Murni menarik Aji keluar dari kamar melalui pintu belakang, seperti yang diperintahkan Raharjo. Langkah mereka tergesa-gesa, namun bayangan dingin yang mengikuti di belakang mereka semakin menambah beban di dada. Setiap langkah terasa berat, udara malam yang dingin menusuk tulang, dan suara-suara samar di kejauhan mengiringi mereka, seperti bisikan yang tak dapat dimengerti.Aji meremas tangan kakaknya dengan kuat, takut kehilangan pegangan. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya sedikit gemetar. “Mbak, sebenarnya siapa yang benar, dan siapa yang salah? Siapa yang teman dan siapa yang lawan?"Murni menoleh sejenak ke arah adiknya, namun pandangannya tertuju ke bayangan biru samar di kejauhan. Prana masih ada di sana, seperti melayang-layang, menjaga jarak namun tetap mengikuti mereka dengan langkah perlahan. Bayangan itu seperti pilar harapan yang menjulang di tengah kegelapan, meskipun aura misteriusnya tidak sepenuhnya membawa rasa aman."Sama sepertimu, Mbak juga masih bertanya-tanya, Ji.
Murni dan Aji terus melangkah tanpa arah yang jelas, menyusuri jalan setapak yang penuh duri dan akar-akar pohon menjulur. Hutan itu gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang remang-remang. Udara malam begitu dingin, seakan membekukan harapan yang tersisa. Tapi, di tengah keheningan itu, tekad untuk kembali ke desa mereka terus memupuk keberanian dalam hati.Setelah berjalan selama berjam-jam, mereka tiba di sebuah pondok kecil di tengah hutan. Pondok itu tampak tua dan nyaris roboh, tapi pintunya sedikit terbuka, mengisyaratkan kehadiran seseorang di dalamnya. Murni ragu sejenak, tapi kemudian mengetuk pintu dengan hati-hati.“Siapa di luar sana?” Suara tua dan serak terdengar dari dalam.“Kami… kami hanya butuh tempat untuk beristirahat,” jawab Murni dengan suara gemetar.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pria tua berambut putih kusut dengan jubah panjang yang tampak usang. Sorot matanya tajam, tapi ada kehangatan yang tersembunyi di balik kerut wajahnya. Ia memandang Mu
“Bapak! Bangun, Pak!” Murni masih memeluk tubuh Raharjo yang kini telah terbujur kaku. Beberapa kali ia menggoyangkan tubuh bapaknya, berharap agar laki-laki yang begitu ia cintai dapat membuka kedua matanya kembali. “Bu, ini ndak mungkin. Bapak belum meninggal kan, Bu?” tanya Murni yang kemudian beralih memeluk sang ibu yang juga duduk di samping jenazah suaminya. Memang sulit untuk dipercaya, tak ada angin tak ada hujan, Raharjo meninggal begitu saja. Dia yang lebih dikenal sebagai Juragan Harjo sama sekali tak sakit. Bahkan, pagi harinya Juragan Harjo masih mampu pergi menagih utang dari para warga yang kerap kali meminjam uang padanya. Raharjo merupakan seorang tuan tanah yang sangat disegani. Luasnya area lahan yang dia miliki, serta kekayaan yang mungkin tak akan habis untuk tujuh turunan membuatnya begitu berkuasa di desa itu, Desa Juwono namanya. “Murni … ikhlaskan bapakmu, Nduk,” ucap Lasmi seraya mengusap punggung putrinya itu dengan lembut. “Tapi, Bu. Murni ndak
Murni terkesiap. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini. Kain kafan bapaknya bergerak semakin nyata, seolah ada yang berusaha keluar dari dalam sana. Para pelayat pun saling berbisik, beberapa bahkan berlari menjauh, sementara yang lain masih terpaku di tempat, tak mampu mengalihkan pandangan mereka. "Mundur, Nduk! Mundur!" seru Lasmi dengan panik, menarik Murni menjauh dari jenazah Raharjo. Namun, Murni seperti tak mendengar teriakan ibunya, kedua matanya masih terpaku pada kain kafan yang perlahan tergerak ke kanan, seakan mengisyaratkan sesuatu. "Murniii ...." Murni menoleh, ke sana kemari mencari suara bisikan yang baru saja menelusup ke dalam telinganya. "Ba-Bapak ...," terbata Murni menyebut nama bapaknya. Iya, Murni sangat mengenali suara itu, suara sang ayah. "Kalian kenapa masih berdiri di sana? Tolong angkat Bapak," pinta Murni bersungguh-sungguh. Kasnan yang memang bekerja pada Juragan Raharjo pun lantas maju, dengan menyeret lengan Paim
Lasmi masih berdiri terdiam di ruang tamu, sorot matanya waspada dan napasnya terengah. Ketukan itu semakin keras, menggema, seolah-olah memaksa masuk. “Ji… kamu dengar itu?” bisik Murni, suaranya gemetar. Aji mengangguk, tangannya meremas lengan kakaknya untuk memberikan sedikit ketenangan. "Mbak, tunggu di sini. Biar aku lihat," katanya berusaha tenang, meski hatinya diliputi kegelisahan. Aji perlahan melangkah keluar kamar dan menuju pintu depan, setiap langkahnya terasa berat. Lasmi menunggu di ujung ruang tamu, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ketukan itu semakin kencang, nyaris seperti dobrakan. BRAK! BRAK! BRAK! Aji menggenggam pegangan pintu dengan tangan bergetar. Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka pintu itu perlahan, menahan rasa takut yang kian mencengkram. Namun, di luar hanya ada kegelapan yang pekat, tidak ada tanda-tanda siapa pun. “Aji, siapa itu?” tanya Lasmi dari belakang. Aji menatap ke luar dengan ragu, mencoba menembus kegelapan dengan mat
Malam semakin larut, suasana dalam rumah terasa semakin menegangkan. Ketiga anggota keluarga itu hanya bisa duduk terdiam, mendengarkan suara-suara aneh yang datang dari luar, disertai dengan derap langkah yang membuat jantung mereka berdegup kencang. Setiap detik terasa seperti satu jam. Ketika ketegangan semakin tak terkendali, Murni merasakan hawa mistis di sekelilingnya. "Bu, bagaimana jika itu benar-benar Bapak?" tanyanya, suaranya bergetar. "Aku... aku ndak mau percaya kalau Bapak sudah pergi." Lasmi mengusap punggung Murni, berusaha menenangkannya. "Kita harus percaya, Murni. Yang kita lihat barusan adalah sesuatu yang lain. Kekuatan jahat sedang berusaha memanfaatkan kerinduanmu kepada Bapak." "Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bu?" tanya Aji kemudian. Dia merasa perlu melakukan sesuatu untuk melindungi keluarganya, karena memang dirinyalah kini yang menjadi satu-satunya lelaki di keluarga Raharjo. “Jangan berpikir macam-macam!" jawab Lasmi tegas. "Kita tidak bisa mem
Ketiganya berjalan menyusuri pemakaman menuju pintu keluar. Saat itulah, seorang pria tua tampak berdiri di bawah pohon besar di pinggir jalan setapak. Penampilannya lusuh, pakaian yang ia kenakan terlihat usang, kotor, dan penuh tambalan. Ia memegang tongkat kayu yang panjang, berfungsi sebagai penopang sekaligus alat bantu berjalan. Saat melihat Lasmi dan kedua anaknya, pria tua itu tersenyum tipis, memperlihatkan gigi-giginya yang sudah tak utuh lagi.Saat tatapan dari pria tua itu jatuh pada Murni, tiba-tiba saja Murni merasa ada hawa tak nyaman, dan ia menggenggam lengan ibunya lebih erat. Namun, pria itu justru melangkah perlahan mendekati mereka, matanya yang sayu menatap tajam ke arah Murni. Ada sorot mata yang sulit dijelaskan, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tak diketahui siapa pun. "Cah Ayu…," gumamnya, mengendus-endus udara seakan ingin menangkap aroma dari arah tubuh Murni. Sontak saja gadis itu segera melangkah mundur dengan perasaan risih, merasa dipelototi oleh oran
Murni duduk di tepi tempat tidur, pandangannya kosong menatap ke arah jendela yang tersibak. Bayangan tentang pria tua di pemakaman, kata-katanya yang samar, dan sosok arwah Raharjo yang hadir dalam keheningan malam itu seolah terus menghantui pikirannya. Bulan di langit memancarkan cahaya yang sayu, sinarnya memudar di balik tirai yang bergerak pelan ditiup angin malam. Sunyi, begitu mencekam, hingga setiap detak jantung Murni terdengar dalam dada."Mungkinkah Bapak belum pergi…?" gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar di tengah kesunyian.Namun tiba-tiba, suara ketukan halus terdengar, datang dari balik dinding di samping tempat tidurnya. Suara itu mengetuk pelan, seolah mengetuk batinnya yang diliputi rasa takut. Murni menggigit bibirnya, berharap suara itu hanyalah ilusi. Ia menutup matanya rapat-rapat, menahan napas, tetapi ketukan itu semakin keras, membuatnya tak mampu mengabaikannya lagi.Tok... tok... tok...Hawa dingin merayap di tengkuknya, membuat bulu kuduknya mere
Murni dan Aji terus melangkah tanpa arah yang jelas, menyusuri jalan setapak yang penuh duri dan akar-akar pohon menjulur. Hutan itu gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang remang-remang. Udara malam begitu dingin, seakan membekukan harapan yang tersisa. Tapi, di tengah keheningan itu, tekad untuk kembali ke desa mereka terus memupuk keberanian dalam hati.Setelah berjalan selama berjam-jam, mereka tiba di sebuah pondok kecil di tengah hutan. Pondok itu tampak tua dan nyaris roboh, tapi pintunya sedikit terbuka, mengisyaratkan kehadiran seseorang di dalamnya. Murni ragu sejenak, tapi kemudian mengetuk pintu dengan hati-hati.“Siapa di luar sana?” Suara tua dan serak terdengar dari dalam.“Kami… kami hanya butuh tempat untuk beristirahat,” jawab Murni dengan suara gemetar.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pria tua berambut putih kusut dengan jubah panjang yang tampak usang. Sorot matanya tajam, tapi ada kehangatan yang tersembunyi di balik kerut wajahnya. Ia memandang Mu
Murni menarik Aji keluar dari kamar melalui pintu belakang, seperti yang diperintahkan Raharjo. Langkah mereka tergesa-gesa, namun bayangan dingin yang mengikuti di belakang mereka semakin menambah beban di dada. Setiap langkah terasa berat, udara malam yang dingin menusuk tulang, dan suara-suara samar di kejauhan mengiringi mereka, seperti bisikan yang tak dapat dimengerti.Aji meremas tangan kakaknya dengan kuat, takut kehilangan pegangan. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya sedikit gemetar. “Mbak, sebenarnya siapa yang benar, dan siapa yang salah? Siapa yang teman dan siapa yang lawan?"Murni menoleh sejenak ke arah adiknya, namun pandangannya tertuju ke bayangan biru samar di kejauhan. Prana masih ada di sana, seperti melayang-layang, menjaga jarak namun tetap mengikuti mereka dengan langkah perlahan. Bayangan itu seperti pilar harapan yang menjulang di tengah kegelapan, meskipun aura misteriusnya tidak sepenuhnya membawa rasa aman."Sama sepertimu, Mbak juga masih bertanya-tanya, Ji.
Murni menarik Aji ke belakang, tubuhnya gemetar hebat. Sosok di ambang pintu tetap diam, hanya menatap mereka dengan mata merah menyala. Suara napasnya terdengar berat, bergema di dalam rumah kosong itu. “Aji, jangan lihat ke arahnya!” bisik Murni, berusaha menyembunyikan ketakutannya. Ia melangkah mundur, perlahan menjauh dari pintu. Sebaliknya, Aji tak bisa mengalihkan pandangannya, seolah terhipnotis oleh tatapan makhluk itu. “Keluar…” Suara serak menggema dari sosok itu, pelan namun penuh ancaman. Kata itu seperti memerintah, memaksa, mengikat mereka dalam ketakutan. Murni menggeleng cepat. “Kita tidak boleh keluar! Pak Prawiro bilang jangan keluar!” Ia memeluk Aji erat, mencoba melindunginya meskipun tubuhnya sendiri gemetar tanpa henti. Sosok itu melangkah maju, kain kafannya berderak pelan seiring gerakannya. Setiap langkahnya membuat udara di dalam ruangan semakin dingin. Kabut tipis mulai merembes masuk melalui celah-celah dinding, membawa bau anyir yang membuat Murni mua
Murni dan Aji mengikuti Prawiro dengan langkah ragu, menembus hutan yang semakin gelap dan sunyi. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah tanah di bawah kaki mereka mencoba menahan perjalanan mereka. Namun, tatapan tegas Prawiro memberikan rasa aman meski hanya sedikit. Obor kecil di tangannya menjadi satu-satunya sumber cahaya di tengah kegelapan malam. "Apa desa itu benar-benar aman, Pak?" tanya Murni, suaranya pelan namun penuh kekhawatiran. "Selama kalian berada di bawah perlindunganku, kalian akan aman," jawab Prawiro tanpa menoleh. Suaranya tegas, namun ada nada ketegangan yang sulit disembunyikan. Aji, yang berjalan di samping Murni, menarik-narik lengan kakaknya. "Mbak, kenapa kita nggak langsung pulang saja? Kenapa harus ke desa itu?" Murni menunduk, mencoba memberikan senyum yang menenangkan kepada adiknya. "Percaya sama Mbak, Ji. Kita akan baik-baik saja." Namun, jawaban itu tidak cukup menenangkan Aji. Ia merasakan sesuatu yang aneh sejak pria tua itu muncul, meski i
Di tengah malam yang sunyi, di rumah kecil Raharjo tempat Murni dan Aji tinggal, suara aneh mulai terdengar dari luar. Angin berhembus kencang, menciptakan suara desis seperti bisikan yang menyeramkan. Di dalam rumah, Murni memeluk Aji yang tertidur di pangkuannya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi tidak tahu pasti apa itu. Tiba-tiba, lampu di rumahnya berkedip-kedip sebelum padam sepenuhnya. Suasana menjadi gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar-samar masuk melalui jendela. Dari luar, suara langkah berat terdengar, seolah ada sesuatu yang besar mendekat. Murni merasa napasnya tertahan, tubuhnya gemetar. Ia mencoba membangunkan Aji. Pintu rumah berderit pelan, lalu terbuka dengan sendirinya. Di ambang pintu, sosok itu muncul—Danyang. Tinggi, menyeramkan, dan mengeluarkan aura kegelapan yang begitu pekat. Matanya bersinar merah menyala, sementara tubuhnya diselimuti kabut hitam yang terus bergerak seperti hidup. Murni mundur, memeluk Aji erat-erat. "
Tubuh Raharjo yang baru saja bergerak itu kini bangkit sepenuhnya dari lantai gua. Namun, gerakannya terasa asing. Ia bergerak seperti boneka yang sedang dipaksa berdiri oleh tali yang tak terlihat. Prawiro menyaksikan semuanya dengan mata terbelalak. Kekuatan besar yang ia panggil telah berhasil, tetapi apa yang berdiri di hadapannya bukan lagi sepenuhnya Raharjo. Itu adalah sesuatu yang lain—sesuatu yang hanya menggunakan tubuh adiknya sebagai wadah. "Bangkitlah, Harjo," ulang Prawiro dengan suara yang sedikit bergetar. "Kini saatnya kau melindungi mereka." Raharjo, atau apapun yang kini berada dalam tubuhnya, menoleh ke arah Prawiro dengan gerakan yang kaku. Matanya memancarkan cahaya redup, seperti bara api yang hampir padam. "Melindungi...?" suaranya serak, menggema di dalam gua. "Apa kau tahu apa yang telah kau lakukan, Prawiro?" Prawiro terdiam, tubuhnya gemetar. "Aku tahu... aku tahu jika yang aku lakukan ini salah, tapi aku tak punya pilihan! Mereka—anak-anakmu—mereka akan
Di dalam gua yang tersembunyi di balik hutan lebat, Prawiro berdiri di tengah kegelapan, menyirami sesosok tubuh yang terbungkus kain kafan dengan air bercampur minyak misik dan bunga setaman. Suasana di sekitar gua itu terasa berat, dan udara dingin malam berdesir lembut, membawa aroma tanah basah yang menyeruak. Prawiro menatap tubuh yang terbaring diam, wajahnya masih dapat ia kenali. Namun, ada sesuatu yang begitu akrab. Senyumannya tetap terukir, meskipun ada kesan kesedihan yang tak terungkapkan.Dengan tangan yang halus, Prawiro memegang kendi tanah yang sudah hampir kosong, memercikkan air itu ke tubuh yang terbungkus kafan yang sudah tampak lusuh itu. Secara perlahan, suara lembut lagu Jawa mengalun dari bibirnya. Lagu itu tidak hanya sekedar melodi; setiap baitnya adalah doa, adalah pengorbanan, adalah harapan yang diselubungi penyesalan."Harjo, adikku... jangan khawatirkan apa yang telah terjadi. Anak-anakmu masih kulindungi. Karmamu sudah terjalani, saatnya kini untukku m
Malam itu memang terasa lebih dingin daripada biasanya. Angin yang bertiup seolah-olah membawa pesan dari kegelapan, sementara suara-suara malam terdengar semakin mencekam. Murni dan Aji tidak tidur semalaman. Mereka berjaga-jaga, duduk di ruang tengah dengan pisau dapur dan kayu bakar sebagai senjata seadanya. Piring tanah busuk berbelatung itu mereka bungkus dengan plastik dan letakkan di sudut ruangan. Namun, meskipun dibungkus rapat, bau busuknya tetap saja menguar, menambah rasa mual dan ketegangan di dalam rumah.Ketika cahaya pertama matahari mulai menyembul di ufuk timur, Murni memutuskan bahwa mereka harus segera pergi menemui Nyai Warsih.“Ayo, Ji. Kita bawa ini sekarang. Sebelum hal lain terjadi,” ucap Murni tegas.Aji mengangguk setuju. Ia mengambil plastik yang berisi piring itu dengan hati-hati, seolah-olah memegang benda yang bisa meledak kapan saja.Mereka berjalan cepat menuju rumah Nyai Warsih. Jalanan desa masih sepi, hanya suara ayam berkokok dan anjing menggonggon
Beberapa waktu berlalu sejak pertemuan terakhir dengan Danyang di tepi hutan. Desa Juwono perlahan kembali hidup. Kehangatan matahari yang menyentuh dedaunan menciptakan pemandangan menyejukkan hati. Suara burung-burung kembali riang berkicau di pagi hari, dan warga desa mulai beraktivitas dengan semangat yang baru. Meski masih ada segelintir penduduk yang memendam ketakutan terhadap kehadiran Murni dan Aji, suasana desa tak lagi diliputi kecurigaan seperti sebelumnya. Terlebih setelah Nyai Warsih memimpin doa bersama di lapangan desa, memohon perlindungan bagi seluruh warga dan memulai kembali kehidupan mereka yang baru. Di salah satu sudut desa, rumah Raharjo yang dulu terlihat kusam dan dipenuhi aura gelap kini menjadi pusat perhatian. Para warga bahu-membahu membantu memperbaiki rumah itu. Mereka memperbaiki atap yang bocor, mengganti pintu yang rusak, dan membersihkan halaman yang dulu ditumbuhi semak belukar. “Ini bukan hanya rumah kalian, Murni. Ini adalah bagian dari des