Home / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / Chapter 51 - Chapter 60

All Chapters of Pesugihan Kandang Bubrah: Chapter 51 - Chapter 60

79 Chapters

51. Mengambil Nyawa Keluarga yang Masih Hidup

Lorong rumah Arif tampak lebih panjang malam itu, dipenuhi kesunyian yang mengerikan. Cahaya lampu redup di langit-langit berayun pelan, menciptakan bayangan tak beraturan di dinding. Setiap langkah kaki Arif bergema, seolah-olah rumah itu hidup dan mengawasinya. Aroma apek kayu tua bercampur debu memenuhi udara, membuat napasnya terasa berat.Di tangannya, sebuah kunci tua berkarat bergoyang pelan, mengikuti irama langkahnya. Kunci itu diberikan oleh Mbah Mijan, sebuah simbol pengorbanan. "Nyawa harus dibayar dengan nyawa," kata-kata itu terus terngiang di benaknya, menghantui setiap detiknya. Arif berhenti di depan pintu kayu tua yang tampak lebih besar dari biasanya. Di balik pintu itu, dia tahu, keputusan besar menantinya. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meski tubuhnya gemetar hebat. “Nyawa siapa kali ini?” bisiknya pelan, hampir seperti berharap tidak ada
last updateLast Updated : 2024-12-03
Read more

52. Membangun Tanpa Henti

Langit di atas Desa Misahan selalu kelabu sejak ritual terakhir Arif Mahoni. Hujan rintik-rintik turun sepanjang minggu, menciptakan genangan kecil di sekitar halaman rumahnya. Di depan rumah itu, lahan kosong yang dulu hanya ditumbuhi ilalang kini mulai berubah bentuk. Tumpukan bata merah, pasir dan semen tertata rapi seperti sedang menunggu tangan-tangan tak kasatmata untuk merakitnya menjadi sesuatu yang lebih besar. Arif berdiri di ambang pintu, menatap lahan itu dengan wajah kosong. Angin dingin menerpa, membawa aroma tanah basah bercampur bau besi tua yang berkarat. Tangannya menggenggam sebuah cetakan arsitektur kasar sketsa gedung megah yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Namun, Arif tahu, ini bukan keinginannya. Semua perintah datang dari suara yang menghantui tidurnya. "Bangun, Arif. Bangunlah untuk menjaga harta yang telah diberikan," suara Mbah Mijan terus menggaung di telinganya seperti mantra yang tak
last updateLast Updated : 2024-12-04
Read more

53. Ketergantungan yang Mencengkeram

Hujan deras mengguyur Desa Misahan, menciptakan simfoni ketukan air di atap rumah Arif Mahoni yang semakin megah dan ganjil. Dari balik jendela ruang tamunya, Arif menatap rumah yang kini berdiri seperti makhluk hidup, dengan sudut-sudut yang seolah bernapas dan dinding yang berbisik. Wajahnya pucat, matanya sayu, tetapi jiwanya terikat lebih kuat dari sebelumnya pada ritual yang telah mengubah hidupnya menjadi labirin tanpa pintu keluar. Pikirannya melayang pada suara Mbah Mijan yang selalu mengiringi malam-malam panjangnya, mengingatkan apa yang harus dia lakukan. "Bangunlah, Arif. Bangun untuk kekayaanmu. Untuk masa depan keluargamu." Namun, kalimat itu sekarang terasa seperti racun. Setiap kali Arif mencoba berhenti, mencoba menolak, dorongan itu selalu datang lagi lebih kuat, lebih mencekik. Hari itu, di depan rumahnya, tukang-tukang bekerja seperti biasa, mengangkat bata, m
last updateLast Updated : 2024-12-04
Read more

54. Sisa-Sisa Kehidupan yang Tertinggal

Hujan deras masih mengguyur Desa Misahan, membawa hawa dingin yang meresap hingga ke tulang. Di dalam rumah besar Arif Mahoni yang terus berkembang namun tak pernah selesai, suasana semakin mencekam. Rumah itu kini seperti labirin kegelapan, tempat rahasia-rahasia kelam bersembunyi di setiap sudut. Arif duduk di ruang tamu, tatapannya kosong menembus dinding yang seolah berbisik. Di hadapannya, Lila sibuk merapikan meja makan, tetapi ada sesuatu yang aneh pada gerak-geriknya. Perhatiannya terpecah ketika Jatinegara, putra mereka, tiba-tiba berdiri di depan jendela besar dan bergumam dengan suara yang tidak wajar. “Kenapa mereka memanggilku, Ayah?” suara Jatinegara menggema rendah, seolah keluar dari tenggorokan orang dewasa, padahal anak itu baru berusia lima tahun. Arif terhenyak, darahnya seperti berhenti mengalir. Dia melangkah mendekati anaknya, lututnya terasa lemas. “Siapa yang memanggilmu, Nak?&r
last updateLast Updated : 2024-12-05
Read more

55. Rumah yang Tak Pernah Selesai

Hujan deras masih setia mengguyur Desa Misahan, menciptakan irama mencekam di atap rumah besar Arif Mahoni.Rumah itu terus tumbuh, seolah memiliki nyawa sendiri, menuntut lebih banyak ruang, lebih banyak bahan dan entah bagaimana, lebih banyak pengorbanan. Namun, tak satu pun sudutnya yang benar-benar selesai.Bata-bata yang menumpuk seperti dibiarkan melupakan tujuan mereka, membentuk celah dan bayang-bayang gelap yang mengintai.Arif berdiri di depan lahan kosong di samping rumahnya. Tangan kirinya memegang rancangan pembangunan yang diberikan Mbah Mijan, sementara tangan kanannya menggenggam sekop yang terasa semakin berat.Mata Arif menatap garis-garis kasar di kertas itu, denah yang tak pernah jelas. Ada lingkaran-lingkaran aneh di beberapa sudut, membentuk simbol yang tidak dia mengerti.Dia bergumam pelan, hampir seperti bisikan, suaranya tenggelam oleh derasnya hujan."Kenapa aku harus menggali lagi? Apa yang sebenarnya mereka inginkan?"Tangannya mengelus sudut kertas yang s
last updateLast Updated : 2024-12-08
Read more

56. Rumah yang Bernapas.

Arif meremas sekopnya lebih erat, matanya memerah menahan air mata. Semua ini dimulai dengan janji sederhana, kekayaan dan keamanan bagi keluarganya.Namun, semakin banyak dia membangun, semakin jauh Arif merasa dari kehidupan yang dia dambakan."Kenapa semua ini terasa salah? Apa yang sudah aku lakukan?" gumamnya, suara itu nyaris tenggelam dalam gemuruh hujan.Ketika Arif kembali ke dalam rumah, malam sudah larut. Tubuhnya terasa remuk, tetapi pikirannya tidak bisa berhenti bekerja."Ini semua demi mereka... demi Lila... demi Jatinegara..." bisiknya, seolah meyakinkan dirinya sendiri.Namun, bayangan janji-janji Mbah Mijan terus menghantui pikirannya.Arif berjalan melewati lorong-lorong rumah yang terasa semakin panjang. Setiap pintu yang dia lewati membawa desiran angin dingin yang berbisik."Rumah ini hidup... tapi kenapa rasanya seperti melawan aku?" Suaranya nyaris tak terdengar, seperti berbicara pada bayangannya sendiri.Arif membuka pintu ruang tidur Jatinegara dan menemukan
last updateLast Updated : 2024-12-08
Read more

57. Jatinegara atau Jelmaan?

Dia berhenti di depan pintu yang sedikit terbuka. Ruangan di baliknya gelap gulita, tetapi ada sesuatu di dalamnya, sesuatu yang memancarkan kilau merah samar, berdenyut seperti api kecil yang hampir padam.Arif menelan ludah dan mendorong pintu itu lebih lebar. Di dalam, Jatinegara berdiri membelakanginya, menghadap dinding yang dipenuhi coretan kasar. Coretan itu tampak seperti simbol-simbol aneh yang sebelumnya dilihat Arif di rancangan Mbah Mijan.“Jatinegara, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Arif dengan hati-hati, suaranya bergetar.Anak itu tidak menjawab, hanya mengangkat tangannya perlahan dan menyentuh salah satu simbol di dinding. Begitu jari kecilnya menyentuh permukaan, suara gemuruh terdengar, seperti napas panjang dari makhluk besar yang baru bangun tidur.“Jatinegara, berhenti!” Arif melangkah cepat, meraih anaknya.Tapi saat tangannya menyentuh bahu Jatinegara, dia merasakan sesuatu yang dingin, bukan kulit manusia, lebih seperti permukaan logam yang licin.Anak i
last updateLast Updated : 2024-12-08
Read more

58. Terperangkap dalam Bayangan

Waktu terasa semakin mencekam. Arif duduk terpaku di meja makan, memandangi makan malam yang terhidang di depannya tanpa nafsu. Lila dan Jatinegara duduk di seberangnya, namun mereka tampak jauh, seakan tidak ada hubungan darah di antara mereka. Arif merasa asing di rumahnya sendiri, tubuhnya masih gemetar setelah kejadian aneh. "Mas, kamu kenapa? Dari tadi diam saja," tanya Lila dengan cemas, menyentuh tangan Arif yang tergeletak di atas meja. Arif mengangkat wajahnya, matanya kosong, seperti tak melihat apa-apa. "Aku… aku merasa sesuatu yang aneh, Lila," katanya pelan. "Semakin lama, aku semakin merasa terperangkap dalam ritual ini."Lila menatap suaminya dengan bingung. "Kamu ngomong apa, Mas? Komat kamit tidak bersuara, apa maksudmu?" Arif mengalihkan pandangannya, menatap ke luar jendela, tempat hujan mulai turun dengan derasnya.’Lila tidak mendengar kata-kataku ?&rsq
last updateLast Updated : 2024-12-09
Read more

59. Semakin Buruk

Arif merasa kekuatan gelap semakin kuat, menghimpitnya dari segala arah. Dia tidak bisa bernapas, tidak bisa bergerak. Udara dingin mulai menyeruak di dalam tubuhnya."Tolong...!" Arif berteriak, tapi suaranya tidak terdengar.Tiba-tiba, lampu redup di sudut kamar padam. Kegelapan total menyelimuti ruangan. Arif merasa jiwanya tercabut dari tubuhnya. Hawa yang penuh ketakutan mulai mengerogoti perasaan Arif."Jatinegara... anakku!" Arif berteriak, tapi suaranya hilang di kegelapan.Bayangan Jatinegara mendekat, mata merah menyala seperti api neraka. Arif merasa kekuatan terakhirnya hilang. Dan kemudian, semuanya menjadi hitam.Arif merasa kekuatan gelap semakin kuat, menghimpitnya dari segala arah. Dia tidak bisa bernapas, tidak bisa bergerak. Kegelapan total menyelimuti ruangan, membuatnya merasa terjebak dalam lubang tanpa dasar."Tolong...!" Arif berteriak, tapi suaranya tidak terdengar. Tangan-tangan dingin memegang bahunya, menariknya ke dalam kegelapan.Arif mencoba melawan, tap
last updateLast Updated : 2024-12-12
Read more

60. Sosok Siapakah itu?

Suara derap langkah terdengar di kejauhan, menambah suasana mencekam di sekitar Arif. Hutan di sekelilingnya menjadi saksi bisu keputusasaannya. Pohon-pohon besar berdiri seperti penjaga kegelapan, bayangan mereka menari-nari di bawah sinar bulan yang hampir pudar.“Aku harus pergi… harus keluar dari sini,” gumamnya dengan napas tersengal. Kakinya terasa berat, seolah-olah setiap langkah menariknya lebih dalam ke dalam hutan yang tidak berujung. Namun, dia tidak bisa berhenti. Bukan hanya karena ketakutan, tetapi juga karena bayangan di belakangnya yang terus mendekat.Tiba-tiba, langkahnya terhenti ketika sebuah suara aneh terdengar dari balik pohon di sebelah kanan. “Hihihi...” Tawa itu, lirih namun menusuk, membuat bulu kuduknya meremang. Arif memandang sekeliling, namun tidak ada apa-apa kecuali kegelapan.“Siapa di sana?” teriaknya, namun suaranya hilang dalam kesunyian malam.Langkah-langkah itu semakin mendekat, disertai suara dedaunan yang bergesekan. Arif merasakan tenggorokan
last updateLast Updated : 2024-12-12
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status