Beranda / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / 63. Kegelapan yang Kian Menyelimuti  

Share

63. Kegelapan yang Kian Menyelimuti  

Penulis: Ndraa Archer
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-14 06:37:57
Hutan di sekitar Arif semakin pekat. Udara dingin malam menusuk tulang, bercampur dengan aroma tanah basah dan dupa yang menyengat. Langkah kakinya berat, seakan setiap jejak yang ia tinggalkan membawa lebih banyak dosa dan rasa bersalah.

Dimas berjalan di sampingnya, diam dan tampak lebih pucat dari sebelumnya. Cahaya bulan yang terhalang oleh dedaunan hanya menyisakan semburat kelabu yang membuat bayang-bayang mereka terlihat seperti sosok lain yang mengintai.

“Dimas, apa kau merasa ada yang mengikuti kita?” tanya Arif, suaranya hampir tenggelam dalam angin malam yang mendesau.

Dimas hanya mengangguk tanpa berkata-kata, tatapannya tajam menelusuri kegelapan. Di kejauhan, terdengar suara langkah berat yang berderak di atas dedaunan kering. Arif berhenti sejenak, telinganya mencoba menangkap suara itu. Langkah itu terhenti bersamaan dengan langkah mereka.

“Siapa di sana?” Arif berteriak, suaranya bergetar.

Tidak ada jawaban. Hanya suara angin yang bertiup, membawa bisikan yang tidak je
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pesugihan Kandang Bubrah    64. Bayang-Bayang dalam Kegelapan  

    Setelah kepergian Dimas yang meluruh menjadi abu, Arif terduduk di tanah, tubuhnya gemetar hebat. Kepalanya penuh dengan suara-suara yang bergema tanpa henti, seakan alam sekitar ingin berbicara langsung ke dalam pikirannya.Namun, suara-suara itu hanya membuatnya semakin tersiksa. Arif merasa kakinya seakan tertancap ke tanah, tidak bisa bergerak meskipun tubuhnya meronta ingin pergi.“Apa yang terjadi...” bisiknya, hampir tanpa suara.Mbah Niah yang masih berdiri di dekat altar menatap Arif dengan tatapan yang tajam. Wajahnya perlahan berubah, kulitnya mengelupas seperti kayu yang terbakar, memperlihatkan lapisan daging gelap dan bercahaya di bawahnya. Matanya yang merah menyala kini bersinar lebih terang, seakan menusuk langsung ke dalam jiwa Arif.“Kau harus mengerti, Arif,” suara Mbah Niah kini terdengar lebih serak, seperti angin yang menggerus daun-daun kering. “Ini adalah dunia yang telah kau pilih untuk masuki. Tidak ada belas kasihan, tidak ada jalan kembali. Tumbal adalah ba

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Pesugihan Kandang Bubrah   65. Jejak Darah di Sungai

    Langkah Arif menuju sungai terasa seperti berjalan di atas bilah-bilah tajam. Udara malam semakin dingin, membuat setiap napasnya menjadi berat. Aroma anyir yang sebelumnya samar kini terasa menyengat, bercampur dengan bau basah daun-daun yang membusuk. Cahaya bulan yang tersisa memantulkan bayangan aneh dari pohon-pohon besar di sekitarnya, seolah-olah mereka hidup dan mengawasi setiap gerakannya.“Kenapa harus aku?” gumam Arif dengan suara nyaris berbisik, mencoba menguatkan dirinya. Namun, tidak ada jawaban, hanya suara gemerisik dedaunan dan langkah kakinya sendiri.Ketika Arif semakin mendekati sungai, suara gemericik air terdengar. Tapi anehnya, suara itu tidak menenangkan, melainkan terasa seperti rintihan. Arif menghentikan langkahnya, matanya menyipit mencoba menembus gelap. Tiba-tiba, ia melihat sesuatu di kejauhan. Air sungai itu tampak berwarna merah pekat, seperti darah yang mengalir tanpa henti.“Ini tidak mungkin...” Arif berbisik dengan napas terputus. Jantungnya berdet

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Pesugihan Kandang Bubrah    66. Pintu di Tengah Kegelapan

    Arif berdiri terpaku, menggenggam pisau kecil berkarat yang baru saja diberikan wanita di atas batu besar. Dinginnya pisau itu seakan menembus kulitnya, membekukan tulang di tangannya. Jeritan dan gemuruh air sungai yang menyerupai darah terus menggema di sekelilingnya, seperti alunan simfoni kematian yang tak berkesudahan.“Apa yang harus aku lakukan dengan ini?” Arif bertanya, suaranya bergetar di antara keputusasaan dan rasa takut.Wanita itu tidak menjawab. Sebaliknya, tubuhnya perlahan memudar menjadi kabut merah yang bercampur dengan udara dingin di sekelilingnya. Hanya tawa kecilnya yang tertinggal, menggema di udara hingga perlahan memudar seperti bisikan angin. Arif mencoba menelan ludah, namun tenggorokannya terlalu kering.“Arif...” suara lain tiba-tiba terdengar dari belakangnya.Arif memutar tubuhnya dengan cepat, matanya mencari sumber suara. Di antara kabut dan bayangan pohon, makhluk penjaga yang sebelumnya menghilang kini berdiri diam, matanya merah menyala. Tubuh kuru

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Pesugihan Kandang Bubrah   67. Bayang-Bayang yang Mengintai

    Langkah pertama Arif memasuki kegelapan membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Suasana di balik pintu itu berbeda dari apa pun yang pernah ia rasakan sebelumnya. Tidak ada angin, tidak ada suara, hanya kehampaan yang terasa menelan seluruh keberadaannya. Kegelapan itu pekat, hingga Arif bahkan tidak bisa melihat tangannya sendiri.“Di mana aku?” gumamnya, suaranya menggema tanpa henti seakan ruangan itu tak berujung.Pisau kecil di tangannya tiba-tiba kembali bergetar. Sebuah cahaya redup muncul dari gagangnya, membentuk lingkaran kecil di sekitarnya. Lingkaran itu cukup untuk memperlihatkan lantai tempatnya berdiri – sebuah permukaan yang tampak seperti cermin namun terasa dingin dan licin.“Berjalanlah, Arif,” suara dari pisau itu terdengar lagi. Kali ini lebih tajam dan mendesak.Arif mencoba menenangkan napasnya. Dengan langkah perlahan, Arif mengikuti cahaya redup dari pisau. Namun, setiap langkah yang dia ambil terasa seperti berjalan di atas bayangan yang menolak dilewati. S

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Pesugihan Kandang Bubrah   68. Lorong Tak Berujung

    Arif masih terduduk di lantai setelah melewati pintu itu, mencoba mengatur napasnya yang tersengal. Kegelapan di ruangan ini berbeda dari yang sebelumnya lebih pekat, lebih berat, seolah-olah menggantung di udara dan menekan setiap langkahnya. Satu-satunya sumber cahaya berasal dari pisau kecil di tangannya, yang terus bergetar seperti makhluk hidup.“Apa yang ada di sini?” gumam Arif, suaranya terdengar lemah.“Berjalanlah ke depan.” Suara dari pisau itu terdengar lagi. Namun kali ini, ada nada yang lebih dingin dan penuh peringatan.Dengan langkah berat, Arif berdiri. Cahaya dari pisau itu menyorot jalan sempit di depannya, sebuah lorong panjang dengan dinding-dinding yang tampak berdenyut seperti organ hidup. Aroma anyir dan busuk memenuhi udara, membuat Arif hampir muntah.“Aku harus keluar dari sini...” bisiknya, mencoba memberi dirinya keberanian.&nbs

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Pesugihan Kandang Bubrah   69. Pilihan di Depan Cermin

    Arif berdiri terpaku di tengah ruangan yang dipenuhi pantulan dirinya. Wajahnya di cermin-cermin itu bergerak sendiri, menampilkan ekspresi yang tidak dia rasakan. Satu pantulan tersenyum licik, yang lain menyeringai dengan mata penuh amarah. Suasana semakin mencekam.“Apa kau takut, Arif?” pantulan di depannya bertanya dengan suara yang dalam dan menggema.Bayangan itu melangkah maju, keluar dari cermin seolah-olah dinding kaca itu hanyalah air yang tenang. Tubuhnya tampak lebih besar dari Arif, dengan mata gelap yang kosong.“Apa ini? Apa kau benar-benar aku?” Arif bertanya, suaranya bergetar. Tangannya yang menggenggam pisau kecil terasa semakin lemah.“Aku adalah semua yang kau sembunyikan,” jawab pantulan itu sambil mendekat. “Semua keputusan buruk, semua ketakutan, semua dosa yang kau coba lupakan. Aku adalah dirimu yang sebenarnya.”

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Pesugihan Kandang Bubrah   70. Jalan yang Hilang

    Arif masih terjatuh di lantai, napasnya memburu di tengah ruangan yang kini gelap gulita. Tidak ada lagi pantulan, tidak ada suara selain detak jantungnya yang menggema di telinganya. Pisau di tangannya hanya memancarkan cahaya lemah, seperti api lilin yang hampir padam.“Ke mana selanjutnya?” gumamnya, suaranya terdengar serak. Kakinya gemetar saat dia berusaha bangkit.“Kau harus menemukan jalan.” Suara pisau itu menjawab, tetapi kali ini lebih pelan, hampir seperti berbisik. “Jalan itu ada, tetapi tidak selalu terlihat. Kau harus percaya pada instingmu.”Arif menghela napas berat. Instingnya? Bagaimana dia bisa mengandalkan insting saat setiap langkahnya terasa seperti menuju jurang yang lebih dalam? Namun, dia tahu bahwa berhenti di sini bukan pilihan. Dia menguatkan dirinya, memegang erat pisau itu dan mulai berjalan perlahan di tengah kegelapan.Langkah-langk

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Pesugihan Kandang Bubrah   71. Pisau dan Bayangan

    Arif melesat maju, pisaunya terangkat tinggi. Tubuhnya gemetar, tetapi bukan karena ketakutan. Adrenalin menguasai dirinya, membakar setiap keraguan yang sebelumnya melumpuhkan. Makhluk besar itu hanya berdiri diam, menunggu dengan senyum licik yang memamerkan deretan gigi tajamnya.Ketika pisau Arif hampir mengenai dada makhluk itu, sosok bayangan besar tersebut menggerakkan tangannya dengan kecepatan yang tidak mungkin. Cakar hitamnya menyapu udara, menghantam Arif hingga tubuhnya terpental beberapa meter ke belakang. Arif jatuh terguling, punggungnya menghantam lantai dengan keras.“Kau terlalu lambat,” ejek makhluk itu, matanya bersinar lebih terang. “Apakah ini yang kau sebut keberanian?”Arif meringis kesakitan, tetapi dia tidak menyerah. Arif menggenggam pisaunya lebih erat, lalu bangkit meskipun tubuhnya bergetar. “Aku tidak akan kalah darimu,” katanya, suaranya serak namun pen

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14

Bab terbaru

  • Pesugihan Kandang Bubrah   120. Rasa Bersalah yang Menggerogoti

    Arif Mahoni duduk di ruang tengah rumahnya yang remang. Di sudut lampu ruangan itu hanya memancarkan cahaya lemah, menciptakan bayangan yang menari di dinding. Rumah besar itu terasa kosong, dingin dan sunyi. Bekas-bekas renovasi yang belum selesai, dinding tanpa cat, lantai yang sebagian masih berupa tanah, menjadi pengingat akan kontraknya dengan kegelapan.“Kenapa ini harus terjadi padaku?” gumamnya sambil menatap foto keluarganya yang kini terasa lebih seperti bayangan masa lalu. Di sana, terlihat dirinya bersama nenek Bunyu, ibunya Sungkai, dan keponakannya, Afifah Mahoni. Afifah adalah anak dari adik bungsunya yang telah lama meninggal.Arif menggenggam bingkai foto itu erat, tangannya gemetar. Dia merasa seperti monster. Semua anggota keluarganya telah menjadi tumbal ritual pesugihan kandang bubrah.”Maafkan aku,” gumamnya lirih dalam kesendirian.Neneknya, ibunya, bahkan ayahnya. Setiap pengorbanan meninggalkan luka di hatinya, yang kini menganga semakin lebar. Tapi kali ini b

  • Pesugihan Kandang Bubrah   119. Takdir yang Tersurat dan Tersirat

    Arif tersenyum dengan penuh pengertian, meskipun ia tahu bahwa tak ada jawaban yang pasti untuk pertanyaan itu. "Takdir memang sering kali terasa penuh misteri. Mungkin itu berarti suatu hari nanti, seseorang dari keluargamu akan menjadi penjaga bukan hanya hutan ini, tetapi juga dunia yang lebih besar, sebuah dunia yang lebih luas dan penuh dengan tantangan."Wina menarik napas dalam, seakan menelan kata-kata Arif dengan penuh makna. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, Arif. Tapi aku ingin menjalani hidupku dengan damai. Gibran... aku ingin menikah dengannya. Aku ingin kami berdua memiliki kehidupan yang sederhana, tanpa bayang-bayang ini."Arif menatapnya dengan penuh empati. "Dan kamu akan mendapatkan itu, Wina. Tapi jangan lupakan bahwa takdir ini bukanlah kutukan. Itu adalah bagian dari kehidupan yang lebih besar. Apa pun yang terjadi, kamu sudah cukup kuat untuk menghadapinya."Di belakang mereka,

  • Pesugihan Kandang Bubrah   118. Ritual di Hutan Misahan

    Ritual dimulai dengan nyanyian mantra yang dalam, suara Bu Narti mengalun rendah namun penuh kekuatan. Arif dan Rendy mengamati dengan penuh perhatian, khawatir sekaligus terpesona oleh kekuatan yang mulai terasa mengalir di udara.Beberapa menit berlalu, dan suasana mulai berubah. Tiba-tiba, tanah di sekitar mereka bergetar. Wina membuka matanya, dan di dalam pandangannya, sebuah bayangan besar mulai muncul dari dalam tanah, membentuk sosok yang tinggi dan misterius, Danyang Misahan, penjaga hutan yang telah lama tidur.Danyang berdiri tegak di hadapan mereka, tubuhnya yang transparan memancarkan cahaya yang aneh. Wajahnya yang seram kini dipenuhi dengan kedamaian yang menenangkan, seolah dia datang bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk memberi berkat. Semua orang terdiam, tidak ada yang berani bergerak, karena mereka tahu bahwa kehadiran Danyang bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh."Danyang," kata Bu Narti, sua

  • Pesugihan Kandang Bubrah   117. Misi Selesai

    Di luar sana, Arif terus bertarung melawan iblis jin dan makhluk-makhluk yang semakin banyak muncul dari kegelapan. Setiap langkahnya terasa lebih berat, dan ia tahu bahwa kekuatan kefris tidak akan cukup jika ia tidak bertarung dengan penuh keberanian. Ia harus mengalahkan mereka satu per satu, sampai akhirnya ia bisa keluar dari hutan ini.Jin itu kembali menyerang, kali ini dengan kekuatan yang lebih dahsyat. Namun, Arif sudah siap. Ia memusatkan seluruh tenaganya pada keris, melepaskan gelombang cahaya biru yang menyilaukan. Jin itu terlempar kembali, dan kali ini, Arif bisa melihat tubuhnya mulai memudar, seolah-olah kekuatannya mulai terkuras habis.Namun, sebelum Arif bisa merayakan kemenangannya, makhluk-makhluk lain mulai muncul dari balik pohon. Mereka berjumlah lebih banyak dari sebelumnya makhluk-makhluk yang tidak bisa dikenali, dengan tubuh gelap dan wajah mengerikan. Mereka semua menatap Arif dengan mata merah menyala, siap un

  • Pesugihan Kandang Bubrah   116. Pertempuran di Hutan dan Api yang Tidak Padam

    Arif melangkah mantap, meskipun rasa cemas merayapi setiap inci tubuhnya. Ia tahu, hutan ini bukan hanya sekadar hutan biasa. Ini adalah tempat yang terperangkap di antara dimensi, sebuah dunia yang penuh dengan makhluk-makhluk jahat dan kekuatan kegelapan. Dan kini, ia harus menghadapi mereka, meski ia tak tahu apa yang akan terjadi setelahnya.Makhluk-makhluk itu sudah mulai mendekat, seolah merasakan kehadirannya. Iblis jin dengan mata merah menyala itu mengamati setiap gerakan Arif dengan penuh perhatian, sementara bayangan gelap lainnya berkelebat di antara pohon-pohon besar yang menjulang tinggi.Semua ini terasa seperti sebuah ujian, ujian yang jauh lebih besar dari apa yang ia hadapi sebelumnya.Namun, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Sesuatu yang baru, yang memberinya kekuatan untuk melawan rasa takut yang terus membayangi. Arif memandang kefris yang kini ada di tangannya, benda itu berkilau lembut meskip

  • Pesugihan Kandang Bubrah   115. Kembali ke Hutan

    Ia melangkah keluar dari rumah, pintu yang entah bagaimana tidak lagi terasa nyata. Tanpa disadari, ia sudah berada di tepi hutan yang gelap, tempat di mana ia pertama kali berhadapan dengan makhluk-makhluk mengerikan dan iblis-iblis yang menunggu setiap kesalahan langkahnya. Ketegangan yang ia rasakan semakin menjadi-jadi, seolah ada yang mengintainya dari balik pohon-pohon besar yang menutupi langit."Aku harus masuk," bisik Arif kepada dirinya sendiri, menggenggam kefris di tangannya dengan erat. Rasanya benda itu menyimpan kekuatan yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. "Ini harus berakhir di sini."Namun, di balik ketegangan itu, Arif merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar dirinya yang sedang bertarung dengan alam. Ada kehadiran lain yang mengawasi setiap gerak-geriknya.Langkah Arif semakin dalam memasuki hutan, dan suasana semakin mencekam. Semakin ia berjalan, udara terasa semakin dingin, dan tanah ya

  • Pesugihan Kandang Bubrah   114. Ternyata yang ku sangka pisau adalah keris.

    Arif berdiri di depan pintu ruang bawah tanah yang sudah lama terkunci, merasa cemas meskipun dirinya tidak tahu apa yang harus ia hadapi.” Mungkin di sana jawabannya.” Ia menatap pintu kayu yang telah lama dilupakan, seolah pintu itu menyimpan rahasia gelap dari masa lalunya."Kenapa aku harus kembali ke sini?" gumamnya pelan, mencoba meyakinkan diri. "Apa yang sebenarnya harus aku temui di sini?"Dia memandang sekeliling rumah yang terlihat lebih sunyi daripada sebelumnya, tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Seperti ada yang hilang. "Apakah aku benar-benar sendirian di sini?" tanya Arif, suaranya terdengar lebih seperti sebuah kebingungan yang perlahan berubah menjadi kegelisahan.Dia berjalan menyusuri lorong sempit yang menuju ruang bawah tanah, perlahan-lahan, matanya menangkap bayang-bayang yang bergerak di sudut pandang. Namun ketika dia menoleh, tak ada siapa pun.

  • Pesugihan Kandang Bubrah   113. Hadapi atau tak Bisa Pulang

    Bayangan itu kini mendekati pintu, dan suara ketukannya berubah menjadi hentakan keras. Bam! Bam! Bam! Arif mundur, merapat ke dinding. Suara desisan ular bercampur dengan erangan yang dalam, seolah makhluk itu sedang memanggil sesuatu dari dunia lain. Abdul, dengan tatapan tegas, menghampiri pintu dan mengangkat tongkatnya.’Bagaimana Abdul berada di sini lagi?’ tanya Arif dalam hati kebingungan."Ini saatmu," katanya sambil menatap Arif. "Hadapi mereka atau terjebak selamanya di sini."Arif menggeleng. "Aku tidak bisa! Mereka akan membunuhku!"Abdul mendekat, meletakkan tangannya di bahu Arif. "Kau tidak akan mati, kecuali kau membiarkan dirimu kalah."Pintu itu akhirnya hancur, dan bayangan hitam itu masuk dengan gerakan melingkar seperti asap. Di dalamnya, Arif bisa melihat wajah-wajah yang dikenalnya: sosok ayahnya yang dulu sering dia kecewakan, seorang teman lama

  • Pesugihan Kandang Bubrah   112. Rasa Aman yang Semu

    “Jika waktumu telah tiba, kau pasti akan kembali.”Arif melanjutkan perjalanannya, mencoba menenangkan pikirannya. Tetapi ia tahu bahwa bahaya masih mengintai di setiap langkahnya. Dan ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa keris yang ia tinggalkan tadi mungkin akan menjadi bagian dari takdirnya suatu hari nanti.Abdul berdiri lagi di hadapannya, membuat Arif terkejut. Pria itu mengambil tongkatnya dan mengetuk tanah tiga kali. Sebuah pintu kecil di dinding terbuka, memperlihatkan jalan setapak yang suram."Ikuti jalan ini," katanya. "Tapi dengarkan baik-baik. Apa pun yang kau lihat atau dengar, jangan berhenti. Jangan menoleh. Jangan tergoda oleh apa pun yang ada di sepanjang jalan."Arif menelan ludah. "Apa yang ada di sepanjang jalan itu?""Hal-hal yang akan membuatmu ragu," jawab Abdul. "Hal-hal yang akan memanfaatkan ketakutan dan kerinduanmu. Tetapi kau harus tetap fokus

DMCA.com Protection Status