"Apa? Siapa yang harus tunduk?" pikir Murni. Murni tertegun di tempatnya. Napasnya masih memburu, menyadari dirinya kini berada di tengah-tengah sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Matanya menatap bayangan-bayangan hitam itu Murni memandangi kejadian yang belum dapat ia mengerti itu dengan mulut ternganga. Bayangan-bayangan hitam yang tadi tampak mengerikan kini merunduk di bawah kaki pocong bapaknya, mereka merapatkan tubuh—patuh pada perintah Harjo. "Ada apa ini?" lirih Murni. Sosok-sosok hitam yang jumlahnya tak terkira itu seperti mencair, melebur ke tanah dengan gerakan yang seolah memohon pengampunan dari sosok yang Murni sebut sebagai 'Bapak'. Pocong Raharjo sedikit mengambang, ikatan kain bagian bawahnya tampak sedikit menyentuh tanah. Kain kafannya yang tampak kotor karena tanah berdesir perlahan, memancarkan aura ketenangan namun juga tampak mengerikan.Murni mencoba bangkit dari posisinya yang terduduk lemas. Seluruh tubuhnya seperti menolak perintahnya, te
Murni berlari sekuat yang ia bisa tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Hutan malam itu seolah hidup, ranting-ranting pohon yang melintang di jalannya tampak bergerak, mencoba untuk menghalangi setiap langkahnya. Angin kencang meniup rambutnya ke segala arah, dan suara raungan Sangkalana terdengar semakin dekat. Napasnya semakin berat, dadanya terasa sesak. Namun, di tengah semua kekacauan itu, bisikan-bisikan dari Prana yang terpenjara di dalam dirinya masih terdengar—menggaung di telinganya. Mereka terus meronta seperti pemandu samar yang memintanya untuk terus maju. "Tanah merah... tanah merah..." suara-suara itu terus menerus berbicara, membimbingnya menuju pada sesuatu yang bahkan belum bisa ia pahami. "Aaw!" Secara tak sengaja, kakinya tersandung akar pohon yang besar yang melintang, membuat tubuhnya terjatuh ke tanah. Lututnya berdarah, dan telapak tangannya yang menggapai tanah terasa perih. Ia mengaduh, tetapi suara gemuruh l
Murni terjingkat kaget mendengar teriakan keras dari Raharjo. Teriakan yang membuat hatinya berdebar kencang. Dengan napas yang terengah-engah, ia berbalik dan melangkah maju, meskipun tubuhnya sudah terasa lelah dan hampir tak mampu lagi bergerak. Suara bapaknha yang terdengar begitu jelas dan memerintah memaksanya untuk tak membuang waktu lebih lama. Makhluk itu—Sangkalana—adalah ancaman yang nyata, dan Raharjo telah memberinya kesempatan untuk kabur. Murni pun pada akhirnya berlari dengan sisa tenaga yang ada, tubuhnya terasa berat, seolah tanah yang diinjak semakin keras dan penuh rintangan. Angin malam semakin kencang, membuat jarak pandangnya semakin kabur. Murni hanya berusaha mengingat satu hal—tanah merah yang ia cari. Itu satu-satunya petunjuk yang bisa membawanya ke tempat yang tepat. "Tanah merah..." gumamnya lagi, lebih keras kali ini, berharap bisikan itu menjadi nyata.Murni terus berlari, tubuhnya hampir roboh oleh rasa lelah yang membakar. Namun, suara Raharjo dan d
"Bapak....!" Murni berdiri terpaku, tubuhnya gemetar di tengah keheningan yang tiba-tiba terasa begitu menekan. Tidak ada lagi sosok Raharjo—sang ayah dalam wujud pocong, ular Wulung Seta yang melindunginya, atau bahkan jejak-jejak Sangkalana yang sebelumnya menjadi ancaman besar. Semua lenyap. Langit yang tadnya merah menyala kini berubah menjadi kelam, tanpa bulan, tanpa bintang. Hanya ada kegelapan yang memeluknya erat. "Bapak...? Bapak kemana?" panggilnya lirih. Suaranya bergema lemah di antara kehampaan. Namun, tak ada jawaban. Murni memutar tubuhnya, mencari-cari, berharap menemukan sesuatu—apa saja—yang bisa membuktikan bahwa semua ini bukanlah sebuah mimpi, atau ilusi. Tapi yang terlihat hanyalah bayangan dirinya sendiri di atas tanah yang dingin dan keras. Air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan. Segala hal yang baru saja ia alami terasa seperti mimpi buruk yang begitu nyata. Kemenangan atas Sangkalana yang penuh perjuangan, keberanian yang ia kumpulkan dengan su
Aji sama sekali tak ingin beranjak sedikit pun dari sisi Murni sejak kedatangannya. Tatapan matanya yang redup seolah berbisik bahwa ia belum siap kehilangan kakaknya lagi. Setiap malam selama dua minggu terakhir, ia hanya bisa terjaga dengan doa yang berulang-ulang di dalam hatinya. Dan kini, ketika doa itu akhirnya dijawab, ia tak ingin berpisah lagi, meski hanya sedetik."Jadi..." Kyai Hasan akhirnya memecah keheningan di ruangan yang terasa berat oleh rasa cemas dan lega yang bercampur aduk. Suaranya tenang, namun jelas membawa bobot pertanyaan yang penting. "Ke mana Prawiro membawamu, Nduk?"Murni terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Pikirannya melayang ke tempat gelap yang begitu asing namun terasa begitu dekat. “Ke... suatu tempat yang saya sendiri ndak tahu di mana tepatnya, Kyai,” jawab Murni akhirnya, suaranya lirih namun cukup jelas terdengar."Hanya itu?" Kyai Hasan bertanya lagi, kali ini dengan nada lebih serius.Murni menarik napa
Menjelang petang, saat langit mulai merona merah dan angin sore bertiup sejuk, suasana di rumah Kyai Hasan terasa lebih tenang. Murni masih duduk di tikar pandan bersama Aji, sementara Kyai Hasan meminum teh hangatnya dengan tenang, seolah sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, ketenangan itu seketika pecah ketika seorang pemuda muncul di halaman, berlari tergopoh-gopoh ke arah rumah Kyai Hasan. Nafasnya tersengal, wajahnya pucat, dan peluh membasahi dahinya. Ia memanggil-manggil nama Murni dan Aji dengan suara keras."Murni...! Aji...!" “Murni! Aji! Kalian di sini, kan?” teriak pemuda itu, suaranya terdengar panik. Kyai Hasan segera bangkit dari duduknya dan berjalan ke depan. "Budiman...." Lirih Kyai Hasan yang mengenali siapa pemuda yang kini berdiri dengan napas. “Budiman? Ono opo, Le? Kenapa kamu lari-lari dan terlihat berantakan seperti ini?” tanyanya, suaranya tenang namun penuh perhatian. Budiman berhenti di depan Kyai Hasan, berusaha mengatur napasnya y
Crash!Aaarrrkh!! Para warga berteriak saat sabetan pisau yang Lasmi genggam memotong seutas tali yang mengikat tubuh Mbok Tumini.Lasmi tertawa terbahak-bahak, suara tawa yang menggema di udara malam membuat suasana semakin mencekam. Para warga yang berkumpul di sekitar pohon besar itu tertegun, sebagian menahan napas, sementara yang lain tampak gelisah dan bersiap untuk melarikan diri."Kenapa kalian semua ketakutan?" ujar Lasmi lantang, suaranya terdengar penuh ejekan. "Aku hanya memotong tali, bukan hidupnya. Hahaha!" Matanya yang merah menyala memancarkan aura menyeramkan, seolah bukan lagi manusia biasa yang berdiri di sana.Kyai Hasan maju selangkah, mengangkat tangannya sebagai isyarat agar warga tetap tenang. "Lasmi, kami tidak datang untuk melawanmu. Kami hanya ingin agar kamu melepaskan Mbok Tumini, Sadarlah, Lasmi. Keluarlah kamu dari kegelapan.""Keluar?" Lasmi menyipitkan mata, ekspresinya berubah sinis. "Aku tidak
Namun terlambat. Gelombang energi itu melesat dan hampir mengenai mereka, tetapi tiba-tiba sebuah bayangan besar melompat ke hadapan mereka, menahan serangan tersebut dengan tubuhnya sendiri. Bayangan itu adalah ... Prana.Prana, dengan tubuhnya yang besar dan kuat, berdiri tegap di depan Aji dan Murni, menyerap gelombang energi gelap yang datang dengan sekuat tenaga. Tubuhnya tampak bergetar hebat saat energi itu menghantamnya, namun ia tetap berdiri tegak, melindungi Aji dan Murni. Suara dentuman keras terdengar saat gelombang itu berusaha menghancurkan tubuhnya, namun Prana tetap tak tergoyahkan."Prana...!" teriak Murni, tercengang melihat sosok yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka.Prana, dengan wajah yang tampak serius dan penuh tekad, memandang Lasmi dengan tatapan tajam. "Jangan sentuh mereka!" serunya dengan suara berat yang menggema.Lasmi terkejut melihat sosok yang tiba-tiba muncul, namun senyumnya kembali muncul, meskipun penuh kebencian. "Prana... akhirnya kau datang
Laras & Sopir Truk: Lolos dari Teror PocongSopir truk itu menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram setir erat-erat. Laras menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya bergetar hebat. Keduanya sama-sama tahu bahwa mereka sedang dikejar oleh sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.Jalanan semakin menurun tajam, membuat truk melaju lebih kencang. Namun, ketika sopir menoleh ke spion, jantungnya hampir berhenti berdetak.Sosok pocong itu masih ada di sana. Melompat-lompat, mendekat semakin cepat. Tubuhnya yang membusuk bergerak tidak wajar, sementara mulutnya yang menganga terus mengeluarkan suara parau:"Kembaaliii... Kembaaliiii...."Laras mencengkeram sabuk pengamannya erat-erat, air mata mulai menggenang di matanya. "Pak, jangan berhenti! Tolong, jangan berhenti apa pun yang terjadi!"Sopir truk mengangguk cepat, meskipun keringat dingin sudah membasahi dahinya. "Saya nggak akan berhenti, Mbak! Pegangan yang kuat!"Truk terus melaju di jalanan gelap, melewati tikungan demi tiku
Sopir truk itu mengguncang tubuh Laras dengan cemas. "Mbak! Sadar, Mbak! Kamu dari mana?! Kok tiba-tiba muncul dari hutan?!" Laras terhuyung sedikit, kesadarannya masih berkabut. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya. Ia menatap sopir itu dengan mata kosong, sebelum akhirnya berbisik dengan suara serak. "Tolong ... Bawa saya pergi dari sini, Pak." Sopir itu mengerutkan kening, jelas kebingungan. "Mbak, kamu kenapa? Kamu kelihatan kayak habis lihat setan!" Laras menelan ludah, tubuhnya masih bergetar. Bayangan Joni, Rani, dan Damar masih jelas di pikirannya. Bisikan-bisikan itu masih terngiang di telinganya. Ia merasa lelah, begitu lelah, dan satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu. "Aku nggak mau ada di sini lagi." suaranya lirih, hampir seperti rintihan. "Tolong, Pak ... Cepat pergi." Sopir itu menatapnya ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya sudah, ayo naik. Tapi, kita mau ke mana, Mbak?" "P
Laras berdiri di depan rumah kecil Pak Warso, merapikan tas ransel yang menggantung di punggungnya. Malam masih menyisakan sisa dingin, dan kabut tipis mengambang di antara pepohonan desa.Pak Warso menghela napas panjang, menatap Laras dengan mata penuh pemahaman. “Jadi, kamu benar-benar mau pergi?”Laras mengangguk. “Saya sudah nggak punya alasan untuk tetap tinggal di sini, Pak.” Suaranya bergetar, meski ia berusaha terdengar tegar.Darto dan Giman, yang berdiri tak jauh darinya, saling bertukar pandang sebelum akhirnya Darto bicara, “Laras, kami ngerti, Nduk. Setelah kedua temanmu, Joni dan Rani …” Ia berhenti, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Nama kedua temannya itu kini hanya tinggal bayang-bayang di tempat terkutuk yang tak boleh lagi mereka datangi.“Dan sekarang Damar juga menghilang.” Suara Laras semakin kecil. Hatinya terasa berat. Damar adalah satu-satunya harapan yang tersisa, satu-satunya alasan untuk tetap bertahan. Tapi kini ia juga sudah pergi, entah hilang dalam
Damar berdiri kaku di depan rumah tua itu. Ucapannya masih menggantung di udara, sementara Joni dan Rani menunggu tanpa sedikit pun bersuara—atau mungkin, dengan harapan licik bahwa Damar akan menyerah. Angin malam berembus pelan, membawa bisikan dari sebuah tempat gelap yang tak terlihat. Rumah tua itu seakan bernapas, meresapi kebimbangan Damar untuk memilih. "Setiap kutukan butuh penebus." Kata-kata yang terucap dari mulut Joni terus bergema di kepalanya. Apakah benar-benae harus seperti itu? Jika ingin bebas, ia harus menyerahkan seseorang lainnya sebagai gantinya. Satu nama pun seketika melintas di benaknya—Laras. Damar memejamkan mata, mengingat bagaimana Laras menatapnya dengan penuh cinta, tetapi juga sarat ketakutan. Ia tak ingin melihatnya ketakutan lagi. Ia tak ingin Laras menjadi bagian dari kegelapan yang saat ini membelenggunya. Alih-alih menjadikan Laras sebagai penebus, Damar justru berkeinginan untuk kembali bersamanya. Keinginan itu begitu kuat hingga mampu mem
Darto menoleh cepat, matanya menajam ke arah Laras. “Apa maksudmu, Laras?”Laras menggigit bibir, suaranya bergetar saat berbicara. “Damar… dia ada di sini. Aku bisa merasakannya.”Mbah Rebo mengetukkan tongkat kayunya ke tanah tiga kali lagi. Suara ketukan itu menggema di udara, seolah memantul dari sesuatu yang tak terlihat. Angin semakin kencang, membuat dedaunan kering berputar-putar di sekitar mereka.“Jangan panik,” ujar Mbah Rebo tenang, meski matanya waspada. “Tetap dekat dan jangan sampai ada yang terpisah.”Tiba-tiba, dari balik pohon, terdengar suara gemerisik. Seperti seseorang yang berjalan di atas dedaunan kering.Giman menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Hanya suara langkah yang semakin mendekat.Laras menegang. Ia bisa merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Perlahan, dari balik batang pohon yang besar, sesosok bayangan muncul.Damar.Pakaian yang dikenakannya sama seperti terakhir kali Laras melihatnya—kemeja putih yang kini lusuh dan sobek di beberapa
Pagi menjelang dengan lambat, membawa serta kabut tipis yang menggantung di udara desa. Darto menguap lebar, matanya sembab karena semalaman tak bisa tidur. Warso duduk bersandar di dinding, wajahnya masih menyisakan ketegangan semalam. Sementara itu, Laras tertidur di tikar dengan nafas berat, tubuhnya masih terasa lemah setelah apa yang terjadi.Mbah Rebo, yang sedari tadi duduk bersila sambil memegang tongkat kayunya, menghela napas panjang. “Kita tak bisa berdiam diri. Meski makhluk itu sudah pergi, aku yakin ia belum benar-benar menyerah.”Warso mengangguk pelan. “Jadi apa yang harus kita lakukan, Mbah?”Orang tua itu menatap ke luar jendela. “Aku harus mencari tahu siapa makhluk itu dan mengapa ia begitu menginginkan Laras. Ada sesuatu yang belum terungkap.”Darto menelan ludah. “Mbah … tadi malam, sebelum makhluk itu muncul, Laras sempat menyebut nama Damar. Apakah mungkin … Damar benar-benar ada hubungannya dengan ini?”Mbah Rebo terdiam sejenak. “Mungkin. Kita harus mencari t
Warso mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Napasnya tersengal, sementara matanya terus mengawasi Laras yang kini terkulai di tikar.“Darto, kita nggak bisa nunggu lebih lama. Kita harus cari orang pintar buat nolongin Laras,” katanya dengan suara parau.Darto mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. “Giman, kamu ikut aku. Kita cari Mbah Rebo.atau siapa pun yang bisa bantu.”Giman tampak ragu, tapi melihat kondisi Laras, ia akhirnya mengangguk. “B-baik. Tapi cepat ya, aku nggak mau kalau harus lama-lama menunggu di luar.”Darto dan Giman segera keluar, meninggalkan Warso yang berjaga di samping Laras. Malam semakin pekat, udara terasa berat. Warso merapatkan jaketnya, mencoba mengusir hawa dingin yang entah berasal dari cuaca atau sesuatu yang lain.Tiba-tiba, Laras menggeliat. Kelopak matanya terbuka perlahan. Namun, ketika Warso menatap wajahnya, jantungnya hampir berhenti berdetak.Mata Laras kini bukan hanya hitam, tetapi juga dipenuhi urat-urat merah yang men
Darto, Warso, dan Giman semakin panik ketika mereka melihat Laras yang terus menatap bayangan Damar dengan mata berkaca-kaca. Angin bertiup semakin kencang, membawa aroma tanah basah dan anyir yang menusuk hidung. Tiba-tiba, Laras tersentak. Tubuhnya menegang, matanya membelalak. Seakan ada sesuatu yang saat ini tengah menghantam jiwanya. “Laras?!” Warso mengguncang bahunya dengan cukup keras. Namun, Laras sama sekali tidak memberikan reaksi. Ia malah tersenyum lebar—senyum yang bukan miliknya. Senyum itu terlalu lebar, terlalu dingin, terlalu menyeramkan. "Damar … aku akan ikut bersamamu ...." Suaranya terdengar jauh, bergema seperti bukan berasal dari dirinya sendiri. Tak lama kemudian, tubuhnya terhuyung ke belakang dan dalam sekejap, ia tertawa. Suara tawanya melengking tinggi, bergema di udara malam. Tawa yang tentu saja itu bukan milik Laras. Giman mundur dengan napas memburu. “To, Darto, bocah ini ... dia kesurupan!” Darto menggertakkan giginya. Ia pernah melihat kej
Damar menggertakkan giginya. "Tidak mungkin! Kita masih hidup! Kalian berdua yang sudah mati!" Rani mengangkat tangannya perlahan. Seketika, kabut pekat muncul dari tanah, mengelilingi mereka. Laras menjerit saat tubuhnya mulai terasa ringan, seakan ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Damar berusaha meraihnya, tetapi tiba-tiba semuanya berubah. Mata Damar membelalak. Ia tidak lagi berada di hutan. Sekelilingnya kini adalah lorong rumah tua yang gelap, dindingnya dipenuhi coretan-coretan aneh. Bau anyir menyengat hidungnya. Laras berdiri di sampingnya, tubuhnya gemetar, matanya menatap lurus ke depan. Di ujung lorong, sesosok tubuh tergantung di langit-langit. Sosok itu berayun pelan, mengenakan baju yang sama seperti yang Damar kenakan. Jantung Damar seakan berhenti berdetak. Itu dirinya sendiri. "Laras... A-apa yang terjadi...?" Laras tidak menjawab. Dia hanya menoleh perlahan ke arah Damar, matanya berubah hitam legam, bibirnya menyeringai lebar. “Kamu sudah mati, Damar.