Share

Bab 84. Penyelamat

Penulis: Yasmin_imaji
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-13 23:55:44

Mbok Tumini memejamkan mata sejenak, tangannya bergetar saat bibir tuanya mulai merapal doa yang diwariskan oleh leluhur mereka. Hawa dingin merambat perlahan ke seluruh ruangan. Angin malam yang masuk lewat celah jendela membawa aroma lembap tanah basah, seolah memberi peringatan bahwa sesuatu yang besar sedang mendekat.

“Aji, Murni… dengarkan aku baik-baik,” ucap Mbok Tumini dengan suara yang semakin lirih. “Keris ini bukan sekadar senjata biasa. Jika kalian bisa menyatukan hati dan pikiran, keris ini akan menunjukkan jalan ke tempat di mana rahasia keluarga kalian tersembunyi. Di sanalah semua akan terungkap.”

Aji menatap Mbok Tumini dengan penuh rasa penasaran. “Rahasia keluarga? Apa maksud Mbok? Apa lagi yang masih tersembunyi? Kenapa ndak ada habisnya?”

Namun sebelum Mbok Tumini sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara keras dari luar rumah. Gubrak! Pagar kayu di depan rumah mereka terbanting keras, diikuti suara langkah berat yang semakin mendekat.

“Cepat! Mereka datang!” ter
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (39)
goodnovel comment avatar
Marimar
ah untung ada pak Prawiro
goodnovel comment avatar
Kaizan Ragiel Trate
akhir nya pak Prawiro datang kembali membantu murni dan aji
goodnovel comment avatar
Trie Sumanti
prawiro selalu dtg di waktu yg tepat utk menolong murni, semoga kali ini murni, aji dan mbok Tumini bisa lolos dgn bantuan Prawiro
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 85. Pengorbanan

    Prawiro terus memimpin mereka dengan gesit, sementara suara cakaran dan geraman di belakang semakin jelas terdengar, menandakan bahwa makhluk-makhluk itu sudah sangat dekat. Hawa dingin semakin menusuk, membuat lentera di tangan Aji bergetar, nyaris padam.“Cepat, kita hampir sampai!” seru Prawiro dengan suara tegas.Namun, sebelum mereka berhasil mencapai ujung lorong, sesuatu yang tak terduga terjadi. Sebuah tangan hitam besar muncul dari dinding lorong, mencengkeram kaki Mbok Tumini dengan kekuatan luar biasa. “Aaah!” jerit Mbok Tumini saat tubuhnya tertarik mundur dengan kasar ke arah kegelapan yang berputar-putar di dinding lorong.“Mbok!” Aji berbalik dengan panik, mencoba menarik tangan Mbok Tumini sekuat tenaga. Tubuhnya berguncang hebat, berusaha melawan tarikan dari makhluk itu. “Aku tidak akan melepaskanmu, Mbok! Bertahanlah!” serunya penuh kepanikan.Murni juga langsung berjongkok, meraih lengan Mbok Tumini yang mulai dingin. “Mbok, jangan menyerah! Kita pasti bisa keluar

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 86. Perjalanan ke Selo Geni

    Setelah beberapa langkah melewati lorong sempit itu, akhirnya mereka merasakan udara segar menyentuh wajah mereka. Cahaya alami dari rembulan yang tergantung di langit malam menyambut kedatangan mereka. Aji, Murni, dan Prawiro terhenti di depan sebuah bukaan gua yang menghadap ke lembah yang sunyi. Murni menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu cepat. “Kita berhasil keluar…” ucapnya dengan suara yang masih bergetar. Air matanya kembali mengalir, kali ini bukan karena ketakutan, melainkan rasa syukur atas keselamatan mereka. Tapi bagaimanapun juga, mereka telah meninggalkan Mbok Tumini di belakang sana. "Maaf, Mbok," lirih Murni. Prawiro berdiri di samping mereka, memperhatikan sekeliling dengan cermat. “Jangan lengah. Meski kita sudah keluar dari tempat itu, bahaya masih belum usai. Danyang itu pasti akan terus mengikuti kita. Dia pasti tahu kita masih hidup, dan ia tidak akan tinggal diam.” Aji meremas keris di tangannya, merasakan ding

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 87. Bukit Selo Geni

    Langkah-langkah mereka terdengar gemerisik di atas bebatuan yang licin. Kabut tebal semakin menutup pandangan, membuat setiap langkah terasa seperti menuju ke dalam ketidakpastian. Suara angin yang berhembus kencang membawa bisikan-bisikan aneh, seolah-olah alam pun ikut memperingatkan mereka akan bahaya yang mengintai. “Aji, tetap di sampingku,” ujar Prawiro dengan suara rendah namun tegas. “Kabut ini bukan kabut biasa. Lasmi sudah tahu kita mendekat, dan dia pasti berusaha membuat kita tersesat.” Aji mengangguk, menggenggam keris erat-erat seolah benda itu adalah satu-satunya yang bisa memberinya keberanian. Murni yang berjalan di belakang mereka merasakan jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena rasa takut, tapi juga firasat buruk yang terus mengganggunya. Tiba-tiba, suara gemerisik terdengar dari balik semak-semak di kanan jalan setapak. Prawiro segera mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka berhenti. “Diam,” bisiknya. “Ada sesuatu di sekitar kita.” Mereka be

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 88. Kekalahan Lasmi

    Lasmi mengangkat tangan kirinya perlahan, dan dari kuku kirinya memancar cahaya ungu pekat yang langsung menyelimuti area di sekeliling mereka. Angin kencang kembali berembus, menciptakan pusaran debu dan asap yang membuat penglihatan mereka semakin terbatas."Aji, Murni, lindungi diri kalian! Sementara aku akan mengalihkan makhluk-makhluk ini!" ucap Prawiro.Aji menggenggam kerisnya semakin erat, dan dari bilah keris yang dicengekramnya dengan kuat, perlahan tampak cahaya keemasan yang memberikan penerangan di antara kegelapan yang kini mengurung mereka. Murni menatap hal itu dengan rasa takjub.Lasmi kembali melangkah maju, dan dengan gerakan cepat ia mengayunkan tangannya. Dari gerakan itu, muncullah serangan berbentuk gelombang energi berwarna ungu yang terarah pada Prawiro. Sedang Prawiro sendiri mencoba menangkisnya dengan golok yang masih ia genggam, meskipun tetap saja dirinya terpukul mundur beberapa langkah."Kau tidak akan pernah bisa melawanku, Prawiro! Tidak sekarang dan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 89. Desa Juwono

    Setibanya di desa Juwono, suasana yang menyambut Murni, Aji, dan Prawiro memang berbeda dari sebelumnya. Desa yang sebelumnya suram dan penuh dengan hawa mistis kini tampak lebih cerah. Matahari bersinar dengan hangatnya, pohon-pohon yang dulunya layu mulai hijau kembali, dan burung-burung berkicau seakan menyambut datangnya kehidupan baru. Namun, suasana yang cerah itu tidak mampu mengusir bayang-bayang ketegangan di antara penduduk desa yang berkumpul di lapangan utama.Kerumunan penduduk menatap mereka dengan ekspresi bermacam-macam—ada yang penasaran, ada pula yang penuh amarah. Saat ketiganya mendekat, desas-desus mulai terdengar, perlahan berubah menjadi gumaman penuh emosi.“Itu mereka! Anak-anak Lasmi!”“Karena ibunya, kita semua hampir binasa!”“Berani sekali mereka kembali ke sini!”Seorang pria paruh baya dengan wajah tirus dan janggut lebat tiba-tiba maju, menunjuk Murni dengan kasar. “Kalian berani kembali ke desa ini setelah semua yang terjadi? Ibumu adalah penyebab keha

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 90. Misteri Baru

    Beberapa waktu berlalu sejak pertemuan terakhir dengan Danyang di tepi hutan. Desa Juwono perlahan kembali hidup. Kehangatan matahari yang menyentuh dedaunan menciptakan pemandangan menyejukkan hati. Suara burung-burung kembali riang berkicau di pagi hari, dan warga desa mulai beraktivitas dengan semangat yang baru. Meski masih ada segelintir penduduk yang memendam ketakutan terhadap kehadiran Murni dan Aji, suasana desa tak lagi diliputi kecurigaan seperti sebelumnya. Terlebih setelah Nyai Warsih memimpin doa bersama di lapangan desa, memohon perlindungan bagi seluruh warga dan memulai kembali kehidupan mereka yang baru. Di salah satu sudut desa, rumah Raharjo yang dulu terlihat kusam dan dipenuhi aura gelap kini menjadi pusat perhatian. Para warga bahu-membahu membantu memperbaiki rumah itu. Mereka memperbaiki atap yang bocor, mengganti pintu yang rusak, dan membersihkan halaman yang dulu ditumbuhi semak belukar. “Ini bukan hanya rumah kalian, Murni. Ini adalah bagian dari des

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 91. Kiriman

    Malam itu memang terasa lebih dingin daripada biasanya. Angin yang bertiup seolah-olah membawa pesan dari kegelapan, sementara suara-suara malam terdengar semakin mencekam. Murni dan Aji tidak tidur semalaman. Mereka berjaga-jaga, duduk di ruang tengah dengan pisau dapur dan kayu bakar sebagai senjata seadanya. Piring tanah busuk berbelatung itu mereka bungkus dengan plastik dan letakkan di sudut ruangan. Namun, meskipun dibungkus rapat, bau busuknya tetap saja menguar, menambah rasa mual dan ketegangan di dalam rumah.Ketika cahaya pertama matahari mulai menyembul di ufuk timur, Murni memutuskan bahwa mereka harus segera pergi menemui Nyai Warsih.“Ayo, Ji. Kita bawa ini sekarang. Sebelum hal lain terjadi,” ucap Murni tegas.Aji mengangguk setuju. Ia mengambil plastik yang berisi piring itu dengan hati-hati, seolah-olah memegang benda yang bisa meledak kapan saja.Mereka berjalan cepat menuju rumah Nyai Warsih. Jalanan desa masih sepi, hanya suara ayam berkokok dan anjing menggonggon

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 92. Bangkit

    Di dalam gua yang tersembunyi di balik hutan lebat, Prawiro berdiri di tengah kegelapan, menyirami sesosok tubuh yang terbungkus kain kafan dengan air bercampur minyak misik dan bunga setaman. Suasana di sekitar gua itu terasa berat, dan udara dingin malam berdesir lembut, membawa aroma tanah basah yang menyeruak. Prawiro menatap tubuh yang terbaring diam, wajahnya masih dapat ia kenali. Namun, ada sesuatu yang begitu akrab. Senyumannya tetap terukir, meskipun ada kesan kesedihan yang tak terungkapkan.Dengan tangan yang halus, Prawiro memegang kendi tanah yang sudah hampir kosong, memercikkan air itu ke tubuh yang terbungkus kafan yang sudah tampak lusuh itu. Secara perlahan, suara lembut lagu Jawa mengalun dari bibirnya. Lagu itu tidak hanya sekedar melodi; setiap baitnya adalah doa, adalah pengorbanan, adalah harapan yang diselubungi penyesalan."Harjo, adikku... jangan khawatirkan apa yang telah terjadi. Anak-anakmu masih kulindungi. Karmamu sudah terjalani, saatnya kini untukku m

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17

Bab terbaru

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 147. TAMAT

    Laras & Sopir Truk: Lolos dari Teror PocongSopir truk itu menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram setir erat-erat. Laras menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya bergetar hebat. Keduanya sama-sama tahu bahwa mereka sedang dikejar oleh sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.Jalanan semakin menurun tajam, membuat truk melaju lebih kencang. Namun, ketika sopir menoleh ke spion, jantungnya hampir berhenti berdetak.Sosok pocong itu masih ada di sana. Melompat-lompat, mendekat semakin cepat. Tubuhnya yang membusuk bergerak tidak wajar, sementara mulutnya yang menganga terus mengeluarkan suara parau:"Kembaaliii... Kembaaliiii...."Laras mencengkeram sabuk pengamannya erat-erat, air mata mulai menggenang di matanya. "Pak, jangan berhenti! Tolong, jangan berhenti apa pun yang terjadi!"Sopir truk mengangguk cepat, meskipun keringat dingin sudah membasahi dahinya. "Saya nggak akan berhenti, Mbak! Pegangan yang kuat!"Truk terus melaju di jalanan gelap, melewati tikungan demi tiku

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 146. Perjalanan

    Sopir truk itu mengguncang tubuh Laras dengan cemas. "Mbak! Sadar, Mbak! Kamu dari mana?! Kok tiba-tiba muncul dari hutan?!" Laras terhuyung sedikit, kesadarannya masih berkabut. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya. Ia menatap sopir itu dengan mata kosong, sebelum akhirnya berbisik dengan suara serak. "Tolong ... Bawa saya pergi dari sini, Pak." Sopir itu mengerutkan kening, jelas kebingungan. "Mbak, kamu kenapa? Kamu kelihatan kayak habis lihat setan!" Laras menelan ludah, tubuhnya masih bergetar. Bayangan Joni, Rani, dan Damar masih jelas di pikirannya. Bisikan-bisikan itu masih terngiang di telinganya. Ia merasa lelah, begitu lelah, dan satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu. "Aku nggak mau ada di sini lagi." suaranya lirih, hampir seperti rintihan. "Tolong, Pak ... Cepat pergi." Sopir itu menatapnya ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya sudah, ayo naik. Tapi, kita mau ke mana, Mbak?" "P

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 145. Keluar

    Laras berdiri di depan rumah kecil Pak Warso, merapikan tas ransel yang menggantung di punggungnya. Malam masih menyisakan sisa dingin, dan kabut tipis mengambang di antara pepohonan desa.Pak Warso menghela napas panjang, menatap Laras dengan mata penuh pemahaman. “Jadi, kamu benar-benar mau pergi?”Laras mengangguk. “Saya sudah nggak punya alasan untuk tetap tinggal di sini, Pak.” Suaranya bergetar, meski ia berusaha terdengar tegar.Darto dan Giman, yang berdiri tak jauh darinya, saling bertukar pandang sebelum akhirnya Darto bicara, “Laras, kami ngerti, Nduk. Setelah kedua temanmu, Joni dan Rani …” Ia berhenti, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Nama kedua temannya itu kini hanya tinggal bayang-bayang di tempat terkutuk yang tak boleh lagi mereka datangi.“Dan sekarang Damar juga menghilang.” Suara Laras semakin kecil. Hatinya terasa berat. Damar adalah satu-satunya harapan yang tersisa, satu-satunya alasan untuk tetap bertahan. Tapi kini ia juga sudah pergi, entah hilang dalam

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 144. Memilih

    Damar berdiri kaku di depan rumah tua itu. Ucapannya masih menggantung di udara, sementara Joni dan Rani menunggu tanpa sedikit pun bersuara—atau mungkin, dengan harapan licik bahwa Damar akan menyerah. Angin malam berembus pelan, membawa bisikan dari sebuah tempat gelap yang tak terlihat. Rumah tua itu seakan bernapas, meresapi kebimbangan Damar untuk memilih. "Setiap kutukan butuh penebus." Kata-kata yang terucap dari mulut Joni terus bergema di kepalanya. Apakah benar-benae harus seperti itu? Jika ingin bebas, ia harus menyerahkan seseorang lainnya sebagai gantinya. Satu nama pun seketika melintas di benaknya—Laras. Damar memejamkan mata, mengingat bagaimana Laras menatapnya dengan penuh cinta, tetapi juga sarat ketakutan. Ia tak ingin melihatnya ketakutan lagi. Ia tak ingin Laras menjadi bagian dari kegelapan yang saat ini membelenggunya. Alih-alih menjadikan Laras sebagai penebus, Damar justru berkeinginan untuk kembali bersamanya. Keinginan itu begitu kuat hingga mampu mem

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 143. Perpisahan

    Darto menoleh cepat, matanya menajam ke arah Laras. “Apa maksudmu, Laras?”Laras menggigit bibir, suaranya bergetar saat berbicara. “Damar… dia ada di sini. Aku bisa merasakannya.”Mbah Rebo mengetukkan tongkat kayunya ke tanah tiga kali lagi. Suara ketukan itu menggema di udara, seolah memantul dari sesuatu yang tak terlihat. Angin semakin kencang, membuat dedaunan kering berputar-putar di sekitar mereka.“Jangan panik,” ujar Mbah Rebo tenang, meski matanya waspada. “Tetap dekat dan jangan sampai ada yang terpisah.”Tiba-tiba, dari balik pohon, terdengar suara gemerisik. Seperti seseorang yang berjalan di atas dedaunan kering.Giman menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Hanya suara langkah yang semakin mendekat.Laras menegang. Ia bisa merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Perlahan, dari balik batang pohon yang besar, sesosok bayangan muncul.Damar.Pakaian yang dikenakannya sama seperti terakhir kali Laras melihatnya—kemeja putih yang kini lusuh dan sobek di beberapa

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 142. Mencari Petunjuk

    Pagi menjelang dengan lambat, membawa serta kabut tipis yang menggantung di udara desa. Darto menguap lebar, matanya sembab karena semalaman tak bisa tidur. Warso duduk bersandar di dinding, wajahnya masih menyisakan ketegangan semalam. Sementara itu, Laras tertidur di tikar dengan nafas berat, tubuhnya masih terasa lemah setelah apa yang terjadi.Mbah Rebo, yang sedari tadi duduk bersila sambil memegang tongkat kayunya, menghela napas panjang. “Kita tak bisa berdiam diri. Meski makhluk itu sudah pergi, aku yakin ia belum benar-benar menyerah.”Warso mengangguk pelan. “Jadi apa yang harus kita lakukan, Mbah?”Orang tua itu menatap ke luar jendela. “Aku harus mencari tahu siapa makhluk itu dan mengapa ia begitu menginginkan Laras. Ada sesuatu yang belum terungkap.”Darto menelan ludah. “Mbah … tadi malam, sebelum makhluk itu muncul, Laras sempat menyebut nama Damar. Apakah mungkin … Damar benar-benar ada hubungannya dengan ini?”Mbah Rebo terdiam sejenak. “Mungkin. Kita harus mencari t

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 141. Mengawasi dan Menunggu

    Warso mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Napasnya tersengal, sementara matanya terus mengawasi Laras yang kini terkulai di tikar.“Darto, kita nggak bisa nunggu lebih lama. Kita harus cari orang pintar buat nolongin Laras,” katanya dengan suara parau.Darto mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. “Giman, kamu ikut aku. Kita cari Mbah Rebo.atau siapa pun yang bisa bantu.”Giman tampak ragu, tapi melihat kondisi Laras, ia akhirnya mengangguk. “B-baik. Tapi cepat ya, aku nggak mau kalau harus lama-lama menunggu di luar.”Darto dan Giman segera keluar, meninggalkan Warso yang berjaga di samping Laras. Malam semakin pekat, udara terasa berat. Warso merapatkan jaketnya, mencoba mengusir hawa dingin yang entah berasal dari cuaca atau sesuatu yang lain.Tiba-tiba, Laras menggeliat. Kelopak matanya terbuka perlahan. Namun, ketika Warso menatap wajahnya, jantungnya hampir berhenti berdetak.Mata Laras kini bukan hanya hitam, tetapi juga dipenuhi urat-urat merah yang men

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 140. Rasuk

    Darto, Warso, dan Giman semakin panik ketika mereka melihat Laras yang terus menatap bayangan Damar dengan mata berkaca-kaca. Angin bertiup semakin kencang, membawa aroma tanah basah dan anyir yang menusuk hidung. Tiba-tiba, Laras tersentak. Tubuhnya menegang, matanya membelalak. Seakan ada sesuatu yang saat ini tengah menghantam jiwanya. “Laras?!” Warso mengguncang bahunya dengan cukup keras. Namun, Laras sama sekali tidak memberikan reaksi. Ia malah tersenyum lebar—senyum yang bukan miliknya. Senyum itu terlalu lebar, terlalu dingin, terlalu menyeramkan. "Damar … aku akan ikut bersamamu ...." Suaranya terdengar jauh, bergema seperti bukan berasal dari dirinya sendiri. Tak lama kemudian, tubuhnya terhuyung ke belakang dan dalam sekejap, ia tertawa. Suara tawanya melengking tinggi, bergema di udara malam. Tawa yang tentu saja itu bukan milik Laras. Giman mundur dengan napas memburu. “To, Darto, bocah ini ... dia kesurupan!” Darto menggertakkan giginya. Ia pernah melihat kej

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 139. Menolak

    Damar menggertakkan giginya. "Tidak mungkin! Kita masih hidup! Kalian berdua yang sudah mati!" Rani mengangkat tangannya perlahan. Seketika, kabut pekat muncul dari tanah, mengelilingi mereka. Laras menjerit saat tubuhnya mulai terasa ringan, seakan ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Damar berusaha meraihnya, tetapi tiba-tiba semuanya berubah. Mata Damar membelalak. Ia tidak lagi berada di hutan. Sekelilingnya kini adalah lorong rumah tua yang gelap, dindingnya dipenuhi coretan-coretan aneh. Bau anyir menyengat hidungnya. Laras berdiri di sampingnya, tubuhnya gemetar, matanya menatap lurus ke depan. Di ujung lorong, sesosok tubuh tergantung di langit-langit. Sosok itu berayun pelan, mengenakan baju yang sama seperti yang Damar kenakan. Jantung Damar seakan berhenti berdetak. Itu dirinya sendiri. "Laras... A-apa yang terjadi...?" Laras tidak menjawab. Dia hanya menoleh perlahan ke arah Damar, matanya berubah hitam legam, bibirnya menyeringai lebar. “Kamu sudah mati, Damar.

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status