Share

Bab 76. Hilang

Author: Yasmin_imaji
last update Last Updated: 2025-01-06 23:00:09

Setelah pertarungan sengit dengan Sangkalana, Kyai Hasan menawarkan tempat tinggal sementara di kediamannya bagi Mbok Tumini. Beliau mengajaknya untuk tinggal bersama Murni dan Aji, setidaknya sampai semua menjadi lebih tenang. Mereka butuh waktu untuk memulihkan diri, baik secara fisik maupun batin.

Malam itu, angin dingin menyelimuti desa. Di dalam rumah Kyai Hasan yang sederhana namun hangat, mereka berkumpul di ruang tengah. Murni duduk di lantai, memeluk lututnya erat. Di sampingnya, Mbok Tumini sibuk mengusap kepala Murni dengan penuh kasih, sementara Aji duduk bersila di dekat pintu, sesekali memandangi langit malam yang pekat.

“Kyai Hasan, apa menurutmu kita sudah aman?” tanya Murni dengan suara pelan.

Kyai Hasan, yang sedang menyesap secangkir teh hangat, menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aman itu relatif, Nduk. Tetapi kita juga harus tetap waspada. Setidaknya, di sini kalian bisa beristirahat dan bersiap untuk apa pun yang akan datang.”

Murni mengangguk. Meski r
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App
Comments (42)
goodnovel comment avatar
Marimar
pada minggat kemana para warga desa? apa mereka di kecoh sama kekuatan lain.
goodnovel comment avatar
Trie Sumanti
kemana perginya para penghuni desa Juwono
goodnovel comment avatar
Mafida Idayani
apakah setelah pertarungan pada malam itu, penguasaan kegelapan marah, dan akan membalas dendam ke seluruh penduduk desa Juwono?.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 77. Sumur Tua

    Murni mendekati sumur tua yang terletak di tengah desa. Sumur itu dulunya adalah sumber utama mata air bagi seluruh penduduk Desa Juwono. Sumur itu selalu dipenuhi air jernih, bahkan saat musim kemarau. Namun kali ini, ada yang berbeda—sumur itu tampak kering, tanah di sekitarnya retak-retak seperti sudah lama tidak dialiri air. “Aneh… ini sungguh aneh. Sumur ini tak pernah kering sebelumnya,” gumam Murni, matanya terus menatap ke dalam sumur yang gelap. Ia mencoba mencari tanda-tanda air, tetapi hanya melihat dasar sumur yang kosong dan penuh dengan pecahan batu. Mbok Tumini mendekat, ikut mengintip ke dalam sumur. “Sumur ini adalah sumber kehidupan desa. Kalau sampai kering begini, pasti ada sesuatu yang tidak beres.” Ia melirik Murni dengan wajah serius. "Mbak, kita harus mencari tahu apa yang menyebabkan ini," sahut Aji yabg juga ikut melongok, melihat ke dasar sumur. Mbok Tumini tampak semakin cemas. “Dulu, nenek moyang kita pernah bercerita, kalau sumur ini kering, itu perta

    Last Updated : 2025-01-07
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 78. Terjepit

    Murni mengikuti bayangan Aji dengan hati-hati, lorong sempit itu semakin dalam dan gelap. Suara-suara aneh yang menyerupai bisikan samar terdengar dari segala arah, membuat suasana semakin mencekam. Ketika mereka sampai di sebuah ruang terbuka kecil, tiba-tiba langkah Aji terhenti. “Aji? Kau baik-baik saja?” tanya Murni dengan suara gemetar, matanya terus mengawasi sekeliling. Aji tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengangkat tangannya perlahan, menunjuk ke sebuah sudut gelap di ruangan itu. Murni menoleh, dan matanya langsung membelalak lebar. Tubuhnya gemetar hebat ketika ia melihat sosok yang menempel di dinding batu. "Ibu...!" teriak Murni, suaranya bergema di sepanjang lorong sumur. Di sana, tubuh seorang wanita tergantung kaku di dindingnya, kulitnya kering seperti telah kehabisan darah, rambutnya tergerai kusut, dan matanya terbuka lebar dengan tatapan kosong. Tubuh itu tampak membusuk tetapi tetap utuh, seolah waktu berhenti di tempat ini. Aji tiba-tiba menoleh ke arah Mur

    Last Updated : 2025-01-08
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 79. Selamat

    Murni mengerjap, berusaha memastikan bahwa ia tidak berhalusinasi. Suara itu jelas suara Aji—adiknya yang sebenarnya. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah maju, mengabaikan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Debu dan pecahan batu memenuhi udara, membuat setiap helaan napas terasa berat. “Mbak Murni… tolong aku…” suara Aji terdengar lagi, kali ini lebih lemah, seolah ia terjebak di bawah reruntuhan. “Aji! Bertahanlah! Aku akan menolongmu!” seru Murni, suaranya penuh tekad meski gemetar. Ia mulai memindahkan batu-batu yang menumpuk dengan tangan gemetar dan penuh luka. Ketika cahaya biru dari prana di tubuhnya meredup, Murni merasakan lelah yang luar biasa. Namun, ia tidak berhenti. “Prana… jangan tinggalkan aku sekarang. Aku butuh kamu…” bisiknya lirih, mencoba memanggil kembali kekuatan yang tadi melindunginya. Seolah menjawab panggilannya, cahaya biru itu kembali bersinar samar, memberi Murni kekuatan baru. Perlahan, ia berhasil memindahkan batu besar terakhir yang men

    Last Updated : 2025-01-08
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 80. Rahasia

    Murni menatap punggung Mbok Tumini yang berjalan dengan langkah pasti, seolah mengenal betul jalan setapak yang mereka lalui. Pepohonan di sekitar mereka berdiri angkuh, ranting-rantingnya menjuntai rendah seakan ingin menghalangi jalan keluar. Udara malam semakin dingin, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan bau anyir reruntuhan sumur tua tadi. Suara malam yang biasa terdengar seperti nyanyian jangkrik kini terasa hening, seolah ikut takut oleh sesuatu yang baru saja mencengkeram dirinya. Aji menggenggam tangan Murni erat-erat, masih diliputi rasa takut. Dia berjalan dengan kaki yang diseret. Tubuhnya gemetar bukan hanya karena udara dingin, tetapi juga karena bayangan mengerikan dari makhluk yang baru saja mereka hadapi. “Mbak, kita benar-benar sudah aman, kan?” bisiknya lirih. Murni menoleh, memaksakan senyum tipis untuk menenangkan adiknya. Padahal, hatinya sendiri masih dicekam rasa takut dan penasaran. “Ya, Ji. Kita aman sekarang. Mbok Tumini akan membawa kita ke tem

    Last Updated : 2025-01-09
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 81. Cempaka Emas

    Murni menerima sebuah botol kecil berisi cairan kuning keemasan itu dengan tangan yang gemetar. Botol itu terlihat cukup kuno, terbuat dari kaca tebal dengan tutup kayu yang diikat oleh seutas benang berwarna merah tua. Cahaya lampu minyak yang redup membuat cairan di dalam botol tampak berkilauan, seperti menyimpan rahasia yang tak terungkap. “Ini air penawar dari daun cempaka emas. Gunakan untuk melindungi Aji jika makhluk itu datang lagi,” jelas Mbok Tumini sambil meletakkan keris kecil dan kain putih di atas meja. "Lalu... keris dan kain itu? Apa yang harus aku lakukan dengan itu, Mbok?" tanya Murni. “Keris ini adalah pusaka peninggalan Kyai Dahlan, Nduk. Jangan pernah jauhkan keris ini daeimu untuk saat ini. Keris ini akan bereaksi terhadap energi gelap yang mendekat kepada kalian berdua. Sedangkan kain ini… kamu harus membungkus tubuh Aji dengan kain ini jika ia mulai menunjukkan tanda-tanda Aji kesurupan atau terluka karena serangan makhluk tersebut.” Murni menatap benda

    Last Updated : 2025-01-10
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 82. Tabir Kepalsuan

    Murni memandang Mbok Tumini dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, sekaligus bingung. “Mbok… dari mana Mbok Tumini mendapatkan semua barang-barang ini? Botol cairan penawar, keris pusaka, kain putih ini… Seolah Mbok sudah tahu akan ada hal seperti ini terjadi.” Mbok Tumini menatap Murni dengan sorot mata dalam, seakan mempertimbangkan apakah sudah waktunya untuk mengungkap rahasia yang selama ini ia simpan. Perlahan, ia mengambil tempat duduk kayu di dekat lampu minyak yang hampir padam, lalu berkata dengan suara pelan, “Ini bukan pertama kalinya aku berhadapan dengan makhluk seperti itu, Nduk,” ujar Mbok Tumini. “Dulu, bertahun-tahun yang lalu, desa ini pernah dihantui oleh makhluk serupa. Banyak nyawa yang melayang, dan hampir tak ada yang selamat… kecuali aku.” Murni dan Aji terdiam, terpaku mendengar cerita Mbok Tumini. Suasana di dalam rumah yang sempit itu terasa semakin mencekam meski makhluk tadi telah pergi. “Waktu itu aku masih muda. Aku tinggal bersama orang tuaku d

    Last Updated : 2025-01-11
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 83. Perintah Nyi Danyang

    Mbok Tumini tidak langsung menjawab pertanyaan Murni. Ia menatap Murni dan Aji dengan raut wajah yang sulit ditebak, seolah mencari cara untuk menyampaikan sesuatu yang sangat berat. Suasana hening untuk sejenak, hanya terdengar suara nyaring jangkrik dari luar rumah yang makin menambah mencekamnya malam itu.“Mbok… jawab, Mbok. Apa mungkin Ibu membunuh Bapak?” desak Aji dengan nada semakin keras, matanya memerah, menahan campuran rasa marah dan takut. Takut untuk mendengar kebenaran yang lebih besar.Mbok Tumini menarik napas panjang sebelum berkata dengan suara serak, “Aku sendiri tidak punya bukti… tapi waktu Bapak kalian meninggal, aku merasa ada sesuatu yang janggal. Harjo bukan orang sembarangan, Le. Ia tahu cara menjaga dirinya. Kematian mendadaknya… terlalu aneh.”Murni merasa dadanya sesak. Kenangan tentang sosok ayahnya kembali hadir, membuat matanya panas. Bapaknya adalah sosok yang tegas namun penyayang, seorang lelaki sederhana yang rela mengorbankan segalanya demi mereka

    Last Updated : 2025-01-12
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 84. Penyelamat

    Mbok Tumini memejamkan mata sejenak, tangannya bergetar saat bibir tuanya mulai merapal doa yang diwariskan oleh leluhur mereka. Hawa dingin merambat perlahan ke seluruh ruangan. Angin malam yang masuk lewat celah jendela membawa aroma lembap tanah basah, seolah memberi peringatan bahwa sesuatu yang besar sedang mendekat.“Aji, Murni… dengarkan aku baik-baik,” ucap Mbok Tumini dengan suara yang semakin lirih. “Keris ini bukan sekadar senjata biasa. Jika kalian bisa menyatukan hati dan pikiran, keris ini akan menunjukkan jalan ke tempat di mana rahasia keluarga kalian tersembunyi. Di sanalah semua akan terungkap.”Aji menatap Mbok Tumini dengan penuh rasa penasaran. “Rahasia keluarga? Apa maksud Mbok? Apa lagi yang masih tersembunyi? Kenapa ndak ada habisnya?”Namun sebelum Mbok Tumini sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara keras dari luar rumah. Gubrak! Pagar kayu di depan rumah mereka terbanting keras, diikuti suara langkah berat yang semakin mendekat.“Cepat! Mereka datang!” ter

    Last Updated : 2025-01-13

Latest chapter

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 138. Terus Berlari

    “LARAS!” teriaknya putus asa.Laras meronta semakin kuat, tapi Rani hanya terkekeh pelan, kepalanya menunduk hingga hampir menyentuh wajah Laras. Suara tawa yang terdengar mengerikan, bercampur dengan hembusan angin dingin yang menusuk tulang. Laras menggelinjang di bawah cengkeraman makhluk itu, tubuhnya bergetar hebat. Damar, yang masih terguncang akibat hantaman tak terlihat tadi, merangkak dengan napas tersengal, matanya tak lepas dari Laras yang semakin tenggelam ke dalam tanah.Mulut Rani terbuka perlahan—terlalu lebar untuk ukuran manusia. Dari dalamnya, keluar kabut hitam pekat yang berputar-putar, menyelimuti wajah Laras. Napasnya terhenti, tubuhnya kaku, dan pikirannya mulai terasa berat, seolah ada sesuatu yang mencoba menarik kesadarannya pergi.Damar melihat itu semua dengan mata melebar ketakutan. Tidak, ia tidak akan membiarkan Rani mengambil Laras!"Lepaskan dia!" Damar menggeram, suaranya dipenuhi kemarahan dan ketakutan.Joni dan Rani hanya tertawa lebih keras, seola

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 137. Kembali ke Desa

    Damar membuka matanya perlahan. Udara di sekelilingnya terasa dingin dan lembap, menusuk sampai ke tulang. Kepalanya terasa begitu berat, seperti baru saja ditarik dari mimpi buruk yang sangat panjang. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba memahami situasi.Namun, yang pertama kali tertangkap oleh matanya bukanlah langit-langit rumah Darto, melainkan sebuah atap tua yang reyot, penuh dengan sarang laba-laba. Damar menelan ludah, rasa cemas menjalari tubuhnya."Laras ...?" bisiknya serak.Di sebelahnya, Laras menggeliat pelan, lalu perlahan membuka mata. Begitu ia melihat sekeliling, napasnya tercekat."Damar ... k-kita ... di mana ini?" suaranya bergetar, kepalanya menoleh ke kana dan ke kiri, menyadari jika saat ini mereka berdua telah berpindah tempat.Damar buru-buru bangkit dan segera menarik tangan Laras untuk duduk. Mereka berdua kini benar-benar sadar sepenuhnya—mereka tidak lagi berada di rumah Darto.Mereka ada di depan rumah tua itu. Rumah yang seharusnya telah mereka tinggalk

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 136. Mereka Pergi

    Asap hitam terus berputar, membentuk sosok yang semakin jelas di tengah kobaran api. Wajahnya berubah-ubah—kadang seperti seorang wanita dengan mata kosong yang penuh kebencian, kadang menyerupai tengkorak yang menganga dengan senyum mengerikan.Laras mundur selangkah, napasnya memburu. Damar meremas bahunya erat, berusaha menahan ketakutan yang menjalari tubuhnya.Tiba-tiba, sosok itu membuka mulutnya, mengeluarkan suara yang bukan milik manusia."Panas!! Beraninya kalian membakarnya?"Suaranya menggaung, bergema di seluruh ruangan, membuat dada mereka terasa sesak.Giman mengatupkan rahangnya rapat. "Kita harus mengusirnya sebelum semuanya terlambat!"Darto dengan sigap meraih segenggam garam dari kantong kecil di pinggangnya, lalu melemparkannya ke arah bayangan itu. "Pergi! Kau tidak punya tempat di sini!"Cesss!Begitu garam mengenai asap hitam itu, suara mendesis terdengar. Sosok tersebut bergetar hebat, mengeluarkan jeritan melengking yang membuat telinga mereka berdenging.Nam

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 135. Sosok Liar

    "Dan ada bekas cakaran di wajahnya?" sela Giman.Laras tersentak. Matanya melebar, menatap Giman dengan penuh keterkejutan. "Bagaimana Bapak tahu?" suaranya nyaris berbisik, bergetar oleh ketakutan yang semakin menusuk.Giman menelan ludah, sementara Warso dan Darto semakin tegang. Darto bahkan tanpa sadar meremas ujung sarung yang melilit pinggangnya, seolah mencari pegangan agar tetap berdiri tegak."Kalian benar-benar sudah celaka!" Suara Giman terdengar berat. "Karena kalau yang kalian temui itu memang Joko, berarti kalian tidak bertemu dengan manusia."Laras merasakan lututnya melemas. "Apa maksudnya, Pak?"Warso mendesah panjang, matanya menatap lurus ke arah Laras dan Damar. "Joko memang kepala desa Juwono ... dulu. Tapi dia sudah mati sejak lebih dari dua puluh tahun yang lalu."Damar menegang. "Tidak mungkin! Kami berbicara dengannya, bahkan dia menyambut kami, memberi kami makan!""Dia juga membiarkan kami meng

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 134. Salah Desa

    Laras menelan ludah, matanya masih terpaku pada kehampaan di belakang mereka. "Lalu ... siapa kalian?" Warso, pria paruh baya dengan sorot mata tajam, memandang Laras dan Damar dengan penuh selidik. Napasnya masih tersengal setelah perjuangan mereka keluar dari hutan terkutuk itu. Di sampingnya, Giman dan Darto juga tampak waspada, seolah masih khawatir akan sesuatu yang bisa saja mengikuti mereka keluar. "Kami yang seharusnya bertanya. Kalian ini siapa? Kenapa bisa sampai di tempat itu?" Warso akhirnya membuka suara. Rasa penasaran terpancar jelas dari wajahnya. Damar masih terduduk lemah di tanah. Dadanya masih terlihat naik turun, mencoba menenangkan napasnya. Bahunya yang terluka mulai membiru, tapi ia tidak punya waktu untuk mengkhawatirkannya sekarang. Laras menatap Warso dengan ragu, sebelum akhirnya berbicara. "Kami ... tersesat, Pak. Kami tidak tahu kalau tempat itu berbahaya." Giman, pria bertubuh kurus dengan wajah cekung, menatap mereka dengan sorot mata penuh ke

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 133. Selamat

    Laras terengah-engah, tubuhnya nyaris tak sanggup berdiri setelah tarikan kasar dari Damar. Tenggorokannya kering, dan dadanya terasa sesak seakan udara di sekitar mereka semakin menipis. Tapi yang lebih menyesakkan adalah tatapan Rani—tatapan penuh keputusasaan yang masih tertinggal di benaknya. "Laras! Bangun! Kita harus lari!" Damar berusaha menariknya berdiri, tapi kaki Laras seperti kehilangan tenaga. "Damar ... tolong. Aku udah nggak kuat." Laras menatap nanae kw arah Damar. "Ras! Fokus!" Damar mengguncang tubuhnya, suaranya penuh putus asa. "Kalau kita berhenti sekarang, kita akan mati!" Laras menarik napas dalam-dalam. Ia memaksa dirinya untuk kembali ke kenyataan, menepis rasa bimbang yang menggerogoti hatinya. Matanya bertemu dengan mata Damar—sarat dengan ketakutan dan kepanikan, tapi juga keyakinan. Damar percaya mereka bisa keluar dari sini. Mereka harus bisa. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Laras bangkit. Tangannya masih gemetar, tapi ia menggenggam erat tangan

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 132. Tercengang

    "Aaaa...!" Laras menjerit, tubuhnya terhuyung ke belakang hingga hampir jatuh. Damar mematung, tubuhnya membeku seperti batu. Tenggorokannya terasa kering, napasnya pendek-pendek, dan dadanya berdebar kencang. Itu… mereka. Tubuh mereka sendiri."Tidak! Ini pasti mimpi!" Laras mengguncang kepalanya dengan putus asa. Matanya menatap nanar ke arah mayat yang terduduk di dalam mobil. Itu—adalah wajahnya sendiri, matanya sendiri—tetapi kosong. Mati.Damar mundur selangkah, lalu dua langkah, tangannya terangkat gemetar. "Ini... ini tidak masuk akal," bisiknya.Wanita tua itu masih berdiri di tempatnya, menatap mereka dengan sorot mata iba bercampur ngeri. "Aku sudah bilang... tidak ada yang bisa keluar dari desa itu tanpa meninggalkan sesuatu di dalamnya."Laras menatap wanita itu dengan mata berkaca-kaca, menggeleng keras. "Tapi... tapi kami ada di sini! Kami masih hidup!"Wanita tua itu menghela napas panjang, lalu perlahan berjalan mendekat. Suaranya melembut, tetapi tetap terdengar sep

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 131. Kematian

    "Selamat tinggal, Rani."Laras jatuh berlutut di tanah yang masih dingin oleh embun pagi. Isak tangisnya pecah, dadanya bergemuruh dengan kesedihan yang tak tertahankan. Kedua tangannya mencengkeram rumput liar di sekitarnya, seakan ingin meraih sesuatu yang telah hilang.Joko dan Damar saling berpandangan, napas mereka masih tersengal setelah berlari menembus gelapnya hutan. Damar sendiri tahu betul bahwa mereka telah kehilangan sesuatu yang tak akan pernah kembali.Joni dan Rani. Mereka terjebak di desa terkutuk itu dan tak bisa lagi diselamatkan.Laras menggeleng keras, menolak kenyataan yang baru saja terjadi. "Tidak... mereka masih bisa kita bawa pulang... 'kan?" Joko mengalihkan pandangannya, rahangnya mengatup rapat. "Sudah terlambat." gumamnya.Damar menggenggam bahu Laras, mencoba menenangkannya meski dirinya sendiri masih dikejar rasa takut. "Kita harus pergi. Hutan itu... desa itu... tempat ini bukan untuk kita."Laras menoleh, matanya yang basah penuh amarah. "Jadi kita a

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 130. Selamat Tinggal

    Joko memejamkan mata, rahangnya mengatup rapat. Napasnya tertahan di tenggorokan.Bodoh!Ia sudah memperingatkan mereka untuk tidak bersuara, tapi Laras justru berteriak. Itu adalah kesalahan besar.Angin malam bertiup lebih kencang, membawa aroma busuk yang menusuk hidung. Seperti bau bangkai yang telah membusuk selama berhari-hari.Damar merasakan tengkuknya meremang. Ia melangkah mundur dengan hati-hati, tetapi sesuatu dalam tatapan Rani membuatnya sulit berpaling."Bukan Rani. Itu bukan Rani," ucap Damar di dalam hatinya. Sosok di hadapan mereka berdiri kaku, tubuhnya sedikit membungkuk dengan tangan tergantung lemas di sisi tubuhnya. Bibirnya pecah-pecah, dan dari sudut bibirnya menetes cairan hitam yang berbau busuk. Matanya… kosong. Sepasang bola mata itu hitam legam, tak ada putihnya sama sekali.“Larasss… Kenapa… lari? Ini aku.”Suara Rani bergetar, seperti ada sesuatu yang bergema di dalamnya. Seperti bukan hanya satu suara, tapi banyak suara yang bertumpuk menjadi satu.La

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status