Home / Horor / 40 Hari Setelah Kematian Bapak / Bab 86. Perjalanan ke Selo Geni

Share

Bab 86. Perjalanan ke Selo Geni

Author: Yasmin_imaji
last update Last Updated: 2025-01-14 23:56:37

Setelah beberapa langkah melewati lorong sempit itu, akhirnya mereka merasakan udara segar menyentuh wajah mereka. Cahaya alami dari rembulan yang tergantung di langit malam menyambut kedatangan mereka. Aji, Murni, dan Prawiro terhenti di depan sebuah bukaan gua yang menghadap ke lembah yang sunyi.

Murni menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu cepat. “Kita berhasil keluar…” ucapnya dengan suara yang masih bergetar. Air matanya kembali mengalir, kali ini bukan karena ketakutan, melainkan rasa syukur atas keselamatan mereka. Tapi bagaimanapun juga, mereka telah meninggalkan Mbok Tumini di belakang sana.

"Maaf, Mbok," lirih Murni.

Prawiro berdiri di samping mereka, memperhatikan sekeliling dengan cermat. “Jangan lengah. Meski kita sudah keluar dari tempat itu, bahaya masih belum usai. Danyang itu pasti akan terus mengikuti kita. Dia pasti tahu kita masih hidup, dan ia tidak akan tinggal diam.”

Aji meremas keris di tangannya, merasakan ding
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App
Comments (41)
goodnovel comment avatar
Nurlia Leax
makin kesini cerita nya makin kesana,,thanks y Thor,,udh buat kita seperti nonton film lgsg ...gambatheee murni aji..chayooo
goodnovel comment avatar
Trie Sumanti
semua akan kembali bahagia
goodnovel comment avatar
Trie Sumanti
semangat kalian mendaki keatas puncak bukit, semoga stlh ini selesai semua akan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 87. Bukit Selo Geni

    Langkah-langkah mereka terdengar gemerisik di atas bebatuan yang licin. Kabut tebal semakin menutup pandangan, membuat setiap langkah terasa seperti menuju ke dalam ketidakpastian. Suara angin yang berhembus kencang membawa bisikan-bisikan aneh, seolah-olah alam pun ikut memperingatkan mereka akan bahaya yang mengintai. “Aji, tetap di sampingku,” ujar Prawiro dengan suara rendah namun tegas. “Kabut ini bukan kabut biasa. Lasmi sudah tahu kita mendekat, dan dia pasti berusaha membuat kita tersesat.” Aji mengangguk, menggenggam keris erat-erat seolah benda itu adalah satu-satunya yang bisa memberinya keberanian. Murni yang berjalan di belakang mereka merasakan jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena rasa takut, tapi juga firasat buruk yang terus mengganggunya. Tiba-tiba, suara gemerisik terdengar dari balik semak-semak di kanan jalan setapak. Prawiro segera mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka berhenti. “Diam,” bisiknya. “Ada sesuatu di sekitar kita.” Mereka be

    Last Updated : 2025-01-15
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 88. Kekalahan Lasmi

    Lasmi mengangkat tangan kirinya perlahan, dan dari kuku kirinya memancar cahaya ungu pekat yang langsung menyelimuti area di sekeliling mereka. Angin kencang kembali berembus, menciptakan pusaran debu dan asap yang membuat penglihatan mereka semakin terbatas."Aji, Murni, lindungi diri kalian! Sementara aku akan mengalihkan makhluk-makhluk ini!" ucap Prawiro.Aji menggenggam kerisnya semakin erat, dan dari bilah keris yang dicengekramnya dengan kuat, perlahan tampak cahaya keemasan yang memberikan penerangan di antara kegelapan yang kini mengurung mereka. Murni menatap hal itu dengan rasa takjub.Lasmi kembali melangkah maju, dan dengan gerakan cepat ia mengayunkan tangannya. Dari gerakan itu, muncullah serangan berbentuk gelombang energi berwarna ungu yang terarah pada Prawiro. Sedang Prawiro sendiri mencoba menangkisnya dengan golok yang masih ia genggam, meskipun tetap saja dirinya terpukul mundur beberapa langkah."Kau tidak akan pernah bisa melawanku, Prawiro! Tidak sekarang dan

    Last Updated : 2025-01-16
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 89. Desa Juwono

    Setibanya di desa Juwono, suasana yang menyambut Murni, Aji, dan Prawiro memang berbeda dari sebelumnya. Desa yang sebelumnya suram dan penuh dengan hawa mistis kini tampak lebih cerah. Matahari bersinar dengan hangatnya, pohon-pohon yang dulunya layu mulai hijau kembali, dan burung-burung berkicau seakan menyambut datangnya kehidupan baru. Namun, suasana yang cerah itu tidak mampu mengusir bayang-bayang ketegangan di antara penduduk desa yang berkumpul di lapangan utama.Kerumunan penduduk menatap mereka dengan ekspresi bermacam-macam—ada yang penasaran, ada pula yang penuh amarah. Saat ketiganya mendekat, desas-desus mulai terdengar, perlahan berubah menjadi gumaman penuh emosi.“Itu mereka! Anak-anak Lasmi!”“Karena ibunya, kita semua hampir binasa!”“Berani sekali mereka kembali ke sini!”Seorang pria paruh baya dengan wajah tirus dan janggut lebat tiba-tiba maju, menunjuk Murni dengan kasar. “Kalian berani kembali ke desa ini setelah semua yang terjadi? Ibumu adalah penyebab keha

    Last Updated : 2025-01-16
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 90. Misteri Baru

    Beberapa waktu berlalu sejak pertemuan terakhir dengan Danyang di tepi hutan. Desa Juwono perlahan kembali hidup. Kehangatan matahari yang menyentuh dedaunan menciptakan pemandangan menyejukkan hati. Suara burung-burung kembali riang berkicau di pagi hari, dan warga desa mulai beraktivitas dengan semangat yang baru. Meski masih ada segelintir penduduk yang memendam ketakutan terhadap kehadiran Murni dan Aji, suasana desa tak lagi diliputi kecurigaan seperti sebelumnya. Terlebih setelah Nyai Warsih memimpin doa bersama di lapangan desa, memohon perlindungan bagi seluruh warga dan memulai kembali kehidupan mereka yang baru. Di salah satu sudut desa, rumah Raharjo yang dulu terlihat kusam dan dipenuhi aura gelap kini menjadi pusat perhatian. Para warga bahu-membahu membantu memperbaiki rumah itu. Mereka memperbaiki atap yang bocor, mengganti pintu yang rusak, dan membersihkan halaman yang dulu ditumbuhi semak belukar. “Ini bukan hanya rumah kalian, Murni. Ini adalah bagian dari des

    Last Updated : 2025-01-17
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 91. Kiriman

    Malam itu memang terasa lebih dingin daripada biasanya. Angin yang bertiup seolah-olah membawa pesan dari kegelapan, sementara suara-suara malam terdengar semakin mencekam. Murni dan Aji tidak tidur semalaman. Mereka berjaga-jaga, duduk di ruang tengah dengan pisau dapur dan kayu bakar sebagai senjata seadanya. Piring tanah busuk berbelatung itu mereka bungkus dengan plastik dan letakkan di sudut ruangan. Namun, meskipun dibungkus rapat, bau busuknya tetap saja menguar, menambah rasa mual dan ketegangan di dalam rumah.Ketika cahaya pertama matahari mulai menyembul di ufuk timur, Murni memutuskan bahwa mereka harus segera pergi menemui Nyai Warsih.“Ayo, Ji. Kita bawa ini sekarang. Sebelum hal lain terjadi,” ucap Murni tegas.Aji mengangguk setuju. Ia mengambil plastik yang berisi piring itu dengan hati-hati, seolah-olah memegang benda yang bisa meledak kapan saja.Mereka berjalan cepat menuju rumah Nyai Warsih. Jalanan desa masih sepi, hanya suara ayam berkokok dan anjing menggonggon

    Last Updated : 2025-01-17
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 92. Bangkit

    Di dalam gua yang tersembunyi di balik hutan lebat, Prawiro berdiri di tengah kegelapan, menyirami sesosok tubuh yang terbungkus kain kafan dengan air bercampur minyak misik dan bunga setaman. Suasana di sekitar gua itu terasa berat, dan udara dingin malam berdesir lembut, membawa aroma tanah basah yang menyeruak. Prawiro menatap tubuh yang terbaring diam, wajahnya masih dapat ia kenali. Namun, ada sesuatu yang begitu akrab. Senyumannya tetap terukir, meskipun ada kesan kesedihan yang tak terungkapkan.Dengan tangan yang halus, Prawiro memegang kendi tanah yang sudah hampir kosong, memercikkan air itu ke tubuh yang terbungkus kafan yang sudah tampak lusuh itu. Secara perlahan, suara lembut lagu Jawa mengalun dari bibirnya. Lagu itu tidak hanya sekedar melodi; setiap baitnya adalah doa, adalah pengorbanan, adalah harapan yang diselubungi penyesalan."Harjo, adikku... jangan khawatirkan apa yang telah terjadi. Anak-anakmu masih kulindungi. Karmamu sudah terjalani, saatnya kini untukku m

    Last Updated : 2025-01-17
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 93. Perjanjian Baru

    Tubuh Raharjo yang baru saja bergerak itu kini bangkit sepenuhnya dari lantai gua. Namun, gerakannya terasa asing. Ia bergerak seperti boneka yang sedang dipaksa berdiri oleh tali yang tak terlihat. Prawiro menyaksikan semuanya dengan mata terbelalak. Kekuatan besar yang ia panggil telah berhasil, tetapi apa yang berdiri di hadapannya bukan lagi sepenuhnya Raharjo. Itu adalah sesuatu yang lain—sesuatu yang hanya menggunakan tubuh adiknya sebagai wadah. "Bangkitlah, Harjo," ulang Prawiro dengan suara yang sedikit bergetar. "Kini saatnya kau melindungi mereka." Raharjo, atau apapun yang kini berada dalam tubuhnya, menoleh ke arah Prawiro dengan gerakan yang kaku. Matanya memancarkan cahaya redup, seperti bara api yang hampir padam. "Melindungi...?" suaranya serak, menggema di dalam gua. "Apa kau tahu apa yang telah kau lakukan, Prawiro?" Prawiro terdiam, tubuhnya gemetar. "Aku tahu... aku tahu jika yang aku lakukan ini salah, tapi aku tak punya pilihan! Mereka—anak-anakmu—mereka akan

    Last Updated : 2025-01-18
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 94. Bantuan

    Di tengah malam yang sunyi, di rumah kecil Raharjo tempat Murni dan Aji tinggal, suara aneh mulai terdengar dari luar. Angin berhembus kencang, menciptakan suara desis seperti bisikan yang menyeramkan. Di dalam rumah, Murni memeluk Aji yang tertidur di pangkuannya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi tidak tahu pasti apa itu. Tiba-tiba, lampu di rumahnya berkedip-kedip sebelum padam sepenuhnya. Suasana menjadi gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar-samar masuk melalui jendela. Dari luar, suara langkah berat terdengar, seolah ada sesuatu yang besar mendekat. Murni merasa napasnya tertahan, tubuhnya gemetar. Ia mencoba membangunkan Aji. Pintu rumah berderit pelan, lalu terbuka dengan sendirinya. Di ambang pintu, sosok itu muncul—Danyang. Tinggi, menyeramkan, dan mengeluarkan aura kegelapan yang begitu pekat. Matanya bersinar merah menyala, sementara tubuhnya diselimuti kabut hitam yang terus bergerak seperti hidup. Murni mundur, memeluk Aji erat-erat. "

    Last Updated : 2025-01-18

Latest chapter

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 139. Menolak

    Damar menggertakkan giginya. "Tidak mungkin! Kita masih hidup! Kalian berdua yang sudah mati!" Rani mengangkat tangannya perlahan. Seketika, kabut pekat muncul dari tanah, mengelilingi mereka. Laras menjerit saat tubuhnya mulai terasa ringan, seakan ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Damar berusaha meraihnya, tetapi tiba-tiba semuanya berubah. Mata Damar membelalak. Ia tidak lagi berada di hutan. Sekelilingnya kini adalah lorong rumah tua yang gelap, dindingnya dipenuhi coretan-coretan aneh. Bau anyir menyengat hidungnya. Laras berdiri di sampingnya, tubuhnya gemetar, matanya menatap lurus ke depan. Di ujung lorong, sesosok tubuh tergantung di langit-langit. Sosok itu berayun pelan, mengenakan baju yang sama seperti yang Damar kenakan. Jantung Damar seakan berhenti berdetak. Itu dirinya sendiri. "Laras... A-apa yang terjadi...?" Laras tidak menjawab. Dia hanya menoleh perlahan ke arah Damar, matanya berubah hitam legam, bibirnya menyeringai lebar. “Kamu sudah mati, Damar.

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 138. Terus Berlari

    “LARAS!” teriaknya putus asa.Laras meronta semakin kuat, tapi Rani hanya terkekeh pelan, kepalanya menunduk hingga hampir menyentuh wajah Laras. Suara tawa yang terdengar mengerikan, bercampur dengan hembusan angin dingin yang menusuk tulang. Laras menggelinjang di bawah cengkeraman makhluk itu, tubuhnya bergetar hebat. Damar, yang masih terguncang akibat hantaman tak terlihat tadi, merangkak dengan napas tersengal, matanya tak lepas dari Laras yang semakin tenggelam ke dalam tanah.Mulut Rani terbuka perlahan—terlalu lebar untuk ukuran manusia. Dari dalamnya, keluar kabut hitam pekat yang berputar-putar, menyelimuti wajah Laras. Napasnya terhenti, tubuhnya kaku, dan pikirannya mulai terasa berat, seolah ada sesuatu yang mencoba menarik kesadarannya pergi.Damar melihat itu semua dengan mata melebar ketakutan. Tidak, ia tidak akan membiarkan Rani mengambil Laras!"Lepaskan dia!" Damar menggeram, suaranya dipenuhi kemarahan dan ketakutan.Joni dan Rani hanya tertawa lebih keras, seola

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 137. Kembali ke Desa

    Damar membuka matanya perlahan. Udara di sekelilingnya terasa dingin dan lembap, menusuk sampai ke tulang. Kepalanya terasa begitu berat, seperti baru saja ditarik dari mimpi buruk yang sangat panjang. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba memahami situasi.Namun, yang pertama kali tertangkap oleh matanya bukanlah langit-langit rumah Darto, melainkan sebuah atap tua yang reyot, penuh dengan sarang laba-laba. Damar menelan ludah, rasa cemas menjalari tubuhnya."Laras ...?" bisiknya serak.Di sebelahnya, Laras menggeliat pelan, lalu perlahan membuka mata. Begitu ia melihat sekeliling, napasnya tercekat."Damar ... k-kita ... di mana ini?" suaranya bergetar, kepalanya menoleh ke kana dan ke kiri, menyadari jika saat ini mereka berdua telah berpindah tempat.Damar buru-buru bangkit dan segera menarik tangan Laras untuk duduk. Mereka berdua kini benar-benar sadar sepenuhnya—mereka tidak lagi berada di rumah Darto.Mereka ada di depan rumah tua itu. Rumah yang seharusnya telah mereka tinggalk

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 136. Mereka Pergi

    Asap hitam terus berputar, membentuk sosok yang semakin jelas di tengah kobaran api. Wajahnya berubah-ubah—kadang seperti seorang wanita dengan mata kosong yang penuh kebencian, kadang menyerupai tengkorak yang menganga dengan senyum mengerikan.Laras mundur selangkah, napasnya memburu. Damar meremas bahunya erat, berusaha menahan ketakutan yang menjalari tubuhnya.Tiba-tiba, sosok itu membuka mulutnya, mengeluarkan suara yang bukan milik manusia."Panas!! Beraninya kalian membakarnya?"Suaranya menggaung, bergema di seluruh ruangan, membuat dada mereka terasa sesak.Giman mengatupkan rahangnya rapat. "Kita harus mengusirnya sebelum semuanya terlambat!"Darto dengan sigap meraih segenggam garam dari kantong kecil di pinggangnya, lalu melemparkannya ke arah bayangan itu. "Pergi! Kau tidak punya tempat di sini!"Cesss!Begitu garam mengenai asap hitam itu, suara mendesis terdengar. Sosok tersebut bergetar hebat, mengeluarkan jeritan melengking yang membuat telinga mereka berdenging.Nam

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 135. Sosok Liar

    "Dan ada bekas cakaran di wajahnya?" sela Giman.Laras tersentak. Matanya melebar, menatap Giman dengan penuh keterkejutan. "Bagaimana Bapak tahu?" suaranya nyaris berbisik, bergetar oleh ketakutan yang semakin menusuk.Giman menelan ludah, sementara Warso dan Darto semakin tegang. Darto bahkan tanpa sadar meremas ujung sarung yang melilit pinggangnya, seolah mencari pegangan agar tetap berdiri tegak."Kalian benar-benar sudah celaka!" Suara Giman terdengar berat. "Karena kalau yang kalian temui itu memang Joko, berarti kalian tidak bertemu dengan manusia."Laras merasakan lututnya melemas. "Apa maksudnya, Pak?"Warso mendesah panjang, matanya menatap lurus ke arah Laras dan Damar. "Joko memang kepala desa Juwono ... dulu. Tapi dia sudah mati sejak lebih dari dua puluh tahun yang lalu."Damar menegang. "Tidak mungkin! Kami berbicara dengannya, bahkan dia menyambut kami, memberi kami makan!""Dia juga membiarkan kami meng

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 134. Salah Desa

    Laras menelan ludah, matanya masih terpaku pada kehampaan di belakang mereka. "Lalu ... siapa kalian?" Warso, pria paruh baya dengan sorot mata tajam, memandang Laras dan Damar dengan penuh selidik. Napasnya masih tersengal setelah perjuangan mereka keluar dari hutan terkutuk itu. Di sampingnya, Giman dan Darto juga tampak waspada, seolah masih khawatir akan sesuatu yang bisa saja mengikuti mereka keluar. "Kami yang seharusnya bertanya. Kalian ini siapa? Kenapa bisa sampai di tempat itu?" Warso akhirnya membuka suara. Rasa penasaran terpancar jelas dari wajahnya. Damar masih terduduk lemah di tanah. Dadanya masih terlihat naik turun, mencoba menenangkan napasnya. Bahunya yang terluka mulai membiru, tapi ia tidak punya waktu untuk mengkhawatirkannya sekarang. Laras menatap Warso dengan ragu, sebelum akhirnya berbicara. "Kami ... tersesat, Pak. Kami tidak tahu kalau tempat itu berbahaya." Giman, pria bertubuh kurus dengan wajah cekung, menatap mereka dengan sorot mata penuh ke

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 133. Selamat

    Laras terengah-engah, tubuhnya nyaris tak sanggup berdiri setelah tarikan kasar dari Damar. Tenggorokannya kering, dan dadanya terasa sesak seakan udara di sekitar mereka semakin menipis. Tapi yang lebih menyesakkan adalah tatapan Rani—tatapan penuh keputusasaan yang masih tertinggal di benaknya. "Laras! Bangun! Kita harus lari!" Damar berusaha menariknya berdiri, tapi kaki Laras seperti kehilangan tenaga. "Damar ... tolong. Aku udah nggak kuat." Laras menatap nanae kw arah Damar. "Ras! Fokus!" Damar mengguncang tubuhnya, suaranya penuh putus asa. "Kalau kita berhenti sekarang, kita akan mati!" Laras menarik napas dalam-dalam. Ia memaksa dirinya untuk kembali ke kenyataan, menepis rasa bimbang yang menggerogoti hatinya. Matanya bertemu dengan mata Damar—sarat dengan ketakutan dan kepanikan, tapi juga keyakinan. Damar percaya mereka bisa keluar dari sini. Mereka harus bisa. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Laras bangkit. Tangannya masih gemetar, tapi ia menggenggam erat tangan

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 132. Tercengang

    "Aaaa...!" Laras menjerit, tubuhnya terhuyung ke belakang hingga hampir jatuh. Damar mematung, tubuhnya membeku seperti batu. Tenggorokannya terasa kering, napasnya pendek-pendek, dan dadanya berdebar kencang. Itu… mereka. Tubuh mereka sendiri."Tidak! Ini pasti mimpi!" Laras mengguncang kepalanya dengan putus asa. Matanya menatap nanar ke arah mayat yang terduduk di dalam mobil. Itu—adalah wajahnya sendiri, matanya sendiri—tetapi kosong. Mati.Damar mundur selangkah, lalu dua langkah, tangannya terangkat gemetar. "Ini... ini tidak masuk akal," bisiknya.Wanita tua itu masih berdiri di tempatnya, menatap mereka dengan sorot mata iba bercampur ngeri. "Aku sudah bilang... tidak ada yang bisa keluar dari desa itu tanpa meninggalkan sesuatu di dalamnya."Laras menatap wanita itu dengan mata berkaca-kaca, menggeleng keras. "Tapi... tapi kami ada di sini! Kami masih hidup!"Wanita tua itu menghela napas panjang, lalu perlahan berjalan mendekat. Suaranya melembut, tetapi tetap terdengar sep

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 131. Kematian

    "Selamat tinggal, Rani."Laras jatuh berlutut di tanah yang masih dingin oleh embun pagi. Isak tangisnya pecah, dadanya bergemuruh dengan kesedihan yang tak tertahankan. Kedua tangannya mencengkeram rumput liar di sekitarnya, seakan ingin meraih sesuatu yang telah hilang.Joko dan Damar saling berpandangan, napas mereka masih tersengal setelah berlari menembus gelapnya hutan. Damar sendiri tahu betul bahwa mereka telah kehilangan sesuatu yang tak akan pernah kembali.Joni dan Rani. Mereka terjebak di desa terkutuk itu dan tak bisa lagi diselamatkan.Laras menggeleng keras, menolak kenyataan yang baru saja terjadi. "Tidak... mereka masih bisa kita bawa pulang... 'kan?" Joko mengalihkan pandangannya, rahangnya mengatup rapat. "Sudah terlambat." gumamnya.Damar menggenggam bahu Laras, mencoba menenangkannya meski dirinya sendiri masih dikejar rasa takut. "Kita harus pergi. Hutan itu... desa itu... tempat ini bukan untuk kita."Laras menoleh, matanya yang basah penuh amarah. "Jadi kita a

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status