Home / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / 58. Terperangkap dalam Bayangan

Share

58. Terperangkap dalam Bayangan

Author: Ndraa Archer
last update Last Updated: 2024-12-09 16:00:57

Waktu terasa semakin mencekam. Arif duduk terpaku di meja makan, memandangi makan malam yang terhidang di depannya tanpa nafsu.

Lila dan Jatinegara duduk di seberangnya, namun mereka tampak jauh, seakan tidak ada hubungan darah di antara mereka. Arif merasa asing di rumahnya sendiri, tubuhnya masih gemetar setelah kejadian aneh.

"Mas, kamu kenapa? Dari tadi diam saja," tanya Lila dengan cemas, menyentuh tangan Arif yang tergeletak di atas meja.

Arif mengangkat wajahnya, matanya kosong, seperti tak melihat apa-apa. "Aku… aku merasa sesuatu yang aneh, Lila," katanya pelan. "Semakin lama, aku semakin merasa terperangkap dalam ritual ini."

Lila menatap suaminya dengan bingung. "Kamu ngomong apa, Mas? Komat kamit tidak bersuara, apa maksudmu?"

Arif mengalihkan pandangannya, menatap ke luar jendela, tempat hujan mulai turun dengan derasnya.

’Lila tidak mendengar kata-kataku ?&rsq

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Pesugihan Kandang Bubrah   59. Semakin Buruk

    Arif merasa kekuatan gelap semakin kuat, menghimpitnya dari segala arah. Dia tidak bisa bernapas, tidak bisa bergerak. Udara dingin mulai menyeruak di dalam tubuhnya."Tolong...!" Arif berteriak, tapi suaranya tidak terdengar.Tiba-tiba, lampu redup di sudut kamar padam. Kegelapan total menyelimuti ruangan. Arif merasa jiwanya tercabut dari tubuhnya. Hawa yang penuh ketakutan mulai mengerogoti perasaan Arif."Jatinegara... anakku!" Arif berteriak, tapi suaranya hilang di kegelapan.Bayangan Jatinegara mendekat, mata merah menyala seperti api neraka. Arif merasa kekuatan terakhirnya hilang. Dan kemudian, semuanya menjadi hitam.Arif merasa kekuatan gelap semakin kuat, menghimpitnya dari segala arah. Dia tidak bisa bernapas, tidak bisa bergerak. Kegelapan total menyelimuti ruangan, membuatnya merasa terjebak dalam lubang tanpa dasar."Tolong...!" Arif berteriak, tapi suaranya tidak terdengar. Tangan-tangan dingin memegang bahunya, menariknya ke dalam kegelapan.Arif mencoba melawan, tap

    Last Updated : 2024-12-12
  • Pesugihan Kandang Bubrah   60. Sosok Siapakah itu?

    Suara derap langkah terdengar di kejauhan, menambah suasana mencekam di sekitar Arif. Hutan di sekelilingnya menjadi saksi bisu keputusasaannya. Pohon-pohon besar berdiri seperti penjaga kegelapan, bayangan mereka menari-nari di bawah sinar bulan yang hampir pudar.“Aku harus pergi… harus keluar dari sini,” gumamnya dengan napas tersengal. Kakinya terasa berat, seolah-olah setiap langkah menariknya lebih dalam ke dalam hutan yang tidak berujung. Namun, dia tidak bisa berhenti. Bukan hanya karena ketakutan, tetapi juga karena bayangan di belakangnya yang terus mendekat.Tiba-tiba, langkahnya terhenti ketika sebuah suara aneh terdengar dari balik pohon di sebelah kanan. “Hihihi...” Tawa itu, lirih namun menusuk, membuat bulu kuduknya meremang. Arif memandang sekeliling, namun tidak ada apa-apa kecuali kegelapan.“Siapa di sana?” teriaknya, namun suaranya hilang dalam kesunyian malam.Langkah-langkah itu semakin mendekat, disertai suara dedaunan yang bergesekan. Arif merasakan tenggorokan

    Last Updated : 2024-12-12
  • Pesugihan Kandang Bubrah   61. Kegelapan Meyelimuti Arif.

    Kegelapan menyelimuti Arif sepenuhnya. Tidak ada cahaya, tidak ada suara, kecuali detak jantungnya sendiri yang menggema di telinga. Dia mencoba meraba sekeliling, namun yang dirasakannya hanyalah udara dingin dan kosong. Tubuhnya gemetar, baik karena dingin maupun ketakutan yang merayap perlahan.Tiba-tiba, suara langkah kembali terdengar. Kali ini lebih jelas, lebih berat, seolah sesuatu yang besar sedang mendekat. Arif mencoba menahan napas, berharap apapun itu tidak menyadari keberadaannya. Namun, langkah-langkah itu semakin dekat dan sebuah suara lirih terdengar, seperti bisikan dari dunia lain.“Arif...”Jantungnya berdegup kencang. Suara itu terdengar akrab, namun tidak nyata. “Siapa di sana?!” serunya, mencoba terdengar tegas meski suaranya bergetar. Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang semakin menyesakkan.Perlahan, sebuah cahaya redup mulai muncul dari kejauhan. Cahaya itu berpendar seperti api kecil, namun cukup untuk menerangi sebagian ruangan tempatnya berada. Di tenga

    Last Updated : 2024-12-13
  • Pesugihan Kandang Bubrah   62. Menghadapi Sosok Mengerikan

    Langit merah menyala di atas desa yang sepi, menambah kesan suram yang menyelimuti tempat itu. Arif dan Dimas berdiri membeku, menghadapi sosok raksasa yang perlahan mendekat. Nafas mereka terhenti, tubuh mereka seperti terkunci oleh kekuatan tak kasat mata.“Dimas, apa yang harus kita lakukan?” Suara Arif terdengar gemetar, hampir tidak keluar dari tenggorokannya. Arif tidak pernah merasa seketakutan ini sebelumnya.Dimas hanya menggeleng pelan, matanya tetap terpaku pada sosok raksasa itu. “Aku… aku tidak tahu,” bisiknya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Tapi kita harus lari, sekarang juga!”Dengan tarikan mendadak, Dimas menarik tangan Arif, memaksanya untuk bergerak. Langkah mereka berat, seperti berlari di dalam mimpi buruk, namun rasa takut memacu mereka untuk terus maju. Di belakang, suara gemuruh langkah sosok raksasa itu semakin keras, menggema di seluruh desa.Ketika mereka berlari melewati rumah-rumah yang kosong, Arif menyadari sesuatu yang aneh. Bayangan dar

    Last Updated : 2024-12-13
  • Pesugihan Kandang Bubrah   63. Kegelapan yang Kian Menyelimuti  

    Hutan di sekitar Arif semakin pekat. Udara dingin malam menusuk tulang, bercampur dengan aroma tanah basah dan dupa yang menyengat. Langkah kakinya berat, seakan setiap jejak yang ia tinggalkan membawa lebih banyak dosa dan rasa bersalah.Dimas berjalan di sampingnya, diam dan tampak lebih pucat dari sebelumnya. Cahaya bulan yang terhalang oleh dedaunan hanya menyisakan semburat kelabu yang membuat bayang-bayang mereka terlihat seperti sosok lain yang mengintai.“Dimas, apa kau merasa ada yang mengikuti kita?” tanya Arif, suaranya hampir tenggelam dalam angin malam yang mendesau.Dimas hanya mengangguk tanpa berkata-kata, tatapannya tajam menelusuri kegelapan. Di kejauhan, terdengar suara langkah berat yang berderak di atas dedaunan kering. Arif berhenti sejenak, telinganya mencoba menangkap suara itu. Langkah itu terhenti bersamaan dengan langkah mereka.“Siapa di sana?” Arif berteriak, suaranya bergetar.Tidak ada jawaban. Hanya suara angin yang bertiup, membawa bisikan yang tidak je

    Last Updated : 2024-12-14
  • Pesugihan Kandang Bubrah    64. Bayang-Bayang dalam Kegelapan  

    Setelah kepergian Dimas yang meluruh menjadi abu, Arif terduduk di tanah, tubuhnya gemetar hebat. Kepalanya penuh dengan suara-suara yang bergema tanpa henti, seakan alam sekitar ingin berbicara langsung ke dalam pikirannya.Namun, suara-suara itu hanya membuatnya semakin tersiksa. Arif merasa kakinya seakan tertancap ke tanah, tidak bisa bergerak meskipun tubuhnya meronta ingin pergi.“Apa yang terjadi...” bisiknya, hampir tanpa suara.Mbah Niah yang masih berdiri di dekat altar menatap Arif dengan tatapan yang tajam. Wajahnya perlahan berubah, kulitnya mengelupas seperti kayu yang terbakar, memperlihatkan lapisan daging gelap dan bercahaya di bawahnya. Matanya yang merah menyala kini bersinar lebih terang, seakan menusuk langsung ke dalam jiwa Arif.“Kau harus mengerti, Arif,” suara Mbah Niah kini terdengar lebih serak, seperti angin yang menggerus daun-daun kering. “Ini adalah dunia yang telah kau pilih untuk masuki. Tidak ada belas kasihan, tidak ada jalan kembali. Tumbal adalah ba

    Last Updated : 2024-12-14
  • Pesugihan Kandang Bubrah   65. Jejak Darah di Sungai

    Langkah Arif menuju sungai terasa seperti berjalan di atas bilah-bilah tajam. Udara malam semakin dingin, membuat setiap napasnya menjadi berat. Aroma anyir yang sebelumnya samar kini terasa menyengat, bercampur dengan bau basah daun-daun yang membusuk. Cahaya bulan yang tersisa memantulkan bayangan aneh dari pohon-pohon besar di sekitarnya, seolah-olah mereka hidup dan mengawasi setiap gerakannya.“Kenapa harus aku?” gumam Arif dengan suara nyaris berbisik, mencoba menguatkan dirinya. Namun, tidak ada jawaban, hanya suara gemerisik dedaunan dan langkah kakinya sendiri.Ketika Arif semakin mendekati sungai, suara gemericik air terdengar. Tapi anehnya, suara itu tidak menenangkan, melainkan terasa seperti rintihan. Arif menghentikan langkahnya, matanya menyipit mencoba menembus gelap. Tiba-tiba, ia melihat sesuatu di kejauhan. Air sungai itu tampak berwarna merah pekat, seperti darah yang mengalir tanpa henti.“Ini tidak mungkin...” Arif berbisik dengan napas terputus. Jantungnya berdet

    Last Updated : 2024-12-14
  • Pesugihan Kandang Bubrah    66. Pintu di Tengah Kegelapan

    Arif berdiri terpaku, menggenggam pisau kecil berkarat yang baru saja diberikan wanita di atas batu besar. Dinginnya pisau itu seakan menembus kulitnya, membekukan tulang di tangannya. Jeritan dan gemuruh air sungai yang menyerupai darah terus menggema di sekelilingnya, seperti alunan simfoni kematian yang tak berkesudahan.“Apa yang harus aku lakukan dengan ini?” Arif bertanya, suaranya bergetar di antara keputusasaan dan rasa takut.Wanita itu tidak menjawab. Sebaliknya, tubuhnya perlahan memudar menjadi kabut merah yang bercampur dengan udara dingin di sekelilingnya. Hanya tawa kecilnya yang tertinggal, menggema di udara hingga perlahan memudar seperti bisikan angin. Arif mencoba menelan ludah, namun tenggorokannya terlalu kering.“Arif...” suara lain tiba-tiba terdengar dari belakangnya.Arif memutar tubuhnya dengan cepat, matanya mencari sumber suara. Di antara kabut dan bayangan pohon, makhluk penjaga yang sebelumnya menghilang kini berdiri diam, matanya merah menyala. Tubuh kuru

    Last Updated : 2024-12-14

Latest chapter

  • Pesugihan Kandang Bubrah   210. Jejak yang Terkubur  

    Pagi itu, Lila duduk diam di kursi kayu di teras rumah Ustadz Harman.Kopi di tangannya sudah dingin. Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali menyesapnya.Pikirannya masih dipenuhi dengan kata-kata Jatinegara semalam."Ayah bilang… aku akan bertemu mereka semua… sebentar lagi."Siapa yang dia maksud?Lila mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kegelisahan. Dia tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut.Jika pesugihan ini belum sepenuhnya hilang, maka mereka harus menghancurkannya sampai ke akar.Tak lama kemudian, Dimas dan Ustadz Harman keluar dari dalam rumah, wajah mereka sama seriusnya."Kita harus mulai menelusuri asal mula perjanjian ini," kata Ustadz Harman. "Tapi ini bukan sesuatu yang mudah."Dimas menyandarkan tubuhnya di dinding. "Apa kita sudah punya petunjuk?"Ustadz Harman mengangguk. "Aku ingat sesuatu. Dulu, Arif pernah bercerita bahwa keluarganya berasal dari sebuah des

  • Pesugihan Kandang Bubrah   209. Bayangan yang Masih Mengintai

    Sudah tiga hari sejak mereka meninggalkan Kandang Bubrah.Lila mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya sudah berakhir. Bahwa Arif telah pergi dan pesugihan itu sudah hancur.Tapi setiap kali malam tiba, perasaan aneh menyusup ke dalam dirinya.Seolah ada sesuatu yang masih mengawasi.Seolah ada mata yang terus menatap dari dalam kegelapan.***Malam itu, Lila berdiri di depan cermin di kamar tamunya di rumah Ustadz Harman.Matanya menatap pantulan dirinya sendiri, mencari sesuatu yang tidak beres.Entah sejak kapan, ia merasa… berbeda.Ada sesuatu di dalam dirinya yang mengatakan bahwa ini belum benar-benar selesai.Di atas ranjang, Jatinegara sudah tertidur pulas, wajahnya terlihat damai.Tetapi Lila tahu.Anaknya telah berubah. Bukan perubahan yang bisa dilihat orang biasa.

  • Pesugihan Kandang Bubrah   208. Luka yang Tak Terlihat

    Lila masih berlutut di tanah, tangannya erat menggenggam Jatinegara. Air matanya mengalir deras, tetapi tidak ada suara tangisan yang keluar dari bibirnya.Di depannya, tempat yang dulunya adalah Kandang Bubrah kini hanya tanah kosong, seolah-olah tidak pernah ada apa pun di sana sebelumnya.Tidak ada rumah.Tidak ada gerbang.Tidak ada jejak keberadaan makhluk-makhluk yang pernah menguasai tempat itu.Dan tidak ada Arif.Dimas berdiri di sampingnya, napasnya masih tersengal akibat berlari. Ia menoleh ke Ustadz Harman yang berdiri diam, matanya tertuju pada tempat yang baru saja mereka tinggalkan."Sudah berakhir, kan?" tanya Dimas pelan.Ustadz Harman tidak langsung menjawab. Ia menatap tanah kosong itu lama, lalu mengangguk perlahan."Ya… tapi ada harga yang harus dibayar."

  • Pesugihan Kandang Bubrah   207. Pilihan Terakhir

    Tanah di bawah kaki mereka terus bergetar, semakin keras, seolah-olah ada sesuatu yang akan muncul dari dalam kegelapan.Sosok-sosok tak bernyawa yang mengelilingi mereka mulai bergerak lebih cepat, langkah-langkah mereka tidak menimbulkan suara, tetapi udara di sekitarnya bergetar oleh keberadaan mereka.Dimas mencengkeram bahu Lila. "Kita harus keluar dari sini, sekarang!"Tapi ke mana?Di mana jalan keluar?Arif masih berdiri di tengah kegelapan, tersenyum, seolah menikmati penderitaan mereka."Kalian tidak bisa lari," katanya, suaranya terdengar tenang, tetapi menusuk seperti pisau tajam. "Tempat ini akan tetap ada… selama dia masih hidup."Mata Arif beralih ke Jatinegara.Jatinegara menggigil dalam pelukan Lila. "Ibu… aku takut…"Lila merasakan jantungnya seperti diremas.

  • Pesugihan Kandang Bubrah   206.  Kandang Jiwa yang Terkurung

    Gerbang kayu besar itu menutup dengan suara menggelegar, seolah ada sesuatu yang mengunci mereka di dalam.Lila menahan napas. Udara di dalam Kandang Bubrah lebih berat dibandingkan dengan di luar. Ada bau tanah basah bercampur anyir yang menusuk hidung, membuatnya hampir muntah.Jatinegara menggenggam tangan Lila lebih erat. Anak itu berbisik pelan, "Ibu… kita tidak sendiri di sini."Lila menoleh ke arah Jatinegara. Matanya.Mata Jatinegara berubah lagi, hitam pekat. Lila hampir menjerit. Tapi sebelum ia bisa bergerak, suara Arif kembali terdengar."Lila…" Mereka semua menoleh.Arif masih berdiri di depan mereka. Tapi kini, senyumnya lebih lebar, terlalu lebar untuk ukuran manusia."Akhirnya kau datang," bisiknya. "Aku sudah menunggumu begitu lama."Lila merasakan kakinya melemas.

  • Pesugihan Kandang Bubrah   205. Pintu ke Neraka  

    Angin dingin berembus pelan saat Lila, Dimas, Ustadz Harman, dan Jatinegara meninggalkan rumah Mbah Niah. Udara di Desa Srengege terasa semakin berat, seolah mereka baru saja membuat kesepakatan dengan sesuatu yang tidak terlihat.Di genggaman Lila, kain hitam pemberian Mbah Niah terasa dingin, seolah menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar perlindungan."Kandang Bubrah ada di mana?" tanya Dimas, suaranya terdengar serak.Mbah Niah berdiri di ambang pintu rumahnya, tatapannya tajam ke arah jalanan berkabut. "Kalian hanya perlu mengikuti jalan ini."Lila menatap jalanan setapak yang terbentang di depan mereka. Jalur itu gelap, diselimuti kabut pekat yang menggantung rendah di atas tanah."Begitu kalian melewati batas Desa Srengege," lanjut Mbah Niah, "kalian tidak akan berada di dunia ini lagi."Lila menelan ludah. "Maksudmu?"Mbah Niah

  • Pesugihan Kandang Bubrah   204. Perjanjian dengan Mbah Niah

    Wanita berkebaya hitam itu berdiri diam di tengah jalan. Rambutnya panjang, menutupi sebagian wajahnya.Namun, saat ia perlahan mengangkat kepala, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya—bukan senyum ramah, melainkan senyum yang menyimpan sesuatu yang lebih dalam.Lila merasakan udara di sekitarnya menjadi berat. Jantungnya berdegup kencang hingga ia hampir merasa sesak.Dimas menyalakan senter dan mengarahkannya ke wanita itu, tetapi anehnya… cahaya tidak mampu menyentuh sosoknya. Seolah wanita itu berdiri di dimensi yang berbeda dari mereka."Dia siapa?" bisik Lila.Ustadz Harman tidak menjawab. Ia melangkah maju dengan tenang, matanya tajam menatap wanita itu."Mbah Niah," sapanya dengan suara datar.Wanita itu menyeringai, sedikit lebih lebar. "Sudah lama aku menunggu kalian."Su

  • Pesugihan Kandang Bubrah   203. Jembatan yang Tak Terlihat

    Lila berdiri di tepian jurang, jantungnya berdetak begitu kencang hingga hampir terasa menyakitkan.Di hadapannya, Ustadz Harman berdiri tegak di atas sesuatu yang tak kasat mata. Seolah-olah ada lantai yang menyangga tubuhnya, meskipun yang terlihat hanyalah kegelapan yang menganga lebar."Jangan ragu," kata Ustadz Harman dengan suara tenang. "Jika kau ragu, kau akan jatuh."Lila menelan ludah. Tangannya berkeringat saat menggenggam erat Jatinegara, yang berdiri diam di sampingnya.Dimas menyalakan senter dan mengarahkannya ke depan. Cahaya terang itu melayang… tanpa menyentuh apa pun. Seolah-olah tidak ada yang bisa dipijak."Ini gila," gumamnya. "Tidak ada jembatan di sini."Ustadz Harman menoleh padanya. "Tidak terlihat, bukan berarti tidak ada."Lila menarik napas dalam. Tidak ada pilihan lain.Ia menatap wajah Jatinegara yang pucat dalam cahaya remang. "Jati, kamu percaya sama Ibu?"Jatinegara mengangguk pelan.Lila menggenggam tangannya lebih erat. Lalu…Ia mengangkat kakinya d

  • Pesugihan Kandang Bubrah   202. Gerbang Menuju Kegelapan

    Langit telah sepenuhnya gelap ketika Lila, Dimas, Ustadz Harman, dan Jatinegara tiba di jalan setapak yang menuju hutan tempat Desa Srengege konon berada.Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk. Lila mengeratkan genggamannya pada tangan Jatinegara, sementara Dimas menyalakan senter untuk menerangi jalan.Ustadz Harman berjalan paling depan. Suaranya tenang, tapi tegas. "Sekali kita masuk, kita tidak bisa berbalik sebelum waktunya tiba."Lila menelan ludah. "Berarti… kita hanya bisa keluar setelah ritual selesai?"Ustadz Harman mengangguk. "Benar. Desa Srengege hanya muncul di malam Jumat Kliwon, dan akan menghilang sebelum fajar. Jika kita masih ada di dalam saat matahari terbit… kita tidak akan pernah kembali."Lila merasakan jantungnya mencelos.Dimas menoleh ke arah mereka. "Kalau begitu, kita harus cepat."Ustadz Harman melangkah ke depan, dan mereka mengikuti.Langkah pertama memasuki hutan terasa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status