapatkan petunjuk dan bimbingan.

Namun, meskipun semangatnya membara, Mukhayyam merasa berat. Ia telah berjalan jauh, meninggalkan desa Cindua, orang tuanya, dan segala yang dikenalnya. Tidak ada yang tahu persis apa yang akan terjadi di depan. Mungkinkah ia akan menemukan apa yang ia cari? Atau justru ia akan terjatuh dalam kegelapan yang lebih dalam?

Tetapi, satu hal yang pasti adalah bahwa ia sudah membuat keputusan untuk tidak mundur. Pencariannya tidak bisa berhenti begitu saja. Ia tidak akan bisa hidup dengan damai jika tidak menemukan jawabannya.

Ia melangkah naik, menyusuri jalur yang terjal. Setiap langkahnya terasa semakin berat, dan keringat mulai menetes dari dahinya. Di tengah kelelahan itu, ia merasa sebuah dorongan kuat untuk terus maju. Mungkin dorongan itu adalah suara hatinya yang terus berbicara, membimbingnya untuk tetap melangkah.

Sesaat, saat ia berhenti untuk mengambil napas, sebuah suara terdengar dari belakang.

“Mukhayyam,” suara itu terdengar akrab, namun agak cemas. Mukhayyam menoleh, dan di hadapannya berdiri seorang pemuda yang ia kenal—Harun, sahabat masa kecilnya.

“Mengapa kamu berada di sini?” tanya Mukhayyam, bingung dengan kehadiran sahabatnya di tengah perjalanan panjang ini. Harun adalah anak seorang petani di Desa Cindua, dan meskipun mereka memiliki perbedaan latar belakang, keduanya selalu berbagi banyak hal—terutama tentang impian mereka.

“Aku datang untuk mengingatkanmu,” jawab Harun, mendekat dengan wajah serius. “Kau akan pergi jauh, Mukhayyam. Aku tahu itu, dan aku tahu ini bukan perjalanan yang mudah. Tetapi ingatlah satu hal—kau tidak harus menanggungnya sendirian.”

Mukhayyam terdiam, merenung. Ia telah lama merasa bahwa dirinya harus melakukan semuanya sendirian, karena ia merasa bahwa pencariannya adalah miliknya sendiri. Namun, kata-kata Harun membuka sebuah perspektif baru dalam dirinya.

“Apakah aku akan menemui sesuatu yang lebih besar daripada yang aku bayangkan?” tanya Mukhayyam, matanya masih menatap jauh ke depan, ke puncak pegunungan yang tampak seperti sebuah tujuan yang mustahil dijangkau.

Harun mengangguk, dan tatapannya penuh dengan pemahaman. “Ya, kau akan menemui banyak hal. Tapi yang lebih penting, kau akan menemukan siapa dirimu. Kita tidak pernah tahu seberapa jauh kita bisa melangkah hingga kita mencobanya. Jangan takut untuk jatuh. Jangan takut untuk gagal.”

Mukhayyam merasa hatinya tersentuh. Ia telah lama berjuang dengan perasaan kesepian dalam pencariannya. Namun, Harun mengingatkannya bahwa meskipun perjalanan ini adalah perjalanan yang penuh tantangan, ia tidak harus menghadapi semuanya sendirian.

“Terima kasih, Harun,” kata Mukhayyam dengan suara pelan, seolah mencoba menyerap segala nasihat yang diberikan sahabatnya.

Harun tersenyum, lalu berkata, “Jangan lupa siapa yang selalu mendukungmu. Apapun yang terjadi, aku akan selalu ada di sini.”

Setelah beberapa saat berbicara, Harun akhirnya berpamitan dan melanjutkan perjalanan pulang ke desa. Mukhayyam kembali melanjutkan langkahnya menuju puncak pegunungan. Suara Harun masih bergema dalam pikirannya, memberikan rasa kekuatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Mungkin ia tidak sendirian dalam perjuangannya. Bahkan jika ia berjalan sendiri, ada banyak orang yang mencintainya dan mendukungnya dari jauh.

Sore mulai berganti malam ketika Mukhayyam tiba di sebuah area datar di tengah pegunungan. Ia merasa tubuhnya sangat lelah, namun ia tahu bahwa tempat ini adalah titik penting dalam perjalanannya. Di sini, di atas tanah yang keras dan dingin ini, ia harus beristirahat dan melanjutkan perjalanan di pagi hari. Namun, sebuah perasaan aneh menyelimuti dirinya. Ia merasa ada sesuatu yang menunggu di tempat ini, sesuatu yang lebih dari sekadar rasa lelah dan kebingungannya.

Saat ia duduk di atas batu besar untuk beristirahat, tiba-tiba sebuah bayangan melintas. Mukhayyam menoleh dengan cepat, dan di depan matanya, tampak seorang pria berpakaian putih dengan jubah panjang yang tampak sangat berbeda dengan orang-orang yang ia temui sebelumnya. Pria itu memiliki aura yang berbeda—sangat kuat dan penuh dengan kedamaian.

“Mukhayyam Hafiz,” suara pria itu begitu tenang dan dalam, meskipun terdengar seperti sebuah perintah. “Kau telah sampai di sini bukan kebetulan. Ada sesuatu yang harus kau pelajari dari perjalanan ini, sesuatu yang tidak bisa diajarkan dengan kata-kata.”

Pria itu melangkah mendekat dan duduk di samping Mukhayyam. Tanpa berkata apa-apa, ia hanya menatap bintang-bintang di langit yang cerah. Mukhayyam merasa cemas, tetapi juga penasaran. Pria ini tampaknya tahu sesuatu yang belum ia pahami.

“Siapakah Anda?” tanya Mukhayyam, suaranya penuh ketegangan.

Pria itu tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum, dan kemudian berbicara dengan tenang. “Aku hanya seorang pengembara, seperti dirimu. Tetapi perjalanan yang kau tempuh adalah sebuah perjalanan yang tidak hanya mengubah dunia luar, tetapi juga dirimu sendiri.”

Mukhayyam merasa bahwa setiap kata pria itu adalah petunjuk penting, sesuatu yang harus ia pahami untuk melanjutkan pencariannya. “Apa yang harus aku lakukan?” tanya Mukhayyam, suara penuh harapan.

Pria itu akhirnya menoleh dan menatapnya dengan mata yang penuh kebijaksanaan. “Jalanmu adalah jalan yang panjang dan penuh ujian. Tetapi ingatlah satu hal: Kekuatan sejati bukanlah tentang mengalahkan musuhmu, melainkan tentang mengalahkan ketakutanmu. Mengalahkan ketakutan untuk menjadi dirimu yang sebenarnya.”

Mukhayyam terdiam, merenung dalam-dalam. Kata-kata pria itu semakin membuka mata hatinya. Ia mulai menyadari bahwa perjalanannya bukan hanya tentang mencari kekuatan fisik, tetapi juga untuk menemukan siapa dirinya yang sebenarnya.

“Aku siap,” kata Mukhayyam dengan penuh keyakinan.

Bab terkait

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 4 Rahasia Di Balik Gunung Cindua

    Mukhayyam Hafiz menatap langit pagi yang berwarna jingga, berdiri di tepi sebuah tebing kecil di Gunung Cindua. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tak bergeming. Ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai, dan langkah-langkah berikutnya akan jauh lebih berat daripada apa yang sudah ia lewati. Kenangan percakapannya dengan pria berjubah putih malam sebelumnya masih segar dalam ingatan. Kata-kata pria itu tidak seperti nasihat biasa—itu adalah pesan yang dalam, seolah berasal dari dimensi lain.Namun, pagi itu tidak berjalan biasa. Suara langkah kaki perlahan terdengar di belakangnya, disertai suara daun-daun kering yang terinjak. Mukhayyam berbalik, menemukan seorang pria tua yang tampak asing, tetapi auranya tidak kalah kuat dibandingkan pria berjubah putih tadi malam. Pria tua itu membawa tongkat kayu yang berukir rumit dan sebuah tas kecil di pundaknya.“Selamat pagi, anak muda,” sapa pria itu dengan suara serak namun bersahabat.“Selamat pagi,” jawab Mukhayyam hati-hati. Ia bel

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 5 Legenda Yang Tak Pernah Usai

    Mentari pagi di Desa Cindua mulai merangkak naik, menyinari pegunungan yang kini tampak lebih megah setelah perjalanan Mukhayyam Hafiz. Namun, meski langit terlihat cerah, pikiran Mukhayyam tidak secerah itu. Langkahnya terasa berat ketika ia kembali ke rumahnya, membawa buku kuno yang kini berada dalam tas kulit di punggungnya.Di ambang pintu, ibunya, Syarifah Azurah, menunggu dengan tatapan cemas. "Mukhayyam, kemana saja kau semalam? Kami sangat khawatir!" ucapnya sambil mendekat, menyentuh wajah putranya untuk memastikan ia baik-baik saja.Mukhayyam menunduk sedikit, merasa bersalah karena membuat keluarganya cemas. "Maaf, Ibu. Aku harus pergi untuk mencari jawaban," jawabnya pelan.Ayahnya, Rasyid Ghazali, yang sedang duduk di beranda sambil memegang tongkat kayu, mengalihkan pandangannya dari ladang di kejauhan. "Jawaban apa yang kau cari hingga menghilang semalaman, Nak?" tanyanya dengan suara berat namun penuh rasa ingin tahu.Mukhayyam melepaskan tasnya dan duduk di dekat ked

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 6: Guru Pertama Mukhayyam

    Langit Desa Cindua berwarna abu-abu cerah pagi itu. Hembusan angin membawa aroma daun basah, menyegarkan udara desa yang tenang. Mukhayyam Hafiz melangkah dengan langkah mantap, membawa peta kuno yang dilipat rapi di saku bajunya. Ia berjalan menuju rumah Pak Bilal, pria tua yang kini menjadi tempatnya bertanya tentang misteri kitab dan peta yang ia temukan. Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda. Pak Bilal berdiri di depan rumahnya, seperti menunggu kedatangan Mukhayyam. Wajahnya serius, tetapi ada percikan kegembiraan di matanya. “Mukhayyam,” panggilnya, suaranya dalam dan penuh wibawa. “Hari ini adalah awal dari perjalanan yang sebenarnya. Sudah siap?” Mukhayyam mengangguk. “Aku siap, Pak Bilal. Apa yang harus aku lakukan?” Pak Bilal memiringkan kepalanya sedikit, matanya menyipit. “Kau sudah mempelajari dasar-dasarnya—kesabaran dan cara membaca peta itu dengan pikiran. Tapi perjalanan ini bukan tentang kau sendirian. Kau membutuhkan pembimbing, seseorang yang akan mengaj

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 7 Latihan Pagi Yang Berat

    Fajar belum sepenuhnya menyingsing, tetapi Gurutta Harun sudah berdiri di tengah lapangan kecil di tepi hutan. Ia menunggu dengan sabar sambil menyaksikan burung-burung berkicau di kejauhan. Di hadapannya, Mukhayyam Hafiz berusaha keras menyelesaikan perintah gurunya: berlari mengelilingi lapangan sebanyak lima puluh putaran.“Cepat, Mukhayyam!” seru Gurutta Harun dengan suara lantang. “Kau pikir musuhmu akan menunggumu istirahat? Jangan biarkan kelemahanmu menguasaimu!”Mukhayyam mengatur napasnya yang terengah-engah. Tubuhnya sudah mulai terasa lelah, tetapi tekad di dalam hatinya membuatnya terus berlari. Kakinya hampir menyerah, tetapi ia tahu bahwa ia tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan gurunya.“Gurutta,” katanya dengan nada terbata-bata, “bukankah kita bisa memulai dengan sesuatu yang lebih ringan? Mungkin latihan konsentrasi seperti kemarin?”Gurutta Harun tertawa kecil, tetapi ada nada tegas dalam tawanya. “Kau mengingi

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 8 Perjumpaan Dengan Si Tua Bijak

    Pagi itu, suasana di Desa Cindua terasa berbeda. Udara sejuk bercampur dengan aroma tanah yang baru saja diguyur hujan semalam, memberikan kedamaian yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Namun, hati Mukhayyam Hafiz tidak sepenuhnya tenang. Latihan-latihan berat yang diberikan Gurutta Harun mulai membuka matanya akan kerasnya kehidupan, tetapi ia merasa bahwa masih ada sesuatu yang hilang—jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar dalam benaknya. Gurutta Harun tampaknya memahami keresahan itu. Setelah menyelesaikan sarapan sederhana mereka, ia memandang Mukhayyam dengan tatapan penuh arti. “Mukhayyam,” katanya perlahan. “Hari ini, aku ingin kau bertemu dengan seseorang.” Mukhayyam menghentikan kunyahannya dan menatap gurunya dengan rasa ingin tahu. “Siapa, Gurutta?” “Seorang lelaki tua yang tinggal di pinggir hutan,” jawab Gurutta Harun. “Orang-orang di desa sering memanggilnya dengan sebutan Si Tua

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 9 Percakapan Tentang Kekuasaan

    Mukhayyam Hafiz duduk di beranda pondok Gurutta Harun. Malam itu angin sepoi-sepoi membawa aroma khas dari hutan di sekitarnya. Cahaya bulan menerangi desa Cindua dengan lembut, seolah menyoroti pemikiran yang berat di benak pemuda itu. Setelah bertemu Si Tua Bijak dan menjalani latihan yang melelahkan, kini ia merasa semakin dekat dengan pertanyaan besar yang terus menghantuinya: apa sebenarnya kekuasaan itu?Gurutta Harun keluar membawa dua cangkir teh panas. Ia meletakkan salah satunya di depan Mukhayyam dan duduk di kursi kayu di sampingnya. Gurutta tahu muridnya sedang bergulat dengan sesuatu yang penting.“Pikiranmu terlihat berat malam ini, Mukhayyam,” kata Gurutta, membuka percakapan.Mukhayyam menghela napas panjang. “Gurutta, saya ingin bertanya... apa sebenarnya kekuasaan itu?”Gurutta tersenyum tipis, seolah sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. Ia mengambil cangkir tehnya dan menyesap perlahan sebelum menjawab.“Kekuasaan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 10 Keiniginan Untuk Melangkah Lebih Jauh

    Pagi itu, udara di Desa Cindua terasa lebih segar dari biasanya. Embun pagi menempel di daun-daun hijau, dan suara burung berkicau merdu di antara pepohonan yang mulai tersentuh sinar matahari. Mukhayyam Hafiz duduk termenung di tepi sungai yang mengalir tenang, matanya mengikuti aliran air yang tak henti-hentinya bergerak. Perasaannya, sama seperti air itu—terus mengalir, selalu mencari jalan, namun belum menemukan tempat yang tepat.Ia merasa ada sesuatu yang tidak terungkapkan dalam hidupnya. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar belajar bela diri atau mendapatkan kekuasaan. Keinginan untuk menjadi pemimpin yang bijaksana dan bertanggung jawab semakin menguat dalam dirinya, tetapi ia merasa masih ada bagian dari dirinya yang harus dipahami terlebih dahulu.Pada saat itulah Gurutta Harun mendekatinya. Melihat wajah muridnya yang penuh tanda tanya, Gurutta tahu bahwa ada pergolakan dalam hati Mukhayyam yang perlu diselesaikan.“Mukhayyam, ada yang ingin k

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 11 Kisah Sang Pahlawan Yang Hilang

    Malam di Desa Cindua semakin pekat. Langit gelap hanya diterangi bintang-bintang kecil yang berserakan seperti berlian di atas hamparan sutra hitam. Di sudut desa, rumah Gurutta Harun menjadi tempat berkumpul beberapa tokoh penting desa. Di dalam ruangan kecil dengan penerangan dari lampu minyak, Mukhayyam Hafiz duduk bersila di dekat Gurutta Harun. Ia baru saja kembali dari perjalanan singkatnya ke tepian hutan, membawa pertanyaan yang membebani pikirannya.“Apa yang sebenarnya terjadi dengan Desa Cindua di masa lalu?” tanya Mukhayyam, menatap Gurutta Harun dengan penuh harap.Gurutta Harun mengangguk pelan, wajah tuanya penuh kebijaksanaan. “Kau ingin tahu tentang legenda yang sering dibicarakan oleh orang-orang tua di desa ini, bukan? Tentang Sang Pahlawan Yang Hilang?”Mukhayyam mengangguk mantap. “Ya, Guru. Banyak yang mengatakan bahwa ada seseorang yang dulu melindungi desa ini, tetapi ia menghilang begitu saja. Apa yang sebenarnya terjadi?”

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07

Bab terbaru

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 20 Penyatuan Fikiran dan Tubuh

    Langit pagi di tengah hutan itu tampak berwarna jingga, menyiratkan keindahan yang kontras dengan perjuangan berat yang sedang dialami Mukhayyam. Ia duduk bersila di atas batu datar, menghadap Juru Uji yang berdiri tegak di hadapannya. Tidak ada kata yang terucap sejak ujian sebelumnya, namun suasana itu tidak pernah terasa sunyi. Hutan berbicara melalui desiran angin dan kicauan burung, seolah ingin menjadi saksi atas perjalanan Mukhayyam menuju pemahaman yang lebih dalam.“Bagaimana rasanya sekarang, setelah melampaui ujian berat itu?” tanya Juru Uji, memecah keheningan.Mukhayyam menatap pria itu. “Aku merasa lebih ringan, tetapi pada saat yang sama, aku sadar bahwa aku masih membawa banyak hal yang belum bisa kulepaskan sepenuhnya.”“Itulah beban seorang pejuang,” ujar Juru Uji sambil melipat tangannya di belakang punggung. “Namun, ingatlah ini, Mukhayyam: tubuh yang kuat tidak akan ada artinya tanpa fikiran yang jernih. Ujian selanjutnya adalah tentan

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 19 Ujian Fisik Yang Pertama

    Mukhayyam berdiri di tepi sebuah sungai deras yang berkelok-kelok, sementara angin pagi meniupkan kabut tipis ke sekelilingnya. Di seberang sungai itu, hutan lebat tampak seperti benteng alami yang menghalangi jalan. Namun, yang menarik perhatian Mukhayyam adalah seorang lelaki berjubah abu-abu yang berdiri di tengah aliran sungai. Dengan tenang, lelaki itu memperhatikan Mukhayyam, seolah-olah sedang menunggu sesuatu. “Selamat datang, Mukhayyam Hafiz,” kata lelaki itu dengan suara berat namun jelas. “Aku adalah Juru Uji. Hari ini, kau akan menghadapi ujian fisik pertamamu. Bersiaplah.” Mukhayyam menatap lelaki itu dengan rasa waspada. “Apa ujian yang harus kulalui? Dan siapa yang memberimu hak untuk mengujiku?” tanyanya. Juru Uji tersenyum tipis. “Hak itu datang dari perjalanan yang kau pilih sendiri. Untuk melangkah lebih jauh, kau harus membuktikan bahwa kau mampu bertahan. Ujian ini bukan tentang siapa aku, tetapi tentang siapa dirimu.

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 18 Jalan yang Terbentang di Depan

    Pagi itu, udara dingin menyelimuti lereng Gunung Cindua. Kabut tipis menggantung di antara pepohonan, membuat suasana terlihat sunyi sekaligus misterius. Mukhayyam duduk di atas batu besar, menghadap jurang yang menghamparkan pemandangan lembah yang hijau. Pandangannya jauh menerawang, mencoba mencerna semua pelajaran dan percakapan yang ia lalui bersama Lian Huo.Di kejauhan, suara langkah kaki terdengar menghampiri. Lian Huo muncul dari balik kabut, membawa tongkat kayu tua yang menjadi ciri khasnya. Ia menghampiri Mukhayyam tanpa suara, hanya senyuman lembut di wajahnya. Setelah duduk di samping muridnya, ia membuka percakapan.“Kau terlihat gelisah lagi,” ujar Lian Huo.Mukhayyam tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang. “Ada begitu banyak hal yang harus kupikirkan, Guru. Aku merasa seperti berdiri di tengah persimpangan yang tak ada akhirnya.”“Persimpangan itu adalah ujianmu,” jawab Lian Huo sambil menatap lembah di bawah. “Setiap langka

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 17 Perasaan Mukhayyam Yang Tertahan

    Pagi itu terasa sunyi. Udara pagi yang segar mengalir melalui celah-celah pepohonan di sekitar desa. Mukhayyam berjalan menyusuri jalan setapak yang mengarah ke lembah, pikiran dan perasaannya dipenuhi dengan pertanyaan yang sulit dijawab. Sejak percakapan panjangnya dengan Lian Huo malam itu, ada perasaan yang semakin mengganggu batinnya—perasaan yang tidak mudah untuk ia jelaskan.Sebenarnya, Mukhayyam merasa lega setelah menerima kenyataan tentang kesendirian dan pengorbanan. Namun, ada bagian dalam dirinya yang tetap merasa seolah ada sesuatu yang tertahan, seolah perasaan yang ingin ia ungkapkan selalu terhalang oleh suatu kekuatan yang tak tampak. Setiap kali ia mencoba untuk fokus pada tujuannya, ia merasa ada suara dalam dirinya yang bertanya, apakah pengorbanan ini benar-benar sejalan dengan apa yang ia inginkan dalam hidup?Sambil berjalan, ia mengenang kembali perjalanan panjangnya bersama Lian Huo. Segala ajaran yang diterima, terutama tentang kekuatan

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 16 Pengorbanan di Tengah Kesendirian

    Keheningan malam menyelimuti desa, dan hanya terdengar suara angin yang berdesir melalui pepohonan. Mukhayyam duduk sendirian di depan rumah kecil yang menjadi tempat pelatihannya. Di bawah cahaya bulan yang temaram, wajahnya tampak penuh pemikiran. Walaupun telah banyak yang ia pelajari dari Lian Huo, banyak pertanyaan yang masih bergelayut di dalam benaknya. Tidak ada lagi latihan fisik untuk hari itu. Malam ini, ia hanya merenung.Lian Huo duduk di sampingnya, dengan tenang mengamati pemuda itu. Selama ini, mereka telah berbicara banyak tentang kekuatan fisik dan mental, tentang cara bertarung dan cara hidup, namun malam ini berbeda. Sesuatu dalam diri Mukhayyam tampaknya telah berubah. Ia merasa ada ketegangan dalam diri pemuda itu, dan Lian Huo bisa merasakannya dengan jelas.“Pemuda, ada yang mengganggumu,” ujar Lian Huo pelan, suaranya dalam dan penuh kebijaksanaan.Mukhayyam terkejut. Ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan perasaannya. Selama in

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 15 Pengajaran Beladiri dari Sang Guru

    Pagi itu, udara di Desa Cindua terasa lebih segar. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah yang basah, menambah kesegaran yang memberi semangat baru. Mukhayyam duduk di pinggir sungai kecil yang mengalir di dekat rumahnya, matanya terpejam, mencoba merasakan kedamaian yang telah lama hilang sejak perjalanan beratnya dimulai. Namun, meskipun alam di sekitarnya tampak tenang, pikirannya penuh dengan banyak pertanyaan dan kebingungannya tentang apa yang baru saja terjadi.Ia merasa bahwa pertarungan melawan pria misterius yang mengklaim dirinya sebagai penjaga kegelapan itu hanyalah permulaan dari sebuah perjalanan panjang yang lebih berat. Dengan tangan yang masih terasa gemetar akibat pertempuran malam sebelumnya, Mukhayyam merasa seolah-olah dunia ini menyimpan rahasia yang lebih besar dan lebih gelap yang harus ia ungkap. Dan untuk itu, ia harus siap, baik fisik maupun mental.Setelah pertempuran yang sulit itu, Darma membawanya pulang ke rumah, meskipun Mukhayyam t

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 14 Dalam Bayang-Bayang Kejahatan

    Malam semakin gelap saat Mukhayyam dan Darma memasuki wilayah yang lebih dalam dari desa yang mulai terasa asing. Hawa dingin menggigit kulit mereka, dan meskipun angin berhembus lembut, ada keheningan yang begitu berat menyelimuti udara, membuat Mukhayyam merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengintai mereka. Sesuatu yang tidak terlihat, tetapi bisa dirasakan dengan jelas.Mukhayyam berjalan di depan, tangannya menggenggam erat pedang yang sudah mulai terasa berat di pinggangnya. Darma di belakangnya, dengan wajah cemas, terus mengamati lingkungan sekitar mereka. Desa yang mereka lewati semakin sunyi, dan rumah-rumah yang tadinya penuh dengan kehidupan kini tampak gelap gulita. Tak ada suara riuh, tak ada jejak kehidupan yang berarti. Hanya ada bayang-bayang panjang yang berputar-putar, seakan-akan mengamati gerak-gerik mereka."Mukhayyam," suara Darma yang perlahan memecah keheningan malam itu. "Aku merasa ada sesuatu yang salah dengan semua ini. Desa ini... bukan

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 13 Menghadapi Rintangan Pertama

    Mukhayyam Hafiz berjalan menembus hutan lebat. Udara pagi yang dingin masih menyelimuti, tetapi keheningan alam mulai terusik oleh gemerisik langkah-langkah kecil di bawah kakinya. Hari itu, ia tahu perjalanan tak akan mudah. Jalan setapak yang ia pilih semakin menanjak dan licin karena embun pagi.Sementara ia melangkah hati-hati, terdengar suara samar di kejauhan. Awalnya, suara itu seperti dengungan, tetapi semakin ia mendekat, suara itu berubah menjadi jeritan halus bercampur gema. Ia berhenti sejenak, mencoba memahami arah suara tersebut.“Siapa di sana?” Mukhayyam memanggil, suaranya sedikit bergetar.Namun, jawaban yang ia dapatkan hanyalah keheningan. Meski begitu, nalurinya mengatakan bahwa ia harus lebih waspada. Pisau kecil pemberian Gurutta Harun dipegang erat di tangannya. Langkahnya semakin pelan, berusaha menghindari suara berisik dari ranting atau dedaunan.Ketika ia mendekati sumber suara, ia melihat sosok bayangan di antara pepoh

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 12 Langkah Awal Menuju Perubahan

    Mukhayyam Hafiz berdiri di halaman belakang rumahnya. Udara pagi Desa Cindua terasa segar, tetapi pikirannya berputar-putar seperti badai. Keputusan untuk mencari pedang Syamsir Al-Fikri bukanlah sesuatu yang ia anggap enteng. Itu adalah panggilan yang mendalam, seperti dorongan batin yang tidak dapat ia abaikan.Ibunya, Syarifah Azurah, muncul dari pintu belakang membawa nampan kecil berisi segelas teh hangat dan sepiring kue tradisional. Ia menatap putranya yang termenung dengan senyum lembut.“Mukhayyam, kau kelihatan gelisah pagi ini,” ucap Azurah sembari menaruh nampan di atas meja kecil di teras.Mukhayyam tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Aku hanya memikirkan sesuatu, Ibu.”Azurah menatap putranya dengan penuh kasih. “Apa yang sedang kau pikirkan, Nak? Kadang-kadang berbagi pikiran bisa meringankan beban.”Mukhayyam mendekati ibunya dan duduk di sebelahnya. Ia mengambil secangkir teh, membiarkan uap hangatnya

DMCA.com Protection Status