Share

Bab 77. Sumur Tua

Author: Yasmin_imaji
last update Last Updated: 2025-01-07 14:11:58

Murni mendekati sumur tua yang terletak di tengah desa. Sumur itu dulunya adalah sumber utama mata air bagi seluruh penduduk Desa Juwono. Sumur itu selalu dipenuhi air jernih, bahkan saat musim kemarau. Namun kali ini, ada yang berbeda—sumur itu tampak kering, tanah di sekitarnya retak-retak seperti sudah lama tidak dialiri air.

“Aneh… ini sungguh aneh. Sumur ini tak pernah kering sebelumnya,” gumam Murni, matanya terus menatap ke dalam sumur yang gelap. Ia mencoba mencari tanda-tanda air, tetapi hanya melihat dasar sumur yang kosong dan penuh dengan pecahan batu.

Mbok Tumini mendekat, ikut mengintip ke dalam sumur. “Sumur ini adalah sumber kehidupan desa. Kalau sampai kering begini, pasti ada sesuatu yang tidak beres.” Ia melirik Murni dengan wajah serius.

"Mbak, kita harus mencari tahu apa yang menyebabkan ini," sahut Aji yabg juga ikut melongok, melihat ke dasar sumur.

Mbok Tumini tampak semakin cemas. “Dulu, nenek moyang kita pernah bercerita, kalau sumur ini kering, itu perta
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App
Comments (42)
goodnovel comment avatar
Marimar
ada lagi cobaan setelah sangkalana musnah
goodnovel comment avatar
Trie Sumanti
jawaban dr yg disebutkan prana ada di dalam sumur itu
goodnovel comment avatar
Mafida Idayani
kemana Kyai Hasan?. kenapa dia tidak menyusul Murni dan Aji?. kalo mbok Tumini kembali ke desa nya Kyai Hasan juga ga mungkin, mbok Tumini sudah tua. perjalanan jauh pasti membuatnya lelah.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 78. Terjepit

    Murni mengikuti bayangan Aji dengan hati-hati, lorong sempit itu semakin dalam dan gelap. Suara-suara aneh yang menyerupai bisikan samar terdengar dari segala arah, membuat suasana semakin mencekam. Ketika mereka sampai di sebuah ruang terbuka kecil, tiba-tiba langkah Aji terhenti. “Aji? Kau baik-baik saja?” tanya Murni dengan suara gemetar, matanya terus mengawasi sekeliling. Aji tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengangkat tangannya perlahan, menunjuk ke sebuah sudut gelap di ruangan itu. Murni menoleh, dan matanya langsung membelalak lebar. Tubuhnya gemetar hebat ketika ia melihat sosok yang menempel di dinding batu. "Ibu...!" teriak Murni, suaranya bergema di sepanjang lorong sumur. Di sana, tubuh seorang wanita tergantung kaku di dindingnya, kulitnya kering seperti telah kehabisan darah, rambutnya tergerai kusut, dan matanya terbuka lebar dengan tatapan kosong. Tubuh itu tampak membusuk tetapi tetap utuh, seolah waktu berhenti di tempat ini. Aji tiba-tiba menoleh ke arah Mur

    Last Updated : 2025-01-08
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 79. Selamat

    Murni mengerjap, berusaha memastikan bahwa ia tidak berhalusinasi. Suara itu jelas suara Aji—adiknya yang sebenarnya. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah maju, mengabaikan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Debu dan pecahan batu memenuhi udara, membuat setiap helaan napas terasa berat. “Mbak Murni… tolong aku…” suara Aji terdengar lagi, kali ini lebih lemah, seolah ia terjebak di bawah reruntuhan. “Aji! Bertahanlah! Aku akan menolongmu!” seru Murni, suaranya penuh tekad meski gemetar. Ia mulai memindahkan batu-batu yang menumpuk dengan tangan gemetar dan penuh luka. Ketika cahaya biru dari prana di tubuhnya meredup, Murni merasakan lelah yang luar biasa. Namun, ia tidak berhenti. “Prana… jangan tinggalkan aku sekarang. Aku butuh kamu…” bisiknya lirih, mencoba memanggil kembali kekuatan yang tadi melindunginya. Seolah menjawab panggilannya, cahaya biru itu kembali bersinar samar, memberi Murni kekuatan baru. Perlahan, ia berhasil memindahkan batu besar terakhir yang men

    Last Updated : 2025-01-08
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 80. Rahasia

    Murni menatap punggung Mbok Tumini yang berjalan dengan langkah pasti, seolah mengenal betul jalan setapak yang mereka lalui. Pepohonan di sekitar mereka berdiri angkuh, ranting-rantingnya menjuntai rendah seakan ingin menghalangi jalan keluar. Udara malam semakin dingin, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan bau anyir reruntuhan sumur tua tadi. Suara malam yang biasa terdengar seperti nyanyian jangkrik kini terasa hening, seolah ikut takut oleh sesuatu yang baru saja mencengkeram dirinya. Aji menggenggam tangan Murni erat-erat, masih diliputi rasa takut. Dia berjalan dengan kaki yang diseret. Tubuhnya gemetar bukan hanya karena udara dingin, tetapi juga karena bayangan mengerikan dari makhluk yang baru saja mereka hadapi. “Mbak, kita benar-benar sudah aman, kan?” bisiknya lirih. Murni menoleh, memaksakan senyum tipis untuk menenangkan adiknya. Padahal, hatinya sendiri masih dicekam rasa takut dan penasaran. “Ya, Ji. Kita aman sekarang. Mbok Tumini akan membawa kita ke tem

    Last Updated : 2025-01-09
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 81. Cempaka Emas

    Murni menerima sebuah botol kecil berisi cairan kuning keemasan itu dengan tangan yang gemetar. Botol itu terlihat cukup kuno, terbuat dari kaca tebal dengan tutup kayu yang diikat oleh seutas benang berwarna merah tua. Cahaya lampu minyak yang redup membuat cairan di dalam botol tampak berkilauan, seperti menyimpan rahasia yang tak terungkap. “Ini air penawar dari daun cempaka emas. Gunakan untuk melindungi Aji jika makhluk itu datang lagi,” jelas Mbok Tumini sambil meletakkan keris kecil dan kain putih di atas meja. "Lalu... keris dan kain itu? Apa yang harus aku lakukan dengan itu, Mbok?" tanya Murni. “Keris ini adalah pusaka peninggalan Kyai Dahlan, Nduk. Jangan pernah jauhkan keris ini daeimu untuk saat ini. Keris ini akan bereaksi terhadap energi gelap yang mendekat kepada kalian berdua. Sedangkan kain ini… kamu harus membungkus tubuh Aji dengan kain ini jika ia mulai menunjukkan tanda-tanda Aji kesurupan atau terluka karena serangan makhluk tersebut.” Murni menatap benda

    Last Updated : 2025-01-10
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 82. Tabir Kepalsuan

    Murni memandang Mbok Tumini dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, sekaligus bingung. “Mbok… dari mana Mbok Tumini mendapatkan semua barang-barang ini? Botol cairan penawar, keris pusaka, kain putih ini… Seolah Mbok sudah tahu akan ada hal seperti ini terjadi.” Mbok Tumini menatap Murni dengan sorot mata dalam, seakan mempertimbangkan apakah sudah waktunya untuk mengungkap rahasia yang selama ini ia simpan. Perlahan, ia mengambil tempat duduk kayu di dekat lampu minyak yang hampir padam, lalu berkata dengan suara pelan, “Ini bukan pertama kalinya aku berhadapan dengan makhluk seperti itu, Nduk,” ujar Mbok Tumini. “Dulu, bertahun-tahun yang lalu, desa ini pernah dihantui oleh makhluk serupa. Banyak nyawa yang melayang, dan hampir tak ada yang selamat… kecuali aku.” Murni dan Aji terdiam, terpaku mendengar cerita Mbok Tumini. Suasana di dalam rumah yang sempit itu terasa semakin mencekam meski makhluk tadi telah pergi. “Waktu itu aku masih muda. Aku tinggal bersama orang tuaku d

    Last Updated : 2025-01-11
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 83. Perintah Nyi Danyang

    Mbok Tumini tidak langsung menjawab pertanyaan Murni. Ia menatap Murni dan Aji dengan raut wajah yang sulit ditebak, seolah mencari cara untuk menyampaikan sesuatu yang sangat berat. Suasana hening untuk sejenak, hanya terdengar suara nyaring jangkrik dari luar rumah yang makin menambah mencekamnya malam itu.“Mbok… jawab, Mbok. Apa mungkin Ibu membunuh Bapak?” desak Aji dengan nada semakin keras, matanya memerah, menahan campuran rasa marah dan takut. Takut untuk mendengar kebenaran yang lebih besar.Mbok Tumini menarik napas panjang sebelum berkata dengan suara serak, “Aku sendiri tidak punya bukti… tapi waktu Bapak kalian meninggal, aku merasa ada sesuatu yang janggal. Harjo bukan orang sembarangan, Le. Ia tahu cara menjaga dirinya. Kematian mendadaknya… terlalu aneh.”Murni merasa dadanya sesak. Kenangan tentang sosok ayahnya kembali hadir, membuat matanya panas. Bapaknya adalah sosok yang tegas namun penyayang, seorang lelaki sederhana yang rela mengorbankan segalanya demi mereka

    Last Updated : 2025-01-12
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 84. Penyelamat

    Mbok Tumini memejamkan mata sejenak, tangannya bergetar saat bibir tuanya mulai merapal doa yang diwariskan oleh leluhur mereka. Hawa dingin merambat perlahan ke seluruh ruangan. Angin malam yang masuk lewat celah jendela membawa aroma lembap tanah basah, seolah memberi peringatan bahwa sesuatu yang besar sedang mendekat.“Aji, Murni… dengarkan aku baik-baik,” ucap Mbok Tumini dengan suara yang semakin lirih. “Keris ini bukan sekadar senjata biasa. Jika kalian bisa menyatukan hati dan pikiran, keris ini akan menunjukkan jalan ke tempat di mana rahasia keluarga kalian tersembunyi. Di sanalah semua akan terungkap.”Aji menatap Mbok Tumini dengan penuh rasa penasaran. “Rahasia keluarga? Apa maksud Mbok? Apa lagi yang masih tersembunyi? Kenapa ndak ada habisnya?”Namun sebelum Mbok Tumini sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara keras dari luar rumah. Gubrak! Pagar kayu di depan rumah mereka terbanting keras, diikuti suara langkah berat yang semakin mendekat.“Cepat! Mereka datang!” ter

    Last Updated : 2025-01-13
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 85. Pengorbanan

    Prawiro terus memimpin mereka dengan gesit, sementara suara cakaran dan geraman di belakang semakin jelas terdengar, menandakan bahwa makhluk-makhluk itu sudah sangat dekat. Hawa dingin semakin menusuk, membuat lentera di tangan Aji bergetar, nyaris padam.“Cepat, kita hampir sampai!” seru Prawiro dengan suara tegas.Namun, sebelum mereka berhasil mencapai ujung lorong, sesuatu yang tak terduga terjadi. Sebuah tangan hitam besar muncul dari dinding lorong, mencengkeram kaki Mbok Tumini dengan kekuatan luar biasa. “Aaah!” jerit Mbok Tumini saat tubuhnya tertarik mundur dengan kasar ke arah kegelapan yang berputar-putar di dinding lorong.“Mbok!” Aji berbalik dengan panik, mencoba menarik tangan Mbok Tumini sekuat tenaga. Tubuhnya berguncang hebat, berusaha melawan tarikan dari makhluk itu. “Aku tidak akan melepaskanmu, Mbok! Bertahanlah!” serunya penuh kepanikan.Murni juga langsung berjongkok, meraih lengan Mbok Tumini yang mulai dingin. “Mbok, jangan menyerah! Kita pasti bisa keluar

    Last Updated : 2025-01-14

Latest chapter

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 115. Pergi

    Pagi itu, langit tampak mendung, seolah ikut berkabung. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, membuat bulu kuduk berdiri meski matahari mulai muncul di ufuk timur. Warga desa telah berkumpul di pemakaman baru, tempat yang telah disiapkan untuk jenazah Raharjo. Murni berdiri di samping Joko, matanya sembab karena kurang tidur dan tangisan semalam. Di hadapannya, liang lahat telah digali dengan rapi. Aji, Pak Karim, dan beberapa warga lain menggotong jenazah yang sudah dibungkus kain kafan baru. Mereka meletakkannya perlahan ke dalam kubur, diiringi lantunan doa yang lirih dari mulut warga. Saat tanah mulai ditimbun, angin bertiup lebih kencang. Suara dedaunan berdesir aneh, seakan ada bisikan samar di antara pepohonan di tepi pemakaman. Beberapa warga saling pandang, merasa ada sesuatu yang janggal, tetapi tetap melanjutkan prosesi pemakaman. Ketika tanah sudah tertutup sempurna dan doa terakhir diucapkan, Murni melangkah maju. Tangannya gemetar saat ia menaburkan bunga di atas m

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 114. Ditemukan

    RAHASIA DI BAWAH TANAHMalam itu, angin berembus dingin, membawa aroma lembap dari tanah yang baru diguyur hujan sore tadi. Murni dan Joko berdiri di bawah cahaya rembulan yang samar, tubuh mereka membeku dalam ketakutan. Di hadapan mereka, sosok pocong Raharjo berdiri dengan kain kafan yang sudah lusuh dan kotor. Wajahnya pucat, sorot matanya kosong, tetapi bibirnya bergerak seakan ingin berbicara.Joko mundur selangkah, refleks meraih tangan Murni. "Dek... ini bukan main-main," bisiknya, suaranya gemetar.Namun, Murni justru melangkah maju. Jantungnya berdetak kencang, napasnya memburu. Ketakutan masih mencengkeramnya, tetapi ada sesuatu yang lebih kuat dari rasa takut itu—dorongan untuk mengetahui kebenaran.Sosok pocong Raharjo mengangkat tangannya perlahan, lalu menunjuk ke tanah tempat Murni berdiri. Suaranya parau, seakan berasal dari dunia lain."Gali... tanah ini...."Murni menelan ludah, tubuhnya gemetar. "Kenapa aku harus menggali, Pak?" tanyanya dengan suara bergetar."Rah

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 113. Masih Misteri

    Murni masih menggenggam cangkir teh hangat di tangannya. Uapnya perlahan menghilang, seperti harapannya yang ikut memudar sejak kepergian Prawiro. Namun, di balik kesedihannya, ada keinginan kuat untuk tidak mengecewakan Pakdenya. Ia mengusap wajahnya, menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat kepalanya. "Aku akan mencoba, Mas," ucapnya dengan suara yang masih bergetar. "Aku tidak ingin pengorbanan Pakde menjadi sia-sia." Joko tersenyum tipis, meski matanya masih menyiratkan kesedihan. "Aku tahu kamu pasti bisa, Dek. Kita semua akan mendukungmu, kita akan selalu bersama." Malam itu, Murni akhirnya mencoba tidur meski pikirannya masih dipenuhi bayangan Pakdenya— Prawiro. Saat kedua matanya sudah mulai terpejam, ia terbangun oleh suara aneh dari luar rumah. Suara gemerisik, seperti langkah kaki yang menyeret di tanah. Sreeek.... "Suara apa itu?" ucap Murni lirih. Murni menajamkan pendengarannya. Joko masih terlelap di sampingnya, begitu juga Aji yang tidur di kamar sebelah.

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 112. Ketenangan

    Di luar, Kyai Hasan menatap Murni dengan penuh kasih. "Apa yang bisa kita lakukan dengan tangan kita yang lemah ini, Murni? Terkadang, doa lebih kuat daripada kekuatan fisik. Percayalah, jika takdir mengizinkan, batu ini akan terbuka." Murni terisak. Ia memandang batu-batu besar yang tidak bergeming meski sudah dipukul berkali-kali. Tangannya gemetar, darah menetes dari jari-jarinya. Dengan berat hati, ia akhirnya berlutut di depan batu itu, menangkupkan tangan, dan mulai berdoa dengan suara yang pecah-pecah. "Ya Allah... kumohon, selamatkan Pakde. Jangan biarkan dia terjebak dalam kegelapan. Bawa dia kembali kepada kami..." Aji mengikuti jejak Murni, menunduk sambil berdoa dengan mata tertutup rapat. Joko akhirnya melakukan hal yang sama, meskipun hatinya masih bergulat dengan rasa tak berdaya. Tiba-tiba, angin dingin bertiup kencang di sekitar mereka, membawa suara samar yang terdengar seperti bisikan. "Kalian... masih memanggilku?" Suara itu terdenga

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 111. Napas Terkahir

    Murni berteriak histeris, suaranya menggema di tengah malam yang sunyi, "Pakde! Pakde! Jangan tinggalkan kami!" Tubuhnya bergetar hebat, tangannya meraba-raba batu besar yang berjatuhan daei atas sana. Banyaknya bebatuan yang kini menutup rapat pintu gua. "Aji! Bantu aku, cepat! Kita harus keluarkan Pakde Prawiro. Dia masih terjebak di dalam sana, Ji." Murni menoleh ke arah Aji, air matanya mengalir deras, sementara ia terus memukul batu dengan tangannya yang mulai memerah. "Kita tidak boleh menyerah dan meninggalkan dia begitu saja. Dia butuh kita, Aji." Aji, meskipun tubuhnya penuh luka karena ledakan energi tadi, segera maju membantu Murni. "Pakde! Apa pakde mendengar suara kami?!" seru Aji. Beberapa kali Aji berteriak, berharap ada balasan dari dalam sana. "Pakde, kami di sini! Jangan menyerah!" teriaknya sambil memukul batu dengan kepalan tangannya. Joko yang masih terpaku oleh kejadian tersebut akhirnya tersadar dan b

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 110. Sadar

    Murni mengambil kesempatan itu, maju beberapa langkah, meskipun tubuhnya gemetar. "Bapak Prawiro... jika benar kau merasa sendirian, kami akan ada untukmu. Kami ingin mengenalmu sebagai keluarga. Kami ingin belajar dari kesalahan masa lalu. Tolong... beri kami kesempatan."Murni perlahan melangkah maju, meskipun tubuhnya gemetar hebat. Matanya terus menatap Prawiro, sosok yang pernah ia anggap sebagai bagian dari keluarganya, meski kini wujudnya jauh dari manusia. Ketakutan terlihat jelas di wajahnya, namun keberanian dalam hatinya mengalahkan segalanya.Joko, yang sejak tadi berdiri di belakang Murni, tersentak melihat istrinya maju tanpa rasa gentar. "Murni! Jangan!" serunya dengan nada penuh kecemasan. Ia ingin melangkah maju, tetapi tangan Aji tiba-tiba menahannya dari belakang."Mas Joko," bisik Aji dengan suara lirih tapi penuh keyakinan. "Biarkan dia, Mas. Mbak Murni tahu apa yang dia lakukan."Joko menoleh ke arah Aji dengan wajah bingung

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 109. Nafsu Dendam

    Prawiro memutar tubuhnya dengan cepat, matanya yang merah menyala kini berkilat penuh amarah saat ia menatap sosok pria paruh baya yang muncul dari kegelapan. "Kenapa kau datang, Hasan?! Bukankah kau sudah cukup puas mencampuri hidupku selama ini?!" suaranya menggema di dalam gua, penuh dengan kebencian yang membara.Kyai Hasan berdiri tegap, wajahnya memancarkan ketenangan meskipun berada di hadapan makhluk menyeramkan seperti Prawiro. "Aku datang karena kau sudah terlalu jauh, Prawiro. Dendam ini... kebencian ini... hanya akan menghancurkanmu, bukan menyembuhkan luka-luka masa lalu."Prawiro tertawa getir, suara tawanya memantul di dinding-dinding gua yang dingin. "Menyembuhkan? Luka-luka ini tidak bisa disembuhkan, Hasan! Kau tahu itu lebih baik daripada siapa pun. Kau yang seharusnya mengerti! Kau adalah saksi bisu saat aku hancur!"Hasan menarik napas panjang, lalu melangkah mendekat. Suaranya rendah, namun penuh dengan ketegasan. "Aku tidak membela Raharjo, Prawiro. Aku tahu dia

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 108. Kejujuran

    Murni menatap Aji dengan ekspresi panik, tangannya terulur hendak meraih adiknya. "Aji, jangan! Diam! Jangan bilang apa-apa!" serunya, suara bergetar penuh kecemasan. Aji menatap kakaknya, wajahnya penuh tekad meskipun napasnya berat. "Mbak, aku harus mengatakan ini. Aku sudah mengerti sekarang... siapa makhluk ini, siapa sebenarnya dia." Matanya menatap tajam ke arah makhluk yang mengancam mereka, yang masih tertawa dengan penuh penghinaan. Makhluk itu mencondongkan tubuhnya lebih dekat, seolah menikmati ketegangan yang terbangun. "Aji, Aji... kalian memang bodoh. Kau sudah tahu siapa aku, tapi kau masih berpikir bisa menakut-nakuti aku? Apa yang akan kau lakukan setelah tahu siapa aku?" Suaranya semakin mengancam, seakan-akan dia tahu betul kelemahan mereka. "Aku tahu siapa kamu," kata Aji dengan suara lebih keras, menekan setiap kata seolah itu adalah kenyataan yang tak bisa dibantah. "Kamu... adalah Prawiro." Makhluk itu terdiam sejenak, seakan terkejut dengan pernyataan A

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 107. Pengorbanan

    Makhluk itu berhenti mendadak, matanya yang merah menyala menatap tajam ke arah Aji. Sorot matanya bagaikan bara api yang membakar, menusuk siapa pun yang berani menatapnya. Tawanya yang bergema membuat gua itu terasa semakin sempit dan mencekam, seolah-olah udara di dalamnya ditarik keluar, menyisakan ketegangan yang menyesakkan. “Hahaha! Jadi, kau membawakanku bukan hanya satu, tapi dua-duanya anak Harjo?" Makhluk itu berkata dengan nada mengejek, suaranya bergemuruh seperti guntur yang menggetarkan tanah. Lidah bercabangnya menjulur dari mulutnya yang lebar, melintasi deretan gigi tajam yang berkilauan. “Hebat! Aku tak menyangka kau akan sebaik ini memenuhi takdir kalian. Tentu saja, aku akan menikmatinya.” Aji berdiri di tempatnya, tubuhnya bergetar, tetapi ia menahan napas, memaksa dirinya untuk tetap tegak. Tangannya mengepal kuat-kuat di sisi tubuhnya, berusaha melawan rasa takut yang hampir melumpuhkannya. Ia menatap makhluk itu dengan mata yang menyalakan keberanian, meski

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status