Kabut semakin tebal saat mereka melangkah menuju makam tua yang disebut Kyai Hasan. Hutan itu terasa seperti labirin yang hidup, dengan suara-suara aneh yang terdengar dari segala arah. Pohon-pohon besar melengkung seperti sosok yang mengintai, dan udara dingin mencubit kulit mereka.“Kyai, apa yang sebenarnya ada di makam itu?” tanya Aji, mencoba memecah kesunyian yang menyesakkan.“Lindung Sukma adalah roh penjaga yang diciptakan untuk melindungi tanah ini di masa lalu,” jelas Kyai Hasan. “Namun, ketika keserakahan manusia menghancurkan keseimbangan alam, roh itu berubah menjadi kekuatan gelap. Sekarang, ia menjadi sumber dari semua kutukan ini.”“Apa mungkin kita bisa mengalahkan sesuatu yang sekuat itu?” tanya Murni ragu.“Kita harus mencobanya,” jawab Kyai Hasan tegas. “Kita tidak punya pilihan lain.”Setelah berjalan beberapa jam, mereka tiba di depan sebuah gerbang batu yang besar dan berlumut. Gerbang itu dihiasi dengan ukiran simbol-simbol aneh, mirip dengan yang mereka lihat
Kabut hitam semakin pekat, seolah mencengkeram seluruh dunia mereka. Pusaran kekuatan Lindung Sukma semakin kuat, menarik mereka lebih dekat ke dalam kegelapan yang mengancam. Tanah di bawah kaki mereka bergetar hebat, dan suara gemuruh yang datang dari dalam makam semakin menakutkan, seakan dunia ini akan runtuh.“Kita harus segera menghadapinya!” teriak Kyai Hasan, suaranya penuh tekad.“Apa yang harus kita lakukan?” Murni berteriak, tubuhnya mulai terasa lelah dan nyaris tak bisa bergerak. Tangan bayangan yang terus menerjangnya membuatnya semakin merasa terhimpit.“Kita harus menghancurkan inti kekuatannya, sumber dari kebencian dan kerusakan ini!” Kyai Hasan berlari ke arah batu nisan besar yang terletak di tengah lingkaran sulur hitam. Ia memegang kerisnya dengan erat, menatap Aji dan Murni yang masih bertahan melawan bayangan.“Tolong bantu aku!” Kyai Hasan memanggil mereka.Aji dan Murni segera menyusul Kyai Hasan, berlari melewati tanah yang terpecah-pecah dan tangan bayangan
Lima tahun telah berlalu sejak mereka berhasil mengalahkan Lindung Sukma dan mengembalikan kedamaian di Desa Juwono. Desa itu kini berubah menjadi tempat yang lebih sejahtera dan harmonis. Sawah-sawah yang dulunya terbengkalai kini menghijau, sungai yang sebelumnya keruh mengalir jernih, dan udara yang dulu dipenuhi ketakutan kini beraroma segar dan penuh harapan.Murni, yang telah menyembuhkan banyak luka batin akibat masa lalu kelam desa itu, kini menjalani hidup yang lebih tenang. Ia sudah mulai menemukan kedamaian dalam dirinya. Kehidupan baru yang lebih cerah juga hadir dalam bentuk Joko, seorang pria muda yang telah mencuri perhatian Murni sejak beberapa tahun lalu. Joko adalah seorang petani muda yang bekerja keras, namun juga memiliki hati yang baik. Ia tidak pernah ragu untuk membantu orang lain, dan senyumnya selalu memberikan rasa damai bagi siapa saja yang melihatnya.Murni, yang tadinya lebih tertutup dan melawan rasa sakit yang datang dari dalam, mulai merasa nyaman bera
“Bapak! Bangun, Pak!” Murni masih memeluk tubuh Raharjo yang kini telah terbujur kaku. Beberapa kali ia menggoyangkan tubuh bapaknya, berharap agar laki-laki yang begitu ia cintai dapat membuka kedua matanya kembali. “Bu, ini ndak mungkin. Bapak belum meninggal kan, Bu?” tanya Murni yang kemudian beralih memeluk sang ibu yang juga duduk di samping jenazah suaminya. Memang sulit untuk dipercaya, tak ada angin tak ada hujan, Raharjo meninggal begitu saja. Dia yang lebih dikenal sebagai Juragan Harjo sama sekali tak sakit. Bahkan, pagi harinya Juragan Harjo masih mampu pergi menagih utang dari para warga yang kerap kali meminjam uang padanya. Raharjo merupakan seorang tuan tanah yang sangat disegani. Luasnya area lahan yang dia miliki, serta kekayaan yang mungkin tak akan habis untuk tujuh turunan membuatnya begitu berkuasa di desa itu, Desa Juwono namanya. “Murni … ikhlaskan bapakmu, Nduk,” ucap Lasmi seraya mengusap punggung putrinya itu dengan lembut. “Tapi, Bu. Murni ndak
Murni terkesiap. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini. Kain kafan bapaknya bergerak semakin nyata, seolah ada yang berusaha keluar dari dalam sana. Para pelayat pun saling berbisik, beberapa bahkan berlari menjauh, sementara yang lain masih terpaku di tempat, tak mampu mengalihkan pandangan mereka. "Mundur, Nduk! Mundur!" seru Lasmi dengan panik, menarik Murni menjauh dari jenazah Raharjo. Namun, Murni seperti tak mendengar teriakan ibunya, kedua matanya masih terpaku pada kain kafan yang perlahan tergerak ke kanan, seakan mengisyaratkan sesuatu. "Murniii ...." Murni menoleh, ke sana kemari mencari suara bisikan yang baru saja menelusup ke dalam telinganya. "Ba-Bapak ...," terbata Murni menyebut nama bapaknya. Iya, Murni sangat mengenali suara itu, suara sang ayah. "Kalian kenapa masih berdiri di sana? Tolong angkat Bapak," pinta Murni bersungguh-sungguh. Kasnan yang memang bekerja pada Juragan Raharjo pun lantas maju, dengan menyeret lengan Paim
Lasmi masih berdiri terdiam di ruang tamu, sorot matanya waspada dan napasnya terengah. Ketukan itu semakin keras, menggema, seolah-olah memaksa masuk. “Ji… kamu dengar itu?” bisik Murni, suaranya gemetar. Aji mengangguk, tangannya meremas lengan kakaknya untuk memberikan sedikit ketenangan. "Mbak, tunggu di sini. Biar aku lihat," katanya berusaha tenang, meski hatinya diliputi kegelisahan. Aji perlahan melangkah keluar kamar dan menuju pintu depan, setiap langkahnya terasa berat. Lasmi menunggu di ujung ruang tamu, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ketukan itu semakin kencang, nyaris seperti dobrakan. BRAK! BRAK! BRAK! Aji menggenggam pegangan pintu dengan tangan bergetar. Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka pintu itu perlahan, menahan rasa takut yang kian mencengkram. Namun, di luar hanya ada kegelapan yang pekat, tidak ada tanda-tanda siapa pun. “Aji, siapa itu?” tanya Lasmi dari belakang. Aji menatap ke luar dengan ragu, mencoba menembus kegelapan dengan mat
Malam semakin larut, suasana dalam rumah terasa semakin menegangkan. Ketiga anggota keluarga itu hanya bisa duduk terdiam, mendengarkan suara-suara aneh yang datang dari luar, disertai dengan derap langkah yang membuat jantung mereka berdegup kencang. Setiap detik terasa seperti satu jam. Ketika ketegangan semakin tak terkendali, Murni merasakan hawa mistis di sekelilingnya. "Bu, bagaimana jika itu benar-benar Bapak?" tanyanya, suaranya bergetar. "Aku... aku ndak mau percaya kalau Bapak sudah pergi." Lasmi mengusap punggung Murni, berusaha menenangkannya. "Kita harus percaya, Murni. Yang kita lihat barusan adalah sesuatu yang lain. Kekuatan jahat sedang berusaha memanfaatkan kerinduanmu kepada Bapak." "Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bu?" tanya Aji kemudian. Dia merasa perlu melakukan sesuatu untuk melindungi keluarganya, karena memang dirinyalah kini yang menjadi satu-satunya lelaki di keluarga Raharjo. “Jangan berpikir macam-macam!" jawab Lasmi tegas. "Kita tidak bisa mem
Ketiganya berjalan menyusuri pemakaman menuju pintu keluar. Saat itulah, seorang pria tua tampak berdiri di bawah pohon besar di pinggir jalan setapak. Penampilannya lusuh, pakaian yang ia kenakan terlihat usang, kotor, dan penuh tambalan. Ia memegang tongkat kayu yang panjang, berfungsi sebagai penopang sekaligus alat bantu berjalan. Saat melihat Lasmi dan kedua anaknya, pria tua itu tersenyum tipis, memperlihatkan gigi-giginya yang sudah tak utuh lagi.Saat tatapan dari pria tua itu jatuh pada Murni, tiba-tiba saja Murni merasa ada hawa tak nyaman, dan ia menggenggam lengan ibunya lebih erat. Namun, pria itu justru melangkah perlahan mendekati mereka, matanya yang sayu menatap tajam ke arah Murni. Ada sorot mata yang sulit dijelaskan, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tak diketahui siapa pun. "Cah Ayu…," gumamnya, mengendus-endus udara seakan ingin menangkap aroma dari arah tubuh Murni. Sontak saja gadis itu segera melangkah mundur dengan perasaan risih, merasa dipelototi oleh oran
Lima tahun telah berlalu sejak mereka berhasil mengalahkan Lindung Sukma dan mengembalikan kedamaian di Desa Juwono. Desa itu kini berubah menjadi tempat yang lebih sejahtera dan harmonis. Sawah-sawah yang dulunya terbengkalai kini menghijau, sungai yang sebelumnya keruh mengalir jernih, dan udara yang dulu dipenuhi ketakutan kini beraroma segar dan penuh harapan.Murni, yang telah menyembuhkan banyak luka batin akibat masa lalu kelam desa itu, kini menjalani hidup yang lebih tenang. Ia sudah mulai menemukan kedamaian dalam dirinya. Kehidupan baru yang lebih cerah juga hadir dalam bentuk Joko, seorang pria muda yang telah mencuri perhatian Murni sejak beberapa tahun lalu. Joko adalah seorang petani muda yang bekerja keras, namun juga memiliki hati yang baik. Ia tidak pernah ragu untuk membantu orang lain, dan senyumnya selalu memberikan rasa damai bagi siapa saja yang melihatnya.Murni, yang tadinya lebih tertutup dan melawan rasa sakit yang datang dari dalam, mulai merasa nyaman bera
Kabut hitam semakin pekat, seolah mencengkeram seluruh dunia mereka. Pusaran kekuatan Lindung Sukma semakin kuat, menarik mereka lebih dekat ke dalam kegelapan yang mengancam. Tanah di bawah kaki mereka bergetar hebat, dan suara gemuruh yang datang dari dalam makam semakin menakutkan, seakan dunia ini akan runtuh.“Kita harus segera menghadapinya!” teriak Kyai Hasan, suaranya penuh tekad.“Apa yang harus kita lakukan?” Murni berteriak, tubuhnya mulai terasa lelah dan nyaris tak bisa bergerak. Tangan bayangan yang terus menerjangnya membuatnya semakin merasa terhimpit.“Kita harus menghancurkan inti kekuatannya, sumber dari kebencian dan kerusakan ini!” Kyai Hasan berlari ke arah batu nisan besar yang terletak di tengah lingkaran sulur hitam. Ia memegang kerisnya dengan erat, menatap Aji dan Murni yang masih bertahan melawan bayangan.“Tolong bantu aku!” Kyai Hasan memanggil mereka.Aji dan Murni segera menyusul Kyai Hasan, berlari melewati tanah yang terpecah-pecah dan tangan bayangan
Kabut semakin tebal saat mereka melangkah menuju makam tua yang disebut Kyai Hasan. Hutan itu terasa seperti labirin yang hidup, dengan suara-suara aneh yang terdengar dari segala arah. Pohon-pohon besar melengkung seperti sosok yang mengintai, dan udara dingin mencubit kulit mereka.“Kyai, apa yang sebenarnya ada di makam itu?” tanya Aji, mencoba memecah kesunyian yang menyesakkan.“Lindung Sukma adalah roh penjaga yang diciptakan untuk melindungi tanah ini di masa lalu,” jelas Kyai Hasan. “Namun, ketika keserakahan manusia menghancurkan keseimbangan alam, roh itu berubah menjadi kekuatan gelap. Sekarang, ia menjadi sumber dari semua kutukan ini.”“Apa mungkin kita bisa mengalahkan sesuatu yang sekuat itu?” tanya Murni ragu.“Kita harus mencobanya,” jawab Kyai Hasan tegas. “Kita tidak punya pilihan lain.”Setelah berjalan beberapa jam, mereka tiba di depan sebuah gerbang batu yang besar dan berlumut. Gerbang itu dihiasi dengan ukiran simbol-simbol aneh, mirip dengan yang mereka lihat
Murni dan Aji terus melangkah, meninggalkan rumah yang penuh tipuan itu. Mereka tahu perjuangan belum selesai. Desa Juwono masih dipenuhi misteri yang membelit, dan setiap sudutnya mengintai bahaya tak terduga.Kabut semakin pekat, membuat pandangan mereka terbatas. Langkah-langkah kecil terasa berat karena tanah berlumpur yang seakan menahan kaki mereka. Namun, tekad untuk menghentikan kutukan yang melanda desa terus memacu keberanian mereka.Saat mereka menyusuri jalan setapak yang sepi, terdengar suara-suara bisikan aneh dari arah pepohonan. Murni dan Aji berhenti, menatap sekitar dengan waspada. Pohon-pohon besar yang menjulang tampak seperti sosok hidup, ranting-rantingnya melambai-lambai seolah ingin menangkap mereka.“Jangan menoleh ke belakang, Ji,” bisik Murni.Aji mengangguk, tetapi tubuhnya gemetar. Ia bisa merasakan sesuatu mengikuti mereka, namun ia berusaha fokus pada langkah di depannya. Tiba-tiba, angin dingin bertiup kencang, membawa aroma busuk yang menusuk hidung. D
Murni dan Aji terus melangkah tanpa arah yang jelas, menyusuri jalan setapak yang penuh duri dan akar-akar pohon menjulur. Hutan itu gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang remang-remang. Udara malam begitu dingin, seakan membekukan harapan yang tersisa. Tapi, di tengah keheningan itu, tekad untuk kembali ke desa mereka terus memupuk keberanian dalam hati.Setelah berjalan selama berjam-jam, mereka tiba di sebuah pondok kecil di tengah hutan. Pondok itu tampak tua dan nyaris roboh, tapi pintunya sedikit terbuka, mengisyaratkan kehadiran seseorang di dalamnya. Murni ragu sejenak, tapi kemudian mengetuk pintu dengan hati-hati.“Siapa di luar sana?” Suara tua dan serak terdengar dari dalam.“Kami… kami hanya butuh tempat untuk beristirahat,” jawab Murni dengan suara gemetar.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pria tua berambut putih kusut dengan jubah panjang yang tampak usang. Sorot matanya tajam, tapi ada kehangatan yang tersembunyi di balik kerut wajahnya. Ia memandang Mu
Murni menarik Aji keluar dari kamar melalui pintu belakang, seperti yang diperintahkan Raharjo. Langkah mereka tergesa-gesa, namun bayangan dingin yang mengikuti di belakang mereka semakin menambah beban di dada. Setiap langkah terasa berat, udara malam yang dingin menusuk tulang, dan suara-suara samar di kejauhan mengiringi mereka, seperti bisikan yang tak dapat dimengerti.Aji meremas tangan kakaknya dengan kuat, takut kehilangan pegangan. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya sedikit gemetar. “Mbak, sebenarnya siapa yang benar, dan siapa yang salah? Siapa yang teman dan siapa yang lawan?"Murni menoleh sejenak ke arah adiknya, namun pandangannya tertuju ke bayangan biru samar di kejauhan. Prana masih ada di sana, seperti melayang-layang, menjaga jarak namun tetap mengikuti mereka dengan langkah perlahan. Bayangan itu seperti pilar harapan yang menjulang di tengah kegelapan, meskipun aura misteriusnya tidak sepenuhnya membawa rasa aman."Sama sepertimu, Mbak juga masih bertanya-tanya, Ji.
Murni menarik Aji ke belakang, tubuhnya gemetar hebat. Sosok di ambang pintu tetap diam, hanya menatap mereka dengan mata merah menyala. Suara napasnya terdengar berat, bergema di dalam rumah kosong itu. “Aji, jangan lihat ke arahnya!” bisik Murni, berusaha menyembunyikan ketakutannya. Ia melangkah mundur, perlahan menjauh dari pintu. Sebaliknya, Aji tak bisa mengalihkan pandangannya, seolah terhipnotis oleh tatapan makhluk itu. “Keluar…” Suara serak menggema dari sosok itu, pelan namun penuh ancaman. Kata itu seperti memerintah, memaksa, mengikat mereka dalam ketakutan. Murni menggeleng cepat. “Kita tidak boleh keluar! Pak Prawiro bilang jangan keluar!” Ia memeluk Aji erat, mencoba melindunginya meskipun tubuhnya sendiri gemetar tanpa henti. Sosok itu melangkah maju, kain kafannya berderak pelan seiring gerakannya. Setiap langkahnya membuat udara di dalam ruangan semakin dingin. Kabut tipis mulai merembes masuk melalui celah-celah dinding, membawa bau anyir yang membuat Murni mua
Murni dan Aji mengikuti Prawiro dengan langkah ragu, menembus hutan yang semakin gelap dan sunyi. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah tanah di bawah kaki mereka mencoba menahan perjalanan mereka. Namun, tatapan tegas Prawiro memberikan rasa aman meski hanya sedikit. Obor kecil di tangannya menjadi satu-satunya sumber cahaya di tengah kegelapan malam. "Apa desa itu benar-benar aman, Pak?" tanya Murni, suaranya pelan namun penuh kekhawatiran. "Selama kalian berada di bawah perlindunganku, kalian akan aman," jawab Prawiro tanpa menoleh. Suaranya tegas, namun ada nada ketegangan yang sulit disembunyikan. Aji, yang berjalan di samping Murni, menarik-narik lengan kakaknya. "Mbak, kenapa kita nggak langsung pulang saja? Kenapa harus ke desa itu?" Murni menunduk, mencoba memberikan senyum yang menenangkan kepada adiknya. "Percaya sama Mbak, Ji. Kita akan baik-baik saja." Namun, jawaban itu tidak cukup menenangkan Aji. Ia merasakan sesuatu yang aneh sejak pria tua itu muncul, meski i
Di tengah malam yang sunyi, di rumah kecil Raharjo tempat Murni dan Aji tinggal, suara aneh mulai terdengar dari luar. Angin berhembus kencang, menciptakan suara desis seperti bisikan yang menyeramkan. Di dalam rumah, Murni memeluk Aji yang tertidur di pangkuannya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi tidak tahu pasti apa itu. Tiba-tiba, lampu di rumahnya berkedip-kedip sebelum padam sepenuhnya. Suasana menjadi gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar-samar masuk melalui jendela. Dari luar, suara langkah berat terdengar, seolah ada sesuatu yang besar mendekat. Murni merasa napasnya tertahan, tubuhnya gemetar. Ia mencoba membangunkan Aji. Pintu rumah berderit pelan, lalu terbuka dengan sendirinya. Di ambang pintu, sosok itu muncul—Danyang. Tinggi, menyeramkan, dan mengeluarkan aura kegelapan yang begitu pekat. Matanya bersinar merah menyala, sementara tubuhnya diselimuti kabut hitam yang terus bergerak seperti hidup. Murni mundur, memeluk Aji erat-erat. "