Beranda / Pendekar / RAJA TANPA TAKHTA / Bab 8 Perjumpaan Dengan Si Tua Bijak

Share

Bab 8 Perjumpaan Dengan Si Tua Bijak

Penulis: mahmud23
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-04 11:03:25

Pagi itu, suasana di Desa Cindua terasa berbeda. Udara sejuk bercampur dengan aroma tanah yang baru saja diguyur hujan semalam, memberikan kedamaian yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Namun, hati Mukhayyam Hafiz tidak sepenuhnya tenang. Latihan-latihan berat yang diberikan Gurutta Harun mulai membuka matanya akan kerasnya kehidupan, tetapi ia merasa bahwa masih ada sesuatu yang hilang—jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar dalam benaknya.

Gurutta Harun tampaknya memahami keresahan itu. Setelah menyelesaikan sarapan sederhana mereka, ia memandang Mukhayyam dengan tatapan penuh arti.

“Mukhayyam,” katanya perlahan. “Hari ini, aku ingin kau bertemu dengan seseorang.”

Mukhayyam menghentikan kunyahannya dan menatap gurunya dengan rasa ingin tahu. “Siapa, Gurutta?”

“Seorang lelaki tua yang tinggal di pinggir hutan,” jawab Gurutta Harun. “Orang-orang di desa sering memanggilnya dengan sebutan Si Tua Bijak. Dia bukan sembarang orang, Mukhayyam. Dia memiliki pengetahuan dan pengalaman yang bisa membantumu memahami tujuan perjalananmu.”

“Apakah dia seperti Anda, Gurutta?” tanya Mukhayyam dengan nada kagum.

Gurutta Harun tersenyum tipis. “Dia jauh lebih bijaksana daripada aku. Tetapi ingat, dia juga sangat selektif. Jika dia tidak melihat ketulusan dalam dirimu, dia mungkin tidak akan membantumu.”

---

Perjalanan ke Pinggir Hutan

Setelah berpamitan, Mukhayyam mengikuti Gurutta Harun menuju pinggir hutan. Jalanan setapak yang mereka lalui dipenuhi dengan pepohonan besar yang seolah menjadi penjaga alam sekitarnya. Kicauan burung dan suara dedaunan yang bergesekan tertiup angin menjadi latar suara perjalanan mereka.

“Gurutta, mengapa Si Tua Bijak memilih hidup jauh dari desa?” tanya Mukhayyam di tengah perjalanan.

“Dia pernah hidup di tengah masyarakat, tetapi memilih menyendiri untuk mencari ketenangan,” jawab Gurutta Harun. “Dia percaya bahwa kebijaksanaan sejati hanya bisa ditemukan dalam keheningan dan introspeksi.”

Mukhayyam mengangguk, meski masih belum sepenuhnya memahami alasan itu.

---

Pertemuan Pertama

Mereka tiba di sebuah pondok kecil yang hampir tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Pondok itu tampak sederhana, terbuat dari kayu tua yang sudah mulai lapuk, tetapi ada aura kehangatan yang memancar darinya.

Seorang lelaki tua dengan janggut putih panjang duduk di depan pondok itu, memegang sebuah tongkat. Matanya yang tajam dan dalam menatap langsung ke arah Mukhayyam, seolah-olah membaca seluruh isi hatinya.

“Harun,” kata lelaki itu dengan suara serak tetapi penuh wibawa. “Siapa anak muda yang kau bawa ke sini?”

Gurutta Harun memberi isyarat pada Mukhayyam untuk mendekat. “Ini Mukhayyam Hafiz, seorang pemuda yang sedang mencari jati dirinya. Dia ingin belajar lebih banyak tentang kehidupan dan kekuatan.”

Lelaki tua itu tertawa kecil, tetapi ada kebijaksanaan dalam tawanya. “Semua pemuda selalu mencari sesuatu. Tapi pertanyaannya adalah, apakah dia benar-benar tahu apa yang dia cari?”

Mukhayyam maju selangkah, meskipun gugup. “Saya mungkin belum sepenuhnya tahu, Tuan,” katanya dengan suara gemetar. “Tapi saya ingin menjadi lebih kuat, tidak hanya untuk diri saya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang yang saya cintai.”

Lelaki tua itu mengangguk perlahan. “Keinginan yang mulia. Tetapi kekuatan tanpa pemahaman hanya akan membawa kehancuran. Apa yang kau pikirkan tentang kekuatan, anak muda?”

---

Percakapan Intens

Mukhayyam terdiam sejenak, mencoba merangkai kata-kata. “Saya pikir kekuatan adalah kemampuan untuk melindungi orang lain, untuk melawan ketidakadilan, dan untuk membawa kedamaian.”

Lelaki tua itu tersenyum tipis. “Jawaban yang baik, tetapi terlalu sederhana. Kekuatan adalah pedang bermata dua. Ia bisa melindungi, tetapi juga bisa melukai. Ia bisa membawa kedamaian, tetapi juga bisa menimbulkan perang. Apa yang akan kau lakukan jika kekuatan yang kau miliki justru menjadi alasan orang lain menderita?”

Pertanyaan itu menusuk hati Mukhayyam. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

Melihat kebingungan di wajah pemuda itu, lelaki tua itu melanjutkan. “Itulah sebabnya kekuatan harus diimbangi dengan kebijaksanaan. Tanpa kebijaksanaan, kau hanya akan menjadi alat, bukan pemimpin.”

Mukhayyam menunduk, merenungkan kata-kata itu. “Bagaimana saya bisa memperoleh kebijaksanaan itu?”

“Kebijaksanaan tidak datang dalam semalam,” jawab lelaki tua itu. “Ia tumbuh dari pengalaman, kesalahan, dan refleksi. Tapi kau bisa mulai dengan mendengarkan, belajar, dan membuka hatimu pada kebenaran, bahkan jika itu menyakitkan.”

---

Ujian Pertama

Setelah percakapan itu, Si Tua Bijak meminta Mukhayyam untuk mengikuti sebuah ujian. Dia membawa Mukhayyam ke sebuah batu besar yang berdiri di tengah hutan. Batu itu penuh dengan ukiran-ukiran kuno yang tampaknya memiliki makna mendalam.

“Lihat batu ini,” katanya. “Ukiran-ukiran ini menceritakan kisah tentang seorang pemimpin besar yang pernah hidup di daerah ini. Dia memiliki kekuatan yang luar biasa, tetapi akhirnya kehilangan segalanya karena tidak memahami batas-batas kekuatannya. Apa yang kau pelajari dari cerita ini?”

Mukhayyam memandang batu itu dengan serius. “Saya pikir... seorang pemimpin harus tahu kapan harus menggunakan kekuatannya dan kapan harus menahannya.”

“Benar,” kata Si Tua Bijak. “Tapi lebih dari itu, seorang pemimpin harus tahu bahwa kekuatan sejati tidak selalu terlihat dari apa yang dia lakukan, tetapi juga dari apa yang dia pilih untuk tidak lakukan.”

---

Kesan Mendalam

Hari itu memberikan banyak pelajaran berharga bagi Mukhayyam. Si Tua Bijak bukan hanya seseorang yang penuh dengan pengetahuan, tetapi juga seorang pembimbing yang mampu membuka pandangan seseorang terhadap dunia.

Ketika mereka kembali ke desa, Mukhayyam merasa bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Ia tahu bahwa pelajaran-pelajaran dari Si Tua Bijak akan menjadi fondasi penting dalam perjalanannya menuju kekuatan sejati.

“Gurutta,” katanya ketika mereka hampir sampai di pondok. “Apakah menurut Anda, saya bisa menjadi pemimpin seperti yang dikatakan oleh Si Tua Bijak?”

Gurutta Harun tersenyum. “Jika kau terus belajar, mendengarkan, dan menjaga hatimu tetap tulus, aku percaya kau bisa, Mukhayyam.”

Kata-kata itu memberikan semangat baru bagi Mukhayyam. Ia bertekad untuk tidak hanya menjadi kuat, tetapi juga menjadi bijaksana, seperti yang diajarkan oleh Si Tua Bijak.

Mukhayyam Hafiz merasa seperti berada dalam dunia yang berbeda saat kembali dari pondok kecil Si Tua Bijak. Bayangan percakapan mereka masih membekas di benaknya. Namun, sesuatu yang dikatakan lelaki tua itu membuatnya terusik.

“Kekuatan sejati tidak selalu berasal dari otot dan senjata. Terkadang, kekuatan itu ada dalam cara seseorang mengendalikan dirinya sendiri,” ucap Si Tua Bijak sebelum mereka berpisah.

Gurutta Harun memperhatikan ekspresi muridnya yang sedang berpikir keras saat mereka berjalan di tengah hutan. Ia memutuskan untuk memberinya waktu, tidak ingin mengganggu proses refleksi Mukhayyam. Tapi Mukhayyam sendiri tidak bisa menyimpan kegelisahannya lebih lama lagi.

“Gurutta,” panggil Mukhayyam dengan nada hati-hati. “Apa yang sebenarnya dimaksud oleh Si Tua Bijak? Mengapa ia berbicara tentang kekuatan sebagai sesuatu yang harus dikendalikan, bukan digunakan?”

Harun menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan memandang muridnya dengan tatapan lembut.

“Mukhayyam,” katanya perlahan, “apa kau pernah melihat seseorang yang memiliki segalanya tetapi kehilangan semuanya hanya karena tidak tahu batasan?”

Mukhayyam berpikir sejenak. Ia mengingat seorang pedagang kaya di desa yang bangkrut karena kerakusannya sendiri, tetapi ia tidak yakin bagaimana hal itu berkaitan dengan dirinya. “Mungkin... tetapi bagaimana itu terkait dengan perjalanan saya?”

Harun tersenyum. “Ketika kau semakin kuat, kau juga akan memiliki lebih banyak tanggung jawab. Semakin banyak orang akan bergantung padamu, dan semakin besar pula kemungkinan kau membuat keputusan yang salah. Itulah sebabnya kau harus belajar untuk mengendalikan dirimu sendiri sebelum mencoba mengendalikan orang lain.”

---

Pondok Si Tua Bijak yang Misterius

Setibanya mereka kembali di desa, Mukhayyam tidak bisa menghilangkan keinginan untuk kembali ke pondok Si Tua Bijak. Ada sesuatu tentang lelaki tua itu yang membuatnya penasaran. Selain itu, ia merasa bahwa percakapan mereka belum selesai.

“Gurutta,” kata Mukhayyam keesokan harinya, “bolehkah saya pergi sendiri ke pondok Si Tua Bijak? Saya ingin berbicara lagi dengannya.”

Harun memandang muridnya dengan penuh pertimbangan. “Kau boleh pergi, tetapi ingat, Si Tua Bijak tidak menyukai kunjungan tanpa alasan. Jika kau kembali, pastikan kau memiliki pertanyaan yang benar-benar ingin kau jawab.”

Mukhayyam mengangguk dengan serius. Ia tahu bahwa perjalanan ke hutan itu tidak mudah, tetapi hatinya sudah mantap.

Setibanya di pondok, Si Tua Bijak sudah menunggunya. “Aku tahu kau akan kembali,” katanya tanpa menoleh. Ia sedang mengaduk cairan dalam sebuah panci besar di depan pondoknya.

Mukhayyam mendekat dengan hati-hati. “Bagaimana Anda tahu saya akan kembali?” tanyanya.

Si Tua Bijak tersenyum kecil. “Pemuda yang gelisah selalu kembali ke tempat di mana mereka bisa menemukan jawaban. Jadi, apa yang membuatmu datang ke sini, anak muda?”

Mukhayyam duduk di atas sebuah batu besar, menghadap Si Tua Bijak. “Saya ingin tahu lebih banyak tentang apa yang Anda katakan kemarin. Tentang kekuatan dan pengendalian diri. Mengapa itu begitu penting?”

---

Pelajaran Baru

Si Tua Bijak menghentikan kegiatannya dan menatap Mukhayyam dengan serius. “Baiklah, mari kita mulai dari hal sederhana. Apa menurutmu perbedaan antara kekuatan dan kebijaksanaan?”

Mukhayyam berpikir sejenak sebelum menjawab. “Kekuatan adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu, sedangkan kebijaksanaan adalah kemampuan untuk mengetahui kapan harus melakukannya.”

Si Tua Bijak mengangguk. “Jawaban yang bagus. Tapi mari kita perjelas. Kekuatan tanpa kebijaksanaan adalah seperti sungai tanpa tepi—ia akan meluap dan menghancurkan segala yang ada di sekitarnya. Kebijaksanaan tanpa kekuatan, di sisi lain, adalah seperti tepi sungai tanpa air—ia tidak memiliki tujuan.”

Mukhayyam terdiam, mencoba mencerna metafora itu.

“Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku,” kata Si Tua Bijak tiba-tiba. Ia mengambil sebuah panci kecil berisi air dan memberikannya kepada Mukhayyam. “Bawa air ini ke atas bukit di belakang pondokku, tetapi jangan tumpahkan setetes pun.”

Mukhayyam mengerutkan dahi, merasa bingung, tetapi ia tidak ingin mengecewakan lelaki tua itu. Ia mengambil panci itu dengan hati-hati dan mulai mendaki bukit. Jalannya curam dan berbatu, dan ia harus berhati-hati agar tidak terpeleset.

Ketika ia akhirnya tiba di puncak, ia merasa lega. Ia menatap panci itu dan melihat bahwa airnya masih penuh. Ia tersenyum, merasa bangga pada dirinya sendiri.

Namun, saat ia kembali ke pondok, Si Tua Bijak menyambutnya dengan pertanyaan yang tak terduga. “Kau berhasil menjaga air itu tetap utuh, tetapi apa yang kau lihat di sepanjang perjalananmu?”

Mukhayyam terdiam. Ia terlalu fokus pada panci air sehingga tidak memperhatikan apa pun di sekitarnya. “Saya tidak melihat apa-apa,” jawabnya dengan jujur.

Si Tua Bijak tersenyum penuh arti. “Itulah pelajaran pertama, anak muda. Dalam perjalanan hidupmu, jangan terlalu fokus pada satu tujuan hingga kau melupakan hal-hal penting di sekitarmu. Seorang pemimpin harus bisa melihat gambaran besar, bukan hanya satu titik.”

---

Persahabatan yang Tak Terduga

Hari itu, Mukhayyam tidak hanya belajar pelajaran berharga, tetapi juga merasa lebih dekat dengan Si Tua Bijak. Meski lelaki tua itu sering berbicara dengan teka-teki, ia mulai memahami bahwa setiap kata memiliki makna yang dalam.

Saat Mukhayyam berpamitan, Si Tua Bijak memberikan sebuah pesan terakhir. “Kembali ke sini kapan pun kau merasa siap untuk pelajaran berikutnya. Tapi ingat, setiap jawaban yang kau cari akan selalu mengarah pada pertanyaan baru.”

Mukhayyam tersenyum, meski tidak sepenuhnya memahami maksud ucapan itu. Ia tahu bahwa perjalanan ini baru permulaan, tetapi ia merasa lebih percaya diri untuk melangkah maju.

Di tengah perjalanan pulang, ia memikirkan bagaimana ia bisa menerapkan pelajaran dari Si Tua Bijak ke dalam latihan dan kehidupannya. Gurutta Harun selalu berkata bahwa belajar tidak hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang membentuk karakter. Dan kini, ia mulai melihat kebenaran dari kata-kata itu.

Mukhayyam Hafiz, pemuda Desa Cindua yang sederhana, kini mulai menapaki jalan panjang menuju kebijaksanaan dan kekuatan sejati.

---

Persiapan untuk Langkah Selanjutnya

Setibanya di pondok Gurutta Harun, ia menceritakan semua yang telah terjadi. Gurutta Harun mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu berkata, “Kau telah mengambil langkah pertama menuju pemahaman yang lebih besar, Mukhayyam. Tapi ingat, pelajaran yang paling berharga adalah yang kau temukan sendiri.”

Malam itu, Mukhayyam tidak bisa tidur. Ia merenungkan semua yang telah ia pelajari dari Si Tua Bijak. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian. Dengan bimbingan Gurutta Harun dan Si Tua Bijak, serta tekadnya sendiri, ia yakin bisa mengatasi semua rintangan yang ada di depannya.

Di bawah langit malam Desa Cindua yang dipenuhi bintang, Mukhayyam Hafiz berjanji pada dirinya sendiri: ia akan menjadi pemimpin yang tidak hanya kuat, tetapi juga bijaksana.

Bab terkait

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 9 Percakapan Tentang Kekuasaan

    Mukhayyam Hafiz duduk di beranda pondok Gurutta Harun. Malam itu angin sepoi-sepoi membawa aroma khas dari hutan di sekitarnya. Cahaya bulan menerangi desa Cindua dengan lembut, seolah menyoroti pemikiran yang berat di benak pemuda itu. Setelah bertemu Si Tua Bijak dan menjalani latihan yang melelahkan, kini ia merasa semakin dekat dengan pertanyaan besar yang terus menghantuinya: apa sebenarnya kekuasaan itu?Gurutta Harun keluar membawa dua cangkir teh panas. Ia meletakkan salah satunya di depan Mukhayyam dan duduk di kursi kayu di sampingnya. Gurutta tahu muridnya sedang bergulat dengan sesuatu yang penting.“Pikiranmu terlihat berat malam ini, Mukhayyam,” kata Gurutta, membuka percakapan.Mukhayyam menghela napas panjang. “Gurutta, saya ingin bertanya... apa sebenarnya kekuasaan itu?”Gurutta tersenyum tipis, seolah sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. Ia mengambil cangkir tehnya dan menyesap perlahan sebelum menjawab.“Kekuasaan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 10 Keiniginan Untuk Melangkah Lebih Jauh

    Pagi itu, udara di Desa Cindua terasa lebih segar dari biasanya. Embun pagi menempel di daun-daun hijau, dan suara burung berkicau merdu di antara pepohonan yang mulai tersentuh sinar matahari. Mukhayyam Hafiz duduk termenung di tepi sungai yang mengalir tenang, matanya mengikuti aliran air yang tak henti-hentinya bergerak. Perasaannya, sama seperti air itu—terus mengalir, selalu mencari jalan, namun belum menemukan tempat yang tepat.Ia merasa ada sesuatu yang tidak terungkapkan dalam hidupnya. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar belajar bela diri atau mendapatkan kekuasaan. Keinginan untuk menjadi pemimpin yang bijaksana dan bertanggung jawab semakin menguat dalam dirinya, tetapi ia merasa masih ada bagian dari dirinya yang harus dipahami terlebih dahulu.Pada saat itulah Gurutta Harun mendekatinya. Melihat wajah muridnya yang penuh tanda tanya, Gurutta tahu bahwa ada pergolakan dalam hati Mukhayyam yang perlu diselesaikan.“Mukhayyam, ada yang ingin k

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 11 Kisah Sang Pahlawan Yang Hilang

    Malam di Desa Cindua semakin pekat. Langit gelap hanya diterangi bintang-bintang kecil yang berserakan seperti berlian di atas hamparan sutra hitam. Di sudut desa, rumah Gurutta Harun menjadi tempat berkumpul beberapa tokoh penting desa. Di dalam ruangan kecil dengan penerangan dari lampu minyak, Mukhayyam Hafiz duduk bersila di dekat Gurutta Harun. Ia baru saja kembali dari perjalanan singkatnya ke tepian hutan, membawa pertanyaan yang membebani pikirannya.“Apa yang sebenarnya terjadi dengan Desa Cindua di masa lalu?” tanya Mukhayyam, menatap Gurutta Harun dengan penuh harap.Gurutta Harun mengangguk pelan, wajah tuanya penuh kebijaksanaan. “Kau ingin tahu tentang legenda yang sering dibicarakan oleh orang-orang tua di desa ini, bukan? Tentang Sang Pahlawan Yang Hilang?”Mukhayyam mengangguk mantap. “Ya, Guru. Banyak yang mengatakan bahwa ada seseorang yang dulu melindungi desa ini, tetapi ia menghilang begitu saja. Apa yang sebenarnya terjadi?”

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 12 Langkah Awal Menuju Perubahan

    Mukhayyam Hafiz berdiri di halaman belakang rumahnya. Udara pagi Desa Cindua terasa segar, tetapi pikirannya berputar-putar seperti badai. Keputusan untuk mencari pedang Syamsir Al-Fikri bukanlah sesuatu yang ia anggap enteng. Itu adalah panggilan yang mendalam, seperti dorongan batin yang tidak dapat ia abaikan.Ibunya, Syarifah Azurah, muncul dari pintu belakang membawa nampan kecil berisi segelas teh hangat dan sepiring kue tradisional. Ia menatap putranya yang termenung dengan senyum lembut.“Mukhayyam, kau kelihatan gelisah pagi ini,” ucap Azurah sembari menaruh nampan di atas meja kecil di teras.Mukhayyam tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Aku hanya memikirkan sesuatu, Ibu.”Azurah menatap putranya dengan penuh kasih. “Apa yang sedang kau pikirkan, Nak? Kadang-kadang berbagi pikiran bisa meringankan beban.”Mukhayyam mendekati ibunya dan duduk di sebelahnya. Ia mengambil secangkir teh, membiarkan uap hangatnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 13 Menghadapi Rintangan Pertama

    Mukhayyam Hafiz berjalan menembus hutan lebat. Udara pagi yang dingin masih menyelimuti, tetapi keheningan alam mulai terusik oleh gemerisik langkah-langkah kecil di bawah kakinya. Hari itu, ia tahu perjalanan tak akan mudah. Jalan setapak yang ia pilih semakin menanjak dan licin karena embun pagi.Sementara ia melangkah hati-hati, terdengar suara samar di kejauhan. Awalnya, suara itu seperti dengungan, tetapi semakin ia mendekat, suara itu berubah menjadi jeritan halus bercampur gema. Ia berhenti sejenak, mencoba memahami arah suara tersebut.“Siapa di sana?” Mukhayyam memanggil, suaranya sedikit bergetar.Namun, jawaban yang ia dapatkan hanyalah keheningan. Meski begitu, nalurinya mengatakan bahwa ia harus lebih waspada. Pisau kecil pemberian Gurutta Harun dipegang erat di tangannya. Langkahnya semakin pelan, berusaha menghindari suara berisik dari ranting atau dedaunan.Ketika ia mendekati sumber suara, ia melihat sosok bayangan di antara pepoh

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 14 Dalam Bayang-Bayang Kejahatan

    Malam semakin gelap saat Mukhayyam dan Darma memasuki wilayah yang lebih dalam dari desa yang mulai terasa asing. Hawa dingin menggigit kulit mereka, dan meskipun angin berhembus lembut, ada keheningan yang begitu berat menyelimuti udara, membuat Mukhayyam merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengintai mereka. Sesuatu yang tidak terlihat, tetapi bisa dirasakan dengan jelas.Mukhayyam berjalan di depan, tangannya menggenggam erat pedang yang sudah mulai terasa berat di pinggangnya. Darma di belakangnya, dengan wajah cemas, terus mengamati lingkungan sekitar mereka. Desa yang mereka lewati semakin sunyi, dan rumah-rumah yang tadinya penuh dengan kehidupan kini tampak gelap gulita. Tak ada suara riuh, tak ada jejak kehidupan yang berarti. Hanya ada bayang-bayang panjang yang berputar-putar, seakan-akan mengamati gerak-gerik mereka."Mukhayyam," suara Darma yang perlahan memecah keheningan malam itu. "Aku merasa ada sesuatu yang salah dengan semua ini. Desa ini... bukan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 15 Pengajaran Beladiri dari Sang Guru

    Pagi itu, udara di Desa Cindua terasa lebih segar. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah yang basah, menambah kesegaran yang memberi semangat baru. Mukhayyam duduk di pinggir sungai kecil yang mengalir di dekat rumahnya, matanya terpejam, mencoba merasakan kedamaian yang telah lama hilang sejak perjalanan beratnya dimulai. Namun, meskipun alam di sekitarnya tampak tenang, pikirannya penuh dengan banyak pertanyaan dan kebingungannya tentang apa yang baru saja terjadi.Ia merasa bahwa pertarungan melawan pria misterius yang mengklaim dirinya sebagai penjaga kegelapan itu hanyalah permulaan dari sebuah perjalanan panjang yang lebih berat. Dengan tangan yang masih terasa gemetar akibat pertempuran malam sebelumnya, Mukhayyam merasa seolah-olah dunia ini menyimpan rahasia yang lebih besar dan lebih gelap yang harus ia ungkap. Dan untuk itu, ia harus siap, baik fisik maupun mental.Setelah pertempuran yang sulit itu, Darma membawanya pulang ke rumah, meskipun Mukhayyam t

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 16 Pengorbanan di Tengah Kesendirian

    Keheningan malam menyelimuti desa, dan hanya terdengar suara angin yang berdesir melalui pepohonan. Mukhayyam duduk sendirian di depan rumah kecil yang menjadi tempat pelatihannya. Di bawah cahaya bulan yang temaram, wajahnya tampak penuh pemikiran. Walaupun telah banyak yang ia pelajari dari Lian Huo, banyak pertanyaan yang masih bergelayut di dalam benaknya. Tidak ada lagi latihan fisik untuk hari itu. Malam ini, ia hanya merenung.Lian Huo duduk di sampingnya, dengan tenang mengamati pemuda itu. Selama ini, mereka telah berbicara banyak tentang kekuatan fisik dan mental, tentang cara bertarung dan cara hidup, namun malam ini berbeda. Sesuatu dalam diri Mukhayyam tampaknya telah berubah. Ia merasa ada ketegangan dalam diri pemuda itu, dan Lian Huo bisa merasakannya dengan jelas.“Pemuda, ada yang mengganggumu,” ujar Lian Huo pelan, suaranya dalam dan penuh kebijaksanaan.Mukhayyam terkejut. Ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan perasaannya. Selama in

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09

Bab terbaru

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 20 Penyatuan Fikiran dan Tubuh

    Langit pagi di tengah hutan itu tampak berwarna jingga, menyiratkan keindahan yang kontras dengan perjuangan berat yang sedang dialami Mukhayyam. Ia duduk bersila di atas batu datar, menghadap Juru Uji yang berdiri tegak di hadapannya. Tidak ada kata yang terucap sejak ujian sebelumnya, namun suasana itu tidak pernah terasa sunyi. Hutan berbicara melalui desiran angin dan kicauan burung, seolah ingin menjadi saksi atas perjalanan Mukhayyam menuju pemahaman yang lebih dalam.“Bagaimana rasanya sekarang, setelah melampaui ujian berat itu?” tanya Juru Uji, memecah keheningan.Mukhayyam menatap pria itu. “Aku merasa lebih ringan, tetapi pada saat yang sama, aku sadar bahwa aku masih membawa banyak hal yang belum bisa kulepaskan sepenuhnya.”“Itulah beban seorang pejuang,” ujar Juru Uji sambil melipat tangannya di belakang punggung. “Namun, ingatlah ini, Mukhayyam: tubuh yang kuat tidak akan ada artinya tanpa fikiran yang jernih. Ujian selanjutnya adalah tentan

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 19 Ujian Fisik Yang Pertama

    Mukhayyam berdiri di tepi sebuah sungai deras yang berkelok-kelok, sementara angin pagi meniupkan kabut tipis ke sekelilingnya. Di seberang sungai itu, hutan lebat tampak seperti benteng alami yang menghalangi jalan. Namun, yang menarik perhatian Mukhayyam adalah seorang lelaki berjubah abu-abu yang berdiri di tengah aliran sungai. Dengan tenang, lelaki itu memperhatikan Mukhayyam, seolah-olah sedang menunggu sesuatu. “Selamat datang, Mukhayyam Hafiz,” kata lelaki itu dengan suara berat namun jelas. “Aku adalah Juru Uji. Hari ini, kau akan menghadapi ujian fisik pertamamu. Bersiaplah.” Mukhayyam menatap lelaki itu dengan rasa waspada. “Apa ujian yang harus kulalui? Dan siapa yang memberimu hak untuk mengujiku?” tanyanya. Juru Uji tersenyum tipis. “Hak itu datang dari perjalanan yang kau pilih sendiri. Untuk melangkah lebih jauh, kau harus membuktikan bahwa kau mampu bertahan. Ujian ini bukan tentang siapa aku, tetapi tentang siapa dirimu.

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 18 Jalan yang Terbentang di Depan

    Pagi itu, udara dingin menyelimuti lereng Gunung Cindua. Kabut tipis menggantung di antara pepohonan, membuat suasana terlihat sunyi sekaligus misterius. Mukhayyam duduk di atas batu besar, menghadap jurang yang menghamparkan pemandangan lembah yang hijau. Pandangannya jauh menerawang, mencoba mencerna semua pelajaran dan percakapan yang ia lalui bersama Lian Huo.Di kejauhan, suara langkah kaki terdengar menghampiri. Lian Huo muncul dari balik kabut, membawa tongkat kayu tua yang menjadi ciri khasnya. Ia menghampiri Mukhayyam tanpa suara, hanya senyuman lembut di wajahnya. Setelah duduk di samping muridnya, ia membuka percakapan.“Kau terlihat gelisah lagi,” ujar Lian Huo.Mukhayyam tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang. “Ada begitu banyak hal yang harus kupikirkan, Guru. Aku merasa seperti berdiri di tengah persimpangan yang tak ada akhirnya.”“Persimpangan itu adalah ujianmu,” jawab Lian Huo sambil menatap lembah di bawah. “Setiap langka

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 17 Perasaan Mukhayyam Yang Tertahan

    Pagi itu terasa sunyi. Udara pagi yang segar mengalir melalui celah-celah pepohonan di sekitar desa. Mukhayyam berjalan menyusuri jalan setapak yang mengarah ke lembah, pikiran dan perasaannya dipenuhi dengan pertanyaan yang sulit dijawab. Sejak percakapan panjangnya dengan Lian Huo malam itu, ada perasaan yang semakin mengganggu batinnya—perasaan yang tidak mudah untuk ia jelaskan.Sebenarnya, Mukhayyam merasa lega setelah menerima kenyataan tentang kesendirian dan pengorbanan. Namun, ada bagian dalam dirinya yang tetap merasa seolah ada sesuatu yang tertahan, seolah perasaan yang ingin ia ungkapkan selalu terhalang oleh suatu kekuatan yang tak tampak. Setiap kali ia mencoba untuk fokus pada tujuannya, ia merasa ada suara dalam dirinya yang bertanya, apakah pengorbanan ini benar-benar sejalan dengan apa yang ia inginkan dalam hidup?Sambil berjalan, ia mengenang kembali perjalanan panjangnya bersama Lian Huo. Segala ajaran yang diterima, terutama tentang kekuatan

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 16 Pengorbanan di Tengah Kesendirian

    Keheningan malam menyelimuti desa, dan hanya terdengar suara angin yang berdesir melalui pepohonan. Mukhayyam duduk sendirian di depan rumah kecil yang menjadi tempat pelatihannya. Di bawah cahaya bulan yang temaram, wajahnya tampak penuh pemikiran. Walaupun telah banyak yang ia pelajari dari Lian Huo, banyak pertanyaan yang masih bergelayut di dalam benaknya. Tidak ada lagi latihan fisik untuk hari itu. Malam ini, ia hanya merenung.Lian Huo duduk di sampingnya, dengan tenang mengamati pemuda itu. Selama ini, mereka telah berbicara banyak tentang kekuatan fisik dan mental, tentang cara bertarung dan cara hidup, namun malam ini berbeda. Sesuatu dalam diri Mukhayyam tampaknya telah berubah. Ia merasa ada ketegangan dalam diri pemuda itu, dan Lian Huo bisa merasakannya dengan jelas.“Pemuda, ada yang mengganggumu,” ujar Lian Huo pelan, suaranya dalam dan penuh kebijaksanaan.Mukhayyam terkejut. Ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan perasaannya. Selama in

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 15 Pengajaran Beladiri dari Sang Guru

    Pagi itu, udara di Desa Cindua terasa lebih segar. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah yang basah, menambah kesegaran yang memberi semangat baru. Mukhayyam duduk di pinggir sungai kecil yang mengalir di dekat rumahnya, matanya terpejam, mencoba merasakan kedamaian yang telah lama hilang sejak perjalanan beratnya dimulai. Namun, meskipun alam di sekitarnya tampak tenang, pikirannya penuh dengan banyak pertanyaan dan kebingungannya tentang apa yang baru saja terjadi.Ia merasa bahwa pertarungan melawan pria misterius yang mengklaim dirinya sebagai penjaga kegelapan itu hanyalah permulaan dari sebuah perjalanan panjang yang lebih berat. Dengan tangan yang masih terasa gemetar akibat pertempuran malam sebelumnya, Mukhayyam merasa seolah-olah dunia ini menyimpan rahasia yang lebih besar dan lebih gelap yang harus ia ungkap. Dan untuk itu, ia harus siap, baik fisik maupun mental.Setelah pertempuran yang sulit itu, Darma membawanya pulang ke rumah, meskipun Mukhayyam t

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 14 Dalam Bayang-Bayang Kejahatan

    Malam semakin gelap saat Mukhayyam dan Darma memasuki wilayah yang lebih dalam dari desa yang mulai terasa asing. Hawa dingin menggigit kulit mereka, dan meskipun angin berhembus lembut, ada keheningan yang begitu berat menyelimuti udara, membuat Mukhayyam merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengintai mereka. Sesuatu yang tidak terlihat, tetapi bisa dirasakan dengan jelas.Mukhayyam berjalan di depan, tangannya menggenggam erat pedang yang sudah mulai terasa berat di pinggangnya. Darma di belakangnya, dengan wajah cemas, terus mengamati lingkungan sekitar mereka. Desa yang mereka lewati semakin sunyi, dan rumah-rumah yang tadinya penuh dengan kehidupan kini tampak gelap gulita. Tak ada suara riuh, tak ada jejak kehidupan yang berarti. Hanya ada bayang-bayang panjang yang berputar-putar, seakan-akan mengamati gerak-gerik mereka."Mukhayyam," suara Darma yang perlahan memecah keheningan malam itu. "Aku merasa ada sesuatu yang salah dengan semua ini. Desa ini... bukan

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 13 Menghadapi Rintangan Pertama

    Mukhayyam Hafiz berjalan menembus hutan lebat. Udara pagi yang dingin masih menyelimuti, tetapi keheningan alam mulai terusik oleh gemerisik langkah-langkah kecil di bawah kakinya. Hari itu, ia tahu perjalanan tak akan mudah. Jalan setapak yang ia pilih semakin menanjak dan licin karena embun pagi.Sementara ia melangkah hati-hati, terdengar suara samar di kejauhan. Awalnya, suara itu seperti dengungan, tetapi semakin ia mendekat, suara itu berubah menjadi jeritan halus bercampur gema. Ia berhenti sejenak, mencoba memahami arah suara tersebut.“Siapa di sana?” Mukhayyam memanggil, suaranya sedikit bergetar.Namun, jawaban yang ia dapatkan hanyalah keheningan. Meski begitu, nalurinya mengatakan bahwa ia harus lebih waspada. Pisau kecil pemberian Gurutta Harun dipegang erat di tangannya. Langkahnya semakin pelan, berusaha menghindari suara berisik dari ranting atau dedaunan.Ketika ia mendekati sumber suara, ia melihat sosok bayangan di antara pepoh

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 12 Langkah Awal Menuju Perubahan

    Mukhayyam Hafiz berdiri di halaman belakang rumahnya. Udara pagi Desa Cindua terasa segar, tetapi pikirannya berputar-putar seperti badai. Keputusan untuk mencari pedang Syamsir Al-Fikri bukanlah sesuatu yang ia anggap enteng. Itu adalah panggilan yang mendalam, seperti dorongan batin yang tidak dapat ia abaikan.Ibunya, Syarifah Azurah, muncul dari pintu belakang membawa nampan kecil berisi segelas teh hangat dan sepiring kue tradisional. Ia menatap putranya yang termenung dengan senyum lembut.“Mukhayyam, kau kelihatan gelisah pagi ini,” ucap Azurah sembari menaruh nampan di atas meja kecil di teras.Mukhayyam tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Aku hanya memikirkan sesuatu, Ibu.”Azurah menatap putranya dengan penuh kasih. “Apa yang sedang kau pikirkan, Nak? Kadang-kadang berbagi pikiran bisa meringankan beban.”Mukhayyam mendekati ibunya dan duduk di sebelahnya. Ia mengambil secangkir teh, membiarkan uap hangatnya

DMCA.com Protection Status