Beranda / Horor / 40 Hari Setelah Kematian Bapak / Bab 75. Kekalahan Sangkalana

Share

Bab 75. Kekalahan Sangkalana

Penulis: Yasmin_imaji
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-06 22:01:25

Sangkalana menggeram keras, suaranya menggema di seluruh hutan. "Makhluk sepertimu tidak akan pernah bisa menghentikanku!" teriaknya dengan penuh amarah. Ia menghentakkan kakinya ke tanah, menciptakan gelombang kejut yang menghancurkan batu-batu di sekitarnya dan membuat pepohonan roboh.

Prana tetap diam, tidak bergeming sedikit pun. Dengan napas terengah, ia berdiri tegak, meskipun terlihat beberapa luka akibat pertempuran di sekujur tubuhnya. "Jika kau marah, Sangkalana, maka aku tahu aku sudah di jalur yang benar," ujar Prana tegas.

Mata merah Sangkalana semakin menyala tajam. Ia menggeram seperti binatang buas yang terluka, kemudian melangkah maju dengan aura gelap yang semakin pekat mengelilinginya. Tanah di sekitar mereka mulai terbelah, memunculkan asap hitam yang membubung tinggi. "Kau pikir bisa menahanku hanya dengan tubuh kasarmu itu? Aku akan menunjukkan kekuatan kegelapan yang sesungguhnya!"

Sangkalana diam sesaat, "ah... aku lupa jika kau juga berasal dari kegelapan," l
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (43)
goodnovel comment avatar
Trie Sumanti
tetap waspada jangan lengah murni, aji, kyai Hasan, semua belum selesai walau sangkalana udh musnah tp ada kekuatan yg lbh besar lg dr sangkalana
goodnovel comment avatar
Mafida Idayani
Sangkalana saja sudah buat deg²an. dan ini ternyata masih ada yang lebih gelap dan kuat dari Sangkalana?.
goodnovel comment avatar
Imha Deva
Sangkalana memang kalah tapi Murni, Aji serta lainnya harus terus waspada bisa jadi akan ada yang lebih besar dari Sangkalana muncul menyerang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 76. Hilang

    Setelah pertarungan sengit dengan Sangkalana, Kyai Hasan menawarkan tempat tinggal sementara di kediamannya bagi Mbok Tumini. Beliau mengajaknya untuk tinggal bersama Murni dan Aji, setidaknya sampai semua menjadi lebih tenang. Mereka butuh waktu untuk memulihkan diri, baik secara fisik maupun batin. Malam itu, angin dingin menyelimuti desa. Di dalam rumah Kyai Hasan yang sederhana namun hangat, mereka berkumpul di ruang tengah. Murni duduk di lantai, memeluk lututnya erat. Di sampingnya, Mbok Tumini sibuk mengusap kepala Murni dengan penuh kasih, sementara Aji duduk bersila di dekat pintu, sesekali memandangi langit malam yang pekat. “Kyai Hasan, apa menurutmu kita sudah aman?” tanya Murni dengan suara pelan. Kyai Hasan, yang sedang menyesap secangkir teh hangat, menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aman itu relatif, Nduk. Tetapi kita juga harus tetap waspada. Setidaknya, di sini kalian bisa beristirahat dan bersiap untuk apa pun yang akan datang.” Murni mengangguk. Meski r

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 77. Sumur Tua

    Murni mendekati sumur tua yang terletak di tengah desa. Sumur itu dulunya adalah sumber utama mata air bagi seluruh penduduk Desa Juwono. Sumur itu selalu dipenuhi air jernih, bahkan saat musim kemarau. Namun kali ini, ada yang berbeda—sumur itu tampak kering, tanah di sekitarnya retak-retak seperti sudah lama tidak dialiri air. “Aneh… ini sungguh aneh. Sumur ini tak pernah kering sebelumnya,” gumam Murni, matanya terus menatap ke dalam sumur yang gelap. Ia mencoba mencari tanda-tanda air, tetapi hanya melihat dasar sumur yang kosong dan penuh dengan pecahan batu. Mbok Tumini mendekat, ikut mengintip ke dalam sumur. “Sumur ini adalah sumber kehidupan desa. Kalau sampai kering begini, pasti ada sesuatu yang tidak beres.” Ia melirik Murni dengan wajah serius. "Mbak, kita harus mencari tahu apa yang menyebabkan ini," sahut Aji yabg juga ikut melongok, melihat ke dasar sumur. Mbok Tumini tampak semakin cemas. “Dulu, nenek moyang kita pernah bercerita, kalau sumur ini kering, itu perta

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 78. Terjepit

    Murni mengikuti bayangan Aji dengan hati-hati, lorong sempit itu semakin dalam dan gelap. Suara-suara aneh yang menyerupai bisikan samar terdengar dari segala arah, membuat suasana semakin mencekam. Ketika mereka sampai di sebuah ruang terbuka kecil, tiba-tiba langkah Aji terhenti. “Aji? Kau baik-baik saja?” tanya Murni dengan suara gemetar, matanya terus mengawasi sekeliling. Aji tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengangkat tangannya perlahan, menunjuk ke sebuah sudut gelap di ruangan itu. Murni menoleh, dan matanya langsung membelalak lebar. Tubuhnya gemetar hebat ketika ia melihat sosok yang menempel di dinding batu. "Ibu...!" teriak Murni, suaranya bergema di sepanjang lorong sumur. Di sana, tubuh seorang wanita tergantung kaku di dindingnya, kulitnya kering seperti telah kehabisan darah, rambutnya tergerai kusut, dan matanya terbuka lebar dengan tatapan kosong. Tubuh itu tampak membusuk tetapi tetap utuh, seolah waktu berhenti di tempat ini. Aji tiba-tiba menoleh ke arah Mur

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 79. Selamat

    Murni mengerjap, berusaha memastikan bahwa ia tidak berhalusinasi. Suara itu jelas suara Aji—adiknya yang sebenarnya. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah maju, mengabaikan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Debu dan pecahan batu memenuhi udara, membuat setiap helaan napas terasa berat. “Mbak Murni… tolong aku…” suara Aji terdengar lagi, kali ini lebih lemah, seolah ia terjebak di bawah reruntuhan. “Aji! Bertahanlah! Aku akan menolongmu!” seru Murni, suaranya penuh tekad meski gemetar. Ia mulai memindahkan batu-batu yang menumpuk dengan tangan gemetar dan penuh luka. Ketika cahaya biru dari prana di tubuhnya meredup, Murni merasakan lelah yang luar biasa. Namun, ia tidak berhenti. “Prana… jangan tinggalkan aku sekarang. Aku butuh kamu…” bisiknya lirih, mencoba memanggil kembali kekuatan yang tadi melindunginya. Seolah menjawab panggilannya, cahaya biru itu kembali bersinar samar, memberi Murni kekuatan baru. Perlahan, ia berhasil memindahkan batu besar terakhir yang men

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 80. Rahasia

    Murni menatap punggung Mbok Tumini yang berjalan dengan langkah pasti, seolah mengenal betul jalan setapak yang mereka lalui. Pepohonan di sekitar mereka berdiri angkuh, ranting-rantingnya menjuntai rendah seakan ingin menghalangi jalan keluar. Udara malam semakin dingin, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan bau anyir reruntuhan sumur tua tadi. Suara malam yang biasa terdengar seperti nyanyian jangkrik kini terasa hening, seolah ikut takut oleh sesuatu yang baru saja mencengkeram dirinya. Aji menggenggam tangan Murni erat-erat, masih diliputi rasa takut. Dia berjalan dengan kaki yang diseret. Tubuhnya gemetar bukan hanya karena udara dingin, tetapi juga karena bayangan mengerikan dari makhluk yang baru saja mereka hadapi. “Mbak, kita benar-benar sudah aman, kan?” bisiknya lirih. Murni menoleh, memaksakan senyum tipis untuk menenangkan adiknya. Padahal, hatinya sendiri masih dicekam rasa takut dan penasaran. “Ya, Ji. Kita aman sekarang. Mbok Tumini akan membawa kita ke tem

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 81. Cempaka Emas

    Murni menerima sebuah botol kecil berisi cairan kuning keemasan itu dengan tangan yang gemetar. Botol itu terlihat cukup kuno, terbuat dari kaca tebal dengan tutup kayu yang diikat oleh seutas benang berwarna merah tua. Cahaya lampu minyak yang redup membuat cairan di dalam botol tampak berkilauan, seperti menyimpan rahasia yang tak terungkap. “Ini air penawar dari daun cempaka emas. Gunakan untuk melindungi Aji jika makhluk itu datang lagi,” jelas Mbok Tumini sambil meletakkan keris kecil dan kain putih di atas meja. "Lalu... keris dan kain itu? Apa yang harus aku lakukan dengan itu, Mbok?" tanya Murni. “Keris ini adalah pusaka peninggalan Kyai Dahlan, Nduk. Jangan pernah jauhkan keris ini daeimu untuk saat ini. Keris ini akan bereaksi terhadap energi gelap yang mendekat kepada kalian berdua. Sedangkan kain ini… kamu harus membungkus tubuh Aji dengan kain ini jika ia mulai menunjukkan tanda-tanda Aji kesurupan atau terluka karena serangan makhluk tersebut.” Murni menatap benda

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 82. Tabir Kepalsuan

    Murni memandang Mbok Tumini dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, sekaligus bingung. “Mbok… dari mana Mbok Tumini mendapatkan semua barang-barang ini? Botol cairan penawar, keris pusaka, kain putih ini… Seolah Mbok sudah tahu akan ada hal seperti ini terjadi.” Mbok Tumini menatap Murni dengan sorot mata dalam, seakan mempertimbangkan apakah sudah waktunya untuk mengungkap rahasia yang selama ini ia simpan. Perlahan, ia mengambil tempat duduk kayu di dekat lampu minyak yang hampir padam, lalu berkata dengan suara pelan, “Ini bukan pertama kalinya aku berhadapan dengan makhluk seperti itu, Nduk,” ujar Mbok Tumini. “Dulu, bertahun-tahun yang lalu, desa ini pernah dihantui oleh makhluk serupa. Banyak nyawa yang melayang, dan hampir tak ada yang selamat… kecuali aku.” Murni dan Aji terdiam, terpaku mendengar cerita Mbok Tumini. Suasana di dalam rumah yang sempit itu terasa semakin mencekam meski makhluk tadi telah pergi. “Waktu itu aku masih muda. Aku tinggal bersama orang tuaku d

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 83. Perintah Nyi Danyang

    Mbok Tumini tidak langsung menjawab pertanyaan Murni. Ia menatap Murni dan Aji dengan raut wajah yang sulit ditebak, seolah mencari cara untuk menyampaikan sesuatu yang sangat berat. Suasana hening untuk sejenak, hanya terdengar suara nyaring jangkrik dari luar rumah yang makin menambah mencekamnya malam itu.“Mbok… jawab, Mbok. Apa mungkin Ibu membunuh Bapak?” desak Aji dengan nada semakin keras, matanya memerah, menahan campuran rasa marah dan takut. Takut untuk mendengar kebenaran yang lebih besar.Mbok Tumini menarik napas panjang sebelum berkata dengan suara serak, “Aku sendiri tidak punya bukti… tapi waktu Bapak kalian meninggal, aku merasa ada sesuatu yang janggal. Harjo bukan orang sembarangan, Le. Ia tahu cara menjaga dirinya. Kematian mendadaknya… terlalu aneh.”Murni merasa dadanya sesak. Kenangan tentang sosok ayahnya kembali hadir, membuat matanya panas. Bapaknya adalah sosok yang tegas namun penyayang, seorang lelaki sederhana yang rela mengorbankan segalanya demi mereka

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12

Bab terbaru

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 147. TAMAT

    Laras & Sopir Truk: Lolos dari Teror PocongSopir truk itu menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram setir erat-erat. Laras menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya bergetar hebat. Keduanya sama-sama tahu bahwa mereka sedang dikejar oleh sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.Jalanan semakin menurun tajam, membuat truk melaju lebih kencang. Namun, ketika sopir menoleh ke spion, jantungnya hampir berhenti berdetak.Sosok pocong itu masih ada di sana. Melompat-lompat, mendekat semakin cepat. Tubuhnya yang membusuk bergerak tidak wajar, sementara mulutnya yang menganga terus mengeluarkan suara parau:"Kembaaliii... Kembaaliiii...."Laras mencengkeram sabuk pengamannya erat-erat, air mata mulai menggenang di matanya. "Pak, jangan berhenti! Tolong, jangan berhenti apa pun yang terjadi!"Sopir truk mengangguk cepat, meskipun keringat dingin sudah membasahi dahinya. "Saya nggak akan berhenti, Mbak! Pegangan yang kuat!"Truk terus melaju di jalanan gelap, melewati tikungan demi tiku

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 146. Perjalanan

    Sopir truk itu mengguncang tubuh Laras dengan cemas. "Mbak! Sadar, Mbak! Kamu dari mana?! Kok tiba-tiba muncul dari hutan?!" Laras terhuyung sedikit, kesadarannya masih berkabut. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya. Ia menatap sopir itu dengan mata kosong, sebelum akhirnya berbisik dengan suara serak. "Tolong ... Bawa saya pergi dari sini, Pak." Sopir itu mengerutkan kening, jelas kebingungan. "Mbak, kamu kenapa? Kamu kelihatan kayak habis lihat setan!" Laras menelan ludah, tubuhnya masih bergetar. Bayangan Joni, Rani, dan Damar masih jelas di pikirannya. Bisikan-bisikan itu masih terngiang di telinganya. Ia merasa lelah, begitu lelah, dan satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu. "Aku nggak mau ada di sini lagi." suaranya lirih, hampir seperti rintihan. "Tolong, Pak ... Cepat pergi." Sopir itu menatapnya ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya sudah, ayo naik. Tapi, kita mau ke mana, Mbak?" "P

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 145. Keluar

    Laras berdiri di depan rumah kecil Pak Warso, merapikan tas ransel yang menggantung di punggungnya. Malam masih menyisakan sisa dingin, dan kabut tipis mengambang di antara pepohonan desa.Pak Warso menghela napas panjang, menatap Laras dengan mata penuh pemahaman. “Jadi, kamu benar-benar mau pergi?”Laras mengangguk. “Saya sudah nggak punya alasan untuk tetap tinggal di sini, Pak.” Suaranya bergetar, meski ia berusaha terdengar tegar.Darto dan Giman, yang berdiri tak jauh darinya, saling bertukar pandang sebelum akhirnya Darto bicara, “Laras, kami ngerti, Nduk. Setelah kedua temanmu, Joni dan Rani …” Ia berhenti, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Nama kedua temannya itu kini hanya tinggal bayang-bayang di tempat terkutuk yang tak boleh lagi mereka datangi.“Dan sekarang Damar juga menghilang.” Suara Laras semakin kecil. Hatinya terasa berat. Damar adalah satu-satunya harapan yang tersisa, satu-satunya alasan untuk tetap bertahan. Tapi kini ia juga sudah pergi, entah hilang dalam

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 144. Memilih

    Damar berdiri kaku di depan rumah tua itu. Ucapannya masih menggantung di udara, sementara Joni dan Rani menunggu tanpa sedikit pun bersuara—atau mungkin, dengan harapan licik bahwa Damar akan menyerah. Angin malam berembus pelan, membawa bisikan dari sebuah tempat gelap yang tak terlihat. Rumah tua itu seakan bernapas, meresapi kebimbangan Damar untuk memilih. "Setiap kutukan butuh penebus." Kata-kata yang terucap dari mulut Joni terus bergema di kepalanya. Apakah benar-benae harus seperti itu? Jika ingin bebas, ia harus menyerahkan seseorang lainnya sebagai gantinya. Satu nama pun seketika melintas di benaknya—Laras. Damar memejamkan mata, mengingat bagaimana Laras menatapnya dengan penuh cinta, tetapi juga sarat ketakutan. Ia tak ingin melihatnya ketakutan lagi. Ia tak ingin Laras menjadi bagian dari kegelapan yang saat ini membelenggunya. Alih-alih menjadikan Laras sebagai penebus, Damar justru berkeinginan untuk kembali bersamanya. Keinginan itu begitu kuat hingga mampu mem

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 143. Perpisahan

    Darto menoleh cepat, matanya menajam ke arah Laras. “Apa maksudmu, Laras?”Laras menggigit bibir, suaranya bergetar saat berbicara. “Damar… dia ada di sini. Aku bisa merasakannya.”Mbah Rebo mengetukkan tongkat kayunya ke tanah tiga kali lagi. Suara ketukan itu menggema di udara, seolah memantul dari sesuatu yang tak terlihat. Angin semakin kencang, membuat dedaunan kering berputar-putar di sekitar mereka.“Jangan panik,” ujar Mbah Rebo tenang, meski matanya waspada. “Tetap dekat dan jangan sampai ada yang terpisah.”Tiba-tiba, dari balik pohon, terdengar suara gemerisik. Seperti seseorang yang berjalan di atas dedaunan kering.Giman menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Hanya suara langkah yang semakin mendekat.Laras menegang. Ia bisa merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Perlahan, dari balik batang pohon yang besar, sesosok bayangan muncul.Damar.Pakaian yang dikenakannya sama seperti terakhir kali Laras melihatnya—kemeja putih yang kini lusuh dan sobek di beberapa

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 142. Mencari Petunjuk

    Pagi menjelang dengan lambat, membawa serta kabut tipis yang menggantung di udara desa. Darto menguap lebar, matanya sembab karena semalaman tak bisa tidur. Warso duduk bersandar di dinding, wajahnya masih menyisakan ketegangan semalam. Sementara itu, Laras tertidur di tikar dengan nafas berat, tubuhnya masih terasa lemah setelah apa yang terjadi.Mbah Rebo, yang sedari tadi duduk bersila sambil memegang tongkat kayunya, menghela napas panjang. “Kita tak bisa berdiam diri. Meski makhluk itu sudah pergi, aku yakin ia belum benar-benar menyerah.”Warso mengangguk pelan. “Jadi apa yang harus kita lakukan, Mbah?”Orang tua itu menatap ke luar jendela. “Aku harus mencari tahu siapa makhluk itu dan mengapa ia begitu menginginkan Laras. Ada sesuatu yang belum terungkap.”Darto menelan ludah. “Mbah … tadi malam, sebelum makhluk itu muncul, Laras sempat menyebut nama Damar. Apakah mungkin … Damar benar-benar ada hubungannya dengan ini?”Mbah Rebo terdiam sejenak. “Mungkin. Kita harus mencari t

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 141. Mengawasi dan Menunggu

    Warso mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Napasnya tersengal, sementara matanya terus mengawasi Laras yang kini terkulai di tikar.“Darto, kita nggak bisa nunggu lebih lama. Kita harus cari orang pintar buat nolongin Laras,” katanya dengan suara parau.Darto mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. “Giman, kamu ikut aku. Kita cari Mbah Rebo.atau siapa pun yang bisa bantu.”Giman tampak ragu, tapi melihat kondisi Laras, ia akhirnya mengangguk. “B-baik. Tapi cepat ya, aku nggak mau kalau harus lama-lama menunggu di luar.”Darto dan Giman segera keluar, meninggalkan Warso yang berjaga di samping Laras. Malam semakin pekat, udara terasa berat. Warso merapatkan jaketnya, mencoba mengusir hawa dingin yang entah berasal dari cuaca atau sesuatu yang lain.Tiba-tiba, Laras menggeliat. Kelopak matanya terbuka perlahan. Namun, ketika Warso menatap wajahnya, jantungnya hampir berhenti berdetak.Mata Laras kini bukan hanya hitam, tetapi juga dipenuhi urat-urat merah yang men

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 140. Rasuk

    Darto, Warso, dan Giman semakin panik ketika mereka melihat Laras yang terus menatap bayangan Damar dengan mata berkaca-kaca. Angin bertiup semakin kencang, membawa aroma tanah basah dan anyir yang menusuk hidung. Tiba-tiba, Laras tersentak. Tubuhnya menegang, matanya membelalak. Seakan ada sesuatu yang saat ini tengah menghantam jiwanya. “Laras?!” Warso mengguncang bahunya dengan cukup keras. Namun, Laras sama sekali tidak memberikan reaksi. Ia malah tersenyum lebar—senyum yang bukan miliknya. Senyum itu terlalu lebar, terlalu dingin, terlalu menyeramkan. "Damar … aku akan ikut bersamamu ...." Suaranya terdengar jauh, bergema seperti bukan berasal dari dirinya sendiri. Tak lama kemudian, tubuhnya terhuyung ke belakang dan dalam sekejap, ia tertawa. Suara tawanya melengking tinggi, bergema di udara malam. Tawa yang tentu saja itu bukan milik Laras. Giman mundur dengan napas memburu. “To, Darto, bocah ini ... dia kesurupan!” Darto menggertakkan giginya. Ia pernah melihat kej

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 139. Menolak

    Damar menggertakkan giginya. "Tidak mungkin! Kita masih hidup! Kalian berdua yang sudah mati!" Rani mengangkat tangannya perlahan. Seketika, kabut pekat muncul dari tanah, mengelilingi mereka. Laras menjerit saat tubuhnya mulai terasa ringan, seakan ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Damar berusaha meraihnya, tetapi tiba-tiba semuanya berubah. Mata Damar membelalak. Ia tidak lagi berada di hutan. Sekelilingnya kini adalah lorong rumah tua yang gelap, dindingnya dipenuhi coretan-coretan aneh. Bau anyir menyengat hidungnya. Laras berdiri di sampingnya, tubuhnya gemetar, matanya menatap lurus ke depan. Di ujung lorong, sesosok tubuh tergantung di langit-langit. Sosok itu berayun pelan, mengenakan baju yang sama seperti yang Damar kenakan. Jantung Damar seakan berhenti berdetak. Itu dirinya sendiri. "Laras... A-apa yang terjadi...?" Laras tidak menjawab. Dia hanya menoleh perlahan ke arah Damar, matanya berubah hitam legam, bibirnya menyeringai lebar. “Kamu sudah mati, Damar.

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status