Semua Bab 40 Hari Setelah Kematian Bapak: Bab 61 - Bab 70

102 Bab

Bab 61. Ritual Hitam

Hari demi hari berlalu, Murni menjalani pergulatan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Kekuatan Prana yang menyatu dalam dirinya terus menggerogoti seluruh tubuh dan pikirannya. Rasa sakit yang tak terlukiskan muncul setiap kali ia mencoba menggunakan energi itu. Tubuhnya terasa seperti terbakar dari dalam, sementara pikirannya seolah-olah dirasuki ribuan suara yang berbisik tanpa henti.Hutan terasing yang ia tempati kini terasa seperti dunia lain. Udara dingin menusuk tulang, namun keheningan yang menyelimuti malam itu justru menambah berat suasana. Prawiro memimpin Murni ke tengah hutan yang paling dalam, langkah-langkah mereka perlahan di atas dedaunan kering yang berderak di bawah kaki. Tidak ada bintang di langit malam itu, hanya pekat yang menyelimuti, seolah menyembunyikan rahasia yang paling gelap. Prawiro, yang selalu berada di sisinya, mengamati dengan cemas. Ia tahu bahwa Murni membutuhkan bantuan untuk mengendalikan Prana sebelum kekuatan itu menghabisinya. Dengan
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-27
Baca selengkapnya

Bab 62. Kolam Perak

Malam berikutnya tiba dengan suasana yang lebih mencekam. Hutan itu, yang sebelumnya hanya menyimpan ketenangan yang janggal, kini terasa hidup dengan energi yang tak terlihat. Pepohonan seakan bergerak meskipun tidak ada angin, dan suara gemerisik daun terdengar seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi mereka dari balik kegelapan. Bayangan gelap melintas di sudut mata Murni, meski ketika ia menoleh, tidak ada apa-apa kecuali kehampaan yang menyeramkan.Murni tidak gentar. Ia tahu malam ini adalah langkah besar dalam perjalanan yang telah ia mulai. Rasa takutnya telah digantikan oleh tekad yang membaja, meskipun ia sadar risiko yang menantinya sangat besar."Murni, untuk malam ini, apa yang akan kamu terima jauh lebih besar. Apa kamu sudah siap untuk itu?" tanya Prawiro dengan suara berat, seraya menatap Murni lekat-lekat. Tatapan itu tidak hanya meminta jawaban, tetapi juga meyakinkan dirinya sendiri bahwa Murni cukup kuat untuk menghadapi apa yang akan datang."Kapan pun, Pak. Aku sud
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-27
Baca selengkapnya

Bab 63. Niat Murni

Prawiro, yang sedari tadi berdiri di tepi kolam, terus mengawasi Murni dengan cermat. Tatapannya tidak pernah beralih, penuh perhatian namun juga dihantui kekhawatiran yang mendalam. Sebagai seorang penjaga rahasia kolam itu selama bertahun-tahun, ia memahami bahwa tempat ini bukanlah sekadar tempat biasa. Kolam tersebut adalah gerbang menuju sesuatu yang lebih besar, lebih tua, dan lebih suci dari apa pun yang bisa dipahami manusia. Namun, ia juga tahu bahwa kolam itu tidak memaafkan. Banyak yang telah mencoba masuk sebelumnya—mereka yang sombong, tamak, atau bahkan sekadar penasaran. Mereka semua berakhir sama: jiwa mereka hancur, tubuh mereka menjadi kosong, tidak lebih dari cangkang yang tak bernyawa. Hanya mereka yang membawa niat tulus, tanpa beban dendam atau ambisi pribadi, yang bisa bertahan. Murni adalah harapan terakhirnya, tetapi meski ia percaya pada gadis itu, keraguan kecil tetap menyelinap di hatinya. Prawiro melantunkan mant
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-28
Baca selengkapnya

Bab 64. Warisan dan Kutukan

Malam semakin larut. Suara jangkrik dan gemerisik dedaunan menjadi satu-satunya melodi yang mengiringi perjalanan Murni dan Prawiro menuju makam tua tempat mereka beristirahat. Angin dingin menyapu kulit, membawa serta aroma tanah basah yang bercampur dengan sesuatu yang lebih tua dan lebih pekat. Seolah-olah udara itu sendiri menyimpan rahasia yang tak terungkapkan. Murni duduk bersandar di sebuah nisan batu yang sudah tua, sementara Prawiro tetap berdiri, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Wajahnya tampak lelah, namun ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Murni merasa tidak nyaman—seperti ada beban berat yang sedang ia simpan. “Besok malam,” kata Prawiro akhirnya, memecah keheningan. Suaranya terdengar berat, hampir seperti gumaman, tetapi cukup untuk menarik perhatian Murni. “Ada satu ritual lagi yang harus kau lakukan, Nduk. Ritual terakhir.” Murni menatapnya, napasnya tertahan. Tubuhnya masih terasa lemah setelah a
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-28
Baca selengkapnya

Bab 65. Lelah

Murni duduk termenung di tengah makam yang kini terasa semakin sunyi, seolah dunia sekitarnya telah menghilang. Api kecil yang pada malam itu sempat menyala dengan terang kini hanya tinggal sisa-sisa abu yang hangus. Bayangan-bayangan yang mengelilinginya telah lenyap, tetapi suara-suara itu masih bergema di dalam kepalanya, seperti bisikan yang tak henti-hentinya mengisi ruang kosong di hatinya. Prawiro belum juga datang. Sehari semalam telah berlalu, namun lelaki tua itu tidak sama sekali menampakkan batang hidungnya. Murni merasakan lelah yang luar biasa, tubuhnya begitu lemah dan juga lapar yang tak tertahankan. Namun demikian, kedua matanya tetap terjaga. Kluk'"Buka matamu, Murni...!" Setiap kali ia merasa hampir pingsan, Murni berusaha untuk mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap bertahan. Ia harus tetap menunggu, menunggu Prawiro, yang menurutnya adalah satu-satunya orang yang bisa menjelaskqn semuanya, dan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Keheningan semakin meneka
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-29
Baca selengkapnya

Bab 66. Pocong Bapak

Cluk! Cluk! "Murni...." Murni terkejut mendengar suara itu. "Bapak?" suaranya gemetar, setengah tidak percaya dengan yang ada di depan matanya saat ini. Pocong itu mengangguk perlahan. "Ya, anakku. Aku datang." Murni menggelengkan kepala, air matanya semakin deras. "Tapi... Bapak...." "Aku lelah, Pak. Aku ingin menyerah. Ini semua terlalu berat untukku," ucap Murni di sela isak tangisnya. Pocong itu mendekat dengan lompatan perlahan, lalu berhenti tepat di hadapannya. "Murni, dengarkan aku. Aku tahu rasa sakitmu, kehilanganmu, dan kehampaan yang kau rasakan. Tapi mati bukan jawaban. Kau punya tujuan besar di dunia ini, sesuatu yang harus kau perjuangkan. Jika kau menyerah sekarang, semuanya akan berakhir sia-sia." Murni menunduk, menggenggam tangannya yang gemetar. "Aku tidak tahu bagaimana caranya bertahan. Aku sudah melakukan segalanya, tapi sekarang... aku sendirian, Pak." Sosok pocong Raharjo yang kedua matanya menghitam, menatap Murni dengan mata yang dipenuhi kehangatan.
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-30
Baca selengkapnya

Bab 67. Tunduk

"Apa? Siapa yang harus tunduk?" pikir Murni. Murni tertegun di tempatnya. Napasnya masih memburu, menyadari dirinya kini berada di tengah-tengah sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Matanya menatap bayangan-bayangan hitam itu Murni memandangi kejadian yang belum dapat ia mengerti itu dengan mulut ternganga. Bayangan-bayangan hitam yang tadi tampak mengerikan kini merunduk di bawah kaki pocong bapaknya, mereka merapatkan tubuh—patuh pada perintah Harjo. "Ada apa ini?" lirih Murni. Sosok-sosok hitam yang jumlahnya tak terkira itu seperti mencair, melebur ke tanah dengan gerakan yang seolah memohon pengampunan dari sosok yang Murni sebut sebagai 'Bapak'. Pocong Raharjo sedikit mengambang, ikatan kain bagian bawahnya tampak sedikit menyentuh tanah. Kain kafannya yang tampak kotor karena tanah berdesir perlahan, memancarkan aura ketenangan namun juga tampak mengerikan.Murni mencoba bangkit dari posisinya yang terduduk lemas. Seluruh tubuhnya seperti menolak perintahnya, te
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-31
Baca selengkapnya

Bab 68. Perlindungan

Murni berlari sekuat yang ia bisa tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Hutan malam itu seolah hidup, ranting-ranting pohon yang melintang di jalannya tampak bergerak, mencoba untuk menghalangi setiap langkahnya. Angin kencang meniup rambutnya ke segala arah, dan suara raungan Sangkalana terdengar semakin dekat. Napasnya semakin berat, dadanya terasa sesak. Namun, di tengah semua kekacauan itu, bisikan-bisikan dari Prana yang terpenjara di dalam dirinya masih terdengar—menggaung di telinganya. Mereka terus meronta seperti pemandu samar yang memintanya untuk terus maju. "Tanah merah... tanah merah..." suara-suara itu terus menerus berbicara, membimbingnya menuju pada sesuatu yang bahkan belum bisa ia pahami. "Aaw!" Secara tak sengaja, kakinya tersandung akar pohon yang besar yang melintang, membuat tubuhnya terjatuh ke tanah. Lututnya berdarah, dan telapak tangannya yang menggapai tanah terasa perih. Ia mengaduh, tetapi suara gemuruh l
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-01
Baca selengkapnya

Bab 69. Tanah Merah

Murni terjingkat kaget mendengar teriakan keras dari Raharjo. Teriakan yang membuat hatinya berdebar kencang. Dengan napas yang terengah-engah, ia berbalik dan melangkah maju, meskipun tubuhnya sudah terasa lelah dan hampir tak mampu lagi bergerak. Suara bapaknha yang terdengar begitu jelas dan memerintah memaksanya untuk tak membuang waktu lebih lama. Makhluk itu—Sangkalana—adalah ancaman yang nyata, dan Raharjo telah memberinya kesempatan untuk kabur. Murni pun pada akhirnya berlari dengan sisa tenaga yang ada, tubuhnya terasa berat, seolah tanah yang diinjak semakin keras dan penuh rintangan. Angin malam semakin kencang, membuat jarak pandangnya semakin kabur. Murni hanya berusaha mengingat satu hal—tanah merah yang ia cari. Itu satu-satunya petunjuk yang bisa membawanya ke tempat yang tepat. "Tanah merah..." gumamnya lagi, lebih keras kali ini, berharap bisikan itu menjadi nyata.Murni terus berlari, tubuhnya hampir roboh oleh rasa lelah yang membakar. Namun, suara Raharjo dan d
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-02
Baca selengkapnya

Bab 70. Pulang

"Bapak....!" Murni berdiri terpaku, tubuhnya gemetar di tengah keheningan yang tiba-tiba terasa begitu menekan. Tidak ada lagi sosok Raharjo—sang ayah dalam wujud pocong, ular Wulung Seta yang melindunginya, atau bahkan jejak-jejak Sangkalana yang sebelumnya menjadi ancaman besar. Semua lenyap. Langit yang tadnya merah menyala kini berubah menjadi kelam, tanpa bulan, tanpa bintang. Hanya ada kegelapan yang memeluknya erat. "Bapak...? Bapak kemana?" panggilnya lirih. Suaranya bergema lemah di antara kehampaan. Namun, tak ada jawaban. Murni memutar tubuhnya, mencari-cari, berharap menemukan sesuatu—apa saja—yang bisa membuktikan bahwa semua ini bukanlah sebuah mimpi, atau ilusi. Tapi yang terlihat hanyalah bayangan dirinya sendiri di atas tanah yang dingin dan keras. Air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan. Segala hal yang baru saja ia alami terasa seperti mimpi buruk yang begitu nyata. Kemenangan atas Sangkalana yang penuh perjuangan, keberanian yang ia kumpulkan dengan su
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-03
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
11
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status