Langit Desa Cindua berwarna abu-abu cerah pagi itu. Hembusan angin membawa aroma daun basah, menyegarkan udara desa yang tenang. Mukhayyam Hafiz melangkah dengan langkah mantap, membawa peta kuno yang dilipat rapi di saku bajunya. Ia berjalan menuju rumah Pak Bilal, pria tua yang kini menjadi tempatnya bertanya tentang misteri kitab dan peta yang ia temukan.
Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda. Pak Bilal berdiri di depan rumahnya, seperti menunggu kedatangan Mukhayyam. Wajahnya serius, tetapi ada percikan kegembiraan di matanya. “Mukhayyam,” panggilnya, suaranya dalam dan penuh wibawa. “Hari ini adalah awal dari perjalanan yang sebenarnya. Sudah siap?” Mukhayyam mengangguk. “Aku siap, Pak Bilal. Apa yang harus aku lakukan?” Pak Bilal memiringkan kepalanya sedikit, matanya menyipit. “Kau sudah mempelajari dasar-dasarnya—kesabaran dan cara membaca peta itu dengan pikiran. Tapi perjalanan ini bukan tentang kau sendirian. Kau membutuhkan pembimbing, seseorang yang akan mengajarkanmu ilmu yang lebih mendalam. Aku hanya gerbang menuju jalanmu. Guru pertamamu yang sejati sedang menunggumu.” Mukhayyam terkejut. “Guru pertama? Aku pikir… Anda yang akan menjadi pembimbingku, Pak Bilal.” Pak Bilal tertawa kecil, suaranya serak tetapi hangat. “Aku terlalu tua untuk tugas seperti itu. Guru pertamamu adalah seseorang yang sangat menguasai seni beladiri. Ia tidak hanya akan mengajarkan cara bertarung, tetapi juga cara berpikir, cara mengendalikan dirimu.” Pak Bilal melangkah masuk ke dalam rumahnya dan kembali dengan sebuah tongkat kayu berukir yang terlihat tua, tetapi kokoh. Tongkat itu ia berikan kepada Mukhayyam. “Bawalah ini sebagai tanda bahwa kau telah melewati ujianku,” katanya. “Dan gunakan ini sebagai bukti bahwa kau adalah murid yang layak diterima oleh guru pertamamu.” --- Mukhayyam mengikuti arahan Pak Bilal, berjalan kaki menuju lembah di sisi barat Desa Cindua. Perjalanan itu tidak mudah—jalan setapak yang ia lalui licin karena hujan semalam, dan pepohonan yang rimbun menutupi pandangan ke depan. Namun, di kejauhan, ia mulai mendengar suara aliran sungai, pertanda bahwa ia mendekati tempat yang dimaksud oleh Pak Bilal. Setelah beberapa jam, ia sampai di sebuah gubuk sederhana di tepi sungai. Seorang pria bertubuh tinggi dan berotot berdiri di depan gubuk itu, mengenakan pakaian sederhana dan membawa pedang kayu di tangannya. Wajahnya tegas, dengan mata yang tajam seperti elang. “Kau siapa?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi. Mukhayyam membungkuk hormat, seperti yang diajarkan Pak Bilal. “Namaku Mukhayyam Hafiz. Pak Bilal mengirimku ke sini. Katanya Anda adalah guru pertama yang akan membimbingku.” Pria itu mengangkat alisnya, terlihat tidak terkesan. “Bukti?” Mukhayyam mengeluarkan tongkat kayu yang diberikan oleh Pak Bilal dan menyerahkannya. Pria itu memeriksanya dengan teliti sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Tongkat ini adalah tanda bahwa Pak Bilal mempercayaimu. Tapi aku tidak,” katanya dingin. “Jika kau ingin menjadi muridku, kau harus membuktikan bahwa kau layak.” Mukhayyam mengerutkan dahi. “Bagaimana caranya, Tuan?” Pria itu menunjuk sungai yang mengalir deras di sebelah gubuknya. “Di dasar sungai itu ada batu kecil berwarna hitam dengan ukiran unik. Kau harus menemukannya dan membawanya kepadaku sebelum matahari terbenam. Jika kau gagal, kau tidak layak menjadi muridku.” --- Mukhayyam berdiri di tepi sungai, memandangi arus deras yang penuh bebatuan. Tugas ini tampak mustahil, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Ia menanggalkan sandalnya, mengencangkan ikat pinggangnya, dan melangkah masuk ke dalam air. “Arusnya kuat sekali,” gumamnya sambil berusaha menjaga keseimbangan. Setiap langkah terasa seperti pertarungan melawan kekuatan alam. Air yang dingin menusuk kulitnya, dan bebatuan licin di bawah membuat setiap langkah menjadi ujian. Namun, Mukhayyam tidak menyerah. Ia tahu bahwa ini adalah bagian dari ujiannya, bagian dari proses untuk membuktikan dirinya. --- Di tepi sungai, pria itu—yang akhirnya memperkenalkan dirinya sebagai Gurutta Harun—memperhatikan dari kejauhan. Ia terlihat tenang, tetapi matanya mengawasi setiap gerakan Mukhayyam dengan cermat. “Anak muda ini keras kepala,” gumam Gurutta Harun pada dirinya sendiri. “Tapi apakah ia memiliki tekad yang cukup untuk menghadapi apa yang ada di depannya?” --- Setelah berjam-jam mencari, Mukhayyam akhirnya melihat sesuatu yang berbeda di dasar sungai—sebuah batu hitam kecil dengan ukiran aneh, seperti simbol kuno. Ia menarik napas panjang dan menyelam untuk meraihnya. Saat tangannya menggenggam batu itu, ia merasakan seolah-olah ada energi yang mengalir melalui tubuhnya. Dengan susah payah, ia kembali ke permukaan dan menyeret dirinya ke tepi sungai. Tubuhnya gemetar karena kelelahan, tetapi ia merasa puas. “Ini, Tuan,” katanya sambil menyerahkan batu itu kepada Gurutta Harun. Gurutta Harun mengambil batu itu dan memeriksanya dengan teliti. Kemudian, untuk pertama kalinya, ia tersenyum lebar. “Kau berhasil, Mukhayyam. Kau telah membuktikan bahwa kau memiliki tekad dan keberanian. Mulai hari ini, kau adalah muridku.” --- Malam itu, Mukhayyam duduk bersama Gurutta Harun di depan api unggun kecil. Mereka berbicara panjang lebar tentang banyak hal—tentang kehidupan, tentang tujuan, dan tentang apa yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin. “Mukhayyam,” kata Gurutta Harun sambil menatap nyala api. “Beladiri bukan hanya tentang kekuatan fisik. Ia juga tentang kekuatan hati dan pikiran. Seorang pemimpin sejati tidak hanya harus kuat, tetapi juga bijaksana. Kau harus belajar untuk memahami orang-orang di sekitarmu, untuk melihat apa yang mereka butuhkan, bukan hanya apa yang mereka inginkan.” Mukhayyam mendengarkan dengan saksama, merasa bahwa setiap kata Gurutta Harun adalah pelajaran berharga. “Dan satu hal lagi,” lanjut Gurutta Harun. “Kau harus belajar mengendalikan dirimu. Emosi adalah senjata yang paling berbahaya—baik untuk dirimu sendiri maupun untuk orang lain. Jika kau tidak bisa mengendalikannya, kau tidak akan pernah menjadi pemimpin yang sejati.” Mukhayyam mengangguk, menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang belajar bertarung, tetapi juga tentang menjadi seseorang yang lebih baik. Malam itu, ia tidur dengan hati yang penuh harapan, siap untuk menghadapi tantangan-tantangan baru yang akan datang di bawah bimbingan Gurutta Harun. Perjalanan panjangnya baru saja dimulai, tetapi ia tahu bahwa ia tidak lagi sendirian. Ia memiliki seorang guru yang percaya padanya, dan ia bertekad untuk tidak mengecewakannya. Keesokan Harinya Pagi itu, sebelum fajar menyingsing, Gurutta Harun sudah berdiri di depan gubuknya, menunggu Mukhayyam yang masih menggosok matanya karena kantuk. “Cepat!” seru Gurutta Harun. “Pemimpin sejati tidak tidur terlalu lama. Dunia ini tidak akan menunggumu.” Mukhayyam segera berdiri, meski tubuhnya masih terasa lelah setelah hari sebelumnya. Ia mengikuti Gurutta Harun menuju sebuah lapangan kecil yang dikelilingi oleh pepohonan tinggi. Udara pagi yang dingin membuatnya menggigil, tetapi ia mencoba mengabaikannya. “Latihan pertamamu adalah belajar mengendalikan tubuhmu,” kata Gurutta Harun. “Berdirilah di atas batu itu.” Gurutta Harun menunjuk sebuah batu kecil yang licin di tengah sungai. Batu itu hampir tidak cukup besar untuk kedua kaki Mukhayyam. “Berdiri di situ? Untuk apa?” tanya Mukhayyam bingung. “Pertanyaanmu terlalu banyak,” jawab Gurutta Harun dengan nada tegas. “Lakukan saja.” Mukhayyam mengikuti perintah gurunya dan melangkah ke atas batu itu. Ia segera menyadari betapa sulitnya menjaga keseimbangan di atas batu licin itu, apalagi dengan aliran air yang cukup deras di sekitarnya. “Fokus!” seru Gurutta Harun dari tepi sungai. “Kau harus memusatkan pikiranmu. Jangan biarkan dirimu terganggu oleh air, angin, atau apapun di sekitarmu.” Selama beberapa menit pertama, Mukhayyam hampir jatuh beberapa kali. Tetapi perlahan-lahan, ia mulai menemukan ritmenya. Ia mengatur napasnya, mencoba menenangkan pikirannya, dan fokus pada keseimbangannya. Namun, Gurutta Harun tidak berhenti di situ. Ia mulai melemparkan kerikil kecil ke arah Mukhayyam. “Latihan ini akan membantumu belajar untuk tetap tenang meskipun ada gangguan,” kata Gurutta Harun sambil melemparkan kerikil berikutnya. Mukhayyam mencoba menghindar, tetapi setiap gerakan tambahan membuatnya kehilangan keseimbangan. Ia hampir jatuh, tetapi ia menahan dirinya dan terus berusaha. --- Percakapan Panjang di Malam Hari Malam itu, setelah hari yang penuh dengan latihan fisik dan mental, Mukhayyam duduk di depan api unggun bersama Gurutta Harun. Keduanya terlihat lelah, tetapi percakapan mereka tidak pernah berhenti. “Gurutta,” tanya Mukhayyam perlahan, “mengapa Anda memutuskan untuk mengajariku? Apa yang membuat Anda percaya bahwa saya layak menerima ilmu ini?” Gurutta Harun menatap nyala api dengan mata yang penuh makna. “Pak Bilal adalah sahabatku. Ia tidak pernah merekomendasikan seseorang tanpa alasan. Tapi alasanku sebenarnya lebih dari itu. Aku melihat sesuatu dalam dirimu, Mukhayyam. Sebuah potensi yang mungkin bahkan kau sendiri belum menyadarinya.” “Potensi?” Mukhayyam mengernyitkan dahi. “Apa maksud Anda?” “Setiap pemimpin yang hebat dimulai dengan kerendahan hati,” jawab Gurutta Harun. “Dan aku melihat itu dalam dirimu. Kau tidak sombong, kau mau belajar, dan kau punya tekad untuk melindungi orang-orang yang kau cintai. Itu adalah kualitas yang jarang ditemukan.” Mukhayyam terdiam sejenak, merenungkan kata-kata gurunya. Ia merasa bangga, tetapi juga merasa ada beban tanggung jawab yang semakin besar di pundaknya. “Namun, jangan salah paham,” tambah Gurutta Harun. “Potensi saja tidak cukup. Kau harus bekerja keras, menghadapi rasa sakit, dan mungkin kehilangan banyak hal dalam perjalanan ini. Apakah kau siap untuk itu?” Mukhayyam mengangguk tegas. “Saya siap, Gurutta. Apapun yang terjadi, saya tidak akan mundur.” Gurutta Harun tersenyum kecil, lalu menepuk bahu Mukhayyam. “Bagus. Besok kita akan mulai dengan pelajaran yang lebih berat.” --- Pelajaran yang Tak Terduga Keesokan harinya, Gurutta Harun membawa Mukhayyam ke sebuah gua di kaki Gunung Cindua. Gua itu gelap dan dingin, tetapi di dalamnya terdapat ruang terbuka yang cukup luas. Di tengah ruangan, terdapat sebuah kolam kecil dengan air yang jernih. “Di kolam itu,” kata Gurutta Harun, “terdapat sesuatu yang akan membantumu memahami inti dari kekuatan sejati.” “Apa itu?” tanya Mukhayyam penasaran. “Kau harus menemukannya sendiri,” jawab Gurutta Harun. “Tapi hati-hati, karena apa yang kau cari mungkin tidak seperti yang kau harapkan.” Mukhayyam melangkah mendekati kolam itu, merasa sedikit gugup. Airnya begitu tenang sehingga ia bisa melihat bayangannya sendiri di permukaan. Ketika ia mencelupkan tangannya, ia merasakan sesuatu yang aneh—seperti ada energi yang mengalir melalui tubuhnya. “Mukhayyam,” panggil Gurutta Harun, suaranya bergema di dalam gua. “Apa yang kau lihat di permukaan air itu?” “Saya melihat bayangan saya sendiri,” jawab Mukhayyam. “Itulah musuh terbesar yang akan kau hadapi sepanjang perjalananmu,” kata Gurutta Harun dengan nada serius. “Dirimu sendiri. Ketakutanmu, egomu, keraguanmu—semuanya ada di sana. Jika kau tidak bisa mengalahkan bayangan itu, kau tidak akan pernah bisa mengalahkan musuhmu yang sebenarnya.” Kata-kata itu menghantam Mukhayyam seperti petir. Ia menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang menguasai kekuatan fisik, tetapi juga tentang menghadapi kelemahan-kelemahan dalam dirinya. --- Akhir Hari yang Melelahkan Setelah berjam-jam berlatih di gua itu, Mukhayyam kembali ke gubuk Gurutta Harun dengan tubuh yang terasa seperti habis dihajar badai. Namun, hatinya penuh dengan semangat baru. Ia merasa bahwa ia mulai memahami apa yang dimaksud dengan menjadi seorang pemimpin sejati. Di depan api unggun, Gurutta Harun memberikan sebuah gulungan kertas kepada Mukhayyam. “Ini adalah peta yang akan membimbingmu ke langkah berikutnya,” katanya. “Namun, perjalanan itu tidak akan mudah. Kau harus mempersiapkan dirimu lebih baik daripada sebelumnya.” Mukhayyam membuka gulungan itu dan melihat sebuah simbol yang tidak asing—simbol yang sama dengan yang ada di batu hitam yang ia temukan di sungai. “Apakah ini terkait dengan kitab kuno yang diberikan Pak Bilal?” tanya Mukhayyam. Gurutta Harun tersenyum tipis. “Itu adalah bagian dari teka-teki besar, Mukhayyam. Tapi kau akan memahami semuanya pada waktunya. Untuk saat ini, fokuslah pada pelatihanmu.” Mukhayyam mengangguk. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tetapi ia merasa bahwa ia berada di jalan yang benar. Bersama Gurutta Harun, ia siap menghadapi apa pun yang menanti di depan.Fajar belum sepenuhnya menyingsing, tetapi Gurutta Harun sudah berdiri di tengah lapangan kecil di tepi hutan. Ia menunggu dengan sabar sambil menyaksikan burung-burung berkicau di kejauhan. Di hadapannya, Mukhayyam Hafiz berusaha keras menyelesaikan perintah gurunya: berlari mengelilingi lapangan sebanyak lima puluh putaran.“Cepat, Mukhayyam!” seru Gurutta Harun dengan suara lantang. “Kau pikir musuhmu akan menunggumu istirahat? Jangan biarkan kelemahanmu menguasaimu!”Mukhayyam mengatur napasnya yang terengah-engah. Tubuhnya sudah mulai terasa lelah, tetapi tekad di dalam hatinya membuatnya terus berlari. Kakinya hampir menyerah, tetapi ia tahu bahwa ia tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan gurunya.“Gurutta,” katanya dengan nada terbata-bata, “bukankah kita bisa memulai dengan sesuatu yang lebih ringan? Mungkin latihan konsentrasi seperti kemarin?”Gurutta Harun tertawa kecil, tetapi ada nada tegas dalam tawanya. “Kau mengingi
Pagi itu, suasana di Desa Cindua terasa berbeda. Udara sejuk bercampur dengan aroma tanah yang baru saja diguyur hujan semalam, memberikan kedamaian yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Namun, hati Mukhayyam Hafiz tidak sepenuhnya tenang. Latihan-latihan berat yang diberikan Gurutta Harun mulai membuka matanya akan kerasnya kehidupan, tetapi ia merasa bahwa masih ada sesuatu yang hilang—jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar dalam benaknya. Gurutta Harun tampaknya memahami keresahan itu. Setelah menyelesaikan sarapan sederhana mereka, ia memandang Mukhayyam dengan tatapan penuh arti. “Mukhayyam,” katanya perlahan. “Hari ini, aku ingin kau bertemu dengan seseorang.” Mukhayyam menghentikan kunyahannya dan menatap gurunya dengan rasa ingin tahu. “Siapa, Gurutta?” “Seorang lelaki tua yang tinggal di pinggir hutan,” jawab Gurutta Harun. “Orang-orang di desa sering memanggilnya dengan sebutan Si Tua
Mukhayyam Hafiz duduk di beranda pondok Gurutta Harun. Malam itu angin sepoi-sepoi membawa aroma khas dari hutan di sekitarnya. Cahaya bulan menerangi desa Cindua dengan lembut, seolah menyoroti pemikiran yang berat di benak pemuda itu. Setelah bertemu Si Tua Bijak dan menjalani latihan yang melelahkan, kini ia merasa semakin dekat dengan pertanyaan besar yang terus menghantuinya: apa sebenarnya kekuasaan itu?Gurutta Harun keluar membawa dua cangkir teh panas. Ia meletakkan salah satunya di depan Mukhayyam dan duduk di kursi kayu di sampingnya. Gurutta tahu muridnya sedang bergulat dengan sesuatu yang penting.“Pikiranmu terlihat berat malam ini, Mukhayyam,” kata Gurutta, membuka percakapan.Mukhayyam menghela napas panjang. “Gurutta, saya ingin bertanya... apa sebenarnya kekuasaan itu?”Gurutta tersenyum tipis, seolah sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. Ia mengambil cangkir tehnya dan menyesap perlahan sebelum menjawab.“Kekuasaan
Pagi itu, udara di Desa Cindua terasa lebih segar dari biasanya. Embun pagi menempel di daun-daun hijau, dan suara burung berkicau merdu di antara pepohonan yang mulai tersentuh sinar matahari. Mukhayyam Hafiz duduk termenung di tepi sungai yang mengalir tenang, matanya mengikuti aliran air yang tak henti-hentinya bergerak. Perasaannya, sama seperti air itu—terus mengalir, selalu mencari jalan, namun belum menemukan tempat yang tepat.Ia merasa ada sesuatu yang tidak terungkapkan dalam hidupnya. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar belajar bela diri atau mendapatkan kekuasaan. Keinginan untuk menjadi pemimpin yang bijaksana dan bertanggung jawab semakin menguat dalam dirinya, tetapi ia merasa masih ada bagian dari dirinya yang harus dipahami terlebih dahulu.Pada saat itulah Gurutta Harun mendekatinya. Melihat wajah muridnya yang penuh tanda tanya, Gurutta tahu bahwa ada pergolakan dalam hati Mukhayyam yang perlu diselesaikan.“Mukhayyam, ada yang ingin k
Malam di Desa Cindua semakin pekat. Langit gelap hanya diterangi bintang-bintang kecil yang berserakan seperti berlian di atas hamparan sutra hitam. Di sudut desa, rumah Gurutta Harun menjadi tempat berkumpul beberapa tokoh penting desa. Di dalam ruangan kecil dengan penerangan dari lampu minyak, Mukhayyam Hafiz duduk bersila di dekat Gurutta Harun. Ia baru saja kembali dari perjalanan singkatnya ke tepian hutan, membawa pertanyaan yang membebani pikirannya.“Apa yang sebenarnya terjadi dengan Desa Cindua di masa lalu?” tanya Mukhayyam, menatap Gurutta Harun dengan penuh harap.Gurutta Harun mengangguk pelan, wajah tuanya penuh kebijaksanaan. “Kau ingin tahu tentang legenda yang sering dibicarakan oleh orang-orang tua di desa ini, bukan? Tentang Sang Pahlawan Yang Hilang?”Mukhayyam mengangguk mantap. “Ya, Guru. Banyak yang mengatakan bahwa ada seseorang yang dulu melindungi desa ini, tetapi ia menghilang begitu saja. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Mukhayyam Hafiz berdiri di halaman belakang rumahnya. Udara pagi Desa Cindua terasa segar, tetapi pikirannya berputar-putar seperti badai. Keputusan untuk mencari pedang Syamsir Al-Fikri bukanlah sesuatu yang ia anggap enteng. Itu adalah panggilan yang mendalam, seperti dorongan batin yang tidak dapat ia abaikan.Ibunya, Syarifah Azurah, muncul dari pintu belakang membawa nampan kecil berisi segelas teh hangat dan sepiring kue tradisional. Ia menatap putranya yang termenung dengan senyum lembut.“Mukhayyam, kau kelihatan gelisah pagi ini,” ucap Azurah sembari menaruh nampan di atas meja kecil di teras.Mukhayyam tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Aku hanya memikirkan sesuatu, Ibu.”Azurah menatap putranya dengan penuh kasih. “Apa yang sedang kau pikirkan, Nak? Kadang-kadang berbagi pikiran bisa meringankan beban.”Mukhayyam mendekati ibunya dan duduk di sebelahnya. Ia mengambil secangkir teh, membiarkan uap hangatnya
Mukhayyam Hafiz berjalan menembus hutan lebat. Udara pagi yang dingin masih menyelimuti, tetapi keheningan alam mulai terusik oleh gemerisik langkah-langkah kecil di bawah kakinya. Hari itu, ia tahu perjalanan tak akan mudah. Jalan setapak yang ia pilih semakin menanjak dan licin karena embun pagi.Sementara ia melangkah hati-hati, terdengar suara samar di kejauhan. Awalnya, suara itu seperti dengungan, tetapi semakin ia mendekat, suara itu berubah menjadi jeritan halus bercampur gema. Ia berhenti sejenak, mencoba memahami arah suara tersebut.“Siapa di sana?” Mukhayyam memanggil, suaranya sedikit bergetar.Namun, jawaban yang ia dapatkan hanyalah keheningan. Meski begitu, nalurinya mengatakan bahwa ia harus lebih waspada. Pisau kecil pemberian Gurutta Harun dipegang erat di tangannya. Langkahnya semakin pelan, berusaha menghindari suara berisik dari ranting atau dedaunan.Ketika ia mendekati sumber suara, ia melihat sosok bayangan di antara pepoh
Malam semakin gelap saat Mukhayyam dan Darma memasuki wilayah yang lebih dalam dari desa yang mulai terasa asing. Hawa dingin menggigit kulit mereka, dan meskipun angin berhembus lembut, ada keheningan yang begitu berat menyelimuti udara, membuat Mukhayyam merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengintai mereka. Sesuatu yang tidak terlihat, tetapi bisa dirasakan dengan jelas.Mukhayyam berjalan di depan, tangannya menggenggam erat pedang yang sudah mulai terasa berat di pinggangnya. Darma di belakangnya, dengan wajah cemas, terus mengamati lingkungan sekitar mereka. Desa yang mereka lewati semakin sunyi, dan rumah-rumah yang tadinya penuh dengan kehidupan kini tampak gelap gulita. Tak ada suara riuh, tak ada jejak kehidupan yang berarti. Hanya ada bayang-bayang panjang yang berputar-putar, seakan-akan mengamati gerak-gerik mereka."Mukhayyam," suara Darma yang perlahan memecah keheningan malam itu. "Aku merasa ada sesuatu yang salah dengan semua ini. Desa ini... bukan
Pagi itu, cahaya matahari yang menembus dedaunan di pinggir hutan menyambut langkah Mukhayyam dan Raniah. Kharun telah mengantar mereka hingga ke tepi hutan dan memberikan arahan terakhir. Namun, jalan yang mereka lalui sekarang terasa berbeda—lebih asing dan penuh misteri. Bahkan udara di sini seakan mengandung energi yang tidak biasa.“Raniah,” Mukhayyam berkata pelan, sambil sesekali memperhatikan sekitar, “apa kau merasakan sesuatu yang aneh?”Raniah mengangguk, matanya terus waspada. “Aku merasa seperti diawasi. Bukan oleh manusia... tapi sesuatu yang lain.”Perjalanan mereka membawa mereka ke sebuah lembah yang tampak sunyi. Di sana, bebatuan besar bertumpuk seperti sisa-sisa bangunan kuno. Di tengah-tengah lembah itu, sebuah pohon raksasa berdiri megah, dengan akar-akarnya yang mencengkeram tanah seperti tangan raksasa.“Apa tempat ini?” Raniah bergumam.Mukhayyam mendekati pohon itu perlahan. Ada sesuatu yang memancar dari pohon i
Langit pagi merekah dengan semburat warna oranye ketika Mukhayyam berdiri di tepi bukit kecil yang membatasi Desa Cindua dengan dunia luar. Raniah berdiri di sisinya, memandang ke arah yang sama, di mana bentangan luas hutan, sungai yang mengular, dan pegunungan di kejauhan membentang sejauh mata memandang. Itu adalah pertama kalinya Mukhayyam melihat dunia luar begitu nyata—begitu besar, begitu penuh misteri."Jadi, inilah dunia yang selama ini berada di luar batas Desa Cindua," gumam Mukhayyam, suaranya dipenuhi rasa kagum dan keingintahuan yang tak terbendung."Ya," jawab Raniah pelan. "Ini hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Setiap langkah yang kita ambil menjauh dari Cindua, semakin banyak hal yang akan kita temui. Tantangan baru, orang-orang baru, dan, tentu saja, pelajaran baru."Mukhayyam menoleh ke arah Raniah. "Apakah kau pernah merasa takut, Raniah? Kau sudah lebih banyak berkelana dibanding aku. Apakah dunia luar ini pernah membua
Mukhayyam dan Raniah duduk di bawah pohon besar, di tepi sungai yang tenang. Suara gemericik air mengalir lembut, menciptakan suasana yang sejuk dan menenangkan. Namun, di dalam hati Mukhayyam, perasaan gelisah masih terus mengganggu. Perjalanan mereka telah membawa mereka ke titik ini—ke sebuah titik di mana mereka mulai memahami bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang hanya terkait dengan kekuatan fisik atau kemampuan bertarung. Itu lebih dari sekadar hal yang terlihat di luar. Kekuasaan sejati, Mukhayyam menyadari, adalah sesuatu yang lebih dalam dan lebih kompleks.“Apa yang sebenarnya kita cari, Raniah?” tanya Mukhayyam, suaranya penuh kebingungan. “Aku merasa kita terus berjuang, tetapi aku tidak bisa merasakan arti dari semua ini. Apa tujuan kita sebenarnya? Apa arti dari semua kekuasaan yang kita peroleh?”Raniah menatapnya dengan tatapan serius. Dalam perjalanan mereka, ia telah melihat perubahan besar dalam diri Mukhayyam—perubahan yang membuatnya menjadi l
Desa itu, yang sebelumnya terasa sunyi, kini tampak lebih misterius. Mukhayyam dan Raniah melangkah pelan di belakang pria tua yang sebelumnya mereka temui. Suara langkah mereka serasa tenggelam dalam keheningan hutan, seolah dunia di sekitar mereka berusaha menyembunyikan keberadaan mereka. Jalan setapak yang mereka ikuti semakin sempit, dikelilingi oleh pepohonan lebat yang tampak seakan menutupi matahari. Hanya cahaya remang-remang yang berhasil menembus celah-celah daun, menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalan.Mukhayyam merasakan ketegangan yang semakin menebal. Ada perasaan tak nyaman yang merayapi tubuhnya, seolah ada sesuatu yang mengamati mereka dari bayang-bayang. Perasaan itu lebih kuat daripada sebelumnya. Ia menatap Raniah, yang tampak tidak begitu terganggu meskipun suasana semakin mencekam.“Kita tidak bisa hanya berjalan begitu saja,” Mukhayyam berbisik pelan. “Ada sesuatu di sini, Raniah. Aku bisa merasakannya. Kita sedang diawasi.”
Mukhayyam berdiri di tengah kegelapan, tubuhnya terasa beku oleh apa yang baru saja ia alami. Dia telah menerima bagian dari dirinya yang tersembunyi, kegelapan yang telah lama ia hindari. Kini, setelah menerima kenyataan itu, ia merasa ada sebuah kekuatan yang berbeda mengalir dalam dirinya, seolah beban yang membebani jiwanya selama ini mulai terangkat.Di depannya, sosok yang menyerupai dirinya tersenyum tipis, namun tatapan itu penuh dengan kedalaman. “Kau telah melangkah lebih jauh dari yang bisa dibayangkan, Mukhayyam,” kata sosok itu dengan suara yang memantul di dalam kegelapan. “Kini, dunia luar menunggumu. Namun, apakah kau siap dengan apa yang akan datang?”Mukhayyam menatap sosok itu dengan tatapan yang penuh pertanyaan. “Apa yang akan datang? Apa yang aku hadapi setelah ini?”Sosok itu tertawa pelan, seolah tahu bahwa Mukhayyam sedang berjuang untuk memahami makna dari pertemuan ini. “Kekuatan itu ada di dalam dirimu, Mukhayyam. Tetapi dunia l
Mukhayyam dan Raniah berdiri di depan altar besar di tengah kuil. Mahkota kuno yang bersinar keemasan di atasnya tampak begitu agung, seolah menjadi pusat dari segala kekuatan yang tersembunyi di tempat itu. Namun, suasana di dalam ruangan terasa berat, seperti ada energi yang terus menekan jiwa mereka. “Mukhayyam,” Raniah berbisik pelan, matanya tak lepas dari mahkota itu, “kau yakin ini yang kita cari?” Mukhayyam menatap mahkota itu dengan tatapan penuh tekad. “Aku tidak tahu apakah ini benar-benar jawabannya, tapi aku yakin ini adalah bagian dari perjalanan kita. Rahasia tentang takhta yang hilang mungkin terkunci di dalamnya.” Mereka melangkah lebih dekat ke altar. Namun, ketika Mukhayyam hendak menyentuh mahkota itu, sebuah suara dalam yang menggema menghentikannya. “Berhenti.” Suara itu terdengar dari segala arah, seperti berasal dari dinding kuil itu sendiri. Mukhayyam dan Raniah membeku di tempat mere
Langit pagi di Desa Cindua begitu tenang, tetapi hati Mukhayyam penuh dengan kekhawatiran. Hari itu adalah awal dari sebuah keputusan besar yang harus ia ambil, sesuatu yang mungkin akan mengubah jalannya perjalanan ini. Suasana pondok terasa sunyi, hanya suara burung-burung yang sesekali terdengar di kejauhan.Harun sudah bangun lebih awal seperti biasa. Ia sedang menyiapkan minuman hangat di dapur ketika Mukhayyam datang dengan langkah ragu. Sorot mata Harun yang tajam langsung menangkap keresahan muridnya.“Pagi yang tenang, tetapi aku bisa melihat hatimu tidak tenang, Mukhayyam,” ujar Harun tanpa menoleh.Mukhayyam duduk di dekat meja kayu kecil dan menghela napas panjang. “Guru, aku merasa aku dihadapkan pada pilihan yang sulit. Setelah semua yang aku alami, aku tidak tahu apakah langkahku selanjutnya adalah yang benar.”Harun meletakkan cangkir di atas meja, lalu duduk berhadapan dengan Mukhayyam. “Katakan padaku apa yang mengganggumu. Biark
Pagi itu, langit di Desa Cindua berwarna biru cerah dengan awan tipis menggantung seperti lukisan. Mukhayyam berdiri di halaman pondok dengan pedang di tangan, mencoba mempraktikkan gerakan-gerakan yang diajarkan Harun. Namun, pikirannya masih terusik oleh perasaan yang ia rasakan semalam. Janji kepada dirinya sendiri untuk tidak berhenti terasa begitu berat, seperti beban yang menekan pundaknya.Dari dalam pondok, Harun memandang muridnya dengan mata tajam. Ia tahu bahwa Mukhayyam sedang menghadapi pergulatan batin yang tidak sederhana. Untuk itu, Harun merasa waktu telah tiba untuk memberikan pelajaran baru—pelajaran yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh muridnya.“Mukhayyam,” panggil Harun dari beranda pondok. Suaranya tegas, seperti selalu. “Hari ini kita tidak akan berlatih seperti biasanya.”Mukhayyam menoleh, kebingungan. “Apa maksud Guru? Bukankah aku harus mengasah teknik-teknik baru?”Harun tersenyum tipis dan melambaikan tangannya,
Malam itu, angin bertiup pelan membawa aroma tanah basah. Langit malam dihiasi bintang-bintang yang tampak seolah menyaksikan perjalanan seorang pemuda yang sedang bergulat dengan dirinya sendiri. Mukhayyam duduk bersila di bawah pohon besar di tepi desa, memegang pedang kecil yang diberikan Harun. Pandangannya kosong, pikirannya penuh dengan kenangan dan rencana masa depan. Harun, yang biasanya membiarkan Mukhayyam menyendiri setelah latihan berat, mendekatinya tanpa suara. Langkahnya ringan, namun kehadirannya membawa wibawa yang tak dapat disangkal. "Masih memikirkan masa depanmu, Mukhayyam?" tanya Harun seraya duduk di sampingnya. Mukhayyam tersentak kecil, namun tak mengalihkan pandangannya dari pedang di tangannya. "Ya, Guru. Rasanya ada begitu banyak hal yang harus kupahami, tapi waktu terasa begitu sedikit." Harun tersenyum tipis. "Memang selalu begitu. Hidup akan selalu memberimu lebih banyak pertanyaan daripada ja