Beranda / Pendekar / RAJA TANPA TAKHTA / Bab 7 Latihan Pagi Yang Berat

Share

Bab 7 Latihan Pagi Yang Berat

Penulis: mahmud23
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-03 10:46:38

Fajar belum sepenuhnya menyingsing, tetapi Gurutta Harun sudah berdiri di tengah lapangan kecil di tepi hutan. Ia menunggu dengan sabar sambil menyaksikan burung-burung berkicau di kejauhan. Di hadapannya, Mukhayyam Hafiz berusaha keras menyelesaikan perintah gurunya: berlari mengelilingi lapangan sebanyak lima puluh putaran.

“Cepat, Mukhayyam!” seru Gurutta Harun dengan suara lantang. “Kau pikir musuhmu akan menunggumu istirahat? Jangan biarkan kelemahanmu menguasaimu!”

Mukhayyam mengatur napasnya yang terengah-engah. Tubuhnya sudah mulai terasa lelah, tetapi tekad di dalam hatinya membuatnya terus berlari. Kakinya hampir menyerah, tetapi ia tahu bahwa ia tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan gurunya.

“Gurutta,” katanya dengan nada terbata-bata, “bukankah kita bisa memulai dengan sesuatu yang lebih ringan? Mungkin latihan konsentrasi seperti kemarin?”

Gurutta Harun tertawa kecil, tetapi ada nada tegas dalam tawanya. “Kau menginginkan kekuatan, bukan? Maka kau harus siap untuk merasakan penderitaan. Jika kau tidak bisa mengatasi rasa lelah ini, bagaimana kau bisa melawan rasa takut saat berada di medan perang?”

---

Latihan Fisik yang Intens

Setelah menyelesaikan putaran kelima puluh, Mukhayyam akhirnya berhenti di hadapan Gurutta Harun. Keringat membasahi seluruh tubuhnya, tetapi ia berdiri tegak, mencoba menunjukkan bahwa ia masih sanggup melanjutkan.

“Bagus,” kata Gurutta Harun sambil mengangguk. “Sekarang, mari kita lihat sejauh mana kau bisa bertahan.”

Gurutta Harun menunjuk sebuah batang kayu panjang yang tergeletak di tanah. “Angkat itu dan bawa ke puncak bukit di sana.”

Mukhayyam menatap bukit yang dimaksud. Bukit itu tidak terlalu tinggi, tetapi cukup curam untuk membuat tugas ini menjadi sangat berat.

“Sendirian?” tanya Mukhayyam, berharap bahwa ia salah dengar.

“Apakah kau melihat orang lain di sini?” jawab Gurutta Harun dengan nada datar. “Ya, sendirian. Dan kau tidak boleh berhenti sampai kau mencapai puncak.”

Mukhayyam menghela napas panjang, lalu mengangkat batang kayu itu dengan kedua tangannya. Bebannya jauh lebih berat daripada yang ia perkirakan, tetapi ia memaksakan dirinya untuk melangkah.

Sepanjang perjalanan menuju puncak, ia merasakan tubuhnya semakin lemah. Otot-ototnya terasa terbakar, dan kakinya hampir menyerah. Namun, di kepalanya, ia terus mengingat kata-kata gurunya: “Jangan biarkan kelemahanmu menguasaimu.”

Saat ia hampir mencapai puncak, ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Ketika ia menoleh, ia melihat Gurutta Harun berjalan santai, memperhatikannya dengan tatapan tajam.

“Jangan pikir aku akan membantumu,” kata Gurutta Harun. “Ini adalah ujianmu sendiri.”

“Gurutta,” kata Mukhayyam dengan suara lemah, “apa tujuan dari latihan ini? Apakah ini hanya untuk membuat saya menderita?”

Gurutta Harun berhenti sejenak, lalu menjawab dengan nada serius. “Tujuan dari latihan ini adalah untuk membuatmu sadar bahwa kekuatan sejati tidak berasal dari tubuhmu, tetapi dari hatimu. Jika hatimu kuat, tubuhmu akan mengikuti.”

---

Percakapan Panjang di Puncak Bukit

Setelah perjuangan panjang, Mukhayyam akhirnya mencapai puncak bukit. Ia meletakkan batang kayu itu di tanah dengan napas terengah-engah. Gurutta Harun berdiri di sampingnya, mengamati pemandangan desa Cindua yang terbentang di kejauhan.

“Kau tahu, Mukhayyam,” kata Gurutta Harun sambil melipat tangannya, “desa ini terlihat damai dari sini, tetapi sebenarnya ada banyak rahasia yang tersembunyi di balik kedamaiannya.”

“Apa maksud Anda, Gurutta?” tanya Mukhayyam, penasaran.

“Setiap tempat memiliki sejarahnya sendiri,” jawab Gurutta Harun. “Dan desa ini tidak terkecuali. Ada legenda tentang seorang pemimpin besar yang pernah tinggal di sini, seseorang yang memiliki kekuatan luar biasa tetapi memilih untuk hidup dalam bayang-bayang demi melindungi rakyatnya.”

“Apakah itu terkait dengan kitab kuno yang diberikan oleh Pak Bilal?”

Gurutta Harun mengangguk. “Kitab itu adalah kunci dari banyak misteri di desa ini. Tetapi untuk memahaminya, kau harus memiliki kekuatan dan kebijaksanaan. Dan itulah sebabnya aku melatihmu.”

Mukhayyam terdiam sejenak, merenungkan kata-kata gurunya. Ia merasa bahwa tanggung jawab yang diembannya semakin besar, tetapi ia juga merasa lebih termotivasi untuk terus belajar.

“Gurutta,” katanya akhirnya, “saya berjanji bahwa saya akan melakukan yang terbaik untuk memahami semua ini. Tetapi saya membutuhkan bimbingan Anda.”

Gurutta Harun tersenyum tipis. “Aku akan membimbingmu sejauh aku bisa, tetapi pada akhirnya, perjalanan ini adalah milikmu sendiri.”

---

Latihan Mental

Setelah beristirahat sejenak di puncak bukit, Gurutta Harun membawa Mukhayyam kembali ke lapangan di tepi hutan. Kali ini, ia memberikan sebuah kantong kecil yang berisi batu-batu kecil.

“Apa ini?” tanya Mukhayyam sambil membuka kantong itu.

“Setiap batu di dalam kantong ini mewakili satu masalah yang akan kau hadapi dalam hidupmu,” jawab Gurutta Harun. “Tugasmu adalah melemparkan batu-batu ini ke sungai dan mengamati riaknya. Tetapi kau harus melakukannya dengan pikiran yang tenang.”

Mukhayyam mengerutkan kening, tidak sepenuhnya memahami maksud latihan ini. Namun, ia mengikuti perintah gurunya. Ia mengambil sebuah batu dari kantong itu, melemparkannya ke sungai, dan menyaksikan riak yang muncul.

“Apa yang kau lihat?” tanya Gurutta Harun.

“Saya melihat riak yang menyebar ke seluruh permukaan air,” jawab Mukhayyam.

“Itulah yang terjadi ketika kau menghadapi masalah,” kata Gurutta Harun. “Setiap tindakan yang kau ambil akan menciptakan riak yang memengaruhi orang-orang di sekitarmu. Itulah sebabnya kau harus berpikir matang sebelum bertindak.”

Mukhayyam mengangguk, mulai memahami maksud gurunya. Ia terus melemparkan batu-batu itu satu per satu, merenungkan setiap riak yang muncul.

---

Malam yang Penuh Refleksi

Malam itu, di depan api unggun, Mukhayyam menceritakan pengalamannya kepada Gurutta Harun. Ia berbicara tentang bagaimana latihan-latihan itu telah membantunya melihat dirinya sendiri dengan cara yang baru.

“Gurutta,” katanya, “saya mulai mengerti apa yang Anda maksud tentang kekuatan sejati. Tetapi saya merasa bahwa perjalanan ini masih sangat panjang.”

“Dan kau benar,” jawab Gurutta Harun dengan nada lembut. “Tetapi setiap langkah yang kau ambil, betapapun kecilnya, adalah bagian dari perjalanan itu. Jangan pernah meremehkan pentingnya langkah pertama.”

Mukhayyam menatap api yang berkobar di depannya, merasa lebih percaya diri daripada sebelumnya. Ia tahu bahwa ia masih memiliki banyak hal untuk dipelajari, tetapi ia juga tahu bahwa ia berada di jalan yang benar. Bersama Gurutta Harun, ia siap menghadapi tantangan apa pun yang menanti di depan.

Mukhayyam Hafiz duduk di atas batu besar di tepi lapangan, mencoba mengatur napas yang masih tersengal-sengal. Tubuhnya dipenuhi keringat, dan kakinya bergetar karena kelelahan. Meski begitu, ada secercah kepuasan dalam hatinya karena berhasil menyelesaikan tugas yang diberikan Gurutta Harun.

Namun, istirahatnya tak berlangsung lama. Gurutta Harun berjalan mendekatinya dengan tongkat kayu di tangan, ekspresinya masih serius.

“Bangkit, Mukhayyam,” perintahnya. “Latihan belum selesai. Kau hanya memulai. Masih ada banyak pelajaran yang harus kau lalui.”

Mukhayyam mengangkat kepalanya, menatap gurunya dengan pandangan tak percaya. “Masih ada lagi, Gurutta? Tubuh saya sudah hampir menyerah.”

Gurutta Harun tersenyum samar. “Itu yang kau pikirkan. Tetapi pikiranmu sering kali membatasi apa yang sebenarnya mampu dilakukan oleh tubuhmu. Kau ingin menjadi lebih kuat? Maka kau harus melampaui batas-batas itu.”

Mukhayyam menarik napas panjang, lalu berdiri perlahan. “Baiklah, Gurutta. Apa lagi yang harus saya lakukan?”

---

Latihan Keseimbangan dan Konsentrasi

Gurutta Harun membawa Mukhayyam ke sebuah jembatan kayu kecil yang melintasi sungai. Aliran air di bawahnya tenang, tetapi di kejauhan terdengar suara gemuruh air terjun yang menandakan kedalaman hutan di sekitarnya.

“Kau lihat jembatan ini?” tanya Gurutta Harun.

Mukhayyam mengangguk.

“Sekarang, kau akan berjalan di atasnya dengan mata tertutup.”

“Mata tertutup?” Mukhayyam memandang jembatan itu dengan cemas. “Bagaimana saya bisa menjaga keseimbangan tanpa melihat?”

“Dengan mempercayai dirimu sendiri,” jawab Gurutta Harun. “Keseimbangan bukan hanya tentang fisik. Ini tentang keyakinan. Kau harus belajar mendengarkan tubuhmu, bukan hanya mengandalkan matamu.”

Mukhayyam tampak ragu, tetapi ia tahu bahwa menolak perintah gurunya bukanlah pilihan. Dengan enggan, ia menutup matanya, merasakan papan kayu di bawah kakinya. Langkah pertama terasa goyah, tetapi ia memusatkan pikirannya pada suara air dan arah angin.

“Fokus,” kata Gurutta Harun dari kejauhan. “Bayangkan bahwa setiap langkahmu adalah keputusan penting dalam hidup. Jika kau terlalu terburu-buru, kau akan jatuh. Jika kau terlalu ragu, kau juga akan jatuh. Temukan keseimbangan itu.”

Langkah demi langkah, Mukhayyam perlahan bergerak maju. Hatinya berdegup kencang setiap kali papan kayu itu berderit di bawah berat tubuhnya, tetapi ia terus berjalan. Akhirnya, ia sampai di ujung jembatan dengan selamat.

Ketika ia membuka matanya, ia melihat Gurutta Harun tersenyum lebar. “Bagus,” katanya. “Kau sudah mulai memahami inti dari latihan ini.”

---

Percakapan di Tengah Hutan

Setelah menyelesaikan latihan keseimbangan, Gurutta Harun membawa Mukhayyam lebih dalam ke dalam hutan. Mereka berjalan dalam diam, hanya diiringi oleh suara alam yang mengelilingi mereka.

“Gurutta,” kata Mukhayyam akhirnya, memecah keheningan. “Mengapa Anda begitu keras terhadap saya? Bukankah ada cara lain untuk melatih kekuatan tanpa harus melewati semua ini?”

Gurutta Harun berhenti sejenak, menatap pemuda itu dengan tajam. “Mukhayyam, kau harus memahami sesuatu. Dunia ini tidak akan bersikap lembut padamu. Jika kau ingin menjadi seseorang yang bisa melindungi orang lain, kau harus menjadi lebih kuat dari rasa sakit dan ketakutanmu sendiri.”

“Tetapi mengapa harus saya? Mengapa bukan orang lain yang menjalani semua ini?”

“Karena kau memiliki potensi yang tidak dimiliki oleh orang lain,” jawab Gurutta Harun tegas. “Aku melihat itu dalam dirimu sejak pertama kali kita bertemu. Kau mungkin belum menyadarinya, tetapi suatu hari kau akan mengerti.”

Percakapan itu membuat Mukhayyam terdiam. Ia merasa beban tanggung jawab yang begitu besar mulai menghimpit hatinya, tetapi ia juga merasa bahwa ia tidak sendirian. Dengan Gurutta Harun di sisinya, ia yakin bahwa ia bisa melewati semua ini.

---

Latihan Pertarungan Pertama

Ketika mereka kembali ke lapangan, Gurutta Harun memberikan sebatang tongkat kayu kepada Mukhayyam. “Sekarang, kita akan melihat sejauh mana refleksmu berkembang,” katanya.

“Apa yang harus saya lakukan dengan ini?” tanya Mukhayyam, memegang tongkat itu dengan canggung.

“Kau akan bertahan,” jawab Gurutta Harun sambil mengambil tongkat lain. “Aku akan menyerangmu, dan tugasmu adalah menghindar atau menangkis.”

Mukhayyam menelan ludah, merasa gugup. Gurutta Harun mungkin sudah tua, tetapi gerakannya begitu cepat dan tajam. Ketika serangan pertama datang, Mukhayyam hampir tidak sempat mengangkat tongkatnya untuk menangkisnya.

“Lebih cepat, Mukhayyam!” seru Gurutta Harun. “Jangan berpikir terlalu lama. Percayai instingmu!”

Serangan demi serangan datang, dan Mukhayyam mulai menemukan irama dalam gerakannya. Meski masih sering terkena pukulan, ia merasa bahwa tubuhnya mulai menyesuaikan diri dengan pola serangan gurunya.

Setelah beberapa waktu, Gurutta Harun menghentikan latihan. “Cukup untuk hari ini,” katanya. “Kau masih memiliki banyak hal untuk dipelajari, tetapi aku melihat kemajuan.”

---

Refleksi Malam Hari

Malam itu, setelah makan malam sederhana di pondok Gurutta Harun, Mukhayyam duduk sendirian di luar, memandangi langit malam yang dipenuhi bintang. Ia merenungkan semua yang telah ia pelajari hari itu, dari latihan fisik yang melelahkan hingga pelajaran tentang keseimbangan dan refleks.

Pikirannya melayang ke keluarganya, terutama kedua orang tuanya, Rasyid Ghazali dan Syarifah Azurah. Ia bertanya-tanya apakah mereka menyadari betapa berat perjalanan yang sedang ia lalui.

Ketika Gurutta Harun bergabung dengannya, Mukhayyam memanfaatkan kesempatan itu untuk bertanya. “Gurutta, apakah menurut Anda saya benar-benar memiliki apa yang diperlukan untuk menjadi seseorang yang kuat?”

Gurutta Harun menatap pemuda itu dengan lembut. “Kau memiliki segalanya, Mukhayyam. Tetapi ingatlah, kekuatan sejati bukan hanya tentang kemampuan fisik. Ini tentang keberanian untuk terus maju meskipun kau merasa takut atau lemah. Dan aku melihat keberanian itu dalam dirimu.”

Kata-kata itu memberikan semangat baru bagi Mukhayyam. Ia tahu bahwa jalan di depannya masih panjang dan penuh rintangan, tetapi ia juga tahu bahwa ia memiliki potensi untuk menghadapinya.

Dengan tekad yang semakin kuat, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menyerah, apa pun yang terjadi. Perjalanan ini adalah miliknya, dan ia akan melaluinya dengan kepala tegak.

Bab terkait

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 8 Perjumpaan Dengan Si Tua Bijak

    Pagi itu, suasana di Desa Cindua terasa berbeda. Udara sejuk bercampur dengan aroma tanah yang baru saja diguyur hujan semalam, memberikan kedamaian yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Namun, hati Mukhayyam Hafiz tidak sepenuhnya tenang. Latihan-latihan berat yang diberikan Gurutta Harun mulai membuka matanya akan kerasnya kehidupan, tetapi ia merasa bahwa masih ada sesuatu yang hilang—jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar dalam benaknya. Gurutta Harun tampaknya memahami keresahan itu. Setelah menyelesaikan sarapan sederhana mereka, ia memandang Mukhayyam dengan tatapan penuh arti. “Mukhayyam,” katanya perlahan. “Hari ini, aku ingin kau bertemu dengan seseorang.” Mukhayyam menghentikan kunyahannya dan menatap gurunya dengan rasa ingin tahu. “Siapa, Gurutta?” “Seorang lelaki tua yang tinggal di pinggir hutan,” jawab Gurutta Harun. “Orang-orang di desa sering memanggilnya dengan sebutan Si Tua

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 9 Percakapan Tentang Kekuasaan

    Mukhayyam Hafiz duduk di beranda pondok Gurutta Harun. Malam itu angin sepoi-sepoi membawa aroma khas dari hutan di sekitarnya. Cahaya bulan menerangi desa Cindua dengan lembut, seolah menyoroti pemikiran yang berat di benak pemuda itu. Setelah bertemu Si Tua Bijak dan menjalani latihan yang melelahkan, kini ia merasa semakin dekat dengan pertanyaan besar yang terus menghantuinya: apa sebenarnya kekuasaan itu?Gurutta Harun keluar membawa dua cangkir teh panas. Ia meletakkan salah satunya di depan Mukhayyam dan duduk di kursi kayu di sampingnya. Gurutta tahu muridnya sedang bergulat dengan sesuatu yang penting.“Pikiranmu terlihat berat malam ini, Mukhayyam,” kata Gurutta, membuka percakapan.Mukhayyam menghela napas panjang. “Gurutta, saya ingin bertanya... apa sebenarnya kekuasaan itu?”Gurutta tersenyum tipis, seolah sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. Ia mengambil cangkir tehnya dan menyesap perlahan sebelum menjawab.“Kekuasaan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 10 Keiniginan Untuk Melangkah Lebih Jauh

    Pagi itu, udara di Desa Cindua terasa lebih segar dari biasanya. Embun pagi menempel di daun-daun hijau, dan suara burung berkicau merdu di antara pepohonan yang mulai tersentuh sinar matahari. Mukhayyam Hafiz duduk termenung di tepi sungai yang mengalir tenang, matanya mengikuti aliran air yang tak henti-hentinya bergerak. Perasaannya, sama seperti air itu—terus mengalir, selalu mencari jalan, namun belum menemukan tempat yang tepat.Ia merasa ada sesuatu yang tidak terungkapkan dalam hidupnya. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar belajar bela diri atau mendapatkan kekuasaan. Keinginan untuk menjadi pemimpin yang bijaksana dan bertanggung jawab semakin menguat dalam dirinya, tetapi ia merasa masih ada bagian dari dirinya yang harus dipahami terlebih dahulu.Pada saat itulah Gurutta Harun mendekatinya. Melihat wajah muridnya yang penuh tanda tanya, Gurutta tahu bahwa ada pergolakan dalam hati Mukhayyam yang perlu diselesaikan.“Mukhayyam, ada yang ingin k

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 11 Kisah Sang Pahlawan Yang Hilang

    Malam di Desa Cindua semakin pekat. Langit gelap hanya diterangi bintang-bintang kecil yang berserakan seperti berlian di atas hamparan sutra hitam. Di sudut desa, rumah Gurutta Harun menjadi tempat berkumpul beberapa tokoh penting desa. Di dalam ruangan kecil dengan penerangan dari lampu minyak, Mukhayyam Hafiz duduk bersila di dekat Gurutta Harun. Ia baru saja kembali dari perjalanan singkatnya ke tepian hutan, membawa pertanyaan yang membebani pikirannya.“Apa yang sebenarnya terjadi dengan Desa Cindua di masa lalu?” tanya Mukhayyam, menatap Gurutta Harun dengan penuh harap.Gurutta Harun mengangguk pelan, wajah tuanya penuh kebijaksanaan. “Kau ingin tahu tentang legenda yang sering dibicarakan oleh orang-orang tua di desa ini, bukan? Tentang Sang Pahlawan Yang Hilang?”Mukhayyam mengangguk mantap. “Ya, Guru. Banyak yang mengatakan bahwa ada seseorang yang dulu melindungi desa ini, tetapi ia menghilang begitu saja. Apa yang sebenarnya terjadi?”

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 12 Langkah Awal Menuju Perubahan

    Mukhayyam Hafiz berdiri di halaman belakang rumahnya. Udara pagi Desa Cindua terasa segar, tetapi pikirannya berputar-putar seperti badai. Keputusan untuk mencari pedang Syamsir Al-Fikri bukanlah sesuatu yang ia anggap enteng. Itu adalah panggilan yang mendalam, seperti dorongan batin yang tidak dapat ia abaikan.Ibunya, Syarifah Azurah, muncul dari pintu belakang membawa nampan kecil berisi segelas teh hangat dan sepiring kue tradisional. Ia menatap putranya yang termenung dengan senyum lembut.“Mukhayyam, kau kelihatan gelisah pagi ini,” ucap Azurah sembari menaruh nampan di atas meja kecil di teras.Mukhayyam tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Aku hanya memikirkan sesuatu, Ibu.”Azurah menatap putranya dengan penuh kasih. “Apa yang sedang kau pikirkan, Nak? Kadang-kadang berbagi pikiran bisa meringankan beban.”Mukhayyam mendekati ibunya dan duduk di sebelahnya. Ia mengambil secangkir teh, membiarkan uap hangatnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 13 Menghadapi Rintangan Pertama

    Mukhayyam Hafiz berjalan menembus hutan lebat. Udara pagi yang dingin masih menyelimuti, tetapi keheningan alam mulai terusik oleh gemerisik langkah-langkah kecil di bawah kakinya. Hari itu, ia tahu perjalanan tak akan mudah. Jalan setapak yang ia pilih semakin menanjak dan licin karena embun pagi.Sementara ia melangkah hati-hati, terdengar suara samar di kejauhan. Awalnya, suara itu seperti dengungan, tetapi semakin ia mendekat, suara itu berubah menjadi jeritan halus bercampur gema. Ia berhenti sejenak, mencoba memahami arah suara tersebut.“Siapa di sana?” Mukhayyam memanggil, suaranya sedikit bergetar.Namun, jawaban yang ia dapatkan hanyalah keheningan. Meski begitu, nalurinya mengatakan bahwa ia harus lebih waspada. Pisau kecil pemberian Gurutta Harun dipegang erat di tangannya. Langkahnya semakin pelan, berusaha menghindari suara berisik dari ranting atau dedaunan.Ketika ia mendekati sumber suara, ia melihat sosok bayangan di antara pepoh

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 14 Dalam Bayang-Bayang Kejahatan

    Malam semakin gelap saat Mukhayyam dan Darma memasuki wilayah yang lebih dalam dari desa yang mulai terasa asing. Hawa dingin menggigit kulit mereka, dan meskipun angin berhembus lembut, ada keheningan yang begitu berat menyelimuti udara, membuat Mukhayyam merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengintai mereka. Sesuatu yang tidak terlihat, tetapi bisa dirasakan dengan jelas.Mukhayyam berjalan di depan, tangannya menggenggam erat pedang yang sudah mulai terasa berat di pinggangnya. Darma di belakangnya, dengan wajah cemas, terus mengamati lingkungan sekitar mereka. Desa yang mereka lewati semakin sunyi, dan rumah-rumah yang tadinya penuh dengan kehidupan kini tampak gelap gulita. Tak ada suara riuh, tak ada jejak kehidupan yang berarti. Hanya ada bayang-bayang panjang yang berputar-putar, seakan-akan mengamati gerak-gerik mereka."Mukhayyam," suara Darma yang perlahan memecah keheningan malam itu. "Aku merasa ada sesuatu yang salah dengan semua ini. Desa ini... bukan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 15 Pengajaran Beladiri dari Sang Guru

    Pagi itu, udara di Desa Cindua terasa lebih segar. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah yang basah, menambah kesegaran yang memberi semangat baru. Mukhayyam duduk di pinggir sungai kecil yang mengalir di dekat rumahnya, matanya terpejam, mencoba merasakan kedamaian yang telah lama hilang sejak perjalanan beratnya dimulai. Namun, meskipun alam di sekitarnya tampak tenang, pikirannya penuh dengan banyak pertanyaan dan kebingungannya tentang apa yang baru saja terjadi.Ia merasa bahwa pertarungan melawan pria misterius yang mengklaim dirinya sebagai penjaga kegelapan itu hanyalah permulaan dari sebuah perjalanan panjang yang lebih berat. Dengan tangan yang masih terasa gemetar akibat pertempuran malam sebelumnya, Mukhayyam merasa seolah-olah dunia ini menyimpan rahasia yang lebih besar dan lebih gelap yang harus ia ungkap. Dan untuk itu, ia harus siap, baik fisik maupun mental.Setelah pertempuran yang sulit itu, Darma membawanya pulang ke rumah, meskipun Mukhayyam t

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09

Bab terbaru

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 20 Penyatuan Fikiran dan Tubuh

    Langit pagi di tengah hutan itu tampak berwarna jingga, menyiratkan keindahan yang kontras dengan perjuangan berat yang sedang dialami Mukhayyam. Ia duduk bersila di atas batu datar, menghadap Juru Uji yang berdiri tegak di hadapannya. Tidak ada kata yang terucap sejak ujian sebelumnya, namun suasana itu tidak pernah terasa sunyi. Hutan berbicara melalui desiran angin dan kicauan burung, seolah ingin menjadi saksi atas perjalanan Mukhayyam menuju pemahaman yang lebih dalam.“Bagaimana rasanya sekarang, setelah melampaui ujian berat itu?” tanya Juru Uji, memecah keheningan.Mukhayyam menatap pria itu. “Aku merasa lebih ringan, tetapi pada saat yang sama, aku sadar bahwa aku masih membawa banyak hal yang belum bisa kulepaskan sepenuhnya.”“Itulah beban seorang pejuang,” ujar Juru Uji sambil melipat tangannya di belakang punggung. “Namun, ingatlah ini, Mukhayyam: tubuh yang kuat tidak akan ada artinya tanpa fikiran yang jernih. Ujian selanjutnya adalah tentan

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 19 Ujian Fisik Yang Pertama

    Mukhayyam berdiri di tepi sebuah sungai deras yang berkelok-kelok, sementara angin pagi meniupkan kabut tipis ke sekelilingnya. Di seberang sungai itu, hutan lebat tampak seperti benteng alami yang menghalangi jalan. Namun, yang menarik perhatian Mukhayyam adalah seorang lelaki berjubah abu-abu yang berdiri di tengah aliran sungai. Dengan tenang, lelaki itu memperhatikan Mukhayyam, seolah-olah sedang menunggu sesuatu. “Selamat datang, Mukhayyam Hafiz,” kata lelaki itu dengan suara berat namun jelas. “Aku adalah Juru Uji. Hari ini, kau akan menghadapi ujian fisik pertamamu. Bersiaplah.” Mukhayyam menatap lelaki itu dengan rasa waspada. “Apa ujian yang harus kulalui? Dan siapa yang memberimu hak untuk mengujiku?” tanyanya. Juru Uji tersenyum tipis. “Hak itu datang dari perjalanan yang kau pilih sendiri. Untuk melangkah lebih jauh, kau harus membuktikan bahwa kau mampu bertahan. Ujian ini bukan tentang siapa aku, tetapi tentang siapa dirimu.

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 18 Jalan yang Terbentang di Depan

    Pagi itu, udara dingin menyelimuti lereng Gunung Cindua. Kabut tipis menggantung di antara pepohonan, membuat suasana terlihat sunyi sekaligus misterius. Mukhayyam duduk di atas batu besar, menghadap jurang yang menghamparkan pemandangan lembah yang hijau. Pandangannya jauh menerawang, mencoba mencerna semua pelajaran dan percakapan yang ia lalui bersama Lian Huo.Di kejauhan, suara langkah kaki terdengar menghampiri. Lian Huo muncul dari balik kabut, membawa tongkat kayu tua yang menjadi ciri khasnya. Ia menghampiri Mukhayyam tanpa suara, hanya senyuman lembut di wajahnya. Setelah duduk di samping muridnya, ia membuka percakapan.“Kau terlihat gelisah lagi,” ujar Lian Huo.Mukhayyam tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang. “Ada begitu banyak hal yang harus kupikirkan, Guru. Aku merasa seperti berdiri di tengah persimpangan yang tak ada akhirnya.”“Persimpangan itu adalah ujianmu,” jawab Lian Huo sambil menatap lembah di bawah. “Setiap langka

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 17 Perasaan Mukhayyam Yang Tertahan

    Pagi itu terasa sunyi. Udara pagi yang segar mengalir melalui celah-celah pepohonan di sekitar desa. Mukhayyam berjalan menyusuri jalan setapak yang mengarah ke lembah, pikiran dan perasaannya dipenuhi dengan pertanyaan yang sulit dijawab. Sejak percakapan panjangnya dengan Lian Huo malam itu, ada perasaan yang semakin mengganggu batinnya—perasaan yang tidak mudah untuk ia jelaskan.Sebenarnya, Mukhayyam merasa lega setelah menerima kenyataan tentang kesendirian dan pengorbanan. Namun, ada bagian dalam dirinya yang tetap merasa seolah ada sesuatu yang tertahan, seolah perasaan yang ingin ia ungkapkan selalu terhalang oleh suatu kekuatan yang tak tampak. Setiap kali ia mencoba untuk fokus pada tujuannya, ia merasa ada suara dalam dirinya yang bertanya, apakah pengorbanan ini benar-benar sejalan dengan apa yang ia inginkan dalam hidup?Sambil berjalan, ia mengenang kembali perjalanan panjangnya bersama Lian Huo. Segala ajaran yang diterima, terutama tentang kekuatan

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 16 Pengorbanan di Tengah Kesendirian

    Keheningan malam menyelimuti desa, dan hanya terdengar suara angin yang berdesir melalui pepohonan. Mukhayyam duduk sendirian di depan rumah kecil yang menjadi tempat pelatihannya. Di bawah cahaya bulan yang temaram, wajahnya tampak penuh pemikiran. Walaupun telah banyak yang ia pelajari dari Lian Huo, banyak pertanyaan yang masih bergelayut di dalam benaknya. Tidak ada lagi latihan fisik untuk hari itu. Malam ini, ia hanya merenung.Lian Huo duduk di sampingnya, dengan tenang mengamati pemuda itu. Selama ini, mereka telah berbicara banyak tentang kekuatan fisik dan mental, tentang cara bertarung dan cara hidup, namun malam ini berbeda. Sesuatu dalam diri Mukhayyam tampaknya telah berubah. Ia merasa ada ketegangan dalam diri pemuda itu, dan Lian Huo bisa merasakannya dengan jelas.“Pemuda, ada yang mengganggumu,” ujar Lian Huo pelan, suaranya dalam dan penuh kebijaksanaan.Mukhayyam terkejut. Ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan perasaannya. Selama in

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 15 Pengajaran Beladiri dari Sang Guru

    Pagi itu, udara di Desa Cindua terasa lebih segar. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah yang basah, menambah kesegaran yang memberi semangat baru. Mukhayyam duduk di pinggir sungai kecil yang mengalir di dekat rumahnya, matanya terpejam, mencoba merasakan kedamaian yang telah lama hilang sejak perjalanan beratnya dimulai. Namun, meskipun alam di sekitarnya tampak tenang, pikirannya penuh dengan banyak pertanyaan dan kebingungannya tentang apa yang baru saja terjadi.Ia merasa bahwa pertarungan melawan pria misterius yang mengklaim dirinya sebagai penjaga kegelapan itu hanyalah permulaan dari sebuah perjalanan panjang yang lebih berat. Dengan tangan yang masih terasa gemetar akibat pertempuran malam sebelumnya, Mukhayyam merasa seolah-olah dunia ini menyimpan rahasia yang lebih besar dan lebih gelap yang harus ia ungkap. Dan untuk itu, ia harus siap, baik fisik maupun mental.Setelah pertempuran yang sulit itu, Darma membawanya pulang ke rumah, meskipun Mukhayyam t

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 14 Dalam Bayang-Bayang Kejahatan

    Malam semakin gelap saat Mukhayyam dan Darma memasuki wilayah yang lebih dalam dari desa yang mulai terasa asing. Hawa dingin menggigit kulit mereka, dan meskipun angin berhembus lembut, ada keheningan yang begitu berat menyelimuti udara, membuat Mukhayyam merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengintai mereka. Sesuatu yang tidak terlihat, tetapi bisa dirasakan dengan jelas.Mukhayyam berjalan di depan, tangannya menggenggam erat pedang yang sudah mulai terasa berat di pinggangnya. Darma di belakangnya, dengan wajah cemas, terus mengamati lingkungan sekitar mereka. Desa yang mereka lewati semakin sunyi, dan rumah-rumah yang tadinya penuh dengan kehidupan kini tampak gelap gulita. Tak ada suara riuh, tak ada jejak kehidupan yang berarti. Hanya ada bayang-bayang panjang yang berputar-putar, seakan-akan mengamati gerak-gerik mereka."Mukhayyam," suara Darma yang perlahan memecah keheningan malam itu. "Aku merasa ada sesuatu yang salah dengan semua ini. Desa ini... bukan

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 13 Menghadapi Rintangan Pertama

    Mukhayyam Hafiz berjalan menembus hutan lebat. Udara pagi yang dingin masih menyelimuti, tetapi keheningan alam mulai terusik oleh gemerisik langkah-langkah kecil di bawah kakinya. Hari itu, ia tahu perjalanan tak akan mudah. Jalan setapak yang ia pilih semakin menanjak dan licin karena embun pagi.Sementara ia melangkah hati-hati, terdengar suara samar di kejauhan. Awalnya, suara itu seperti dengungan, tetapi semakin ia mendekat, suara itu berubah menjadi jeritan halus bercampur gema. Ia berhenti sejenak, mencoba memahami arah suara tersebut.“Siapa di sana?” Mukhayyam memanggil, suaranya sedikit bergetar.Namun, jawaban yang ia dapatkan hanyalah keheningan. Meski begitu, nalurinya mengatakan bahwa ia harus lebih waspada. Pisau kecil pemberian Gurutta Harun dipegang erat di tangannya. Langkahnya semakin pelan, berusaha menghindari suara berisik dari ranting atau dedaunan.Ketika ia mendekati sumber suara, ia melihat sosok bayangan di antara pepoh

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 12 Langkah Awal Menuju Perubahan

    Mukhayyam Hafiz berdiri di halaman belakang rumahnya. Udara pagi Desa Cindua terasa segar, tetapi pikirannya berputar-putar seperti badai. Keputusan untuk mencari pedang Syamsir Al-Fikri bukanlah sesuatu yang ia anggap enteng. Itu adalah panggilan yang mendalam, seperti dorongan batin yang tidak dapat ia abaikan.Ibunya, Syarifah Azurah, muncul dari pintu belakang membawa nampan kecil berisi segelas teh hangat dan sepiring kue tradisional. Ia menatap putranya yang termenung dengan senyum lembut.“Mukhayyam, kau kelihatan gelisah pagi ini,” ucap Azurah sembari menaruh nampan di atas meja kecil di teras.Mukhayyam tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Aku hanya memikirkan sesuatu, Ibu.”Azurah menatap putranya dengan penuh kasih. “Apa yang sedang kau pikirkan, Nak? Kadang-kadang berbagi pikiran bisa meringankan beban.”Mukhayyam mendekati ibunya dan duduk di sebelahnya. Ia mengambil secangkir teh, membiarkan uap hangatnya

DMCA.com Protection Status