Desa Cindua, sebuah tempat yang berada di tengah hamparan pegunungan yang hijau, telah menjadi saksi bisu dari banyak perubahan. Di sinilah, di sebuah desa kecil namun penuh sejarah, seorang anak muda bernama Mukhayyam Hafiz memulai perjalanan hidupnya. Walaupun takhta dan kerajaan bukanlah miliknya, Cindua adalah dunia yang ia kenal—dunia yang akan membentuknya menjadi seorang pemimpin yang luar biasa.
Pagi itu, matahari perlahan naik ke langit, memancarkan sinarnya yang lembut, menerangi setiap sudut desa yang damai. Suara riang dari anak-anak yang bermain di luar rumah bergema, sementara udara pagi yang segar memberikan rasa tenang bagi penduduk yang sedang memulai aktivitas sehari-hari. Di dalam rumah kecil berbentuk kayu yang berada di ujung desa, Mukhayyam duduk bersama kedua orang tuanya, Rasyid Ghazali dan Syarifah Azurah. Mukhayyam, dengan wajah yang masih muda namun penuh tanda-tanda kedewasaan, tengah memperhatikan ayahnya yang duduk di hadapannya. Rasyid, seorang lelaki yang tampak lebih tua dari usianya karena garis kerut yang mulai tampak di wajahnya, terlihat serius. Dia duduk tegak dengan tangan terlipat di atas meja kayu sederhana yang menjadi tempat makan mereka. "Anakku," suara Rasyid yang berat mengalir pelan, "Kau tahu bahwa hidup kita di sini tidak hanya tentang bertahan hidup. Desa Cindua ini memiliki sejarah panjang, dan suatu hari, kau akan tahu betapa pentingnya peranmu dalam menjaga keharmonisan di sini." Mukhayyam menatap ayahnya dengan penuh perhatian. Ia tahu bahwa kata-kata ini bukan hanya nasihat biasa, melainkan sebuah peringatan yang disampaikan dengan keseriusan. Sejak kecil, ia telah diajarkan untuk menghargai nilai-nilai luhur yang ada dalam masyarakatnya. Namun, ia merasa ada sesuatu yang lebih dalam yang perlu ia pahami, sesuatu yang lebih besar dari apa yang telah diajarkan selama ini. "Namun, ayah," Mukhayyam membuka percakapan dengan suara lembut namun penuh rasa ingin tahu, "Apa sebenarnya yang dimaksud dengan 'peran' itu? Apa yang seharusnya saya lakukan untuk desa ini? Saya bukan siapa-siapa, hanya seorang anak muda yang baru belajar tentang dunia." Syarifah, ibu Mukhayyam yang selama ini lebih sering diam, kini membuka mulutnya dengan penuh kebijaksanaan. “Anakku, dunia tidak akan memberi jawaban yang mudah. Tidak akan ada takhta atau kerajaan yang diberikan padamu, dan kau tidak akan menerima kekuasaan hanya dengan tangan kosong. Namun, kekuatan yang sejati datang dari dalam diri, dari kemampuan untuk memilih jalan yang benar, untuk memimpin tanpa harus memiliki segala hal yang dimiliki oleh penguasa dunia.” Mukhayyam mendengarkan dengan seksama, tapi masih ada kebingungannya yang tak terjawab. Dia merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekedar mencari ilmu atau membuktikan kemampuan dalam pertempuran. Ia merasa ada beban yang lebih dalam, beban yang datang dari akar sejarahnya sebagai seorang anak dari desa Cindua. Ayahnya, seorang petani yang jujur dan sederhana, tidak pernah berbicara banyak tentang kekuasaan atau politik. Namun, Syarifah, ibunya, selalu menanamkan bahwa kekuasaan yang sejati bukan datang dari takhta atau kedudukan, tetapi dari kemampuan untuk berdiri tegak dan menjaga keadilan. "Namun, bagaimana kita tahu apa yang benar, Ibu?" tanya Mukhayyam, menggali lebih dalam pertanyaan yang sudah lama mengganjal di hatinya. Syarifah tersenyum lembut. "Terkadang, kita tidak akan tahu jawabannya dengan jelas. Tetapi yang terpenting adalah untuk selalu mendengarkan hati nurani kita. Keadilan tidak selalu tampak jelas, tetapi ia selalu hadir dalam tindakan kita sehari-hari. Bukan hanya dalam perang atau konflik besar, tetapi dalam cara kita memperlakukan sesama, dalam keputusan-keputusan kecil yang kita buat." Mukhayyam menundukkan kepala sejenak, mencoba mencerna kata-kata ibunya. Terkadang, kata-kata yang sederhana justru mengandung makna yang lebih dalam daripada yang terlihat. Dalam diam, dia mulai merasakan beban yang lebih berat—bahwa suatu hari nanti, dia mungkin harus membuat keputusan besar yang akan mempengaruhi banyak orang. Namun, di saat yang sama, dia merasa takut bahwa ia tidak cukup kuat untuk menghadapinya. "Apakah saya harus pergi dari desa ini?" Mukhayyam akhirnya bertanya, suaranya pelan, hampir berbisik. "Apakah saya harus mencari ilmu di luar sana, melampaui apa yang sudah diajarkan di sini? Saya ingin tahu lebih banyak, tetapi saya takut kehilangan semuanya." Rasyid, yang selama ini lebih pendiam, kini menatapnya dengan tatapan penuh makna. "Terkadang, anakku, perjalanan hidup membawa kita jauh dari tempat kita berasal. Tapi ingatlah, meskipun kau pergi, Cindua tetap akan menjadi rumahmu. Tidak ada yang lebih penting selain membawa kembali apa yang telah kau pelajari, dan membagikan pengetahuan itu untuk kebaikan bersama." Di luar, angin berdesir lembut, membawa aroma tanah yang basah setelah hujan semalam. Mukhayyam menatap ke luar jendela, melihat para petani yang tengah bekerja di ladang, memanen hasil bumi mereka dengan penuh kebanggaan. Di antara mereka, Mukhayyam tahu bahwa tak ada yang menginginkan kekuasaan. Mereka hanya ingin hidup dengan damai, menjaga keluarga dan tanah yang mereka cintai. Namun, seiring waktu, Mukhayyam merasa bahwa kedamaian itu sendiri bisa terguncang kapan saja. Dalam dirinya ada dorongan untuk melakukan lebih—sesuatu yang lebih dari sekadar menjaga kedamaian, tetapi untuk mewujudkan keadilan di dunia yang penuh ketidakpastian ini. "Pagi ini," kata Syarifah dengan nada serius, "kau harus membuat keputusan, Nak. Keputusan yang akan membawamu ke jalan yang belum pernah kau coba sebelumnya." Mukhayyam menatap ibunya dengan ragu. "Keputusan seperti apa, Ibu?" "Perjalananmu dimulai dari sini, tetapi bukan berarti kau akan tetap di sini selamanya. Dunia luar penuh dengan tantangan, namun juga peluang. Jika kau ingin mengetahui kebenaran, kau harus pergi. Namun ingatlah, kekuatan sejati berasal dari dalam, bukan dari apa yang kau miliki, tetapi dari bagaimana kau memimpin dirimu sendiri." Rasyid menambahkan, "Kami tidak akan pernah memaksamu untuk meninggalkan desa ini, tetapi kami tahu kau harus menemukan jalanmu sendiri. Kelak, suatu hari nanti, kau akan kembali dengan lebih banyak pengetahuan dan kekuatan. Tidak untuk menguasai dunia, tetapi untuk menuntun orang-orang menuju kebenaran dan keadilan." Percakapan itu berjalan lama, penuh dengan pertanyaan dan jawaban yang tidak selalu mudah. Mukhayyam merasa ada dunia yang lebih besar dari yang pernah dia bayangkan, dunia yang penuh dengan tantangan yang tak terhindarkan. Mungkin, seperti yang dikatakan ayahnya, perjalanan ini harus dimulai dari dirinya sendiri—dari tekad untuk memahami apa yang bisa dilakukannya untuk membawa perubahan. Setelah beberapa waktu, Mukhayyam akhirnya berdiri dari kursinya. Ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Perasaan takut dan bingung yang semula ada di dalam hatinya kini digantikan dengan semangat baru. Ia tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan tantangan, tetapi dia tidak lagi merasa sendiri. Dia tahu bahwa apa yang dia pelajari di desa Cindua, dari orang tuanya dan masyarakat sekitar, adalah bekal yang tak ternilai harganya. "Saya akan pergi," kata Mukhayyam dengan penuh keyakinan. "Saya akan mencari ilmu dan kembali dengan kekuatan yang lebih besar, untuk membawa kebaikan bagi desa ini." Syarifah dan Rasyid saling bertukar pandang, senyum bangga muncul di wajah mereka. Mereka tahu bahwa anak mereka telah siap untuk menjalani perjalanan besar yang ada di depannya. Di luar, desa Cindua tetap berjalan seperti biasa. Namun, bagi Mukhayyam, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Sebuah perjalanan baru menantinya, dan dia tahu bahwa perjalanan itu adalah awal dari sebuah legenda—legenda seorang pemimpin yang tidak memiliki takhta, tetapi memiliki kekuatan sejati yang akan mengubah dunia. Seiring berlalunya waktu, perasaan yang semula penuh keraguan kini berubah menjadi tekad yang membara dalam diri Mukhayyam Hafiz. Ia duduk kembali, kali ini di luar rumah, di bawah pohon beringin besar yang sudah lama tumbuh di halaman keluarga mereka. Pohon itu adalah saksi dari ribuan cerita—cerita yang membawa banyak orang ke titik kehidupan mereka yang baru. Di sinilah ayah dan ibunya sering duduk, menghabiskan malam dengan berbincang tentang dunia, tentang kehidupan, dan tentu saja, tentang Cindua yang mereka cintai. Angin sore yang sejuk bertiup, membawa harum tanah yang lembab dari ladang yang baru saja dipanen. Suara burung berkicau riang di antara dedaunan pohon yang bergoyang pelan. Mukhayyam menatap langit yang mulai memerah, menunggu matahari tenggelam di balik pegunungan yang jauh di ujung desa. Ia merenung, mencoba memahami kata-kata orang tuanya yang dalam dan penuh makna. "Jika aku pergi, apa yang akan aku temui di luar sana?" pikirnya dalam hati. "Apakah aku siap menghadapi dunia yang penuh dengan kebohongan dan ketidakadilan? Dan jika aku kembali, apa yang bisa kulakukan untuk mengubah semuanya?" Beberapa detik kemudian, suara langkah kaki terdengar mendekat, mengganggu lamunannya. Mukhayyam menoleh dan melihat seorang lelaki tua dengan janggut putih panjang, mengenakan pakaian sederhana, berjalan mendekat. Itu adalah Pak Darman, seorang tetua desa yang dikenal dengan kebijaksanaannya. Pak Darman selalu datang ke rumah mereka setiap sore untuk berbincang, memberikan nasihat, dan terkadang mengajarkan Mukhayyam pelajaran hidup yang tak diajarkan di sekolah. "Anakku," kata Pak Darman, sambil duduk di samping Mukhayyam di bawah pohon beringin, "Kau tampaknya sedang memikirkan sesuatu yang besar, bukan?" Mukhayyam mengangguk pelan. "Aku sedang berpikir tentang perjalanan yang harus kulakukan. Tentang apa yang harus aku cari di luar sana. Ayah dan Ibu mengatakan bahwa aku harus mencari ilmu, mencari kekuatan. Tapi, aku merasa seperti aku tidak cukup tahu untuk memulai perjalanan ini." Pak Darman tersenyum bijaksana. "Mukhayyam, ingatlah ini—perjalanan itu bukan hanya tentang mencari sesuatu di luar diri kita, tetapi juga tentang menemukan sesuatu yang ada dalam diri kita. Kekuatan yang sejati datang dari keyakinan kita pada diri sendiri, pada prinsip-prinsip yang kita pegang, dan pada tujuan yang kita kejar. Jika kau mencari kekuatan di luar, kau akan menemukannya, tetapi jika kau mencari kekuatan dalam dirimu sendiri, itu akan lebih berarti." Mukhayyam memandang Pak Darman dengan penuh perhatian. Selama ini, ia tahu bahwa Pak Darman bukan hanya seorang tetua biasa. Lelaki tua itu memiliki kedalaman pemikiran yang luar biasa, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu meninggalkan kesan yang mendalam. "Apa yang harus aku lakukan setelah aku pergi, Pak Darman?" tanya Mukhayyam dengan nada serius. "Aku ingin tahu lebih banyak, ingin belajar lebih banyak. Tapi, aku takut aku tidak akan menemukan jalan yang benar." Pak Darman tersenyum lemah, menatap langit yang mulai gelap. "Jalan yang benar adalah jalan yang kau pilih dengan hati, Mukhayyam. Dunia luar mungkin penuh dengan godaan dan kesulitan, tetapi jika hati kita tetap teguh, kita akan bisa menghadapinya. Ingat, bahwa hidup ini bukan tentang mencari jawaban yang mudah. Terkadang, jawabannya hanya akan datang setelah kita melewati banyak ujian." Mukhayyam terdiam, berpikir dalam-dalam. Di luar sana, dunia terasa sangat luas, penuh dengan misteri dan tantangan yang belum pernah ia bayangkan. Namun, kata-kata Pak Darman membantunya melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Perjalanan bukanlah tentang mencari sesuatu di luar sana, tetapi tentang memahami siapa dirinya sebenarnya dan apa yang bisa dilakukannya untuk orang lain. "Pak Darman, apakah kau juga pernah merasa ragu sebelum memulai perjalanan hidupmu?" tanya Mukhayyam, merasa lebih terbuka untuk berbagi keraguannya. Pak Darman tertawa pelan. "Oh, tentu saja. Setiap orang yang memiliki tujuan besar akan merasa ragu pada awalnya. Tetapi ragu itu bukanlah hal yang buruk. Ragu adalah tanda bahwa kita memiliki kesadaran akan konsekuensi dari tindakan kita. Yang penting adalah bagaimana kita menghadapinya. Jika kau takut, itu tidak masalah. Tetapi jangan biarkan rasa takut itu menghentikan langkahmu. Kekuatan bukanlah tentang tidak merasa takut, tetapi tentang berani melangkah meski ada rasa takut." Mukhayyam mendengar dengan seksama, mencoba meresapi setiap kata-kata yang keluar dari mulut Pak Darman. Setiap kali lelaki tua itu berbicara, seolah dunia sekitarnya menjadi lebih jelas. Ia merasa bahwa perjalanan yang harus ia tempuh bukan hanya tentang melampaui rintangan fisik, tetapi juga tentang mengatasi keraguan dan ketakutan yang ada dalam dirinya. Ketika Pak Darman bangkit dan bersiap untuk pergi, Mukhayyam tetap duduk di bawah pohon beringin, menatap jauh ke depan. Malam mulai menyelimuti desa Cindua, dan lampu-lampu rumah mulai menyala, menciptakan cahaya kecil yang melawan gelap. Mukhayyam tahu, bahwa meskipun perjalanan ini baru dimulai, ia sudah memulai langkah pertama menuju pemahaman yang lebih besar tentang dirinya dan dunia di sekitarnya. Sesaat setelah Pak Darman pergi, Mukhayyam kembali masuk ke rumah. Ayah dan ibunya sedang duduk di meja makan, tampak sibuk dengan pekerjaan mereka yang sederhana namun penting. Mukhayyam berdiri di ambang pintu, menatap kedua orang tuanya yang selalu memberikan rasa aman dan kedamaian. "Ibu, Ayah," kata Mukhayyam, suaranya penuh tekad. "Aku akan pergi. Aku akan mencari ilmu dan kekuatan. Aku ingin menemukan cara untuk mengubah dunia ini, untuk membawa keadilan bagi mereka yang membutuhkan." Rasyid dan Syarifah saling bertukar pandang. Senyuman bangga muncul di wajah mereka, namun di mata mereka, ada keprihatinan yang dalam. Mereka tahu bahwa perjalanan anak mereka akan penuh tantangan, dan tidak ada yang bisa menjamin keselamatannya. Namun, mereka juga tahu bahwa Mukhayyam sudah cukup matang untuk menghadapi dunia luar, dan bahwa di balik semua keraguan dan ketakutan yang ia rasakan, ada kekuatan yang besar. "Apa pun yang kau pilih, kami akan mendukungmu, Nak," kata Rasyid dengan suara berat namun penuh kasih. "Cindua akan selalu menantimu untuk kembali. Tetapi ingatlah, dunia ini tidak seperti yang kita bayangkan. Jangan pernah lupakan asal-usulmu, dan selalu ingatlah bahwa kebaikan dan keadilan adalah hal yang paling berharga." Syarifah menambahkan, "Jangan pernah berhenti mencari, anakku. Meskipun perjalanan ini sulit, jangan biarkan kesulitan itu menghalangimu. Kau dilahirkan dengan potensi besar, dan kau harus menemukan cara untuk menggunakannya dengan bijak." Mukhayyam mengangguk, hatinya penuh dengan rasa hormat dan terima kasih kepada kedua orang tuanya. Ia tahu bahwa perpisahan ini bukanlah akhir, tetapi awal dari sesuatu yang lebih besar. Dengan tekad yang semakin kuat, ia melangkah keluar dari rumah, siap untuk memulai perjalanan yang akan mengubah hidupnya selamanya.Mukhayyam Hafiz bangun pagi-pagi sekali, seperti biasa, dengan cahaya mentari yang mulai menyinari langit di atas Desa Cindua. Tadi malam, ia tidur dengan pikiran yang dipenuhi dengan berbagai pertanyaan dan perasaan yang campur aduk. Keputusan untuk pergi, untuk mencari ilmu dan kekuatan, terasa semakin dekat. Namun, di balik keputusan itu ada banyak hal yang harus ia hadapi, banyak hal yang harus ia pahami tentang dirinya dan dunia yang ada di luar Desa Cindua.Di dapur, ibunya sudah menyiapkan sarapan seperti biasanya—nasi hangat, ikan goreng, dan sayur daun singkong. Ibu Syarifah selalu memiliki cara untuk memberikan kenyamanan dengan masakan sederhana yang penuh cinta. Mukhayyam memandang ibunya dengan penuh rasa terima kasih. Setiap gerakan ibunya di dapur terasa seperti bagian dari rutinitas yang tak pernah lepas dari kehidupannya. Sebuah rasa aman yang tidak bisa ia temukan di tempat lain."Sudah siap untuk berangkat, Nak?" tanya Syarifah dengan lembut, sambil menyajikan secan
Mukhayyam Hafiz berjalan tanpa henti, melewati padang rumput yang luas. Angin sore yang menyentuh kulitnya membawa rasa sejuk, seolah menenangkan jiwanya yang penuh gejolak. Setiap langkahnya mengantarkannya lebih jauh dari Desa Cindua, jauh dari rumah yang penuh dengan kenangan akan cinta dan harapan dari orang tua. Walau demikian, hatinya tetap tenang, seolah perjalanan panjang ini telah memantapkan dirinya untuk menghadapi segala yang akan datang.Namun, meski ada kedamaian dalam setiap langkah, dalam benaknya, pertanyaan-pertanyaan besar terus bermunculan. Apakah ia benar-benar siap untuk mengemban tanggung jawab yang begitu besar? Akankah pencariannya membawa hasil yang diinginkan? Semua itu hanya bisa dijawab setelah ia melewati berbagai ujian yang ada di depannya.Malam mulai turun, dan Mukhayyam memutuskan untuk beristirahat. Ia menemukan sebuah gua kecil di lereng bukit yang cukup aman untuk berlindung dari angin malam yang semakin dingin. Sambil duduk di atas batu datar, ia
Mukhayyam Hafiz menatap langit pagi yang berwarna jingga, berdiri di tepi sebuah tebing kecil di Gunung Cindua. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tak bergeming. Ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai, dan langkah-langkah berikutnya akan jauh lebih berat daripada apa yang sudah ia lewati. Kenangan percakapannya dengan pria berjubah putih malam sebelumnya masih segar dalam ingatan. Kata-kata pria itu tidak seperti nasihat biasa—itu adalah pesan yang dalam, seolah berasal dari dimensi lain.Namun, pagi itu tidak berjalan biasa. Suara langkah kaki perlahan terdengar di belakangnya, disertai suara daun-daun kering yang terinjak. Mukhayyam berbalik, menemukan seorang pria tua yang tampak asing, tetapi auranya tidak kalah kuat dibandingkan pria berjubah putih tadi malam. Pria tua itu membawa tongkat kayu yang berukir rumit dan sebuah tas kecil di pundaknya.“Selamat pagi, anak muda,” sapa pria itu dengan suara serak namun bersahabat.“Selamat pagi,” jawab Mukhayyam hati-hati. Ia bel
Mentari pagi di Desa Cindua mulai merangkak naik, menyinari pegunungan yang kini tampak lebih megah setelah perjalanan Mukhayyam Hafiz. Namun, meski langit terlihat cerah, pikiran Mukhayyam tidak secerah itu. Langkahnya terasa berat ketika ia kembali ke rumahnya, membawa buku kuno yang kini berada dalam tas kulit di punggungnya.Di ambang pintu, ibunya, Syarifah Azurah, menunggu dengan tatapan cemas. "Mukhayyam, kemana saja kau semalam? Kami sangat khawatir!" ucapnya sambil mendekat, menyentuh wajah putranya untuk memastikan ia baik-baik saja.Mukhayyam menunduk sedikit, merasa bersalah karena membuat keluarganya cemas. "Maaf, Ibu. Aku harus pergi untuk mencari jawaban," jawabnya pelan.Ayahnya, Rasyid Ghazali, yang sedang duduk di beranda sambil memegang tongkat kayu, mengalihkan pandangannya dari ladang di kejauhan. "Jawaban apa yang kau cari hingga menghilang semalaman, Nak?" tanyanya dengan suara berat namun penuh rasa ingin tahu.Mukhayyam melepaskan tasnya dan duduk di dekat ked
Langit Desa Cindua berwarna abu-abu cerah pagi itu. Hembusan angin membawa aroma daun basah, menyegarkan udara desa yang tenang. Mukhayyam Hafiz melangkah dengan langkah mantap, membawa peta kuno yang dilipat rapi di saku bajunya. Ia berjalan menuju rumah Pak Bilal, pria tua yang kini menjadi tempatnya bertanya tentang misteri kitab dan peta yang ia temukan. Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda. Pak Bilal berdiri di depan rumahnya, seperti menunggu kedatangan Mukhayyam. Wajahnya serius, tetapi ada percikan kegembiraan di matanya. “Mukhayyam,” panggilnya, suaranya dalam dan penuh wibawa. “Hari ini adalah awal dari perjalanan yang sebenarnya. Sudah siap?” Mukhayyam mengangguk. “Aku siap, Pak Bilal. Apa yang harus aku lakukan?” Pak Bilal memiringkan kepalanya sedikit, matanya menyipit. “Kau sudah mempelajari dasar-dasarnya—kesabaran dan cara membaca peta itu dengan pikiran. Tapi perjalanan ini bukan tentang kau sendirian. Kau membutuhkan pembimbing, seseorang yang akan mengaj
Fajar belum sepenuhnya menyingsing, tetapi Gurutta Harun sudah berdiri di tengah lapangan kecil di tepi hutan. Ia menunggu dengan sabar sambil menyaksikan burung-burung berkicau di kejauhan. Di hadapannya, Mukhayyam Hafiz berusaha keras menyelesaikan perintah gurunya: berlari mengelilingi lapangan sebanyak lima puluh putaran.“Cepat, Mukhayyam!” seru Gurutta Harun dengan suara lantang. “Kau pikir musuhmu akan menunggumu istirahat? Jangan biarkan kelemahanmu menguasaimu!”Mukhayyam mengatur napasnya yang terengah-engah. Tubuhnya sudah mulai terasa lelah, tetapi tekad di dalam hatinya membuatnya terus berlari. Kakinya hampir menyerah, tetapi ia tahu bahwa ia tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan gurunya.“Gurutta,” katanya dengan nada terbata-bata, “bukankah kita bisa memulai dengan sesuatu yang lebih ringan? Mungkin latihan konsentrasi seperti kemarin?”Gurutta Harun tertawa kecil, tetapi ada nada tegas dalam tawanya. “Kau mengingi
Pagi itu, suasana di Desa Cindua terasa berbeda. Udara sejuk bercampur dengan aroma tanah yang baru saja diguyur hujan semalam, memberikan kedamaian yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Namun, hati Mukhayyam Hafiz tidak sepenuhnya tenang. Latihan-latihan berat yang diberikan Gurutta Harun mulai membuka matanya akan kerasnya kehidupan, tetapi ia merasa bahwa masih ada sesuatu yang hilang—jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar dalam benaknya. Gurutta Harun tampaknya memahami keresahan itu. Setelah menyelesaikan sarapan sederhana mereka, ia memandang Mukhayyam dengan tatapan penuh arti. “Mukhayyam,” katanya perlahan. “Hari ini, aku ingin kau bertemu dengan seseorang.” Mukhayyam menghentikan kunyahannya dan menatap gurunya dengan rasa ingin tahu. “Siapa, Gurutta?” “Seorang lelaki tua yang tinggal di pinggir hutan,” jawab Gurutta Harun. “Orang-orang di desa sering memanggilnya dengan sebutan Si Tua
Mukhayyam Hafiz duduk di beranda pondok Gurutta Harun. Malam itu angin sepoi-sepoi membawa aroma khas dari hutan di sekitarnya. Cahaya bulan menerangi desa Cindua dengan lembut, seolah menyoroti pemikiran yang berat di benak pemuda itu. Setelah bertemu Si Tua Bijak dan menjalani latihan yang melelahkan, kini ia merasa semakin dekat dengan pertanyaan besar yang terus menghantuinya: apa sebenarnya kekuasaan itu?Gurutta Harun keluar membawa dua cangkir teh panas. Ia meletakkan salah satunya di depan Mukhayyam dan duduk di kursi kayu di sampingnya. Gurutta tahu muridnya sedang bergulat dengan sesuatu yang penting.“Pikiranmu terlihat berat malam ini, Mukhayyam,” kata Gurutta, membuka percakapan.Mukhayyam menghela napas panjang. “Gurutta, saya ingin bertanya... apa sebenarnya kekuasaan itu?”Gurutta tersenyum tipis, seolah sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. Ia mengambil cangkir tehnya dan menyesap perlahan sebelum menjawab.“Kekuasaan
Pagi itu, cahaya matahari yang menembus dedaunan di pinggir hutan menyambut langkah Mukhayyam dan Raniah. Kharun telah mengantar mereka hingga ke tepi hutan dan memberikan arahan terakhir. Namun, jalan yang mereka lalui sekarang terasa berbeda—lebih asing dan penuh misteri. Bahkan udara di sini seakan mengandung energi yang tidak biasa.“Raniah,” Mukhayyam berkata pelan, sambil sesekali memperhatikan sekitar, “apa kau merasakan sesuatu yang aneh?”Raniah mengangguk, matanya terus waspada. “Aku merasa seperti diawasi. Bukan oleh manusia... tapi sesuatu yang lain.”Perjalanan mereka membawa mereka ke sebuah lembah yang tampak sunyi. Di sana, bebatuan besar bertumpuk seperti sisa-sisa bangunan kuno. Di tengah-tengah lembah itu, sebuah pohon raksasa berdiri megah, dengan akar-akarnya yang mencengkeram tanah seperti tangan raksasa.“Apa tempat ini?” Raniah bergumam.Mukhayyam mendekati pohon itu perlahan. Ada sesuatu yang memancar dari pohon i
Langit pagi merekah dengan semburat warna oranye ketika Mukhayyam berdiri di tepi bukit kecil yang membatasi Desa Cindua dengan dunia luar. Raniah berdiri di sisinya, memandang ke arah yang sama, di mana bentangan luas hutan, sungai yang mengular, dan pegunungan di kejauhan membentang sejauh mata memandang. Itu adalah pertama kalinya Mukhayyam melihat dunia luar begitu nyata—begitu besar, begitu penuh misteri."Jadi, inilah dunia yang selama ini berada di luar batas Desa Cindua," gumam Mukhayyam, suaranya dipenuhi rasa kagum dan keingintahuan yang tak terbendung."Ya," jawab Raniah pelan. "Ini hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Setiap langkah yang kita ambil menjauh dari Cindua, semakin banyak hal yang akan kita temui. Tantangan baru, orang-orang baru, dan, tentu saja, pelajaran baru."Mukhayyam menoleh ke arah Raniah. "Apakah kau pernah merasa takut, Raniah? Kau sudah lebih banyak berkelana dibanding aku. Apakah dunia luar ini pernah membua
Mukhayyam dan Raniah duduk di bawah pohon besar, di tepi sungai yang tenang. Suara gemericik air mengalir lembut, menciptakan suasana yang sejuk dan menenangkan. Namun, di dalam hati Mukhayyam, perasaan gelisah masih terus mengganggu. Perjalanan mereka telah membawa mereka ke titik ini—ke sebuah titik di mana mereka mulai memahami bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang hanya terkait dengan kekuatan fisik atau kemampuan bertarung. Itu lebih dari sekadar hal yang terlihat di luar. Kekuasaan sejati, Mukhayyam menyadari, adalah sesuatu yang lebih dalam dan lebih kompleks.“Apa yang sebenarnya kita cari, Raniah?” tanya Mukhayyam, suaranya penuh kebingungan. “Aku merasa kita terus berjuang, tetapi aku tidak bisa merasakan arti dari semua ini. Apa tujuan kita sebenarnya? Apa arti dari semua kekuasaan yang kita peroleh?”Raniah menatapnya dengan tatapan serius. Dalam perjalanan mereka, ia telah melihat perubahan besar dalam diri Mukhayyam—perubahan yang membuatnya menjadi l
Desa itu, yang sebelumnya terasa sunyi, kini tampak lebih misterius. Mukhayyam dan Raniah melangkah pelan di belakang pria tua yang sebelumnya mereka temui. Suara langkah mereka serasa tenggelam dalam keheningan hutan, seolah dunia di sekitar mereka berusaha menyembunyikan keberadaan mereka. Jalan setapak yang mereka ikuti semakin sempit, dikelilingi oleh pepohonan lebat yang tampak seakan menutupi matahari. Hanya cahaya remang-remang yang berhasil menembus celah-celah daun, menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalan.Mukhayyam merasakan ketegangan yang semakin menebal. Ada perasaan tak nyaman yang merayapi tubuhnya, seolah ada sesuatu yang mengamati mereka dari bayang-bayang. Perasaan itu lebih kuat daripada sebelumnya. Ia menatap Raniah, yang tampak tidak begitu terganggu meskipun suasana semakin mencekam.“Kita tidak bisa hanya berjalan begitu saja,” Mukhayyam berbisik pelan. “Ada sesuatu di sini, Raniah. Aku bisa merasakannya. Kita sedang diawasi.”
Mukhayyam berdiri di tengah kegelapan, tubuhnya terasa beku oleh apa yang baru saja ia alami. Dia telah menerima bagian dari dirinya yang tersembunyi, kegelapan yang telah lama ia hindari. Kini, setelah menerima kenyataan itu, ia merasa ada sebuah kekuatan yang berbeda mengalir dalam dirinya, seolah beban yang membebani jiwanya selama ini mulai terangkat.Di depannya, sosok yang menyerupai dirinya tersenyum tipis, namun tatapan itu penuh dengan kedalaman. “Kau telah melangkah lebih jauh dari yang bisa dibayangkan, Mukhayyam,” kata sosok itu dengan suara yang memantul di dalam kegelapan. “Kini, dunia luar menunggumu. Namun, apakah kau siap dengan apa yang akan datang?”Mukhayyam menatap sosok itu dengan tatapan yang penuh pertanyaan. “Apa yang akan datang? Apa yang aku hadapi setelah ini?”Sosok itu tertawa pelan, seolah tahu bahwa Mukhayyam sedang berjuang untuk memahami makna dari pertemuan ini. “Kekuatan itu ada di dalam dirimu, Mukhayyam. Tetapi dunia l
Mukhayyam dan Raniah berdiri di depan altar besar di tengah kuil. Mahkota kuno yang bersinar keemasan di atasnya tampak begitu agung, seolah menjadi pusat dari segala kekuatan yang tersembunyi di tempat itu. Namun, suasana di dalam ruangan terasa berat, seperti ada energi yang terus menekan jiwa mereka. “Mukhayyam,” Raniah berbisik pelan, matanya tak lepas dari mahkota itu, “kau yakin ini yang kita cari?” Mukhayyam menatap mahkota itu dengan tatapan penuh tekad. “Aku tidak tahu apakah ini benar-benar jawabannya, tapi aku yakin ini adalah bagian dari perjalanan kita. Rahasia tentang takhta yang hilang mungkin terkunci di dalamnya.” Mereka melangkah lebih dekat ke altar. Namun, ketika Mukhayyam hendak menyentuh mahkota itu, sebuah suara dalam yang menggema menghentikannya. “Berhenti.” Suara itu terdengar dari segala arah, seperti berasal dari dinding kuil itu sendiri. Mukhayyam dan Raniah membeku di tempat mere
Langit pagi di Desa Cindua begitu tenang, tetapi hati Mukhayyam penuh dengan kekhawatiran. Hari itu adalah awal dari sebuah keputusan besar yang harus ia ambil, sesuatu yang mungkin akan mengubah jalannya perjalanan ini. Suasana pondok terasa sunyi, hanya suara burung-burung yang sesekali terdengar di kejauhan.Harun sudah bangun lebih awal seperti biasa. Ia sedang menyiapkan minuman hangat di dapur ketika Mukhayyam datang dengan langkah ragu. Sorot mata Harun yang tajam langsung menangkap keresahan muridnya.“Pagi yang tenang, tetapi aku bisa melihat hatimu tidak tenang, Mukhayyam,” ujar Harun tanpa menoleh.Mukhayyam duduk di dekat meja kayu kecil dan menghela napas panjang. “Guru, aku merasa aku dihadapkan pada pilihan yang sulit. Setelah semua yang aku alami, aku tidak tahu apakah langkahku selanjutnya adalah yang benar.”Harun meletakkan cangkir di atas meja, lalu duduk berhadapan dengan Mukhayyam. “Katakan padaku apa yang mengganggumu. Biark
Pagi itu, langit di Desa Cindua berwarna biru cerah dengan awan tipis menggantung seperti lukisan. Mukhayyam berdiri di halaman pondok dengan pedang di tangan, mencoba mempraktikkan gerakan-gerakan yang diajarkan Harun. Namun, pikirannya masih terusik oleh perasaan yang ia rasakan semalam. Janji kepada dirinya sendiri untuk tidak berhenti terasa begitu berat, seperti beban yang menekan pundaknya.Dari dalam pondok, Harun memandang muridnya dengan mata tajam. Ia tahu bahwa Mukhayyam sedang menghadapi pergulatan batin yang tidak sederhana. Untuk itu, Harun merasa waktu telah tiba untuk memberikan pelajaran baru—pelajaran yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh muridnya.“Mukhayyam,” panggil Harun dari beranda pondok. Suaranya tegas, seperti selalu. “Hari ini kita tidak akan berlatih seperti biasanya.”Mukhayyam menoleh, kebingungan. “Apa maksud Guru? Bukankah aku harus mengasah teknik-teknik baru?”Harun tersenyum tipis dan melambaikan tangannya,
Malam itu, angin bertiup pelan membawa aroma tanah basah. Langit malam dihiasi bintang-bintang yang tampak seolah menyaksikan perjalanan seorang pemuda yang sedang bergulat dengan dirinya sendiri. Mukhayyam duduk bersila di bawah pohon besar di tepi desa, memegang pedang kecil yang diberikan Harun. Pandangannya kosong, pikirannya penuh dengan kenangan dan rencana masa depan. Harun, yang biasanya membiarkan Mukhayyam menyendiri setelah latihan berat, mendekatinya tanpa suara. Langkahnya ringan, namun kehadirannya membawa wibawa yang tak dapat disangkal. "Masih memikirkan masa depanmu, Mukhayyam?" tanya Harun seraya duduk di sampingnya. Mukhayyam tersentak kecil, namun tak mengalihkan pandangannya dari pedang di tangannya. "Ya, Guru. Rasanya ada begitu banyak hal yang harus kupahami, tapi waktu terasa begitu sedikit." Harun tersenyum tipis. "Memang selalu begitu. Hidup akan selalu memberimu lebih banyak pertanyaan daripada ja