Beranda / Pendekar / RAJA TANPA TAKHTA / Bab 2: Kehidupan Mukhayyan Hafiz

Share

Bab 2: Kehidupan Mukhayyan Hafiz

Penulis: mahmud23
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-01 11:00:00

Mukhayyam Hafiz bangun pagi-pagi sekali, seperti biasa, dengan cahaya mentari yang mulai menyinari langit di atas Desa Cindua. Tadi malam, ia tidur dengan pikiran yang dipenuhi dengan berbagai pertanyaan dan perasaan yang campur aduk. Keputusan untuk pergi, untuk mencari ilmu dan kekuatan, terasa semakin dekat. Namun, di balik keputusan itu ada banyak hal yang harus ia hadapi, banyak hal yang harus ia pahami tentang dirinya dan dunia yang ada di luar Desa Cindua.

Di dapur, ibunya sudah menyiapkan sarapan seperti biasanya—nasi hangat, ikan goreng, dan sayur daun singkong. Ibu Syarifah selalu memiliki cara untuk memberikan kenyamanan dengan masakan sederhana yang penuh cinta. Mukhayyam memandang ibunya dengan penuh rasa terima kasih. Setiap gerakan ibunya di dapur terasa seperti bagian dari rutinitas yang tak pernah lepas dari kehidupannya. Sebuah rasa aman yang tidak bisa ia temukan di tempat lain.

"Sudah siap untuk berangkat, Nak?" tanya Syarifah dengan lembut, sambil menyajikan secangkir teh panas untuk anaknya.

Mukhayyam hanya tersenyum tipis. Ia menundukkan kepala, meresapi kata-kata ibunya. "Aku tidak tahu apakah aku siap, Bu. Tapi aku tidak bisa tinggal di sini selamanya. Aku harus mencari jawaban dari pertanyaanku sendiri."

Ibunya menatapnya dengan penuh perhatian, kemudian duduk di sampingnya. "Kau tahu, Nak, dunia luar itu sangat luas. Dan kadang-kadang, kita merasa terombang-ambing dalam ketidakpastian. Tetapi satu hal yang perlu kau ingat, tak peduli seberapa jauh perjalananmu, rumah ini akan selalu menantimu."

Mukhayyam mengangguk pelan, mencoba memahami kata-kata ibunya yang penuh dengan kebijaksanaan. Tiba-tiba, pikirannya melayang ke percakapan yang baru saja ia lakukan dengan Pak Darman di bawah pohon beringin. "Pak Darman bilang, perjalanan itu bukan hanya tentang mencari sesuatu di luar, tetapi juga tentang menemukan sesuatu di dalam diri kita sendiri. Aku ingin mencari kekuatan, Bu. Tapi aku takut aku akan tersesat."

Ibunya tersenyum, meskipun ada kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan di matanya. "Kekuatan, Nak, bukanlah tentang mengalahkan musuh di luar diri kita. Kekuatan sejati datang dari kemampuan untuk menghadapi diri sendiri. Dunia ini memang penuh dengan cobaan dan godaan, tetapi jika kau tahu siapa dirimu dan apa yang kau perjuangkan, tak ada yang bisa menghalangimu."

Mukhayyam terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata ibunya. Ayahnya, Rasyid, yang tadi duduk di sudut ruangan dengan buku-buku yang selalu ia bawa, mengangkat kepala dan memberikan senyuman hangat.

"Jangan lupakan satu hal, Nak," kata Rasyid, sambil menutup buku yang tengah ia baca. "Ilmu itu bukan hanya untuk menambah pengetahuan, tetapi juga untuk memahami dunia yang lebih besar. Kau mungkin tidak tahu persis apa yang akan kau temui di luar sana, tetapi percayalah bahwa setiap pengalaman akan memberikan pelajaran berharga. Jangan hanya mencari kekuatan untuk dirimu sendiri, tetapi juga untuk orang-orang yang membutuhkan pertolonganmu."

Mukhayyam merasa ada kehangatan dalam kata-kata ayahnya. Kata-kata yang mengingatkannya bahwa kekuatan yang ia cari bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk menjadi agen perubahan di dunia yang penuh dengan ketidakadilan.

Setelah sarapan, Mukhayyam berkemas. Ia mengambil tas yang telah disiapkan sejak semalam, memeriksa perlengkapan sederhana yang dibawanya: pakaian, buku-buku kecil untuk mencatat hal-hal penting, serta peralatan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup di perjalanan. Ia melihat ayah dan ibunya dengan mata yang penuh rasa hormat dan kasih sayang, lalu melangkah keluar rumah.

Di luar, matahari semakin tinggi, sinarnya memantul dari atap rumah-rumah penduduk, memberi warna keemasan pada suasana desa yang damai. Desa Cindua tidak berubah. Segala sesuatunya masih sama seperti yang ia kenal. Jalanan berdebu, ladang-ladang yang hijau, dan rumah-rumah dengan atap jerami. Kehidupan berjalan lambat, penuh dengan ketenangan yang jarang ditemukan di luar sana.

Namun, Mukhayyam tahu bahwa ketenangan ini adalah sesuatu yang harus ia tinggalkan. Dunia yang lebih besar menunggunya, dan meskipun hati ini berat, ia harus pergi. Langkah pertama untuk menjadi pemimpin sejati adalah memulai perjalanan ini—perjalanan mencari kekuatan, mencari ilmu, dan mencari tujuan yang lebih tinggi.

Sesaat setelah melangkah keluar rumah, Mukhayyam melihat Haris, sahabat lamanya, sedang berjalan di jalan yang sama. Haris adalah teman dekatnya sejak kecil, seorang pemuda yang selalu memiliki rasa ingin tahu yang besar tentang dunia luar. Haris sering kali bertanya tentang hal-hal yang tidak pernah ia temui di Desa Cindua, seperti dunia luar, perang, dan perubahan yang lebih besar.

"Hai, Mukhayyam," seru Haris, menyapa dengan penuh semangat. "Ke mana kau akan pergi pagi ini? Aku melihatmu sedang berkemas, sepertinya kau punya tujuan penting."

Mukhayyam berhenti sejenak, menatap sahabatnya dengan senyuman yang penuh makna. "Aku akan pergi, Haris. Aku harus mencari ilmu dan kekuatan. Dunia luar menantiku, dan aku tak bisa tinggal di sini selamanya."

Haris mengangkat alisnya, wajahnya menunjukkan rasa terkejut. "Kau serius? Kau akan meninggalkan desa ini? Tapi... apa yang kau cari di luar sana? Bukankah hidup kita sudah cukup baik di sini? Ayahmu, ibumu, semuanya ada di sini."

Mukhayyam menghela napas, berusaha menjelaskan perasaannya. "Aku tidak tahu apa yang akan aku temui di luar sana, Haris. Tetapi aku tahu bahwa aku harus pergi. Ada sesuatu dalam diriku yang ingin aku pahami. Aku ingin mencari kekuatan, tetapi bukan kekuatan untuk diriku sendiri. Aku ingin menemukan cara untuk membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik. Kau tahu betul bahwa ada banyak ketidakadilan di luar sana. Aku harus menjadi seseorang yang bisa mengubahnya."

Haris terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan kata-kata Mukhayyam. Setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan. "Aku mengerti. Tapi, Mukhayyam, jangan lupakan desa ini. Jangan lupakan kami. Kau mungkin mencari dunia yang lebih besar, tetapi rumah ini akan selalu menantimu. Kami akan selalu ada di sini, menunggumu kembali."

Mukhayyam menatap sahabatnya dengan rasa terima kasih yang mendalam. "Terima kasih, Haris. Aku tidak akan melupakanmu, atau desa ini. Ini adalah langkah pertama yang harus kuambil. Jika aku berhasil, aku akan kembali dan memperjuangkan apa yang benar."

Setelah berbicara sebentar, Mukhayyam melanjutkan langkahnya. Langkah demi langkah, ia menuju batas desa, menuju dunia yang penuh dengan ketidakpastian. Meskipun hatinya penuh dengan rasa ragu dan takut, ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang harus ia ambil.

Di kejauhan, Mukhayyam melihat sosok ayahnya, Rasyid, berdiri di depan rumah mereka. Ia melambai, memberikan isyarat untuk datang. Mukhayyam mendekat dengan langkah pasti, dan ayahnya memanggilnya dengan suara yang penuh kebanggaan.

"Anakku, aku tahu perjalanan ini tidak akan mudah," kata Rasyid dengan suara penuh kasih. "Tetapi ingatlah satu hal—jalan ini akan menguji kekuatan dan keteguhan hatimu. Jangan pernah takut untuk berbuat baik, bahkan jika itu berarti kau harus menghadapi rintangan yang besar."

Mukhayyam menatap ayahnya dengan penuh rasa hormat, lalu berkata dengan tekad yang lebih kuat, "Aku akan membawa nama baik keluarga ini, Ayah. Aku akan mencari jalan untuk membawa keadilan bagi dunia ini."

Dengan kata-kata terakhir itu, Mukhayyam melangkah pergi, menuju masa depannya yang penuh tantangan dan harapan. Dunia luar yang luas dan penuh misteri menunggunya, dan ia tahu bahwa ini baru saja permulaan dari perjalanan panjang yang akan membentuk dirinya menjadi pemimpin yang sejati.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Mukhayyam Hafiz melangkah dengan mantap, meninggalkan Desa Cindua yang aman dan penuh kenangan. Langkahnya terasa berat, namun tekad di dalam hatinya lebih kuat dari apapun. Langit biru di atas kepalanya menggantung tenang, seperti sebuah kanvas kosong yang menunggu untuk diwarnai oleh petualangannya. Meskipun perjalanan ini baru saja dimulai, Mukhayyam merasakan beban yang tak terlihat—beban harapan dan impian yang digantungkan pada pundaknya oleh kedua orang tuanya, oleh sahabat-sahabatnya, dan oleh dirinya sendiri.

Di jalan setapak yang berdebu itu, ia berjalan tanpa suara, hanya terdengar langkah kaki yang menggema di udara pagi yang tenang. Pikirannya melayang, memikirkan kembali semua yang telah terjadi dan mengapa ia memilih jalan ini. Dunia luar yang selama ini hanya ia dengar melalui cerita-cerita orang tua dan penduduk desa kini terasa begitu nyata. Setiap perasaan ragu yang datang muncul di hatinya selalu dihadang oleh keyakinan bahwa ia harus menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar kehidupan yang damai di Desa Cindua.

Mukhayyam melanjutkan perjalanan menuju hutan yang lebat, sebuah rintangan pertama yang harus ia hadapi sebelum keluar dari batas desa. Hutan ini dikenal oleh penduduk sebagai tempat yang penuh misteri. Konon, di dalam hutan itu ada makhluk-makhluk yang tidak terlihat oleh manusia biasa, serta pohon-pohon yang bisa bergerak. Hanya sedikit yang berani melintasi hutan ini, dan Mukhayyam tahu bahwa ia tidak akan menghindarinya. Ini adalah bagian dari perjalanan—untuk berani menghadapi hal-hal yang tidak diketahui.

Setelah beberapa waktu berjalan, Mukhayyam mulai merasakan keheningan yang mendalam. Suasana hutan semakin mencekam. Daun-daun bergoyang pelan diterpa angin, namun tak ada suara burung atau binatang lainnya. Semuanya sunyi. Hati Mukhayyam berdebar kencang, namun ia terus melangkah maju. Tiba-tiba, langkahnya terhenti ketika ia melihat sesuatu yang aneh.

Di depan, di antara pepohonan yang rimbun, ia melihat sosok seorang pria tua yang tampaknya sedang duduk bersila di atas batu besar. Pria itu mengenakan jubah hitam yang panjang, dan rambut serta janggutnya yang putih panjang mencuat ke segala arah. Mukhayyam berdiri tertegun, merasa aneh melihat kehadiran orang di tempat yang sunyi ini.

Pria itu membuka matanya perlahan dan menatap Mukhayyam dengan pandangan tajam, namun penuh ketenangan. "Apa yang kamu cari, anak muda?" suara pria itu terdengar dalam dan berat, menggetarkan udara di sekitar mereka.

Mukhayyam merasa seolah-olah dunia berhenti sejenak. Semua kata-kata yang ingin ia ucapkan mendadak menghilang. Namun, tekadnya untuk melanjutkan perjalanan menguatkan hatinya. "Aku sedang mencari ilmu," jawab Mukhayyam dengan suara yang sedikit gemetar, namun penuh keyakinan. "Aku ingin menemukan kekuatan yang sejati. Aku ingin tahu bagaimana cara menjadi pemimpin yang bisa membawa keadilan bagi dunia ini."

Pria itu tersenyum tipis, lalu mengangguk pelan. "Ilmu dan kekuatan bukanlah sesuatu yang bisa kamu temui dengan mudah. Mereka datang kepada mereka yang siap. Tetapi sebelum kau mencari, kau harus siap melepaskan apa yang kau anggap sebagai kekuatan."

Mukhayyam bingung dengan kata-kata pria itu, namun rasa ingin tahunya mendorongnya untuk bertanya lebih lanjut. "Apa maksudmu dengan itu? Apa yang harus aku lepaskan?"

Pria itu berdiri perlahan, tubuhnya masih tampak tegap meskipun usia yang sudah sangat lanjut. Dengan satu gerakan, ia mengarahkan tangannya ke pohon yang ada di sebelahnya, dan dalam sekejap, pohon itu mulai bergoyang dan bercabang-cabang ke arah yang berbeda, seolah-olah hidup. "Lihatlah pohon ini. Sebelum ia bisa tumbuh tinggi, ia harus melepaskan benihnya. Tanpa melepaskan, ia tidak akan pernah dapat tumbuh. Seperti itulah kehidupan. Kau harus melepaskan sesuatu dalam dirimu untuk mendapatkan kekuatan yang lebih besar."

Mukhayyam merenung, mencoba mencerna kata-kata pria tua itu. Ia mengingat kembali ajaran ayahnya, Rasyid, yang sering kali mengatakan bahwa untuk menjadi pemimpin yang baik, ia harus memiliki kebijaksanaan yang datang dari pengalaman dan pemahaman diri. Namun, kata-kata pria itu terasa berbeda, seperti sebuah pencerahan yang datang begitu saja.

"Bagaimana cara aku melepaskan itu?" tanya Mukhayyam.

Pria itu mendekat dan menepuk bahu Mukhayyam dengan lembut. "Bukan aku yang bisa memberitahumu caranya, anak muda. Itu adalah perjalananmu sendiri. Kau harus menghadapinya sendiri. Tapi ingatlah satu hal—jika kau ingin menjadi pemimpin sejati, kekuatanmu harus berasal dari dalam dirimu. Bukan dari luar."

Dengan kata-kata itu, pria tua itu berbalik dan berjalan ke dalam hutan, meninggalkan Mukhayyam yang masih terdiam, merenung tentang apa yang baru saja ia dengar. Setelah beberapa saat, ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, tetapi kata-kata pria itu terus terngiang di benaknya. Kekuatan sejati berasal dari dalam diri sendiri—itu adalah pesan yang dalam, yang seolah memberi arahan untuk perjalanan yang baru saja dimulai.

Saat melanjutkan perjalanan melalui hutan yang semakin lebat, Mukhayyam merasa seperti ada sesuatu yang besar yang sedang menunggu untuk ditemukan. Perjalanan ini bukan hanya untuk mencari ilmu dan kekuatan fisik, tetapi untuk menggali sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang akan membentuk dirinya menjadi pemimpin yang ia cita-citakan. Namun, ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Banyak hal yang harus ia pelajari, banyak rintangan yang harus ia hadapi, dan mungkin banyak pertempuran yang akan menguji dirinya, baik secara fisik maupun mental.

Akhirnya, setelah beberapa jam berjalan, Mukhayyam keluar dari hutan dan memasuki padang rumput yang terbuka. Di kejauhan, ia melihat pegunungan yang menjulang tinggi. Itulah tujuan akhirnya—sebuah tempat di mana ia berharap dapat menemukan guru yang dapat membimbingnya lebih jauh dalam pencariannya. Namun, meskipun jarak menuju pegunungan itu masih jauh, hati Mukhayyam sudah terasa ringan. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti semakin dekat dengan tujuannya, dan rasa percaya diri yang baru tumbuh di dalam dirinya semakin kuat.

Mukhayyam terus berjalan, bertekad untuk menemukan kekuatan sejati yang akan membantunya mengubah dunia. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk semua orang yang berharap pada pemimpin yang adil dan bijaksana—seperti yang ia inginkan. Dunia ini membutuhkan perubahan, dan ia akan menjadi bagian dari perubahan itu.

Dengan tekad yang semakin menguat, Mukhayyam melangkah maju, siap menghadapi segala tantangan yang ada di depannya.

Bab terkait

  • RAJA TANPA TAKHTA   BaB 3: Mimpi Seorang Pemudah

    Mukhayyam Hafiz berjalan tanpa henti, melewati padang rumput yang luas. Angin sore yang menyentuh kulitnya membawa rasa sejuk, seolah menenangkan jiwanya yang penuh gejolak. Setiap langkahnya mengantarkannya lebih jauh dari Desa Cindua, jauh dari rumah yang penuh dengan kenangan akan cinta dan harapan dari orang tua. Walau demikian, hatinya tetap tenang, seolah perjalanan panjang ini telah memantapkan dirinya untuk menghadapi segala yang akan datang.Namun, meski ada kedamaian dalam setiap langkah, dalam benaknya, pertanyaan-pertanyaan besar terus bermunculan. Apakah ia benar-benar siap untuk mengemban tanggung jawab yang begitu besar? Akankah pencariannya membawa hasil yang diinginkan? Semua itu hanya bisa dijawab setelah ia melewati berbagai ujian yang ada di depannya.Malam mulai turun, dan Mukhayyam memutuskan untuk beristirahat. Ia menemukan sebuah gua kecil di lereng bukit yang cukup aman untuk berlindung dari angin malam yang semakin dingin. Sambil duduk di atas batu datar, ia

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 4 Rahasia Di Balik Gunung Cindua

    Mukhayyam Hafiz menatap langit pagi yang berwarna jingga, berdiri di tepi sebuah tebing kecil di Gunung Cindua. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tak bergeming. Ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai, dan langkah-langkah berikutnya akan jauh lebih berat daripada apa yang sudah ia lewati. Kenangan percakapannya dengan pria berjubah putih malam sebelumnya masih segar dalam ingatan. Kata-kata pria itu tidak seperti nasihat biasa—itu adalah pesan yang dalam, seolah berasal dari dimensi lain.Namun, pagi itu tidak berjalan biasa. Suara langkah kaki perlahan terdengar di belakangnya, disertai suara daun-daun kering yang terinjak. Mukhayyam berbalik, menemukan seorang pria tua yang tampak asing, tetapi auranya tidak kalah kuat dibandingkan pria berjubah putih tadi malam. Pria tua itu membawa tongkat kayu yang berukir rumit dan sebuah tas kecil di pundaknya.“Selamat pagi, anak muda,” sapa pria itu dengan suara serak namun bersahabat.“Selamat pagi,” jawab Mukhayyam hati-hati. Ia bel

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 5 Legenda Yang Tak Pernah Usai

    Mentari pagi di Desa Cindua mulai merangkak naik, menyinari pegunungan yang kini tampak lebih megah setelah perjalanan Mukhayyam Hafiz. Namun, meski langit terlihat cerah, pikiran Mukhayyam tidak secerah itu. Langkahnya terasa berat ketika ia kembali ke rumahnya, membawa buku kuno yang kini berada dalam tas kulit di punggungnya.Di ambang pintu, ibunya, Syarifah Azurah, menunggu dengan tatapan cemas. "Mukhayyam, kemana saja kau semalam? Kami sangat khawatir!" ucapnya sambil mendekat, menyentuh wajah putranya untuk memastikan ia baik-baik saja.Mukhayyam menunduk sedikit, merasa bersalah karena membuat keluarganya cemas. "Maaf, Ibu. Aku harus pergi untuk mencari jawaban," jawabnya pelan.Ayahnya, Rasyid Ghazali, yang sedang duduk di beranda sambil memegang tongkat kayu, mengalihkan pandangannya dari ladang di kejauhan. "Jawaban apa yang kau cari hingga menghilang semalaman, Nak?" tanyanya dengan suara berat namun penuh rasa ingin tahu.Mukhayyam melepaskan tasnya dan duduk di dekat ked

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 6: Guru Pertama Mukhayyam

    Langit Desa Cindua berwarna abu-abu cerah pagi itu. Hembusan angin membawa aroma daun basah, menyegarkan udara desa yang tenang. Mukhayyam Hafiz melangkah dengan langkah mantap, membawa peta kuno yang dilipat rapi di saku bajunya. Ia berjalan menuju rumah Pak Bilal, pria tua yang kini menjadi tempatnya bertanya tentang misteri kitab dan peta yang ia temukan. Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda. Pak Bilal berdiri di depan rumahnya, seperti menunggu kedatangan Mukhayyam. Wajahnya serius, tetapi ada percikan kegembiraan di matanya. “Mukhayyam,” panggilnya, suaranya dalam dan penuh wibawa. “Hari ini adalah awal dari perjalanan yang sebenarnya. Sudah siap?” Mukhayyam mengangguk. “Aku siap, Pak Bilal. Apa yang harus aku lakukan?” Pak Bilal memiringkan kepalanya sedikit, matanya menyipit. “Kau sudah mempelajari dasar-dasarnya—kesabaran dan cara membaca peta itu dengan pikiran. Tapi perjalanan ini bukan tentang kau sendirian. Kau membutuhkan pembimbing, seseorang yang akan mengaj

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 7 Latihan Pagi Yang Berat

    Fajar belum sepenuhnya menyingsing, tetapi Gurutta Harun sudah berdiri di tengah lapangan kecil di tepi hutan. Ia menunggu dengan sabar sambil menyaksikan burung-burung berkicau di kejauhan. Di hadapannya, Mukhayyam Hafiz berusaha keras menyelesaikan perintah gurunya: berlari mengelilingi lapangan sebanyak lima puluh putaran.“Cepat, Mukhayyam!” seru Gurutta Harun dengan suara lantang. “Kau pikir musuhmu akan menunggumu istirahat? Jangan biarkan kelemahanmu menguasaimu!”Mukhayyam mengatur napasnya yang terengah-engah. Tubuhnya sudah mulai terasa lelah, tetapi tekad di dalam hatinya membuatnya terus berlari. Kakinya hampir menyerah, tetapi ia tahu bahwa ia tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan gurunya.“Gurutta,” katanya dengan nada terbata-bata, “bukankah kita bisa memulai dengan sesuatu yang lebih ringan? Mungkin latihan konsentrasi seperti kemarin?”Gurutta Harun tertawa kecil, tetapi ada nada tegas dalam tawanya. “Kau mengingi

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 8 Perjumpaan Dengan Si Tua Bijak

    Pagi itu, suasana di Desa Cindua terasa berbeda. Udara sejuk bercampur dengan aroma tanah yang baru saja diguyur hujan semalam, memberikan kedamaian yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Namun, hati Mukhayyam Hafiz tidak sepenuhnya tenang. Latihan-latihan berat yang diberikan Gurutta Harun mulai membuka matanya akan kerasnya kehidupan, tetapi ia merasa bahwa masih ada sesuatu yang hilang—jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar dalam benaknya. Gurutta Harun tampaknya memahami keresahan itu. Setelah menyelesaikan sarapan sederhana mereka, ia memandang Mukhayyam dengan tatapan penuh arti. “Mukhayyam,” katanya perlahan. “Hari ini, aku ingin kau bertemu dengan seseorang.” Mukhayyam menghentikan kunyahannya dan menatap gurunya dengan rasa ingin tahu. “Siapa, Gurutta?” “Seorang lelaki tua yang tinggal di pinggir hutan,” jawab Gurutta Harun. “Orang-orang di desa sering memanggilnya dengan sebutan Si Tua

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 9 Percakapan Tentang Kekuasaan

    Mukhayyam Hafiz duduk di beranda pondok Gurutta Harun. Malam itu angin sepoi-sepoi membawa aroma khas dari hutan di sekitarnya. Cahaya bulan menerangi desa Cindua dengan lembut, seolah menyoroti pemikiran yang berat di benak pemuda itu. Setelah bertemu Si Tua Bijak dan menjalani latihan yang melelahkan, kini ia merasa semakin dekat dengan pertanyaan besar yang terus menghantuinya: apa sebenarnya kekuasaan itu?Gurutta Harun keluar membawa dua cangkir teh panas. Ia meletakkan salah satunya di depan Mukhayyam dan duduk di kursi kayu di sampingnya. Gurutta tahu muridnya sedang bergulat dengan sesuatu yang penting.“Pikiranmu terlihat berat malam ini, Mukhayyam,” kata Gurutta, membuka percakapan.Mukhayyam menghela napas panjang. “Gurutta, saya ingin bertanya... apa sebenarnya kekuasaan itu?”Gurutta tersenyum tipis, seolah sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. Ia mengambil cangkir tehnya dan menyesap perlahan sebelum menjawab.“Kekuasaan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 10 Keiniginan Untuk Melangkah Lebih Jauh

    Pagi itu, udara di Desa Cindua terasa lebih segar dari biasanya. Embun pagi menempel di daun-daun hijau, dan suara burung berkicau merdu di antara pepohonan yang mulai tersentuh sinar matahari. Mukhayyam Hafiz duduk termenung di tepi sungai yang mengalir tenang, matanya mengikuti aliran air yang tak henti-hentinya bergerak. Perasaannya, sama seperti air itu—terus mengalir, selalu mencari jalan, namun belum menemukan tempat yang tepat.Ia merasa ada sesuatu yang tidak terungkapkan dalam hidupnya. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar belajar bela diri atau mendapatkan kekuasaan. Keinginan untuk menjadi pemimpin yang bijaksana dan bertanggung jawab semakin menguat dalam dirinya, tetapi ia merasa masih ada bagian dari dirinya yang harus dipahami terlebih dahulu.Pada saat itulah Gurutta Harun mendekatinya. Melihat wajah muridnya yang penuh tanda tanya, Gurutta tahu bahwa ada pergolakan dalam hati Mukhayyam yang perlu diselesaikan.“Mukhayyam, ada yang ingin k

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06

Bab terbaru

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 39 Pertemuan Tak Terduga dengan Kekuatan Super

    Pagi itu, cahaya matahari yang menembus dedaunan di pinggir hutan menyambut langkah Mukhayyam dan Raniah. Kharun telah mengantar mereka hingga ke tepi hutan dan memberikan arahan terakhir. Namun, jalan yang mereka lalui sekarang terasa berbeda—lebih asing dan penuh misteri. Bahkan udara di sini seakan mengandung energi yang tidak biasa.“Raniah,” Mukhayyam berkata pelan, sambil sesekali memperhatikan sekitar, “apa kau merasakan sesuatu yang aneh?”Raniah mengangguk, matanya terus waspada. “Aku merasa seperti diawasi. Bukan oleh manusia... tapi sesuatu yang lain.”Perjalanan mereka membawa mereka ke sebuah lembah yang tampak sunyi. Di sana, bebatuan besar bertumpuk seperti sisa-sisa bangunan kuno. Di tengah-tengah lembah itu, sebuah pohon raksasa berdiri megah, dengan akar-akarnya yang mencengkeram tanah seperti tangan raksasa.“Apa tempat ini?” Raniah bergumam.Mukhayyam mendekati pohon itu perlahan. Ada sesuatu yang memancar dari pohon i

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 38 Dunia yang Lebih Besar daru Desa Cindua

    Langit pagi merekah dengan semburat warna oranye ketika Mukhayyam berdiri di tepi bukit kecil yang membatasi Desa Cindua dengan dunia luar. Raniah berdiri di sisinya, memandang ke arah yang sama, di mana bentangan luas hutan, sungai yang mengular, dan pegunungan di kejauhan membentang sejauh mata memandang. Itu adalah pertama kalinya Mukhayyam melihat dunia luar begitu nyata—begitu besar, begitu penuh misteri."Jadi, inilah dunia yang selama ini berada di luar batas Desa Cindua," gumam Mukhayyam, suaranya dipenuhi rasa kagum dan keingintahuan yang tak terbendung."Ya," jawab Raniah pelan. "Ini hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Setiap langkah yang kita ambil menjauh dari Cindua, semakin banyak hal yang akan kita temui. Tantangan baru, orang-orang baru, dan, tentu saja, pelajaran baru."Mukhayyam menoleh ke arah Raniah. "Apakah kau pernah merasa takut, Raniah? Kau sudah lebih banyak berkelana dibanding aku. Apakah dunia luar ini pernah membua

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 37 Pencarian Arti Sebenarnya dari Kekuasaan

    Mukhayyam dan Raniah duduk di bawah pohon besar, di tepi sungai yang tenang. Suara gemericik air mengalir lembut, menciptakan suasana yang sejuk dan menenangkan. Namun, di dalam hati Mukhayyam, perasaan gelisah masih terus mengganggu. Perjalanan mereka telah membawa mereka ke titik ini—ke sebuah titik di mana mereka mulai memahami bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang hanya terkait dengan kekuatan fisik atau kemampuan bertarung. Itu lebih dari sekadar hal yang terlihat di luar. Kekuasaan sejati, Mukhayyam menyadari, adalah sesuatu yang lebih dalam dan lebih kompleks.“Apa yang sebenarnya kita cari, Raniah?” tanya Mukhayyam, suaranya penuh kebingungan. “Aku merasa kita terus berjuang, tetapi aku tidak bisa merasakan arti dari semua ini. Apa tujuan kita sebenarnya? Apa arti dari semua kekuasaan yang kita peroleh?”Raniah menatapnya dengan tatapan serius. Dalam perjalanan mereka, ia telah melihat perubahan besar dalam diri Mukhayyam—perubahan yang membuatnya menjadi l

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 36 Menghadapi Musuh dalam Diam

    Desa itu, yang sebelumnya terasa sunyi, kini tampak lebih misterius. Mukhayyam dan Raniah melangkah pelan di belakang pria tua yang sebelumnya mereka temui. Suara langkah mereka serasa tenggelam dalam keheningan hutan, seolah dunia di sekitar mereka berusaha menyembunyikan keberadaan mereka. Jalan setapak yang mereka ikuti semakin sempit, dikelilingi oleh pepohonan lebat yang tampak seakan menutupi matahari. Hanya cahaya remang-remang yang berhasil menembus celah-celah daun, menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalan.Mukhayyam merasakan ketegangan yang semakin menebal. Ada perasaan tak nyaman yang merayapi tubuhnya, seolah ada sesuatu yang mengamati mereka dari bayang-bayang. Perasaan itu lebih kuat daripada sebelumnya. Ia menatap Raniah, yang tampak tidak begitu terganggu meskipun suasana semakin mencekam.“Kita tidak bisa hanya berjalan begitu saja,” Mukhayyam berbisik pelan. “Ada sesuatu di sini, Raniah. Aku bisa merasakannya. Kita sedang diawasi.”

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 35 Langkah Maju ke Dunia Luar

    Mukhayyam berdiri di tengah kegelapan, tubuhnya terasa beku oleh apa yang baru saja ia alami. Dia telah menerima bagian dari dirinya yang tersembunyi, kegelapan yang telah lama ia hindari. Kini, setelah menerima kenyataan itu, ia merasa ada sebuah kekuatan yang berbeda mengalir dalam dirinya, seolah beban yang membebani jiwanya selama ini mulai terangkat.Di depannya, sosok yang menyerupai dirinya tersenyum tipis, namun tatapan itu penuh dengan kedalaman. “Kau telah melangkah lebih jauh dari yang bisa dibayangkan, Mukhayyam,” kata sosok itu dengan suara yang memantul di dalam kegelapan. “Kini, dunia luar menunggumu. Namun, apakah kau siap dengan apa yang akan datang?”Mukhayyam menatap sosok itu dengan tatapan yang penuh pertanyaan. “Apa yang akan datang? Apa yang aku hadapi setelah ini?”Sosok itu tertawa pelan, seolah tahu bahwa Mukhayyam sedang berjuang untuk memahami makna dari pertemuan ini. “Kekuatan itu ada di dalam dirimu, Mukhayyam. Tetapi dunia l

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 34 Mukhayyam dan Pengorbanan Tak Terduga

    Mukhayyam dan Raniah berdiri di depan altar besar di tengah kuil. Mahkota kuno yang bersinar keemasan di atasnya tampak begitu agung, seolah menjadi pusat dari segala kekuatan yang tersembunyi di tempat itu. Namun, suasana di dalam ruangan terasa berat, seperti ada energi yang terus menekan jiwa mereka. “Mukhayyam,” Raniah berbisik pelan, matanya tak lepas dari mahkota itu, “kau yakin ini yang kita cari?” Mukhayyam menatap mahkota itu dengan tatapan penuh tekad. “Aku tidak tahu apakah ini benar-benar jawabannya, tapi aku yakin ini adalah bagian dari perjalanan kita. Rahasia tentang takhta yang hilang mungkin terkunci di dalamnya.” Mereka melangkah lebih dekat ke altar. Namun, ketika Mukhayyam hendak menyentuh mahkota itu, sebuah suara dalam yang menggema menghentikannya. “Berhenti.” Suara itu terdengar dari segala arah, seperti berasal dari dinding kuil itu sendiri. Mukhayyam dan Raniah membeku di tempat mere

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 33 Keputusan Berat yang Harus Diambil

    Langit pagi di Desa Cindua begitu tenang, tetapi hati Mukhayyam penuh dengan kekhawatiran. Hari itu adalah awal dari sebuah keputusan besar yang harus ia ambil, sesuatu yang mungkin akan mengubah jalannya perjalanan ini. Suasana pondok terasa sunyi, hanya suara burung-burung yang sesekali terdengar di kejauhan.Harun sudah bangun lebih awal seperti biasa. Ia sedang menyiapkan minuman hangat di dapur ketika Mukhayyam datang dengan langkah ragu. Sorot mata Harun yang tajam langsung menangkap keresahan muridnya.“Pagi yang tenang, tetapi aku bisa melihat hatimu tidak tenang, Mukhayyam,” ujar Harun tanpa menoleh.Mukhayyam duduk di dekat meja kayu kecil dan menghela napas panjang. “Guru, aku merasa aku dihadapkan pada pilihan yang sulit. Setelah semua yang aku alami, aku tidak tahu apakah langkahku selanjutnya adalah yang benar.”Harun meletakkan cangkir di atas meja, lalu duduk berhadapan dengan Mukhayyam. “Katakan padaku apa yang mengganggumu. Biark

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 32 Pelajaran Hidup dari Sumber yang Tak Terduga

    Pagi itu, langit di Desa Cindua berwarna biru cerah dengan awan tipis menggantung seperti lukisan. Mukhayyam berdiri di halaman pondok dengan pedang di tangan, mencoba mempraktikkan gerakan-gerakan yang diajarkan Harun. Namun, pikirannya masih terusik oleh perasaan yang ia rasakan semalam. Janji kepada dirinya sendiri untuk tidak berhenti terasa begitu berat, seperti beban yang menekan pundaknya.Dari dalam pondok, Harun memandang muridnya dengan mata tajam. Ia tahu bahwa Mukhayyam sedang menghadapi pergulatan batin yang tidak sederhana. Untuk itu, Harun merasa waktu telah tiba untuk memberikan pelajaran baru—pelajaran yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh muridnya.“Mukhayyam,” panggil Harun dari beranda pondok. Suaranya tegas, seperti selalu. “Hari ini kita tidak akan berlatih seperti biasanya.”Mukhayyam menoleh, kebingungan. “Apa maksud Guru? Bukankah aku harus mengasah teknik-teknik baru?”Harun tersenyum tipis dan melambaikan tangannya,

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 31 Sebuah Janji yang Tak Pernah Luntur

    Malam itu, angin bertiup pelan membawa aroma tanah basah. Langit malam dihiasi bintang-bintang yang tampak seolah menyaksikan perjalanan seorang pemuda yang sedang bergulat dengan dirinya sendiri. Mukhayyam duduk bersila di bawah pohon besar di tepi desa, memegang pedang kecil yang diberikan Harun. Pandangannya kosong, pikirannya penuh dengan kenangan dan rencana masa depan. Harun, yang biasanya membiarkan Mukhayyam menyendiri setelah latihan berat, mendekatinya tanpa suara. Langkahnya ringan, namun kehadirannya membawa wibawa yang tak dapat disangkal. "Masih memikirkan masa depanmu, Mukhayyam?" tanya Harun seraya duduk di sampingnya. Mukhayyam tersentak kecil, namun tak mengalihkan pandangannya dari pedang di tangannya. "Ya, Guru. Rasanya ada begitu banyak hal yang harus kupahami, tapi waktu terasa begitu sedikit." Harun tersenyum tipis. "Memang selalu begitu. Hidup akan selalu memberimu lebih banyak pertanyaan daripada ja

DMCA.com Protection Status