Home / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / 60. Sosok Siapakah itu?

Share

60. Sosok Siapakah itu?

Author: Ndraa Archer
last update Last Updated: 2024-12-12 19:40:38
Suara derap langkah terdengar di kejauhan, menambah suasana mencekam di sekitar Arif. Hutan di sekelilingnya menjadi saksi bisu keputusasaannya. Pohon-pohon besar berdiri seperti penjaga kegelapan, bayangan mereka menari-nari di bawah sinar bulan yang hampir pudar.

“Aku harus pergi… harus keluar dari sini,” gumamnya dengan napas tersengal. Kakinya terasa berat, seolah-olah setiap langkah menariknya lebih dalam ke dalam hutan yang tidak berujung. Namun, dia tidak bisa berhenti. Bukan hanya karena ketakutan, tetapi juga karena bayangan di belakangnya yang terus mendekat.

Tiba-tiba, langkahnya terhenti ketika sebuah suara aneh terdengar dari balik pohon di sebelah kanan. “Hihihi...” Tawa itu, lirih namun menusuk, membuat bulu kuduknya meremang. Arif memandang sekeliling, namun tidak ada apa-apa kecuali kegelapan.

“Siapa di sana?” teriaknya, namun suaranya hilang dalam kesunyian malam.

Langkah-langkah itu semakin mendekat, disertai suara dedaunan yang bergesekan. Arif merasakan tenggorokan
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Pesugihan Kandang Bubrah   61. Kegelapan Meyelimuti Arif.

    Kegelapan menyelimuti Arif sepenuhnya. Tidak ada cahaya, tidak ada suara, kecuali detak jantungnya sendiri yang menggema di telinga. Dia mencoba meraba sekeliling, namun yang dirasakannya hanyalah udara dingin dan kosong. Tubuhnya gemetar, baik karena dingin maupun ketakutan yang merayap perlahan.Tiba-tiba, suara langkah kembali terdengar. Kali ini lebih jelas, lebih berat, seolah sesuatu yang besar sedang mendekat. Arif mencoba menahan napas, berharap apapun itu tidak menyadari keberadaannya. Namun, langkah-langkah itu semakin dekat dan sebuah suara lirih terdengar, seperti bisikan dari dunia lain.“Arif...”Jantungnya berdegup kencang. Suara itu terdengar akrab, namun tidak nyata. “Siapa di sana?!” serunya, mencoba terdengar tegas meski suaranya bergetar. Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang semakin menyesakkan.Perlahan, sebuah cahaya redup mulai muncul dari kejauhan. Cahaya itu berpendar seperti api kecil, namun cukup untuk menerangi sebagian ruangan tempatnya berada. Di tenga

    Last Updated : 2024-12-13
  • Pesugihan Kandang Bubrah   62. Menghadapi Sosok Mengerikan

    Langit merah menyala di atas desa yang sepi, menambah kesan suram yang menyelimuti tempat itu. Arif dan Dimas berdiri membeku, menghadapi sosok raksasa yang perlahan mendekat. Nafas mereka terhenti, tubuh mereka seperti terkunci oleh kekuatan tak kasat mata.“Dimas, apa yang harus kita lakukan?” Suara Arif terdengar gemetar, hampir tidak keluar dari tenggorokannya. Arif tidak pernah merasa seketakutan ini sebelumnya.Dimas hanya menggeleng pelan, matanya tetap terpaku pada sosok raksasa itu. “Aku… aku tidak tahu,” bisiknya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Tapi kita harus lari, sekarang juga!”Dengan tarikan mendadak, Dimas menarik tangan Arif, memaksanya untuk bergerak. Langkah mereka berat, seperti berlari di dalam mimpi buruk, namun rasa takut memacu mereka untuk terus maju. Di belakang, suara gemuruh langkah sosok raksasa itu semakin keras, menggema di seluruh desa.Ketika mereka berlari melewati rumah-rumah yang kosong, Arif menyadari sesuatu yang aneh. Bayangan dar

    Last Updated : 2024-12-13
  • Pesugihan Kandang Bubrah   63. Kegelapan yang Kian Menyelimuti  

    Hutan di sekitar Arif semakin pekat. Udara dingin malam menusuk tulang, bercampur dengan aroma tanah basah dan dupa yang menyengat. Langkah kakinya berat, seakan setiap jejak yang ia tinggalkan membawa lebih banyak dosa dan rasa bersalah.Dimas berjalan di sampingnya, diam dan tampak lebih pucat dari sebelumnya. Cahaya bulan yang terhalang oleh dedaunan hanya menyisakan semburat kelabu yang membuat bayang-bayang mereka terlihat seperti sosok lain yang mengintai.“Dimas, apa kau merasa ada yang mengikuti kita?” tanya Arif, suaranya hampir tenggelam dalam angin malam yang mendesau.Dimas hanya mengangguk tanpa berkata-kata, tatapannya tajam menelusuri kegelapan. Di kejauhan, terdengar suara langkah berat yang berderak di atas dedaunan kering. Arif berhenti sejenak, telinganya mencoba menangkap suara itu. Langkah itu terhenti bersamaan dengan langkah mereka.“Siapa di sana?” Arif berteriak, suaranya bergetar.Tidak ada jawaban. Hanya suara angin yang bertiup, membawa bisikan yang tidak je

    Last Updated : 2024-12-14
  • Pesugihan Kandang Bubrah    64. Bayang-Bayang dalam Kegelapan  

    Setelah kepergian Dimas yang meluruh menjadi abu, Arif terduduk di tanah, tubuhnya gemetar hebat. Kepalanya penuh dengan suara-suara yang bergema tanpa henti, seakan alam sekitar ingin berbicara langsung ke dalam pikirannya.Namun, suara-suara itu hanya membuatnya semakin tersiksa. Arif merasa kakinya seakan tertancap ke tanah, tidak bisa bergerak meskipun tubuhnya meronta ingin pergi.“Apa yang terjadi...” bisiknya, hampir tanpa suara.Mbah Niah yang masih berdiri di dekat altar menatap Arif dengan tatapan yang tajam. Wajahnya perlahan berubah, kulitnya mengelupas seperti kayu yang terbakar, memperlihatkan lapisan daging gelap dan bercahaya di bawahnya. Matanya yang merah menyala kini bersinar lebih terang, seakan menusuk langsung ke dalam jiwa Arif.“Kau harus mengerti, Arif,” suara Mbah Niah kini terdengar lebih serak, seperti angin yang menggerus daun-daun kering. “Ini adalah dunia yang telah kau pilih untuk masuki. Tidak ada belas kasihan, tidak ada jalan kembali. Tumbal adalah ba

    Last Updated : 2024-12-14
  • Pesugihan Kandang Bubrah   65. Jejak Darah di Sungai

    Langkah Arif menuju sungai terasa seperti berjalan di atas bilah-bilah tajam. Udara malam semakin dingin, membuat setiap napasnya menjadi berat. Aroma anyir yang sebelumnya samar kini terasa menyengat, bercampur dengan bau basah daun-daun yang membusuk. Cahaya bulan yang tersisa memantulkan bayangan aneh dari pohon-pohon besar di sekitarnya, seolah-olah mereka hidup dan mengawasi setiap gerakannya.“Kenapa harus aku?” gumam Arif dengan suara nyaris berbisik, mencoba menguatkan dirinya. Namun, tidak ada jawaban, hanya suara gemerisik dedaunan dan langkah kakinya sendiri.Ketika Arif semakin mendekati sungai, suara gemericik air terdengar. Tapi anehnya, suara itu tidak menenangkan, melainkan terasa seperti rintihan. Arif menghentikan langkahnya, matanya menyipit mencoba menembus gelap. Tiba-tiba, ia melihat sesuatu di kejauhan. Air sungai itu tampak berwarna merah pekat, seperti darah yang mengalir tanpa henti.“Ini tidak mungkin...” Arif berbisik dengan napas terputus. Jantungnya berdet

    Last Updated : 2024-12-14
  • Pesugihan Kandang Bubrah    66. Pintu di Tengah Kegelapan

    Arif berdiri terpaku, menggenggam pisau kecil berkarat yang baru saja diberikan wanita di atas batu besar. Dinginnya pisau itu seakan menembus kulitnya, membekukan tulang di tangannya. Jeritan dan gemuruh air sungai yang menyerupai darah terus menggema di sekelilingnya, seperti alunan simfoni kematian yang tak berkesudahan.“Apa yang harus aku lakukan dengan ini?” Arif bertanya, suaranya bergetar di antara keputusasaan dan rasa takut.Wanita itu tidak menjawab. Sebaliknya, tubuhnya perlahan memudar menjadi kabut merah yang bercampur dengan udara dingin di sekelilingnya. Hanya tawa kecilnya yang tertinggal, menggema di udara hingga perlahan memudar seperti bisikan angin. Arif mencoba menelan ludah, namun tenggorokannya terlalu kering.“Arif...” suara lain tiba-tiba terdengar dari belakangnya.Arif memutar tubuhnya dengan cepat, matanya mencari sumber suara. Di antara kabut dan bayangan pohon, makhluk penjaga yang sebelumnya menghilang kini berdiri diam, matanya merah menyala. Tubuh kuru

    Last Updated : 2024-12-14
  • Pesugihan Kandang Bubrah   67. Bayang-Bayang yang Mengintai

    Langkah pertama Arif memasuki kegelapan membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Suasana di balik pintu itu berbeda dari apa pun yang pernah ia rasakan sebelumnya. Tidak ada angin, tidak ada suara, hanya kehampaan yang terasa menelan seluruh keberadaannya. Kegelapan itu pekat, hingga Arif bahkan tidak bisa melihat tangannya sendiri.“Di mana aku?” gumamnya, suaranya menggema tanpa henti seakan ruangan itu tak berujung.Pisau kecil di tangannya tiba-tiba kembali bergetar. Sebuah cahaya redup muncul dari gagangnya, membentuk lingkaran kecil di sekitarnya. Lingkaran itu cukup untuk memperlihatkan lantai tempatnya berdiri – sebuah permukaan yang tampak seperti cermin namun terasa dingin dan licin.“Berjalanlah, Arif,” suara dari pisau itu terdengar lagi. Kali ini lebih tajam dan mendesak.Arif mencoba menenangkan napasnya. Dengan langkah perlahan, Arif mengikuti cahaya redup dari pisau. Namun, setiap langkah yang dia ambil terasa seperti berjalan di atas bayangan yang menolak dilewati. S

    Last Updated : 2024-12-14
  • Pesugihan Kandang Bubrah   68. Lorong Tak Berujung

    Arif masih terduduk di lantai setelah melewati pintu itu, mencoba mengatur napasnya yang tersengal. Kegelapan di ruangan ini berbeda dari yang sebelumnya lebih pekat, lebih berat, seolah-olah menggantung di udara dan menekan setiap langkahnya. Satu-satunya sumber cahaya berasal dari pisau kecil di tangannya, yang terus bergetar seperti makhluk hidup.“Apa yang ada di sini?” gumam Arif, suaranya terdengar lemah.“Berjalanlah ke depan.” Suara dari pisau itu terdengar lagi. Namun kali ini, ada nada yang lebih dingin dan penuh peringatan.Dengan langkah berat, Arif berdiri. Cahaya dari pisau itu menyorot jalan sempit di depannya, sebuah lorong panjang dengan dinding-dinding yang tampak berdenyut seperti organ hidup. Aroma anyir dan busuk memenuhi udara, membuat Arif hampir muntah.“Aku harus keluar dari sini...” bisiknya, mencoba memberi dirinya keberanian.&nbs

    Last Updated : 2024-12-14

Latest chapter

  • Pesugihan Kandang Bubrah   192. Mereka semakin dekat!

    Lila menjerit. “LARI!!!”Mereka semua berbalik dan berlari secepat mungkin, menerobos jalanan berbatu yang penuh dengan reruntuhan.Di belakang mereka, suara langkah kaki yang patah-patah terdengar semakin dekat.Suara tulang-tulang yang berderak.Suara erangan dan jeritan yang bukan berasal dari manusia.Lila hampir terjatuh, tapi Jatinegara menarik tangannya, menyeretnya agar terus berlari.Arif berlari di depan mereka, menuntun jalan. “Kita harus sampai ke menara itu! Itu satu-satunya tempat yang cukup kuat untuk melindungi kita!”Wina menoleh ke belakang, wajahnya tegang. “Mereka semakin dekat!”Lila mengerahkan semua tenaga yang tersisa. Paru-parunya terasa terbakar, otot-ototnya menjerit meminta istirahat.Tapi ia tahu, jika mereka berhenti, mereka tidak akan pernah bisa keluar dari sini.Mereka akhirnya sampai di tangga batu yang mengarah ke menara tinggi di tengah kota.

  • Pesugihan Kandang Bubrah   191. Kalian semua adalah bagian dari kami sekarang

    Lila merasakan tubuhnya jatuh ke dalam kegelapan yang seolah tidak berujung. Udara di sekitarnya begitu dingin, menusuk hingga ke tulang. Rasanya seperti ditarik ke dalam kehampaan yang tidak memiliki dasar.Suara berbisik terus terdengar di telinganya."Kau telah menyerahkan sesuatu...""Kau tidak bisa kembali dengan utuh...""Kalian semua adalah bagian dari kami sekarang..."Lila berusaha berteriak, tapi suaranya tenggelam dalam pusaran suara yang tidak henti-hentinya berputar di kepalanya. Matanya terbuka, namun yang ia lihat hanya bayangan hitam yang berkedip-kedip seperti ilusi.Brak!Tubuhnya menghantam sesuatu yang keras. Lila terbatuk, merasakan rasa sakit menjalar di punggungnya. Ia mencoba mengatur napas, tetapi paru-parunya terasa sesak, seperti udara di tempat ini lebih berat dari biasanya.Lila mengangkat kepalanya dan melihat sekeliling.Ia tidak lagi berada di tanah kosong itu.Sebaliknya, ia kini b

  • Pesugihan Kandang Bubrah   190. Tempat ini bukan bagian dari Kandang Bubrah  

    “Lila! Jangan berhenti!” teriak Jatinegara, meraih tangannya.Lila tersentak, lalu kembali berlari meskipun seluruh tubuhnya terasa berat.Mereka akhirnya mencapai sebuah tanah lapang di tengah hutan. Tempat itu kosong, tidak ada pohon, hanya hamparan tanah kering yang retak-retak, seolah sesuatu pernah terbakar di sini.Tapi anehnya… begitu mereka sampai di tempat itu, suara gamelan mendadak berhenti.Sunyi.Tak ada suara burung malam, tak ada angin yang berhembus.Lila berusaha mengatur napasnya. Dadanya naik turun, jantungnya masih berdetak kencang.Jatinegara menyeka keringat di dahinya, lalu menatap Arif dengan tajam. “Apa yang barusan itu? Mereka hampir membuat kita gila!”Arif tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap tanah di bawah kakinya dengan ekspresi yang sulit ditebak.Ustadz Harman melangkah maju, matanya menyipit. “Tempat ini… terasa berbeda.”Wina

  • Pesugihan Kandang Bubrah   189. Suara musik gamelan.

    pikirannya kalut, dan rasa perih di perutnya semakin menjadi-jadi. Lila merasakan hal yang sama. Aromanya begitu menggoda, begitu nyata. Air liurnya hampir menetes saat ia melihat daging panggang yang tampak begitu renyah dan beraroma harum.Tanpa sadar, Jatinegara melangkah mendekati meja itu.Namun, sebelum tangannya sempat meraih makanan, Arif menepisnya keras.Plak!Jatinegara tersentak, menoleh marah. “Sialan, Ayah Arif! Kau kenapa?!”Arif tidak menjawab. Tatapannya penuh dengan ketegangan, seolah ia melihat sesuatu yang mereka tidak bisa lihat.“Kalian tidak boleh menyentuh makanan ini.”Ustadz Harman, yang sejak tadi membaca situasi dengan hati-hati, langsung waspada. Wina menatap ke arah Arif dengan curiga.Lila yang masih terpengaruh aroma makanan mencoba mengabaikan peringatan Arif. “Tapi&hel

  • Pesugihan Kandang Bubrah   188. Kmi Sudah Menunggu...

    Crack...Semua orang menoleh. Boneka jerami yang tertancap paku di kepalanya kini bergerak sendiri. Seperti ada sesuatu yang merayap di dalamnya.Crack. Crack.Tangan Lila gemetar. Ada sesuatu di dalam boneka itu. Kemudian, sebelum mereka sempat bereaksi.Boneka itu bergerak, lengan jeraminya terangkat sendiri. Jatinegara mundur selangkah, wajahnya menegang. “Sial… benda itu hidup?”Kemudian, suara lain mulai terdengar dari dalam kabut. Suara tawa pelan, bukan tawa manusia biasa. Itu suara yang terlalu dalam, terlalu parau, seperti sesuatu yang pernah menjadi manusia tetapi tidak lagi.“Kalian… tidak seharusnya… berada di sini.” Lila merasakan hawa dingin merayap di tengkuknya.Bayangan-bayangan tinggi di balik kabut mulai bergerak. Bukan berjalan, melainkan melayang

  • Pesugihan Kandang Bubrah   187. Bau Menyengat Mulai Menyeruak.

    Arif menatap sekeliling dengan tatapan tajam. “Setiap tempat seperti ini selalu memiliki kelemahan. Kita harus menemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan pola yang diciptakan oleh tempat ini.”Wina berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Jadi kita mencari sesuatu yang aneh? Sesuatu yang berbeda?”Arif tersenyum tipis. “Tepat.”Jatinegara menghela napas. “Baiklah. Daripada kita diam di sini, lebih baik kita mulai mencari.”Lila mengumpulkan tenaga yang tersisa dan mulai berjalan bersama mereka.Mereka tidak tahu apakah ini akan berhasil. Mereka tidak akan menyerah begitu saja.Langkah mereka berat, tubuh mereka lelah dan kepala terasa pening karena kekurangan makanan dan air. Namun, mereka tidak bisa berhenti. Tidak sekarang.Lila berjalan di samping Jatinegara, merasakan dinginnya udara yang semakin menusuk kulit. Kabut di

  • Pesugihan Kandang Bubrah   186. Jadi Kita Benar-Benar Akan Masuk ke Sana?

    Beberapa jam kemudian, mereka berdiri di tanah kosong yang dulu merupakan hutan Srengege. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan langit tampak lebih gelap, meskipun bulan masih bersinar redup di atas kepala mereka.Arif berlutut, menempelkan tangannya ke tanah, lalu memejamkan mata.Lila, Jatinegara, Wina, dan Ustadz Harman hanya bisa menunggu dalam diam.Tiba-tiba, tanah di sekitar mereka mulai bergetar pelan.Lila menahan napas. Jantungnya berdetak lebih cepat.Dan kemudian…Dari dalam tanah, muncul sesuatu.Bukan pepohonan, bukan kabut seperti sebelumnya. Tapi pintu kayu tua, setengah terkubur di dalam tanah.Ustadz Harman menatapnya dengan ekspresi serius. “Apa ini…?”Arif membuka matanya dan menatap mereka. “Gerbang Kandang Bubrah.”

  • Pesugihan Kandang Bubrah   185. Kalian harus berada di antara—tidak sepenuhnya hidup

    Udara malam terasa lebih berat, seolah menekan dada mereka dengan beban yang tak kasat mata. Kata-kata Arif masih menggantung di udara, mengendap dalam pikiran mereka.“Kalau begitu, bersiaplah. Karena perjalanan kalian baru saja dimulai.”Lila menatap tanah dengan pikiran yang berkecamuk. Seluruh tubuhnya masih terasa nyeri akibat luka di bahunya, tapi rasa takut dan penasaran yang menguasai pikirannya lebih besar daripada rasa sakit itu.Jatinegara berdiri dengan tubuh sedikit limbung, darah yang mengering di sudut bibirnya adalah bukti bahwa ia masih kesakitan setelah dihantam genderuwo. Namun, matanya tetap menyala penuh tekad.“Kalau gerbang Kandang Bubrah akan menemukan kita, itu berarti kita tidak punya pilihan selain menunggu?” tanya Wina, suaranya terdengar datar tapi penuh kewaspadaan.Arif menatapnya sejenak sebelum menggeleng pelan. “Menunggu bukan pilihan. Kalian tidak punya banyak waktu.”Ustadz Harman menarik napas panjang. “Jadi bagaimana kita menemukannya?”Arif menat

  • Pesugihan Kandang Bubrah   184. Kami sudah menghancurkan hutan Srengege

    Jatinegara yang masih kesakitan setelah dihantam genderuwo, mencoba berdiri lebih tegap. Wina membantu menopangnya, meski sorot mata wanita itu masih penuh waspada.Sementara Ustadz Harman berdiri dengan tangan menggenggam tasbihnya erat-erat.Arif menatap mereka satu per satu. Wajahnya tenang, tapi ada sesuatu yang tersembunyi di balik matanya—sesuatu yang belum ia ungkapkan.“Kau seharusnya sudah hilang,” kata Jatinegara akhirnya, suaranya serak karena rasa sakit.Arif tersenyum tipis. “Memang.”“Lalu kenapa kau di sini?” tanya Wina, matanya penuh selidik.Arif menghela napas sebelum menjawab, “Karena kalian masih belum keluar dari lingkaran ini.”Lila menegang. “Apa maksudmu?”Arif menatapnya dalam-dalam, seolah menimbang kata-katanya. Lalu, dengan suara yang lebih rendah, ia berkata, “Ini belum selesai.”Kata-kata itu membuat bulu kuduk Lila meremang.Ustadz Harman mengernyit. “Kami sudah menghancurkan hutan Srengege. Kami menghapus namamu, menutup gerbangnya. Kenapa ini belum sel

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status