Murni berlari sekuat yang ia bisa tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Hutan malam itu seolah hidup, ranting-ranting pohon yang melintang di jalannya tampak bergerak, mencoba untuk menghalangi setiap langkahnya. Angin kencang meniup rambutnya ke segala arah, dan suara raungan Sangkalana terdengar semakin dekat.
Napasnya semakin berat, dadanya terasa sesak. Namun, di tengah semua kekacauan itu, bisikan-bisikan dari Prana yang terpenjara di dalam dirinya masih terdengar—menggaung di telinganya. Mereka terus meronta seperti pemandu samar yang memintanya untuk terus maju. "Tanah merah... tanah merah..." suara-suara itu terus menerus berbicara, membimbingnya menuju pada sesuatu yang bahkan belum bisa ia pahami. "Aaw!" Secara tak sengaja, kakinya tersandung akar pohon yang besar yang melintang, membuat tubuhnya terjatuh ke tanah. Lututnya berdarah, dan telapak tangannya yang menggapai tanah terasa perih. Ia mengaduh, tetapi suara gemuruh lMurni terjingkat kaget mendengar teriakan keras dari Raharjo. Teriakan yang membuat hatinya berdebar kencang. Dengan napas yang terengah-engah, ia berbalik dan melangkah maju, meskipun tubuhnya sudah terasa lelah dan hampir tak mampu lagi bergerak. Suara bapaknha yang terdengar begitu jelas dan memerintah memaksanya untuk tak membuang waktu lebih lama. Makhluk itu—Sangkalana—adalah ancaman yang nyata, dan Raharjo telah memberinya kesempatan untuk kabur. Murni pun pada akhirnya berlari dengan sisa tenaga yang ada, tubuhnya terasa berat, seolah tanah yang diinjak semakin keras dan penuh rintangan. Angin malam semakin kencang, membuat jarak pandangnya semakin kabur. Murni hanya berusaha mengingat satu hal—tanah merah yang ia cari. Itu satu-satunya petunjuk yang bisa membawanya ke tempat yang tepat. "Tanah merah..." gumamnya lagi, lebih keras kali ini, berharap bisikan itu menjadi nyata.Murni terus berlari, tubuhnya hampir roboh oleh rasa lelah yang membakar. Namun, suara Raharjo dan d
"Bapak....!" Murni berdiri terpaku, tubuhnya gemetar di tengah keheningan yang tiba-tiba terasa begitu menekan. Tidak ada lagi sosok Raharjo—sang ayah dalam wujud pocong, ular Wulung Seta yang melindunginya, atau bahkan jejak-jejak Sangkalana yang sebelumnya menjadi ancaman besar. Semua lenyap. Langit yang tadnya merah menyala kini berubah menjadi kelam, tanpa bulan, tanpa bintang. Hanya ada kegelapan yang memeluknya erat. "Bapak...? Bapak kemana?" panggilnya lirih. Suaranya bergema lemah di antara kehampaan. Namun, tak ada jawaban. Murni memutar tubuhnya, mencari-cari, berharap menemukan sesuatu—apa saja—yang bisa membuktikan bahwa semua ini bukanlah sebuah mimpi, atau ilusi. Tapi yang terlihat hanyalah bayangan dirinya sendiri di atas tanah yang dingin dan keras. Air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan. Segala hal yang baru saja ia alami terasa seperti mimpi buruk yang begitu nyata. Kemenangan atas Sangkalana yang penuh perjuangan, keberanian yang ia kumpulkan dengan su
Aji sama sekali tak ingin beranjak sedikit pun dari sisi Murni sejak kedatangannya. Tatapan matanya yang redup seolah berbisik bahwa ia belum siap kehilangan kakaknya lagi. Setiap malam selama dua minggu terakhir, ia hanya bisa terjaga dengan doa yang berulang-ulang di dalam hatinya. Dan kini, ketika doa itu akhirnya dijawab, ia tak ingin berpisah lagi, meski hanya sedetik."Jadi..." Kyai Hasan akhirnya memecah keheningan di ruangan yang terasa berat oleh rasa cemas dan lega yang bercampur aduk. Suaranya tenang, namun jelas membawa bobot pertanyaan yang penting. "Ke mana Prawiro membawamu, Nduk?"Murni terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Pikirannya melayang ke tempat gelap yang begitu asing namun terasa begitu dekat. “Ke... suatu tempat yang saya sendiri ndak tahu di mana tepatnya, Kyai,” jawab Murni akhirnya, suaranya lirih namun cukup jelas terdengar."Hanya itu?" Kyai Hasan bertanya lagi, kali ini dengan nada lebih serius.Murni menarik napa
Menjelang petang, saat langit mulai merona merah dan angin sore bertiup sejuk, suasana di rumah Kyai Hasan terasa lebih tenang. Murni masih duduk di tikar pandan bersama Aji, sementara Kyai Hasan meminum teh hangatnya dengan tenang, seolah sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, ketenangan itu seketika pecah ketika seorang pemuda muncul di halaman, berlari tergopoh-gopoh ke arah rumah Kyai Hasan. Nafasnya tersengal, wajahnya pucat, dan peluh membasahi dahinya. Ia memanggil-manggil nama Murni dan Aji dengan suara keras."Murni...! Aji...!" “Murni! Aji! Kalian di sini, kan?” teriak pemuda itu, suaranya terdengar panik. Kyai Hasan segera bangkit dari duduknya dan berjalan ke depan. "Budiman...." Lirih Kyai Hasan yang mengenali siapa pemuda yang kini berdiri dengan napas. “Budiman? Ono opo, Le? Kenapa kamu lari-lari dan terlihat berantakan seperti ini?” tanyanya, suaranya tenang namun penuh perhatian. Budiman berhenti di depan Kyai Hasan, berusaha mengatur napasnya y
Crash!Aaarrrkh!! Para warga berteriak saat sabetan pisau yang Lasmi genggam memotong seutas tali yang mengikat tubuh Mbok Tumini.Lasmi tertawa terbahak-bahak, suara tawa yang menggema di udara malam membuat suasana semakin mencekam. Para warga yang berkumpul di sekitar pohon besar itu tertegun, sebagian menahan napas, sementara yang lain tampak gelisah dan bersiap untuk melarikan diri."Kenapa kalian semua ketakutan?" ujar Lasmi lantang, suaranya terdengar penuh ejekan. "Aku hanya memotong tali, bukan hidupnya. Hahaha!" Matanya yang merah menyala memancarkan aura menyeramkan, seolah bukan lagi manusia biasa yang berdiri di sana.Kyai Hasan maju selangkah, mengangkat tangannya sebagai isyarat agar warga tetap tenang. "Lasmi, kami tidak datang untuk melawanmu. Kami hanya ingin agar kamu melepaskan Mbok Tumini, Sadarlah, Lasmi. Keluarlah kamu dari kegelapan.""Keluar?" Lasmi menyipitkan mata, ekspresinya berubah sinis. "Aku tidak
Namun terlambat. Gelombang energi itu melesat dan hampir mengenai mereka, tetapi tiba-tiba sebuah bayangan besar melompat ke hadapan mereka, menahan serangan tersebut dengan tubuhnya sendiri. Bayangan itu adalah ... Prana.Prana, dengan tubuhnya yang besar dan kuat, berdiri tegap di depan Aji dan Murni, menyerap gelombang energi gelap yang datang dengan sekuat tenaga. Tubuhnya tampak bergetar hebat saat energi itu menghantamnya, namun ia tetap berdiri tegak, melindungi Aji dan Murni. Suara dentuman keras terdengar saat gelombang itu berusaha menghancurkan tubuhnya, namun Prana tetap tak tergoyahkan."Prana...!" teriak Murni, tercengang melihat sosok yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka.Prana, dengan wajah yang tampak serius dan penuh tekad, memandang Lasmi dengan tatapan tajam. "Jangan sentuh mereka!" serunya dengan suara berat yang menggema.Lasmi terkejut melihat sosok yang tiba-tiba muncul, namun senyumnya kembali muncul, meskipun penuh kebencian. "Prana... akhirnya kau datang
Sangkalana menggeram keras, suaranya menggema di seluruh hutan. "Makhluk sepertimu tidak akan pernah bisa menghentikanku!" teriaknya dengan penuh amarah. Ia menghentakkan kakinya ke tanah, menciptakan gelombang kejut yang menghancurkan batu-batu di sekitarnya dan membuat pepohonan roboh.Prana tetap diam, tidak bergeming sedikit pun. Dengan napas terengah, ia berdiri tegak, meskipun terlihat beberapa luka akibat pertempuran di sekujur tubuhnya. "Jika kau marah, Sangkalana, maka aku tahu aku sudah di jalur yang benar," ujar Prana tegas. Mata merah Sangkalana semakin menyala tajam. Ia menggeram seperti binatang buas yang terluka, kemudian melangkah maju dengan aura gelap yang semakin pekat mengelilinginya. Tanah di sekitar mereka mulai terbelah, memunculkan asap hitam yang membubung tinggi. "Kau pikir bisa menahanku hanya dengan tubuh kasarmu itu? Aku akan menunjukkan kekuatan kegelapan yang sesungguhnya!"Sangkalana diam sesaat, "ah... aku lupa jika kau juga berasal dari kegelapan," l
Setelah pertarungan sengit dengan Sangkalana, Kyai Hasan menawarkan tempat tinggal sementara di kediamannya bagi Mbok Tumini. Beliau mengajaknya untuk tinggal bersama Murni dan Aji, setidaknya sampai semua menjadi lebih tenang. Mereka butuh waktu untuk memulihkan diri, baik secara fisik maupun batin. Malam itu, angin dingin menyelimuti desa. Di dalam rumah Kyai Hasan yang sederhana namun hangat, mereka berkumpul di ruang tengah. Murni duduk di lantai, memeluk lututnya erat. Di sampingnya, Mbok Tumini sibuk mengusap kepala Murni dengan penuh kasih, sementara Aji duduk bersila di dekat pintu, sesekali memandangi langit malam yang pekat. “Kyai Hasan, apa menurutmu kita sudah aman?” tanya Murni dengan suara pelan. Kyai Hasan, yang sedang menyesap secangkir teh hangat, menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aman itu relatif, Nduk. Tetapi kita juga harus tetap waspada. Setidaknya, di sini kalian bisa beristirahat dan bersiap untuk apa pun yang akan datang.” Murni mengangguk. Meski r
Lima tahun telah berlalu sejak mereka berhasil mengalahkan Lindung Sukma dan mengembalikan kedamaian di Desa Juwono. Desa itu kini berubah menjadi tempat yang lebih sejahtera dan harmonis. Sawah-sawah yang dulunya terbengkalai kini menghijau, sungai yang sebelumnya keruh mengalir jernih, dan udara yang dulu dipenuhi ketakutan kini beraroma segar dan penuh harapan.Murni, yang telah menyembuhkan banyak luka batin akibat masa lalu kelam desa itu, kini menjalani hidup yang lebih tenang. Ia sudah mulai menemukan kedamaian dalam dirinya. Kehidupan baru yang lebih cerah juga hadir dalam bentuk Joko, seorang pria muda yang telah mencuri perhatian Murni sejak beberapa tahun lalu. Joko adalah seorang petani muda yang bekerja keras, namun juga memiliki hati yang baik. Ia tidak pernah ragu untuk membantu orang lain, dan senyumnya selalu memberikan rasa damai bagi siapa saja yang melihatnya.Murni, yang tadinya lebih tertutup dan melawan rasa sakit yang datang dari dalam, mulai merasa nyaman bera
Kabut hitam semakin pekat, seolah mencengkeram seluruh dunia mereka. Pusaran kekuatan Lindung Sukma semakin kuat, menarik mereka lebih dekat ke dalam kegelapan yang mengancam. Tanah di bawah kaki mereka bergetar hebat, dan suara gemuruh yang datang dari dalam makam semakin menakutkan, seakan dunia ini akan runtuh.“Kita harus segera menghadapinya!” teriak Kyai Hasan, suaranya penuh tekad.“Apa yang harus kita lakukan?” Murni berteriak, tubuhnya mulai terasa lelah dan nyaris tak bisa bergerak. Tangan bayangan yang terus menerjangnya membuatnya semakin merasa terhimpit.“Kita harus menghancurkan inti kekuatannya, sumber dari kebencian dan kerusakan ini!” Kyai Hasan berlari ke arah batu nisan besar yang terletak di tengah lingkaran sulur hitam. Ia memegang kerisnya dengan erat, menatap Aji dan Murni yang masih bertahan melawan bayangan.“Tolong bantu aku!” Kyai Hasan memanggil mereka.Aji dan Murni segera menyusul Kyai Hasan, berlari melewati tanah yang terpecah-pecah dan tangan bayangan
Kabut semakin tebal saat mereka melangkah menuju makam tua yang disebut Kyai Hasan. Hutan itu terasa seperti labirin yang hidup, dengan suara-suara aneh yang terdengar dari segala arah. Pohon-pohon besar melengkung seperti sosok yang mengintai, dan udara dingin mencubit kulit mereka.“Kyai, apa yang sebenarnya ada di makam itu?” tanya Aji, mencoba memecah kesunyian yang menyesakkan.“Lindung Sukma adalah roh penjaga yang diciptakan untuk melindungi tanah ini di masa lalu,” jelas Kyai Hasan. “Namun, ketika keserakahan manusia menghancurkan keseimbangan alam, roh itu berubah menjadi kekuatan gelap. Sekarang, ia menjadi sumber dari semua kutukan ini.”“Apa mungkin kita bisa mengalahkan sesuatu yang sekuat itu?” tanya Murni ragu.“Kita harus mencobanya,” jawab Kyai Hasan tegas. “Kita tidak punya pilihan lain.”Setelah berjalan beberapa jam, mereka tiba di depan sebuah gerbang batu yang besar dan berlumut. Gerbang itu dihiasi dengan ukiran simbol-simbol aneh, mirip dengan yang mereka lihat
Murni dan Aji terus melangkah, meninggalkan rumah yang penuh tipuan itu. Mereka tahu perjuangan belum selesai. Desa Juwono masih dipenuhi misteri yang membelit, dan setiap sudutnya mengintai bahaya tak terduga.Kabut semakin pekat, membuat pandangan mereka terbatas. Langkah-langkah kecil terasa berat karena tanah berlumpur yang seakan menahan kaki mereka. Namun, tekad untuk menghentikan kutukan yang melanda desa terus memacu keberanian mereka.Saat mereka menyusuri jalan setapak yang sepi, terdengar suara-suara bisikan aneh dari arah pepohonan. Murni dan Aji berhenti, menatap sekitar dengan waspada. Pohon-pohon besar yang menjulang tampak seperti sosok hidup, ranting-rantingnya melambai-lambai seolah ingin menangkap mereka.“Jangan menoleh ke belakang, Ji,” bisik Murni.Aji mengangguk, tetapi tubuhnya gemetar. Ia bisa merasakan sesuatu mengikuti mereka, namun ia berusaha fokus pada langkah di depannya. Tiba-tiba, angin dingin bertiup kencang, membawa aroma busuk yang menusuk hidung. D
Murni dan Aji terus melangkah tanpa arah yang jelas, menyusuri jalan setapak yang penuh duri dan akar-akar pohon menjulur. Hutan itu gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang remang-remang. Udara malam begitu dingin, seakan membekukan harapan yang tersisa. Tapi, di tengah keheningan itu, tekad untuk kembali ke desa mereka terus memupuk keberanian dalam hati.Setelah berjalan selama berjam-jam, mereka tiba di sebuah pondok kecil di tengah hutan. Pondok itu tampak tua dan nyaris roboh, tapi pintunya sedikit terbuka, mengisyaratkan kehadiran seseorang di dalamnya. Murni ragu sejenak, tapi kemudian mengetuk pintu dengan hati-hati.“Siapa di luar sana?” Suara tua dan serak terdengar dari dalam.“Kami… kami hanya butuh tempat untuk beristirahat,” jawab Murni dengan suara gemetar.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pria tua berambut putih kusut dengan jubah panjang yang tampak usang. Sorot matanya tajam, tapi ada kehangatan yang tersembunyi di balik kerut wajahnya. Ia memandang Mu
Murni menarik Aji keluar dari kamar melalui pintu belakang, seperti yang diperintahkan Raharjo. Langkah mereka tergesa-gesa, namun bayangan dingin yang mengikuti di belakang mereka semakin menambah beban di dada. Setiap langkah terasa berat, udara malam yang dingin menusuk tulang, dan suara-suara samar di kejauhan mengiringi mereka, seperti bisikan yang tak dapat dimengerti.Aji meremas tangan kakaknya dengan kuat, takut kehilangan pegangan. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya sedikit gemetar. “Mbak, sebenarnya siapa yang benar, dan siapa yang salah? Siapa yang teman dan siapa yang lawan?"Murni menoleh sejenak ke arah adiknya, namun pandangannya tertuju ke bayangan biru samar di kejauhan. Prana masih ada di sana, seperti melayang-layang, menjaga jarak namun tetap mengikuti mereka dengan langkah perlahan. Bayangan itu seperti pilar harapan yang menjulang di tengah kegelapan, meskipun aura misteriusnya tidak sepenuhnya membawa rasa aman."Sama sepertimu, Mbak juga masih bertanya-tanya, Ji.
Murni menarik Aji ke belakang, tubuhnya gemetar hebat. Sosok di ambang pintu tetap diam, hanya menatap mereka dengan mata merah menyala. Suara napasnya terdengar berat, bergema di dalam rumah kosong itu. “Aji, jangan lihat ke arahnya!” bisik Murni, berusaha menyembunyikan ketakutannya. Ia melangkah mundur, perlahan menjauh dari pintu. Sebaliknya, Aji tak bisa mengalihkan pandangannya, seolah terhipnotis oleh tatapan makhluk itu. “Keluar…” Suara serak menggema dari sosok itu, pelan namun penuh ancaman. Kata itu seperti memerintah, memaksa, mengikat mereka dalam ketakutan. Murni menggeleng cepat. “Kita tidak boleh keluar! Pak Prawiro bilang jangan keluar!” Ia memeluk Aji erat, mencoba melindunginya meskipun tubuhnya sendiri gemetar tanpa henti. Sosok itu melangkah maju, kain kafannya berderak pelan seiring gerakannya. Setiap langkahnya membuat udara di dalam ruangan semakin dingin. Kabut tipis mulai merembes masuk melalui celah-celah dinding, membawa bau anyir yang membuat Murni mua
Murni dan Aji mengikuti Prawiro dengan langkah ragu, menembus hutan yang semakin gelap dan sunyi. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah tanah di bawah kaki mereka mencoba menahan perjalanan mereka. Namun, tatapan tegas Prawiro memberikan rasa aman meski hanya sedikit. Obor kecil di tangannya menjadi satu-satunya sumber cahaya di tengah kegelapan malam. "Apa desa itu benar-benar aman, Pak?" tanya Murni, suaranya pelan namun penuh kekhawatiran. "Selama kalian berada di bawah perlindunganku, kalian akan aman," jawab Prawiro tanpa menoleh. Suaranya tegas, namun ada nada ketegangan yang sulit disembunyikan. Aji, yang berjalan di samping Murni, menarik-narik lengan kakaknya. "Mbak, kenapa kita nggak langsung pulang saja? Kenapa harus ke desa itu?" Murni menunduk, mencoba memberikan senyum yang menenangkan kepada adiknya. "Percaya sama Mbak, Ji. Kita akan baik-baik saja." Namun, jawaban itu tidak cukup menenangkan Aji. Ia merasakan sesuatu yang aneh sejak pria tua itu muncul, meski i
Di tengah malam yang sunyi, di rumah kecil Raharjo tempat Murni dan Aji tinggal, suara aneh mulai terdengar dari luar. Angin berhembus kencang, menciptakan suara desis seperti bisikan yang menyeramkan. Di dalam rumah, Murni memeluk Aji yang tertidur di pangkuannya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi tidak tahu pasti apa itu. Tiba-tiba, lampu di rumahnya berkedip-kedip sebelum padam sepenuhnya. Suasana menjadi gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar-samar masuk melalui jendela. Dari luar, suara langkah berat terdengar, seolah ada sesuatu yang besar mendekat. Murni merasa napasnya tertahan, tubuhnya gemetar. Ia mencoba membangunkan Aji. Pintu rumah berderit pelan, lalu terbuka dengan sendirinya. Di ambang pintu, sosok itu muncul—Danyang. Tinggi, menyeramkan, dan mengeluarkan aura kegelapan yang begitu pekat. Matanya bersinar merah menyala, sementara tubuhnya diselimuti kabut hitam yang terus bergerak seperti hidup. Murni mundur, memeluk Aji erat-erat. "