Suara derap langkah terdengar di kejauhan, menambah suasana mencekam di sekitar Arif. Hutan di sekelilingnya menjadi saksi bisu keputusasaannya. Pohon-pohon besar berdiri seperti penjaga kegelapan, bayangan mereka menari-nari di bawah sinar bulan yang hampir pudar.“Aku harus pergi… harus keluar dari sini,” gumamnya dengan napas tersengal. Kakinya terasa berat, seolah-olah setiap langkah menariknya lebih dalam ke dalam hutan yang tidak berujung. Namun, dia tidak bisa berhenti. Bukan hanya karena ketakutan, tetapi juga karena bayangan di belakangnya yang terus mendekat.Tiba-tiba, langkahnya terhenti ketika sebuah suara aneh terdengar dari balik pohon di sebelah kanan. “Hihihi...” Tawa itu, lirih namun menusuk, membuat bulu kuduknya meremang. Arif memandang sekeliling, namun tidak ada apa-apa kecuali kegelapan.“Siapa di sana?” teriaknya, namun suaranya hilang dalam kesunyian malam.Langkah-langkah itu semakin mendekat, disertai suara dedaunan yang bergesekan. Arif merasakan tenggorokan
Kegelapan menyelimuti Arif sepenuhnya. Tidak ada cahaya, tidak ada suara, kecuali detak jantungnya sendiri yang menggema di telinga. Dia mencoba meraba sekeliling, namun yang dirasakannya hanyalah udara dingin dan kosong. Tubuhnya gemetar, baik karena dingin maupun ketakutan yang merayap perlahan.Tiba-tiba, suara langkah kembali terdengar. Kali ini lebih jelas, lebih berat, seolah sesuatu yang besar sedang mendekat. Arif mencoba menahan napas, berharap apapun itu tidak menyadari keberadaannya. Namun, langkah-langkah itu semakin dekat dan sebuah suara lirih terdengar, seperti bisikan dari dunia lain.“Arif...”Jantungnya berdegup kencang. Suara itu terdengar akrab, namun tidak nyata. “Siapa di sana?!” serunya, mencoba terdengar tegas meski suaranya bergetar. Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang semakin menyesakkan.Perlahan, sebuah cahaya redup mulai muncul dari kejauhan. Cahaya itu berpendar seperti api kecil, namun cukup untuk menerangi sebagian ruangan tempatnya berada. Di tenga
Langit merah menyala di atas desa yang sepi, menambah kesan suram yang menyelimuti tempat itu. Arif dan Dimas berdiri membeku, menghadapi sosok raksasa yang perlahan mendekat. Nafas mereka terhenti, tubuh mereka seperti terkunci oleh kekuatan tak kasat mata.“Dimas, apa yang harus kita lakukan?” Suara Arif terdengar gemetar, hampir tidak keluar dari tenggorokannya. Arif tidak pernah merasa seketakutan ini sebelumnya.Dimas hanya menggeleng pelan, matanya tetap terpaku pada sosok raksasa itu. “Aku… aku tidak tahu,” bisiknya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Tapi kita harus lari, sekarang juga!”Dengan tarikan mendadak, Dimas menarik tangan Arif, memaksanya untuk bergerak. Langkah mereka berat, seperti berlari di dalam mimpi buruk, namun rasa takut memacu mereka untuk terus maju. Di belakang, suara gemuruh langkah sosok raksasa itu semakin keras, menggema di seluruh desa.Ketika mereka berlari melewati rumah-rumah yang kosong, Arif menyadari sesuatu yang aneh. Bayangan dar
Hutan di sekitar Arif semakin pekat. Udara dingin malam menusuk tulang, bercampur dengan aroma tanah basah dan dupa yang menyengat. Langkah kakinya berat, seakan setiap jejak yang ia tinggalkan membawa lebih banyak dosa dan rasa bersalah.Dimas berjalan di sampingnya, diam dan tampak lebih pucat dari sebelumnya. Cahaya bulan yang terhalang oleh dedaunan hanya menyisakan semburat kelabu yang membuat bayang-bayang mereka terlihat seperti sosok lain yang mengintai.“Dimas, apa kau merasa ada yang mengikuti kita?” tanya Arif, suaranya hampir tenggelam dalam angin malam yang mendesau.Dimas hanya mengangguk tanpa berkata-kata, tatapannya tajam menelusuri kegelapan. Di kejauhan, terdengar suara langkah berat yang berderak di atas dedaunan kering. Arif berhenti sejenak, telinganya mencoba menangkap suara itu. Langkah itu terhenti bersamaan dengan langkah mereka.“Siapa di sana?” Arif berteriak, suaranya bergetar.Tidak ada jawaban. Hanya suara angin yang bertiup, membawa bisikan yang tidak je
Setelah kepergian Dimas yang meluruh menjadi abu, Arif terduduk di tanah, tubuhnya gemetar hebat. Kepalanya penuh dengan suara-suara yang bergema tanpa henti, seakan alam sekitar ingin berbicara langsung ke dalam pikirannya.Namun, suara-suara itu hanya membuatnya semakin tersiksa. Arif merasa kakinya seakan tertancap ke tanah, tidak bisa bergerak meskipun tubuhnya meronta ingin pergi.“Apa yang terjadi...” bisiknya, hampir tanpa suara.Mbah Niah yang masih berdiri di dekat altar menatap Arif dengan tatapan yang tajam. Wajahnya perlahan berubah, kulitnya mengelupas seperti kayu yang terbakar, memperlihatkan lapisan daging gelap dan bercahaya di bawahnya. Matanya yang merah menyala kini bersinar lebih terang, seakan menusuk langsung ke dalam jiwa Arif.“Kau harus mengerti, Arif,” suara Mbah Niah kini terdengar lebih serak, seperti angin yang menggerus daun-daun kering. “Ini adalah dunia yang telah kau pilih untuk masuki. Tidak ada belas kasihan, tidak ada jalan kembali. Tumbal adalah ba
Langkah Arif menuju sungai terasa seperti berjalan di atas bilah-bilah tajam. Udara malam semakin dingin, membuat setiap napasnya menjadi berat. Aroma anyir yang sebelumnya samar kini terasa menyengat, bercampur dengan bau basah daun-daun yang membusuk. Cahaya bulan yang tersisa memantulkan bayangan aneh dari pohon-pohon besar di sekitarnya, seolah-olah mereka hidup dan mengawasi setiap gerakannya.“Kenapa harus aku?” gumam Arif dengan suara nyaris berbisik, mencoba menguatkan dirinya. Namun, tidak ada jawaban, hanya suara gemerisik dedaunan dan langkah kakinya sendiri.Ketika Arif semakin mendekati sungai, suara gemericik air terdengar. Tapi anehnya, suara itu tidak menenangkan, melainkan terasa seperti rintihan. Arif menghentikan langkahnya, matanya menyipit mencoba menembus gelap. Tiba-tiba, ia melihat sesuatu di kejauhan. Air sungai itu tampak berwarna merah pekat, seperti darah yang mengalir tanpa henti.“Ini tidak mungkin...” Arif berbisik dengan napas terputus. Jantungnya berdet
Arif berdiri terpaku, menggenggam pisau kecil berkarat yang baru saja diberikan wanita di atas batu besar. Dinginnya pisau itu seakan menembus kulitnya, membekukan tulang di tangannya. Jeritan dan gemuruh air sungai yang menyerupai darah terus menggema di sekelilingnya, seperti alunan simfoni kematian yang tak berkesudahan.“Apa yang harus aku lakukan dengan ini?” Arif bertanya, suaranya bergetar di antara keputusasaan dan rasa takut.Wanita itu tidak menjawab. Sebaliknya, tubuhnya perlahan memudar menjadi kabut merah yang bercampur dengan udara dingin di sekelilingnya. Hanya tawa kecilnya yang tertinggal, menggema di udara hingga perlahan memudar seperti bisikan angin. Arif mencoba menelan ludah, namun tenggorokannya terlalu kering.“Arif...” suara lain tiba-tiba terdengar dari belakangnya.Arif memutar tubuhnya dengan cepat, matanya mencari sumber suara. Di antara kabut dan bayangan pohon, makhluk penjaga yang sebelumnya menghilang kini berdiri diam, matanya merah menyala. Tubuh kuru
Langkah pertama Arif memasuki kegelapan membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Suasana di balik pintu itu berbeda dari apa pun yang pernah ia rasakan sebelumnya. Tidak ada angin, tidak ada suara, hanya kehampaan yang terasa menelan seluruh keberadaannya. Kegelapan itu pekat, hingga Arif bahkan tidak bisa melihat tangannya sendiri.“Di mana aku?” gumamnya, suaranya menggema tanpa henti seakan ruangan itu tak berujung.Pisau kecil di tangannya tiba-tiba kembali bergetar. Sebuah cahaya redup muncul dari gagangnya, membentuk lingkaran kecil di sekitarnya. Lingkaran itu cukup untuk memperlihatkan lantai tempatnya berdiri – sebuah permukaan yang tampak seperti cermin namun terasa dingin dan licin.“Berjalanlah, Arif,” suara dari pisau itu terdengar lagi. Kali ini lebih tajam dan mendesak.Arif mencoba menenangkan napasnya. Dengan langkah perlahan, Arif mengikuti cahaya redup dari pisau. Namun, setiap langkah yang dia ambil terasa seperti berjalan di atas bayangan yang menolak dilewati. S
Lila menggertakkan giginya, berusaha menahan rasa takut yang semakin menggigit. Ia menggenggam tasbih yang diberikan Ustadz Harman dengan tangan yang gemetar, mulai melantunkan doa dalam hati.Cahaya kecil mulai muncul, membentuk lingkaran pelindung di sekelilingnya, menyinari kegelapan yang mengancam.Bunyu meraung marah, tubuhnya mendekat dengan kecepatan luar biasa."Doa-doamu tidak akan menyelamatkanmu di sini!" teriaknya, mencoba menembus lingkaran cahaya itu.Namun, begitu tubuhnya menyentuh cahaya tersebut, Bunyu terlempar mundur dengan kekuatan yang luar biasa.Lila menatap Bunyu dengan mata yang penuh keberanian. "Aku tidak akan membiarkan kalian mengambil anakku! Aku akan memutus semua ini sekarang juga!"Ia melangkah maju, menuju gerbang besar yang terletak di hadapannya, yang diyakini sebagai sumber dari semua kegelapan ini.Suara bisikan semakin keras, mencoba menggoyahkan keyakinannya. "Lila... jangan tinggalkan anakmu. Dia akan baik-baik saja jika kau menyerahkan dirimu
Lila duduk bersila di ruangan kecil yang diterangi oleh cahaya remang-remang dari lampu minyak. Suasana dalam ruangan itu terasa sangat mencekam.Dinding kayu yang sudah usang menambah kesan seram, sementara aroma kemenyan yang tercampur dengan wangi kayu gaharu menyelimuti udara. Setiap tarikan napasnya terasa semakin berat.Di depannya, Ustadz Harman tengah membacakan doa dengan suara yang khusyuk, penuh keteguhan dan keyakinan. Lila menatap anaknya, Jatinegara, yang terkulai lemah di pangkuannya.Tubuh anaknya yang kecil tampak sangat rapuh, keringat dingin membasahi wajahnya, dan napasnya terdengar berat seperti terengah-engah."Bu... ada yang ingin mengambilku..." suara Jatinegara terdengar sangat pelan, bibirnya yang pucat bergetar, namun matanya tetap terpejam, seolah terjebak dalam suatu dunia yang jauh dari jangkauan Lila.Lila menggenggam tangan anaknya lebih erat, menc
Lila berdiri terpaku, tubuhnya gemetar di hadapan kekuatan yang tak ia mengerti. Cahaya yang memancar dari Jatinegara semakin terang, membuat wajah anaknya tampak seperti sosok yang bukan lagi seorang bocah kecil. Ada kilatan cahaya perak di matanya yang membuat Lila merasa asing.Bunyu, yang biasanya angkuh dan penuh percaya diri, kini terdiam. Ia melangkah mundur, tubuh besarnya seperti tertekan oleh kehadiran sesuatu yang lebih besar darinya. "Ini... ini tidak mungkin!" gumamnya dengan nada ketakutan. Suaranya tidak lagi mengintimidasi, melainkan penuh rasa gentar.“Jatinegara!” Lila berteriak, mencoba memanggil putranya. Namun suara gemuruh yang terus bergema seakan menelan suaranya. Lingkaran cahaya itu kini mulai meluas, menciptakan medan pelindung di sekitar Jatinegara.Bunyu mulai meronta. “Aku tidak akan menyerah begitu saja!” Dengan gerakan cepat, ia mencoba menyerang medan pelindung itu. Namun, begitu tangannya menyentuh cahaya tersebut, ia terpental jauh seperti dilemparka
Di dunia gaib, Arif terjatuh ke lutut, kelelahan, tubuhnya gemetar karena roh-roh yang semakin menyeretnya. Bunyu berdiri di hadapannya, menawarkan pilihan yang paling sulit dalam hidup Arif.“Arif Mahoni, dengarkan baik-baik. Jika kau ingin keluargamu selamat, ada satu pilihan yang harus kau ambil. Serahkan Jatinegara sebagai tumbal terakhir dan kami akan membiarkan kalian pergi. Atau, kalian semua akan terjebak di dunia ini selamanya. Tidak ada jalan keluar,” kata Bunyu dengan suara yang keras, penuh ancaman.Arif menggigit bibirnya, hatinya semakin dihantui oleh pilihan yang tak terelakkan. Menyerahkan Jatinegara berarti menghancurkan hatinya sendiri. Tetapi jika ia menolak, seluruh keluarganya Lila dan Jatinegara akan ikut terjebak di dunia gaib ini selamanya.Pandangan Arif beralih ke wajah Bunyu, yang tampak begitu tak berperasaan, seperti tak ada kasih sayang atau kemaafan di dalamnya.“Pilihlah, Arif. Waktu sudah habis,” kata Bunyu dengan senyuman dingin.Di dunia nyata, Lila
Di rumah Mahoni, doa Ustadz Harman mendadak terhenti ketika sebuah getaran kuat mengguncang lantai. Dari tengah ruangan, muncul retakan yang memancarkan cahaya merah menyala. Retakan itu semakin melebar, hingga membentuk sebuah portal yang tampak seperti jurang tak berdasar.“Lila! Jaga Jatinegara!” seru Ustadz Harman.Dari dalam portal itu, muncul sosok Bunyu Mahoni. Wujudnya kini menyerupai bayangan besar dengan mata yang menyala merah. Ia melayang di atas portal, memandang Lila dengan ekspresi dingin.“Cukup sudah, Lila,” suara Bunyu Mahoni menggema. “Berhenti melawan. Serahkan Jatinegara pada kami, dan kutukan ini akan berakhir.”Lila berdiri di depan Jatinegara, mencoba melindunginya meskipun tubuhnya bergetar. “Aku tidak akan menyerah! Kau tidak akan mengambil anakku!”Bunyu Mahoni tersenyum sinis. “Kalau begitu, aku sendiri yang akan mengambilnya.”Di dunia gaib, Arif merasakan kehadiran Bunyu Mahoni yang semakin mendominasi. Ia melihat roh-roh mulai menghilang satu per satu, s
rif berjalan dalam kegelapan yang seakan tiada ujung. Suara-suara bergema di sekelilingnya, memanggil namanya dengan nada penuh dendam. Sesekali, bayangan-bayangan kabur muncul, membentuk sosok yang familiar namun menakutkan.“Tumbal-tumbal yang kau serahkan,” bisik sebuah suara tajam di telinganya. “Kami datang untuk menagih!”Tiba-tiba, di depannya muncul sejumlah roh dengan wujud menyeramkan. Mata mereka menyala merah, tubuh mereka tampak seperti bayangan yang melayang, tetapi wajah mereka masih menunjukkan rasa sakit dan amarah.“Kau ingin membebaskan dirimu? Membebaskan keluargamu? Tidak semudah itu, Arif,” ujar salah satu roh. “Kami ingin keadilan. Jika bukan kau, maka anakmu akan menjadi gantinya.”Arif berusaha mempertahankan ketenangannya, meskipun ia tahu dirinya tidak memiliki kendali penuh di dunia ini. “Aku tidak akan membiarkan kalian mengambil Jatinegara!” suaranya tegas, tetapi gemetar di bawah tekanan roh-roh tersebut.“Kau berpikir kami peduli pada pengorbananmu? Kau
Arif berjalan dalam kegelapan yang seakan tiada ujung. Suara-suara bergema di sekelilingnya, memanggil namanya dengan nada penuh dendam. Sesekali, bayangan-bayangan kabur muncul, membentuk sosok yang familiar namun menakutkan.“Tumbal-tumbal yang kau serahkan,” bisik sebuah suara tajam di telinganya. “Kami datang untuk menagih!”Tiba-tiba, di depannya muncul sejumlah roh dengan wujud menyeramkan. Mata mereka menyala merah, tubuh mereka tampak seperti bayangan yang melayang, tetapi wajah mereka masih menunjukkan rasa sakit dan amarah.“Kau ingin membebaskan dirimu? Membebaskan keluargamu? Tidak semudah itu, Arif,” ujar salah satu roh. “Kami ingin keadilan. Jika bukan kau, maka anakmu akan menjadi gantinya.”Arif berusaha mempertahankan ketenangannya, meskipun ia tahu dirinya tidak memiliki kendali penuh di dunia ini. “Aku tidak akan membiarkan kalian mengambil Jatinegara!” suaranya tegas, tetapi gemetar di bawah tekanan roh-roh tersebut.“Kau berpikir kami peduli pada pengorbananmu? Ka
Dari balik bayang-bayang, Mbah Mijan melangkah maju, senyum tipis yang menyeramkan terukir di wajahnya.“Lila, waktumu tidak banyak,” katanya dengan suara yang terdengar seperti bisikan bercampur desis ular. “Kau bisa mengakhiri semua ini. Tapi, untuk itu, Jatinegara harus menjadi tumbal terakhir.”Lila menatap Mbah Mijan dengan mata membelalak. “Tidak! Aku tidak akan menyerahkan anakku! Kau gila!” serunya dengan penuh ketegasan, meskipun tubuhnya gemetar ketakutan.Mbah Mijan tertawa kecil, tetapi ada kegelapan di matanya. “Kalau begitu, pilih jalan lain. Tapi ingat, semakin lama kau menunda, kutukan ini akan merenggut nyawa Jatinegara secara perlahan, sampai tidak ada yang tersisa. Apa kau siap melihatnya menderita?”Lila memeluk Jatinegara yang tubuhnya semakin dingin. Pola-pola gaib di kulit anaknya semakin menyala, seakan-akan menjadi tanda bahwa waktunya hampir habis.“Tidak ada cara lain?” Lila bertanya dengan suara bergetar. Air mata mengalir di pipinya, mencerminkan rasa putu
”Mereka sudah sampai,” gumam Lila ketakutan. Sedangkan Mbah Mijan seketika menghilang bersama dengan suara warga yang mendekat.Suara kayu pintu yang didobrak bergema di dalam rumah Mahoni. Warga desa menyerbu masuk dengan amarah yang meluap, membawa obor, golok, dan kayu yang mereka ayunkan ke segala arah. Suasana berubah menjadi kekacauan dalam hitungan detik. Perabotan di ruang tamu hancur berantakan, dan simbol-simbol ritual yang ada di rumah itu menjadi sasaran pertama.“Ini bukti! Mereka melakukan pesugihan!” teriak salah satu warga sambil menunjuk lingkaran ritual di tengah ruangan.“Akhiri keluarga ini! Mereka telah menghancurkan hidup kita!” seru yang lain, membakar amarah massa lebih jauh.Lila berdiri mematung, memeluk Jatinegara yang kini menangis ketakutan di pelukannya. Mbah Mijan entah bagaimana menghilang di tengah kekacauan itu, meninggalkan Lila dan Jatinegara menghadapi amukan massa seorang diri.“Dengarkan aku!” Lila berteriak, mencoba menjangkau akal sehat warga. “