Kabut hitam semakin pekat, seolah mencengkeram seluruh dunia mereka. Pusaran kekuatan Lindung Sukma semakin kuat, menarik mereka lebih dekat ke dalam kegelapan yang mengancam. Tanah di bawah kaki mereka bergetar hebat, dan suara gemuruh yang datang dari dalam makam semakin menakutkan, seakan dunia ini akan runtuh.“Kita harus segera menghadapinya!” teriak Kyai Hasan, suaranya penuh tekad.“Apa yang harus kita lakukan?” Murni berteriak, tubuhnya mulai terasa lelah dan nyaris tak bisa bergerak. Tangan bayangan yang terus menerjangnya membuatnya semakin merasa terhimpit.“Kita harus menghancurkan inti kekuatannya, sumber dari kebencian dan kerusakan ini!” Kyai Hasan berlari ke arah batu nisan besar yang terletak di tengah lingkaran sulur hitam. Ia memegang kerisnya dengan erat, menatap Aji dan Murni yang masih bertahan melawan bayangan.“Tolong bantu aku!” Kyai Hasan memanggil mereka.Aji dan Murni segera menyusul Kyai Hasan, berlari melewati tanah yang terpecah-pecah dan tangan bayangan
Lima tahun telah berlalu sejak mereka berhasil mengalahkan Lindung Sukma dan mengembalikan kedamaian di Desa Juwono. Desa itu kini berubah menjadi tempat yang lebih sejahtera dan harmonis. Sawah-sawah yang dulunya terbengkalai kini menghijau, sungai yang sebelumnya keruh mengalir jernih, dan udara yang dulu dipenuhi ketakutan kini beraroma segar dan penuh harapan.Murni, yang telah menyembuhkan banyak luka batin akibat masa lalu kelam desa itu, kini menjalani hidup yang lebih tenang. Ia sudah mulai menemukan kedamaian dalam dirinya. Kehidupan baru yang lebih cerah juga hadir dalam bentuk Joko, seorang pria muda yang telah mencuri perhatian Murni sejak beberapa tahun lalu. Joko adalah seorang petani muda yang bekerja keras, namun juga memiliki hati yang baik. Ia tidak pernah ragu untuk membantu orang lain, dan senyumnya selalu memberikan rasa damai bagi siapa saja yang melihatnya.Murni, yang tadinya lebih tertutup dan melawan rasa sakit yang datang dari dalam, mulai merasa nyaman bera
Desa Juwono kini menjadi contoh bagi desa-desa di sekitarnya, dengan hasil panen melimpah, anak-anak yang mendapat pendidikan layak, dan hubungan antarsesama warga yang penuh harmoni. Namun, kedamaian ini mulai terguncang ketika kabar buruk dari desa tetangga, Desa Karangjati, sampai ke telinga warga. Suatu malam, saat Murni dan suaminya—Joko, dan Aji sedang duduk di balai desa untuk merencanakan festival panen yang akan datang, seorang lelaki tua dari Desa Karangjati datang tergopoh-gopoh dengan wajah pucat pasi. Pak Ratno, nama lelaki itu, tampak ketakutan. "Tolong... tolong bantu kami! Desa kami diserang oleh suatu wabah yang aneh!" serunya dengan suara bergetar. Murni berdiri, disusul kemudian dengan Joko yang lantas menenangkan lelaki itu. "Apa yang terjadi, Pak Ratno? Ceritakan perlahan." Pak Ratno menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Hewan-hewan kami mati tanpa sebab, sawah-sawah mengering seketika, dan orang-orang mulai mendengar suara-suara aneh di malam hari.
Joko berdiri terpaku di depan mulut gua yang gelap. Angin dingin yang keluar dari dalam gua membuat bulu kuduk mereka meremang. Pak Jiman memegang bahu Joko dengan tangan gemetar. “Mas Joko, gua ini sepertinya tempat yang keramat. Bisa jadi ada sesuatu di dalam sana yang tidak boleh diganggu. Apa tidak sebaiknya kita melapor ke sesepuh desa dulu?” Joko menoleh, lalu menggeleng perlahan. “Pak Jiman, semakin lama kita menunggu, semakin parah keadaan Desa Karangjati. Kita sudah sampai sejauh ini. Saya tidak akan masuk terlalu dalam, hanya akan melihat apa yang ada di bagian depan gua.” Beberapa warga saling berpandangan, ragu untuk melangkah lebih jauh. Namun, rasa penasaran dan tanggung jawab akhirnya membuat mereka mengikuti langkah Joko. Di mulut gua, mereka menemukan tanda-tanda yang aneh. Ada bekas jejak kaki manusia yang menuju ke dalam, bercampur dengan jejak kaki besar yang tidak dikenali. Jejak itu tampak seperti cakar, dengan garis-garis dalam di tanah lembek. “Jejak
Makhluk itu berdiri tegak di depan Joko dan warga, tubuhnya menjulang hingga hampir menyentuh langit-langit gua. Suaranya menggelegar, mengguncang dinding batu di sekitarnya.“Pergi dari sini!” raung makhluk itu. “Jika tidak, aku akan memastikan kalian tidak akan pernah keluar hidup-hidup!”Joko yang masih berdiri meski tubuhnya terasa sakit akibat benturan, mencoba menghadapi amukan makhluk tersebut. Namun, di balik keberaniannya, dia tahu ada bahaya besar yang mengintai.Pak Jiman berteriak panik, “Mas Joko, kita harus pergi sekarang! Ini sudah terlalu berbahaya!”Sebelum Joko sempat menjawab, makhluk itu mengangkat kedua tangannya yang besar, menciptakan angin kencang yang memadamkan semua obor. Kegelapan total melingkupi gua. Suara jeritan warga memenuhi udara, disertai gema langkah kaki berat yang mendekat cepat.“Lari! Cepat keluar!” seru salah seorang warga, mencoba memandu yang lain keluar dari gua.Namun, makhluk itu tidak tinggal diam. Ia menggeram marah, dan tanah di bawah
Di tengah perdebatan yang berlangsung di balai desa, langkah kaki cepat terdengar mendekat. Seorang pemuda dengan wajah yang penuh tekad muncul di ambang pintu. Dia adalah Aji, adik Murni yang kini sudah berusia 22 tahun. Wajahnya yang tirus namun tegas menunjukkan keberanian yang ia warisi dari keluarganya.“Mbak Murni, Mas Joko,” panggil Aji dengan nada serius. “Aku nggak bisa diam saja. Aku akan ikut kalian ke gua itu.”Murni menoleh dengan wajah terkejut. “Aji, kamu nggak boleh ikut! Ini terlalu berbahaya!”Aji berjalan mendekat dan berdiri di depan kakaknya. “Mbak, aku nggak peduli seberapa bahaya ini. Mbak adalah kakakku. Aku nggak akan membiarkan Mbak pergi sendirian menghadapi makhluk itu, bahkan jika Mas Joko ikut sekalipun.Murni memandang Aji dengan mata yang berkaca-kaca. “Aji, Mbak ndak mau kamu terluka. Ini bukan tentang keberanian, ini soal nyawa. Makhluk itu… dia mungkin sangat berbahaya.”Aji menggeleng dengan tegas, matanya penuh tekad. “Mbak, justru karena dia berba
Makhluk itu berhenti mendadak, matanya yang merah menyala menatap tajam ke arah Aji. Sorot matanya bagaikan bara api yang membakar, menusuk siapa pun yang berani menatapnya. Tawanya yang bergema membuat gua itu terasa semakin sempit dan mencekam, seolah-olah udara di dalamnya ditarik keluar, menyisakan ketegangan yang menyesakkan. “Hahaha! Jadi, kau membawakanku bukan hanya satu, tapi dua-duanya anak Harjo?" Makhluk itu berkata dengan nada mengejek, suaranya bergemuruh seperti guntur yang menggetarkan tanah. Lidah bercabangnya menjulur dari mulutnya yang lebar, melintasi deretan gigi tajam yang berkilauan. “Hebat! Aku tak menyangka kau akan sebaik ini memenuhi takdir kalian. Tentu saja, aku akan menikmatinya.” Aji berdiri di tempatnya, tubuhnya bergetar, tetapi ia menahan napas, memaksa dirinya untuk tetap tegak. Tangannya mengepal kuat-kuat di sisi tubuhnya, berusaha melawan rasa takut yang hampir melumpuhkannya. Ia menatap makhluk itu dengan mata yang menyalakan keberanian, meski
Murni menatap Aji dengan ekspresi panik, tangannya terulur hendak meraih adiknya. "Aji, jangan! Diam! Jangan bilang apa-apa!" serunya, suara bergetar penuh kecemasan. Aji menatap kakaknya, wajahnya penuh tekad meskipun napasnya berat. "Mbak, aku harus mengatakan ini. Aku sudah mengerti sekarang... siapa makhluk ini, siapa sebenarnya dia." Matanya menatap tajam ke arah makhluk yang mengancam mereka, yang masih tertawa dengan penuh penghinaan. Makhluk itu mencondongkan tubuhnya lebih dekat, seolah menikmati ketegangan yang terbangun. "Aji, Aji... kalian memang bodoh. Kau sudah tahu siapa aku, tapi kau masih berpikir bisa menakut-nakuti aku? Apa yang akan kau lakukan setelah tahu siapa aku?" Suaranya semakin mengancam, seakan-akan dia tahu betul kelemahan mereka. "Aku tahu siapa kamu," kata Aji dengan suara lebih keras, menekan setiap kata seolah itu adalah kenyataan yang tak bisa dibantah. "Kamu... adalah Prawiro." Makhluk itu terdiam sejenak, seakan terkejut dengan pernyataan A
Laras & Sopir Truk: Lolos dari Teror PocongSopir truk itu menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram setir erat-erat. Laras menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya bergetar hebat. Keduanya sama-sama tahu bahwa mereka sedang dikejar oleh sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.Jalanan semakin menurun tajam, membuat truk melaju lebih kencang. Namun, ketika sopir menoleh ke spion, jantungnya hampir berhenti berdetak.Sosok pocong itu masih ada di sana. Melompat-lompat, mendekat semakin cepat. Tubuhnya yang membusuk bergerak tidak wajar, sementara mulutnya yang menganga terus mengeluarkan suara parau:"Kembaaliii... Kembaaliiii...."Laras mencengkeram sabuk pengamannya erat-erat, air mata mulai menggenang di matanya. "Pak, jangan berhenti! Tolong, jangan berhenti apa pun yang terjadi!"Sopir truk mengangguk cepat, meskipun keringat dingin sudah membasahi dahinya. "Saya nggak akan berhenti, Mbak! Pegangan yang kuat!"Truk terus melaju di jalanan gelap, melewati tikungan demi tiku
Sopir truk itu mengguncang tubuh Laras dengan cemas. "Mbak! Sadar, Mbak! Kamu dari mana?! Kok tiba-tiba muncul dari hutan?!" Laras terhuyung sedikit, kesadarannya masih berkabut. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya. Ia menatap sopir itu dengan mata kosong, sebelum akhirnya berbisik dengan suara serak. "Tolong ... Bawa saya pergi dari sini, Pak." Sopir itu mengerutkan kening, jelas kebingungan. "Mbak, kamu kenapa? Kamu kelihatan kayak habis lihat setan!" Laras menelan ludah, tubuhnya masih bergetar. Bayangan Joni, Rani, dan Damar masih jelas di pikirannya. Bisikan-bisikan itu masih terngiang di telinganya. Ia merasa lelah, begitu lelah, dan satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu. "Aku nggak mau ada di sini lagi." suaranya lirih, hampir seperti rintihan. "Tolong, Pak ... Cepat pergi." Sopir itu menatapnya ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya sudah, ayo naik. Tapi, kita mau ke mana, Mbak?" "P
Laras berdiri di depan rumah kecil Pak Warso, merapikan tas ransel yang menggantung di punggungnya. Malam masih menyisakan sisa dingin, dan kabut tipis mengambang di antara pepohonan desa.Pak Warso menghela napas panjang, menatap Laras dengan mata penuh pemahaman. “Jadi, kamu benar-benar mau pergi?”Laras mengangguk. “Saya sudah nggak punya alasan untuk tetap tinggal di sini, Pak.” Suaranya bergetar, meski ia berusaha terdengar tegar.Darto dan Giman, yang berdiri tak jauh darinya, saling bertukar pandang sebelum akhirnya Darto bicara, “Laras, kami ngerti, Nduk. Setelah kedua temanmu, Joni dan Rani …” Ia berhenti, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Nama kedua temannya itu kini hanya tinggal bayang-bayang di tempat terkutuk yang tak boleh lagi mereka datangi.“Dan sekarang Damar juga menghilang.” Suara Laras semakin kecil. Hatinya terasa berat. Damar adalah satu-satunya harapan yang tersisa, satu-satunya alasan untuk tetap bertahan. Tapi kini ia juga sudah pergi, entah hilang dalam
Damar berdiri kaku di depan rumah tua itu. Ucapannya masih menggantung di udara, sementara Joni dan Rani menunggu tanpa sedikit pun bersuara—atau mungkin, dengan harapan licik bahwa Damar akan menyerah. Angin malam berembus pelan, membawa bisikan dari sebuah tempat gelap yang tak terlihat. Rumah tua itu seakan bernapas, meresapi kebimbangan Damar untuk memilih. "Setiap kutukan butuh penebus." Kata-kata yang terucap dari mulut Joni terus bergema di kepalanya. Apakah benar-benae harus seperti itu? Jika ingin bebas, ia harus menyerahkan seseorang lainnya sebagai gantinya. Satu nama pun seketika melintas di benaknya—Laras. Damar memejamkan mata, mengingat bagaimana Laras menatapnya dengan penuh cinta, tetapi juga sarat ketakutan. Ia tak ingin melihatnya ketakutan lagi. Ia tak ingin Laras menjadi bagian dari kegelapan yang saat ini membelenggunya. Alih-alih menjadikan Laras sebagai penebus, Damar justru berkeinginan untuk kembali bersamanya. Keinginan itu begitu kuat hingga mampu mem
Darto menoleh cepat, matanya menajam ke arah Laras. “Apa maksudmu, Laras?”Laras menggigit bibir, suaranya bergetar saat berbicara. “Damar… dia ada di sini. Aku bisa merasakannya.”Mbah Rebo mengetukkan tongkat kayunya ke tanah tiga kali lagi. Suara ketukan itu menggema di udara, seolah memantul dari sesuatu yang tak terlihat. Angin semakin kencang, membuat dedaunan kering berputar-putar di sekitar mereka.“Jangan panik,” ujar Mbah Rebo tenang, meski matanya waspada. “Tetap dekat dan jangan sampai ada yang terpisah.”Tiba-tiba, dari balik pohon, terdengar suara gemerisik. Seperti seseorang yang berjalan di atas dedaunan kering.Giman menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Hanya suara langkah yang semakin mendekat.Laras menegang. Ia bisa merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Perlahan, dari balik batang pohon yang besar, sesosok bayangan muncul.Damar.Pakaian yang dikenakannya sama seperti terakhir kali Laras melihatnya—kemeja putih yang kini lusuh dan sobek di beberapa
Pagi menjelang dengan lambat, membawa serta kabut tipis yang menggantung di udara desa. Darto menguap lebar, matanya sembab karena semalaman tak bisa tidur. Warso duduk bersandar di dinding, wajahnya masih menyisakan ketegangan semalam. Sementara itu, Laras tertidur di tikar dengan nafas berat, tubuhnya masih terasa lemah setelah apa yang terjadi.Mbah Rebo, yang sedari tadi duduk bersila sambil memegang tongkat kayunya, menghela napas panjang. “Kita tak bisa berdiam diri. Meski makhluk itu sudah pergi, aku yakin ia belum benar-benar menyerah.”Warso mengangguk pelan. “Jadi apa yang harus kita lakukan, Mbah?”Orang tua itu menatap ke luar jendela. “Aku harus mencari tahu siapa makhluk itu dan mengapa ia begitu menginginkan Laras. Ada sesuatu yang belum terungkap.”Darto menelan ludah. “Mbah … tadi malam, sebelum makhluk itu muncul, Laras sempat menyebut nama Damar. Apakah mungkin … Damar benar-benar ada hubungannya dengan ini?”Mbah Rebo terdiam sejenak. “Mungkin. Kita harus mencari t
Warso mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Napasnya tersengal, sementara matanya terus mengawasi Laras yang kini terkulai di tikar.“Darto, kita nggak bisa nunggu lebih lama. Kita harus cari orang pintar buat nolongin Laras,” katanya dengan suara parau.Darto mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. “Giman, kamu ikut aku. Kita cari Mbah Rebo.atau siapa pun yang bisa bantu.”Giman tampak ragu, tapi melihat kondisi Laras, ia akhirnya mengangguk. “B-baik. Tapi cepat ya, aku nggak mau kalau harus lama-lama menunggu di luar.”Darto dan Giman segera keluar, meninggalkan Warso yang berjaga di samping Laras. Malam semakin pekat, udara terasa berat. Warso merapatkan jaketnya, mencoba mengusir hawa dingin yang entah berasal dari cuaca atau sesuatu yang lain.Tiba-tiba, Laras menggeliat. Kelopak matanya terbuka perlahan. Namun, ketika Warso menatap wajahnya, jantungnya hampir berhenti berdetak.Mata Laras kini bukan hanya hitam, tetapi juga dipenuhi urat-urat merah yang men
Darto, Warso, dan Giman semakin panik ketika mereka melihat Laras yang terus menatap bayangan Damar dengan mata berkaca-kaca. Angin bertiup semakin kencang, membawa aroma tanah basah dan anyir yang menusuk hidung. Tiba-tiba, Laras tersentak. Tubuhnya menegang, matanya membelalak. Seakan ada sesuatu yang saat ini tengah menghantam jiwanya. “Laras?!” Warso mengguncang bahunya dengan cukup keras. Namun, Laras sama sekali tidak memberikan reaksi. Ia malah tersenyum lebar—senyum yang bukan miliknya. Senyum itu terlalu lebar, terlalu dingin, terlalu menyeramkan. "Damar … aku akan ikut bersamamu ...." Suaranya terdengar jauh, bergema seperti bukan berasal dari dirinya sendiri. Tak lama kemudian, tubuhnya terhuyung ke belakang dan dalam sekejap, ia tertawa. Suara tawanya melengking tinggi, bergema di udara malam. Tawa yang tentu saja itu bukan milik Laras. Giman mundur dengan napas memburu. “To, Darto, bocah ini ... dia kesurupan!” Darto menggertakkan giginya. Ia pernah melihat kej
Damar menggertakkan giginya. "Tidak mungkin! Kita masih hidup! Kalian berdua yang sudah mati!" Rani mengangkat tangannya perlahan. Seketika, kabut pekat muncul dari tanah, mengelilingi mereka. Laras menjerit saat tubuhnya mulai terasa ringan, seakan ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Damar berusaha meraihnya, tetapi tiba-tiba semuanya berubah. Mata Damar membelalak. Ia tidak lagi berada di hutan. Sekelilingnya kini adalah lorong rumah tua yang gelap, dindingnya dipenuhi coretan-coretan aneh. Bau anyir menyengat hidungnya. Laras berdiri di sampingnya, tubuhnya gemetar, matanya menatap lurus ke depan. Di ujung lorong, sesosok tubuh tergantung di langit-langit. Sosok itu berayun pelan, mengenakan baju yang sama seperti yang Damar kenakan. Jantung Damar seakan berhenti berdetak. Itu dirinya sendiri. "Laras... A-apa yang terjadi...?" Laras tidak menjawab. Dia hanya menoleh perlahan ke arah Damar, matanya berubah hitam legam, bibirnya menyeringai lebar. “Kamu sudah mati, Damar.