Share

Bab 92. Bangkit

Author: Yasmin_imaji
last update Last Updated: 2025-01-17 17:22:40

Di dalam gua yang tersembunyi di balik hutan lebat, Prawiro berdiri di tengah kegelapan, menyirami sesosok tubuh yang terbungkus kain kafan dengan air bercampur minyak misik dan bunga setaman. Suasana di sekitar gua itu terasa berat, dan udara dingin malam berdesir lembut, membawa aroma tanah basah yang menyeruak. Prawiro menatap tubuh yang terbaring diam, wajahnya masih dapat ia kenali. Namun, ada sesuatu yang begitu akrab. Senyumannya tetap terukir, meskipun ada kesan kesedihan yang tak terungkapkan.

Dengan tangan yang halus, Prawiro memegang kendi tanah yang sudah hampir kosong, memercikkan air itu ke tubuh yang terbungkus kafan yang sudah tampak lusuh itu. Secara perlahan, suara lembut lagu Jawa mengalun dari bibirnya. Lagu itu tidak hanya sekedar melodi; setiap baitnya adalah doa, adalah pengorbanan, adalah harapan yang diselubungi penyesalan.

"Harjo, adikku... jangan khawatirkan apa yang telah terjadi. Anak-anakmu masih kulindungi. Karmamu sudah terjalani, saatnya kini untukku m
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App
Comments (40)
goodnovel comment avatar
Marimar
next thor...
goodnovel comment avatar
Trie Sumanti
jd Prawiro itu Kakanya Raharjo, pantes aja Prawiro selalu ada disaat murni n aji butuh bantuan darurat, dan skrg Prawiro jg yg membangkitnya jasad Raharjo yg dia simpan
goodnovel comment avatar
Mafida Idayani
plot twist banget. ternyata Prawiro adalah kakak kandung Raharjo. dan jasad Raharjo yang hilang, ternyata ada sama Prawiro....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 93. Perjanjian Baru

    Tubuh Raharjo yang baru saja bergerak itu kini bangkit sepenuhnya dari lantai gua. Namun, gerakannya terasa asing. Ia bergerak seperti boneka yang sedang dipaksa berdiri oleh tali yang tak terlihat. Prawiro menyaksikan semuanya dengan mata terbelalak. Kekuatan besar yang ia panggil telah berhasil, tetapi apa yang berdiri di hadapannya bukan lagi sepenuhnya Raharjo. Itu adalah sesuatu yang lain—sesuatu yang hanya menggunakan tubuh adiknya sebagai wadah. "Bangkitlah, Harjo," ulang Prawiro dengan suara yang sedikit bergetar. "Kini saatnya kau melindungi mereka." Raharjo, atau apapun yang kini berada dalam tubuhnya, menoleh ke arah Prawiro dengan gerakan yang kaku. Matanya memancarkan cahaya redup, seperti bara api yang hampir padam. "Melindungi...?" suaranya serak, menggema di dalam gua. "Apa kau tahu apa yang telah kau lakukan, Prawiro?" Prawiro terdiam, tubuhnya gemetar. "Aku tahu... aku tahu jika yang aku lakukan ini salah, tapi aku tak punya pilihan! Mereka—anak-anakmu—mereka akan

    Last Updated : 2025-01-18
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 94. Bantuan

    Di tengah malam yang sunyi, di rumah kecil Raharjo tempat Murni dan Aji tinggal, suara aneh mulai terdengar dari luar. Angin berhembus kencang, menciptakan suara desis seperti bisikan yang menyeramkan. Di dalam rumah, Murni memeluk Aji yang tertidur di pangkuannya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi tidak tahu pasti apa itu. Tiba-tiba, lampu di rumahnya berkedip-kedip sebelum padam sepenuhnya. Suasana menjadi gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar-samar masuk melalui jendela. Dari luar, suara langkah berat terdengar, seolah ada sesuatu yang besar mendekat. Murni merasa napasnya tertahan, tubuhnya gemetar. Ia mencoba membangunkan Aji. Pintu rumah berderit pelan, lalu terbuka dengan sendirinya. Di ambang pintu, sosok itu muncul—Danyang. Tinggi, menyeramkan, dan mengeluarkan aura kegelapan yang begitu pekat. Matanya bersinar merah menyala, sementara tubuhnya diselimuti kabut hitam yang terus bergerak seperti hidup. Murni mundur, memeluk Aji erat-erat. "

    Last Updated : 2025-01-18
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 95. Desa Misterius

    Murni dan Aji mengikuti Prawiro dengan langkah ragu, menembus hutan yang semakin gelap dan sunyi. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah tanah di bawah kaki mereka mencoba menahan perjalanan mereka. Namun, tatapan tegas Prawiro memberikan rasa aman meski hanya sedikit. Obor kecil di tangannya menjadi satu-satunya sumber cahaya di tengah kegelapan malam. "Apa desa itu benar-benar aman, Pak?" tanya Murni, suaranya pelan namun penuh kekhawatiran. "Selama kalian berada di bawah perlindunganku, kalian akan aman," jawab Prawiro tanpa menoleh. Suaranya tegas, namun ada nada ketegangan yang sulit disembunyikan. Aji, yang berjalan di samping Murni, menarik-narik lengan kakaknya. "Mbak, kenapa kita nggak langsung pulang saja? Kenapa harus ke desa itu?" Murni menunduk, mencoba memberikan senyum yang menenangkan kepada adiknya. "Percaya sama Mbak, Ji. Kita akan baik-baik saja." Namun, jawaban itu tidak cukup menenangkan Aji. Ia merasakan sesuatu yang aneh sejak pria tua itu muncul, meski i

    Last Updated : 2025-01-18
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 96. Raharjo Datang

    Murni menarik Aji ke belakang, tubuhnya gemetar hebat. Sosok di ambang pintu tetap diam, hanya menatap mereka dengan mata merah menyala. Suara napasnya terdengar berat, bergema di dalam rumah kosong itu. “Aji, jangan lihat ke arahnya!” bisik Murni, berusaha menyembunyikan ketakutannya. Ia melangkah mundur, perlahan menjauh dari pintu. Sebaliknya, Aji tak bisa mengalihkan pandangannya, seolah terhipnotis oleh tatapan makhluk itu. “Keluar…” Suara serak menggema dari sosok itu, pelan namun penuh ancaman. Kata itu seperti memerintah, memaksa, mengikat mereka dalam ketakutan. Murni menggeleng cepat. “Kita tidak boleh keluar! Pak Prawiro bilang jangan keluar!” Ia memeluk Aji erat, mencoba melindunginya meskipun tubuhnya sendiri gemetar tanpa henti. Sosok itu melangkah maju, kain kafannya berderak pelan seiring gerakannya. Setiap langkahnya membuat udara di dalam ruangan semakin dingin. Kabut tipis mulai merembes masuk melalui celah-celah dinding, membawa bau anyir yang membuat Murni mua

    Last Updated : 2025-01-19
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 97. Perlawanan

    Murni menarik Aji keluar dari kamar melalui pintu belakang, seperti yang diperintahkan Raharjo. Langkah mereka tergesa-gesa, namun bayangan dingin yang mengikuti di belakang mereka semakin menambah beban di dada. Setiap langkah terasa berat, udara malam yang dingin menusuk tulang, dan suara-suara samar di kejauhan mengiringi mereka, seperti bisikan yang tak dapat dimengerti.Aji meremas tangan kakaknya dengan kuat, takut kehilangan pegangan. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya sedikit gemetar. “Mbak, sebenarnya siapa yang benar, dan siapa yang salah? Siapa yang teman dan siapa yang lawan?"Murni menoleh sejenak ke arah adiknya, namun pandangannya tertuju ke bayangan biru samar di kejauhan. Prana masih ada di sana, seperti melayang-layang, menjaga jarak namun tetap mengikuti mereka dengan langkah perlahan. Bayangan itu seperti pilar harapan yang menjulang di tengah kegelapan, meskipun aura misteriusnya tidak sepenuhnya membawa rasa aman."Sama sepertimu, Mbak juga masih bertanya-tanya, Ji.

    Last Updated : 2025-01-19
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 98. Tipuan

    Murni dan Aji terus melangkah tanpa arah yang jelas, menyusuri jalan setapak yang penuh duri dan akar-akar pohon menjulur. Hutan itu gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang remang-remang. Udara malam begitu dingin, seakan membekukan harapan yang tersisa. Tapi, di tengah keheningan itu, tekad untuk kembali ke desa mereka terus memupuk keberanian dalam hati.Setelah berjalan selama berjam-jam, mereka tiba di sebuah pondok kecil di tengah hutan. Pondok itu tampak tua dan nyaris roboh, tapi pintunya sedikit terbuka, mengisyaratkan kehadiran seseorang di dalamnya. Murni ragu sejenak, tapi kemudian mengetuk pintu dengan hati-hati.“Siapa di luar sana?” Suara tua dan serak terdengar dari dalam.“Kami… kami hanya butuh tempat untuk beristirahat,” jawab Murni dengan suara gemetar.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pria tua berambut putih kusut dengan jubah panjang yang tampak usang. Sorot matanya tajam, tapi ada kehangatan yang tersembunyi di balik kerut wajahnya. Ia memandang Mu

    Last Updated : 2025-01-19
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 99. Ketemu

    Murni dan Aji terus melangkah, meninggalkan rumah yang penuh tipuan itu. Mereka tahu perjuangan belum selesai. Desa Juwono masih dipenuhi misteri yang membelit, dan setiap sudutnya mengintai bahaya tak terduga.Kabut semakin pekat, membuat pandangan mereka terbatas. Langkah-langkah kecil terasa berat karena tanah berlumpur yang seakan menahan kaki mereka. Namun, tekad untuk menghentikan kutukan yang melanda desa terus memacu keberanian mereka.Saat mereka menyusuri jalan setapak yang sepi, terdengar suara-suara bisikan aneh dari arah pepohonan. Murni dan Aji berhenti, menatap sekitar dengan waspada. Pohon-pohon besar yang menjulang tampak seperti sosok hidup, ranting-rantingnya melambai-lambai seolah ingin menangkap mereka.“Jangan menoleh ke belakang, Ji,” bisik Murni.Aji mengangguk, tetapi tubuhnya gemetar. Ia bisa merasakan sesuatu mengikuti mereka, namun ia berusaha fokus pada langkah di depannya. Tiba-tiba, angin dingin bertiup kencang, membawa aroma busuk yang menusuk hidung. D

    Last Updated : 2025-01-20
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 100. Lindung Sukma

    Kabut semakin tebal saat mereka melangkah menuju makam tua yang disebut Kyai Hasan. Hutan itu terasa seperti labirin yang hidup, dengan suara-suara aneh yang terdengar dari segala arah. Pohon-pohon besar melengkung seperti sosok yang mengintai, dan udara dingin mencubit kulit mereka.“Kyai, apa yang sebenarnya ada di makam itu?” tanya Aji, mencoba memecah kesunyian yang menyesakkan.“Lindung Sukma adalah roh penjaga yang diciptakan untuk melindungi tanah ini di masa lalu,” jelas Kyai Hasan. “Namun, ketika keserakahan manusia menghancurkan keseimbangan alam, roh itu berubah menjadi kekuatan gelap. Sekarang, ia menjadi sumber dari semua kutukan ini.”“Apa mungkin kita bisa mengalahkan sesuatu yang sekuat itu?” tanya Murni ragu.“Kita harus mencobanya,” jawab Kyai Hasan tegas. “Kita tidak punya pilihan lain.”Setelah berjalan beberapa jam, mereka tiba di depan sebuah gerbang batu yang besar dan berlumut. Gerbang itu dihiasi dengan ukiran simbol-simbol aneh, mirip dengan yang mereka lihat

    Last Updated : 2025-01-20

Latest chapter

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 138. Terus Berlari

    “LARAS!” teriaknya putus asa.Laras meronta semakin kuat, tapi Rani hanya terkekeh pelan, kepalanya menunduk hingga hampir menyentuh wajah Laras. Suara tawa yang terdengar mengerikan, bercampur dengan hembusan angin dingin yang menusuk tulang. Laras menggelinjang di bawah cengkeraman makhluk itu, tubuhnya bergetar hebat. Damar, yang masih terguncang akibat hantaman tak terlihat tadi, merangkak dengan napas tersengal, matanya tak lepas dari Laras yang semakin tenggelam ke dalam tanah.Mulut Rani terbuka perlahan—terlalu lebar untuk ukuran manusia. Dari dalamnya, keluar kabut hitam pekat yang berputar-putar, menyelimuti wajah Laras. Napasnya terhenti, tubuhnya kaku, dan pikirannya mulai terasa berat, seolah ada sesuatu yang mencoba menarik kesadarannya pergi.Damar melihat itu semua dengan mata melebar ketakutan. Tidak, ia tidak akan membiarkan Rani mengambil Laras!"Lepaskan dia!" Damar menggeram, suaranya dipenuhi kemarahan dan ketakutan.Joni dan Rani hanya tertawa lebih keras, seola

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 137. Kembali ke Desa

    Damar membuka matanya perlahan. Udara di sekelilingnya terasa dingin dan lembap, menusuk sampai ke tulang. Kepalanya terasa begitu berat, seperti baru saja ditarik dari mimpi buruk yang sangat panjang. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba memahami situasi.Namun, yang pertama kali tertangkap oleh matanya bukanlah langit-langit rumah Darto, melainkan sebuah atap tua yang reyot, penuh dengan sarang laba-laba. Damar menelan ludah, rasa cemas menjalari tubuhnya."Laras ...?" bisiknya serak.Di sebelahnya, Laras menggeliat pelan, lalu perlahan membuka mata. Begitu ia melihat sekeliling, napasnya tercekat."Damar ... k-kita ... di mana ini?" suaranya bergetar, kepalanya menoleh ke kana dan ke kiri, menyadari jika saat ini mereka berdua telah berpindah tempat.Damar buru-buru bangkit dan segera menarik tangan Laras untuk duduk. Mereka berdua kini benar-benar sadar sepenuhnya—mereka tidak lagi berada di rumah Darto.Mereka ada di depan rumah tua itu. Rumah yang seharusnya telah mereka tinggalk

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 136. Mereka Pergi

    Asap hitam terus berputar, membentuk sosok yang semakin jelas di tengah kobaran api. Wajahnya berubah-ubah—kadang seperti seorang wanita dengan mata kosong yang penuh kebencian, kadang menyerupai tengkorak yang menganga dengan senyum mengerikan.Laras mundur selangkah, napasnya memburu. Damar meremas bahunya erat, berusaha menahan ketakutan yang menjalari tubuhnya.Tiba-tiba, sosok itu membuka mulutnya, mengeluarkan suara yang bukan milik manusia."Panas!! Beraninya kalian membakarnya?"Suaranya menggaung, bergema di seluruh ruangan, membuat dada mereka terasa sesak.Giman mengatupkan rahangnya rapat. "Kita harus mengusirnya sebelum semuanya terlambat!"Darto dengan sigap meraih segenggam garam dari kantong kecil di pinggangnya, lalu melemparkannya ke arah bayangan itu. "Pergi! Kau tidak punya tempat di sini!"Cesss!Begitu garam mengenai asap hitam itu, suara mendesis terdengar. Sosok tersebut bergetar hebat, mengeluarkan jeritan melengking yang membuat telinga mereka berdenging.Nam

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 135. Sosok Liar

    "Dan ada bekas cakaran di wajahnya?" sela Giman.Laras tersentak. Matanya melebar, menatap Giman dengan penuh keterkejutan. "Bagaimana Bapak tahu?" suaranya nyaris berbisik, bergetar oleh ketakutan yang semakin menusuk.Giman menelan ludah, sementara Warso dan Darto semakin tegang. Darto bahkan tanpa sadar meremas ujung sarung yang melilit pinggangnya, seolah mencari pegangan agar tetap berdiri tegak."Kalian benar-benar sudah celaka!" Suara Giman terdengar berat. "Karena kalau yang kalian temui itu memang Joko, berarti kalian tidak bertemu dengan manusia."Laras merasakan lututnya melemas. "Apa maksudnya, Pak?"Warso mendesah panjang, matanya menatap lurus ke arah Laras dan Damar. "Joko memang kepala desa Juwono ... dulu. Tapi dia sudah mati sejak lebih dari dua puluh tahun yang lalu."Damar menegang. "Tidak mungkin! Kami berbicara dengannya, bahkan dia menyambut kami, memberi kami makan!""Dia juga membiarkan kami meng

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 134. Salah Desa

    Laras menelan ludah, matanya masih terpaku pada kehampaan di belakang mereka. "Lalu ... siapa kalian?" Warso, pria paruh baya dengan sorot mata tajam, memandang Laras dan Damar dengan penuh selidik. Napasnya masih tersengal setelah perjuangan mereka keluar dari hutan terkutuk itu. Di sampingnya, Giman dan Darto juga tampak waspada, seolah masih khawatir akan sesuatu yang bisa saja mengikuti mereka keluar. "Kami yang seharusnya bertanya. Kalian ini siapa? Kenapa bisa sampai di tempat itu?" Warso akhirnya membuka suara. Rasa penasaran terpancar jelas dari wajahnya. Damar masih terduduk lemah di tanah. Dadanya masih terlihat naik turun, mencoba menenangkan napasnya. Bahunya yang terluka mulai membiru, tapi ia tidak punya waktu untuk mengkhawatirkannya sekarang. Laras menatap Warso dengan ragu, sebelum akhirnya berbicara. "Kami ... tersesat, Pak. Kami tidak tahu kalau tempat itu berbahaya." Giman, pria bertubuh kurus dengan wajah cekung, menatap mereka dengan sorot mata penuh ke

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 133. Selamat

    Laras terengah-engah, tubuhnya nyaris tak sanggup berdiri setelah tarikan kasar dari Damar. Tenggorokannya kering, dan dadanya terasa sesak seakan udara di sekitar mereka semakin menipis. Tapi yang lebih menyesakkan adalah tatapan Rani—tatapan penuh keputusasaan yang masih tertinggal di benaknya. "Laras! Bangun! Kita harus lari!" Damar berusaha menariknya berdiri, tapi kaki Laras seperti kehilangan tenaga. "Damar ... tolong. Aku udah nggak kuat." Laras menatap nanae kw arah Damar. "Ras! Fokus!" Damar mengguncang tubuhnya, suaranya penuh putus asa. "Kalau kita berhenti sekarang, kita akan mati!" Laras menarik napas dalam-dalam. Ia memaksa dirinya untuk kembali ke kenyataan, menepis rasa bimbang yang menggerogoti hatinya. Matanya bertemu dengan mata Damar—sarat dengan ketakutan dan kepanikan, tapi juga keyakinan. Damar percaya mereka bisa keluar dari sini. Mereka harus bisa. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Laras bangkit. Tangannya masih gemetar, tapi ia menggenggam erat tangan

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 132. Tercengang

    "Aaaa...!" Laras menjerit, tubuhnya terhuyung ke belakang hingga hampir jatuh. Damar mematung, tubuhnya membeku seperti batu. Tenggorokannya terasa kering, napasnya pendek-pendek, dan dadanya berdebar kencang. Itu… mereka. Tubuh mereka sendiri."Tidak! Ini pasti mimpi!" Laras mengguncang kepalanya dengan putus asa. Matanya menatap nanar ke arah mayat yang terduduk di dalam mobil. Itu—adalah wajahnya sendiri, matanya sendiri—tetapi kosong. Mati.Damar mundur selangkah, lalu dua langkah, tangannya terangkat gemetar. "Ini... ini tidak masuk akal," bisiknya.Wanita tua itu masih berdiri di tempatnya, menatap mereka dengan sorot mata iba bercampur ngeri. "Aku sudah bilang... tidak ada yang bisa keluar dari desa itu tanpa meninggalkan sesuatu di dalamnya."Laras menatap wanita itu dengan mata berkaca-kaca, menggeleng keras. "Tapi... tapi kami ada di sini! Kami masih hidup!"Wanita tua itu menghela napas panjang, lalu perlahan berjalan mendekat. Suaranya melembut, tetapi tetap terdengar sep

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 131. Kematian

    "Selamat tinggal, Rani."Laras jatuh berlutut di tanah yang masih dingin oleh embun pagi. Isak tangisnya pecah, dadanya bergemuruh dengan kesedihan yang tak tertahankan. Kedua tangannya mencengkeram rumput liar di sekitarnya, seakan ingin meraih sesuatu yang telah hilang.Joko dan Damar saling berpandangan, napas mereka masih tersengal setelah berlari menembus gelapnya hutan. Damar sendiri tahu betul bahwa mereka telah kehilangan sesuatu yang tak akan pernah kembali.Joni dan Rani. Mereka terjebak di desa terkutuk itu dan tak bisa lagi diselamatkan.Laras menggeleng keras, menolak kenyataan yang baru saja terjadi. "Tidak... mereka masih bisa kita bawa pulang... 'kan?" Joko mengalihkan pandangannya, rahangnya mengatup rapat. "Sudah terlambat." gumamnya.Damar menggenggam bahu Laras, mencoba menenangkannya meski dirinya sendiri masih dikejar rasa takut. "Kita harus pergi. Hutan itu... desa itu... tempat ini bukan untuk kita."Laras menoleh, matanya yang basah penuh amarah. "Jadi kita a

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 130. Selamat Tinggal

    Joko memejamkan mata, rahangnya mengatup rapat. Napasnya tertahan di tenggorokan.Bodoh!Ia sudah memperingatkan mereka untuk tidak bersuara, tapi Laras justru berteriak. Itu adalah kesalahan besar.Angin malam bertiup lebih kencang, membawa aroma busuk yang menusuk hidung. Seperti bau bangkai yang telah membusuk selama berhari-hari.Damar merasakan tengkuknya meremang. Ia melangkah mundur dengan hati-hati, tetapi sesuatu dalam tatapan Rani membuatnya sulit berpaling."Bukan Rani. Itu bukan Rani," ucap Damar di dalam hatinya. Sosok di hadapan mereka berdiri kaku, tubuhnya sedikit membungkuk dengan tangan tergantung lemas di sisi tubuhnya. Bibirnya pecah-pecah, dan dari sudut bibirnya menetes cairan hitam yang berbau busuk. Matanya… kosong. Sepasang bola mata itu hitam legam, tak ada putihnya sama sekali.“Larasss… Kenapa… lari? Ini aku.”Suara Rani bergetar, seperti ada sesuatu yang bergema di dalamnya. Seperti bukan hanya satu suara, tapi banyak suara yang bertumpuk menjadi satu.La

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status