Cluk! Cluk! "Murni...." Murni terkejut mendengar suara itu. "Bapak?" suaranya gemetar, setengah tidak percaya dengan yang ada di depan matanya saat ini. Pocong itu mengangguk perlahan. "Ya, anakku. Aku datang." Murni menggelengkan kepala, air matanya semakin deras. "Tapi... Bapak...." "Aku lelah, Pak. Aku ingin menyerah. Ini semua terlalu berat untukku," ucap Murni di sela isak tangisnya. Pocong itu mendekat dengan lompatan perlahan, lalu berhenti tepat di hadapannya. "Murni, dengarkan aku. Aku tahu rasa sakitmu, kehilanganmu, dan kehampaan yang kau rasakan. Tapi mati bukan jawaban. Kau punya tujuan besar di dunia ini, sesuatu yang harus kau perjuangkan. Jika kau menyerah sekarang, semuanya akan berakhir sia-sia." Murni menunduk, menggenggam tangannya yang gemetar. "Aku tidak tahu bagaimana caranya bertahan. Aku sudah melakukan segalanya, tapi sekarang... aku sendirian, Pak." Sosok pocong Raharjo yang kedua matanya menghitam, menatap Murni dengan mata yang dipenuhi kehangatan.
"Apa? Siapa yang harus tunduk?" pikir Murni. Murni tertegun di tempatnya. Napasnya masih memburu, menyadari dirinya kini berada di tengah-tengah sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Matanya menatap bayangan-bayangan hitam itu Murni memandangi kejadian yang belum dapat ia mengerti itu dengan mulut ternganga. Bayangan-bayangan hitam yang tadi tampak mengerikan kini merunduk di bawah kaki pocong bapaknya, mereka merapatkan tubuh—patuh pada perintah Harjo. "Ada apa ini?" lirih Murni. Sosok-sosok hitam yang jumlahnya tak terkira itu seperti mencair, melebur ke tanah dengan gerakan yang seolah memohon pengampunan dari sosok yang Murni sebut sebagai 'Bapak'. Pocong Raharjo sedikit mengambang, ikatan kain bagian bawahnya tampak sedikit menyentuh tanah. Kain kafannya yang tampak kotor karena tanah berdesir perlahan, memancarkan aura ketenangan namun juga tampak mengerikan.Murni mencoba bangkit dari posisinya yang terduduk lemas. Seluruh tubuhnya seperti menolak perintahnya, te
Murni berlari sekuat yang ia bisa tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Hutan malam itu seolah hidup, ranting-ranting pohon yang melintang di jalannya tampak bergerak, mencoba untuk menghalangi setiap langkahnya. Angin kencang meniup rambutnya ke segala arah, dan suara raungan Sangkalana terdengar semakin dekat. Napasnya semakin berat, dadanya terasa sesak. Namun, di tengah semua kekacauan itu, bisikan-bisikan dari Prana yang terpenjara di dalam dirinya masih terdengar—menggaung di telinganya. Mereka terus meronta seperti pemandu samar yang memintanya untuk terus maju. "Tanah merah... tanah merah..." suara-suara itu terus menerus berbicara, membimbingnya menuju pada sesuatu yang bahkan belum bisa ia pahami. "Aaw!" Secara tak sengaja, kakinya tersandung akar pohon yang besar yang melintang, membuat tubuhnya terjatuh ke tanah. Lututnya berdarah, dan telapak tangannya yang menggapai tanah terasa perih. Ia mengaduh, tetapi suara gemuruh l
Murni terjingkat kaget mendengar teriakan keras dari Raharjo. Teriakan yang membuat hatinya berdebar kencang. Dengan napas yang terengah-engah, ia berbalik dan melangkah maju, meskipun tubuhnya sudah terasa lelah dan hampir tak mampu lagi bergerak. Suara bapaknha yang terdengar begitu jelas dan memerintah memaksanya untuk tak membuang waktu lebih lama. Makhluk itu—Sangkalana—adalah ancaman yang nyata, dan Raharjo telah memberinya kesempatan untuk kabur. Murni pun pada akhirnya berlari dengan sisa tenaga yang ada, tubuhnya terasa berat, seolah tanah yang diinjak semakin keras dan penuh rintangan. Angin malam semakin kencang, membuat jarak pandangnya semakin kabur. Murni hanya berusaha mengingat satu hal—tanah merah yang ia cari. Itu satu-satunya petunjuk yang bisa membawanya ke tempat yang tepat. "Tanah merah..." gumamnya lagi, lebih keras kali ini, berharap bisikan itu menjadi nyata.Murni terus berlari, tubuhnya hampir roboh oleh rasa lelah yang membakar. Namun, suara Raharjo dan d
"Bapak....!" Murni berdiri terpaku, tubuhnya gemetar di tengah keheningan yang tiba-tiba terasa begitu menekan. Tidak ada lagi sosok Raharjo—sang ayah dalam wujud pocong, ular Wulung Seta yang melindunginya, atau bahkan jejak-jejak Sangkalana yang sebelumnya menjadi ancaman besar. Semua lenyap. Langit yang tadnya merah menyala kini berubah menjadi kelam, tanpa bulan, tanpa bintang. Hanya ada kegelapan yang memeluknya erat. "Bapak...? Bapak kemana?" panggilnya lirih. Suaranya bergema lemah di antara kehampaan. Namun, tak ada jawaban. Murni memutar tubuhnya, mencari-cari, berharap menemukan sesuatu—apa saja—yang bisa membuktikan bahwa semua ini bukanlah sebuah mimpi, atau ilusi. Tapi yang terlihat hanyalah bayangan dirinya sendiri di atas tanah yang dingin dan keras. Air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan. Segala hal yang baru saja ia alami terasa seperti mimpi buruk yang begitu nyata. Kemenangan atas Sangkalana yang penuh perjuangan, keberanian yang ia kumpulkan dengan su
Aji sama sekali tak ingin beranjak sedikit pun dari sisi Murni sejak kedatangannya. Tatapan matanya yang redup seolah berbisik bahwa ia belum siap kehilangan kakaknya lagi. Setiap malam selama dua minggu terakhir, ia hanya bisa terjaga dengan doa yang berulang-ulang di dalam hatinya. Dan kini, ketika doa itu akhirnya dijawab, ia tak ingin berpisah lagi, meski hanya sedetik."Jadi..." Kyai Hasan akhirnya memecah keheningan di ruangan yang terasa berat oleh rasa cemas dan lega yang bercampur aduk. Suaranya tenang, namun jelas membawa bobot pertanyaan yang penting. "Ke mana Prawiro membawamu, Nduk?"Murni terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Pikirannya melayang ke tempat gelap yang begitu asing namun terasa begitu dekat. “Ke... suatu tempat yang saya sendiri ndak tahu di mana tepatnya, Kyai,” jawab Murni akhirnya, suaranya lirih namun cukup jelas terdengar."Hanya itu?" Kyai Hasan bertanya lagi, kali ini dengan nada lebih serius.Murni menarik napa
Menjelang petang, saat langit mulai merona merah dan angin sore bertiup sejuk, suasana di rumah Kyai Hasan terasa lebih tenang. Murni masih duduk di tikar pandan bersama Aji, sementara Kyai Hasan meminum teh hangatnya dengan tenang, seolah sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, ketenangan itu seketika pecah ketika seorang pemuda muncul di halaman, berlari tergopoh-gopoh ke arah rumah Kyai Hasan. Nafasnya tersengal, wajahnya pucat, dan peluh membasahi dahinya. Ia memanggil-manggil nama Murni dan Aji dengan suara keras."Murni...! Aji...!" “Murni! Aji! Kalian di sini, kan?” teriak pemuda itu, suaranya terdengar panik. Kyai Hasan segera bangkit dari duduknya dan berjalan ke depan. "Budiman...." Lirih Kyai Hasan yang mengenali siapa pemuda yang kini berdiri dengan napas. “Budiman? Ono opo, Le? Kenapa kamu lari-lari dan terlihat berantakan seperti ini?” tanyanya, suaranya tenang namun penuh perhatian. Budiman berhenti di depan Kyai Hasan, berusaha mengatur napasnya y
Crash!Aaarrrkh!! Para warga berteriak saat sabetan pisau yang Lasmi genggam memotong seutas tali yang mengikat tubuh Mbok Tumini.Lasmi tertawa terbahak-bahak, suara tawa yang menggema di udara malam membuat suasana semakin mencekam. Para warga yang berkumpul di sekitar pohon besar itu tertegun, sebagian menahan napas, sementara yang lain tampak gelisah dan bersiap untuk melarikan diri."Kenapa kalian semua ketakutan?" ujar Lasmi lantang, suaranya terdengar penuh ejekan. "Aku hanya memotong tali, bukan hidupnya. Hahaha!" Matanya yang merah menyala memancarkan aura menyeramkan, seolah bukan lagi manusia biasa yang berdiri di sana.Kyai Hasan maju selangkah, mengangkat tangannya sebagai isyarat agar warga tetap tenang. "Lasmi, kami tidak datang untuk melawanmu. Kami hanya ingin agar kamu melepaskan Mbok Tumini, Sadarlah, Lasmi. Keluarlah kamu dari kegelapan.""Keluar?" Lasmi menyipitkan mata, ekspresinya berubah sinis. "Aku tidak
“LARAS!” teriaknya putus asa.Laras meronta semakin kuat, tapi Rani hanya terkekeh pelan, kepalanya menunduk hingga hampir menyentuh wajah Laras. Suara tawa yang terdengar mengerikan, bercampur dengan hembusan angin dingin yang menusuk tulang. Laras menggelinjang di bawah cengkeraman makhluk itu, tubuhnya bergetar hebat. Damar, yang masih terguncang akibat hantaman tak terlihat tadi, merangkak dengan napas tersengal, matanya tak lepas dari Laras yang semakin tenggelam ke dalam tanah.Mulut Rani terbuka perlahan—terlalu lebar untuk ukuran manusia. Dari dalamnya, keluar kabut hitam pekat yang berputar-putar, menyelimuti wajah Laras. Napasnya terhenti, tubuhnya kaku, dan pikirannya mulai terasa berat, seolah ada sesuatu yang mencoba menarik kesadarannya pergi.Damar melihat itu semua dengan mata melebar ketakutan. Tidak, ia tidak akan membiarkan Rani mengambil Laras!"Lepaskan dia!" Damar menggeram, suaranya dipenuhi kemarahan dan ketakutan.Joni dan Rani hanya tertawa lebih keras, seola
Damar membuka matanya perlahan. Udara di sekelilingnya terasa dingin dan lembap, menusuk sampai ke tulang. Kepalanya terasa begitu berat, seperti baru saja ditarik dari mimpi buruk yang sangat panjang. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba memahami situasi.Namun, yang pertama kali tertangkap oleh matanya bukanlah langit-langit rumah Darto, melainkan sebuah atap tua yang reyot, penuh dengan sarang laba-laba. Damar menelan ludah, rasa cemas menjalari tubuhnya."Laras ...?" bisiknya serak.Di sebelahnya, Laras menggeliat pelan, lalu perlahan membuka mata. Begitu ia melihat sekeliling, napasnya tercekat."Damar ... k-kita ... di mana ini?" suaranya bergetar, kepalanya menoleh ke kana dan ke kiri, menyadari jika saat ini mereka berdua telah berpindah tempat.Damar buru-buru bangkit dan segera menarik tangan Laras untuk duduk. Mereka berdua kini benar-benar sadar sepenuhnya—mereka tidak lagi berada di rumah Darto.Mereka ada di depan rumah tua itu. Rumah yang seharusnya telah mereka tinggalk
Asap hitam terus berputar, membentuk sosok yang semakin jelas di tengah kobaran api. Wajahnya berubah-ubah—kadang seperti seorang wanita dengan mata kosong yang penuh kebencian, kadang menyerupai tengkorak yang menganga dengan senyum mengerikan.Laras mundur selangkah, napasnya memburu. Damar meremas bahunya erat, berusaha menahan ketakutan yang menjalari tubuhnya.Tiba-tiba, sosok itu membuka mulutnya, mengeluarkan suara yang bukan milik manusia."Panas!! Beraninya kalian membakarnya?"Suaranya menggaung, bergema di seluruh ruangan, membuat dada mereka terasa sesak.Giman mengatupkan rahangnya rapat. "Kita harus mengusirnya sebelum semuanya terlambat!"Darto dengan sigap meraih segenggam garam dari kantong kecil di pinggangnya, lalu melemparkannya ke arah bayangan itu. "Pergi! Kau tidak punya tempat di sini!"Cesss!Begitu garam mengenai asap hitam itu, suara mendesis terdengar. Sosok tersebut bergetar hebat, mengeluarkan jeritan melengking yang membuat telinga mereka berdenging.Nam
"Dan ada bekas cakaran di wajahnya?" sela Giman.Laras tersentak. Matanya melebar, menatap Giman dengan penuh keterkejutan. "Bagaimana Bapak tahu?" suaranya nyaris berbisik, bergetar oleh ketakutan yang semakin menusuk.Giman menelan ludah, sementara Warso dan Darto semakin tegang. Darto bahkan tanpa sadar meremas ujung sarung yang melilit pinggangnya, seolah mencari pegangan agar tetap berdiri tegak."Kalian benar-benar sudah celaka!" Suara Giman terdengar berat. "Karena kalau yang kalian temui itu memang Joko, berarti kalian tidak bertemu dengan manusia."Laras merasakan lututnya melemas. "Apa maksudnya, Pak?"Warso mendesah panjang, matanya menatap lurus ke arah Laras dan Damar. "Joko memang kepala desa Juwono ... dulu. Tapi dia sudah mati sejak lebih dari dua puluh tahun yang lalu."Damar menegang. "Tidak mungkin! Kami berbicara dengannya, bahkan dia menyambut kami, memberi kami makan!""Dia juga membiarkan kami meng
Laras menelan ludah, matanya masih terpaku pada kehampaan di belakang mereka. "Lalu ... siapa kalian?" Warso, pria paruh baya dengan sorot mata tajam, memandang Laras dan Damar dengan penuh selidik. Napasnya masih tersengal setelah perjuangan mereka keluar dari hutan terkutuk itu. Di sampingnya, Giman dan Darto juga tampak waspada, seolah masih khawatir akan sesuatu yang bisa saja mengikuti mereka keluar. "Kami yang seharusnya bertanya. Kalian ini siapa? Kenapa bisa sampai di tempat itu?" Warso akhirnya membuka suara. Rasa penasaran terpancar jelas dari wajahnya. Damar masih terduduk lemah di tanah. Dadanya masih terlihat naik turun, mencoba menenangkan napasnya. Bahunya yang terluka mulai membiru, tapi ia tidak punya waktu untuk mengkhawatirkannya sekarang. Laras menatap Warso dengan ragu, sebelum akhirnya berbicara. "Kami ... tersesat, Pak. Kami tidak tahu kalau tempat itu berbahaya." Giman, pria bertubuh kurus dengan wajah cekung, menatap mereka dengan sorot mata penuh ke
Laras terengah-engah, tubuhnya nyaris tak sanggup berdiri setelah tarikan kasar dari Damar. Tenggorokannya kering, dan dadanya terasa sesak seakan udara di sekitar mereka semakin menipis. Tapi yang lebih menyesakkan adalah tatapan Rani—tatapan penuh keputusasaan yang masih tertinggal di benaknya. "Laras! Bangun! Kita harus lari!" Damar berusaha menariknya berdiri, tapi kaki Laras seperti kehilangan tenaga. "Damar ... tolong. Aku udah nggak kuat." Laras menatap nanae kw arah Damar. "Ras! Fokus!" Damar mengguncang tubuhnya, suaranya penuh putus asa. "Kalau kita berhenti sekarang, kita akan mati!" Laras menarik napas dalam-dalam. Ia memaksa dirinya untuk kembali ke kenyataan, menepis rasa bimbang yang menggerogoti hatinya. Matanya bertemu dengan mata Damar—sarat dengan ketakutan dan kepanikan, tapi juga keyakinan. Damar percaya mereka bisa keluar dari sini. Mereka harus bisa. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Laras bangkit. Tangannya masih gemetar, tapi ia menggenggam erat tangan
"Aaaa...!" Laras menjerit, tubuhnya terhuyung ke belakang hingga hampir jatuh. Damar mematung, tubuhnya membeku seperti batu. Tenggorokannya terasa kering, napasnya pendek-pendek, dan dadanya berdebar kencang. Itu… mereka. Tubuh mereka sendiri."Tidak! Ini pasti mimpi!" Laras mengguncang kepalanya dengan putus asa. Matanya menatap nanar ke arah mayat yang terduduk di dalam mobil. Itu—adalah wajahnya sendiri, matanya sendiri—tetapi kosong. Mati.Damar mundur selangkah, lalu dua langkah, tangannya terangkat gemetar. "Ini... ini tidak masuk akal," bisiknya.Wanita tua itu masih berdiri di tempatnya, menatap mereka dengan sorot mata iba bercampur ngeri. "Aku sudah bilang... tidak ada yang bisa keluar dari desa itu tanpa meninggalkan sesuatu di dalamnya."Laras menatap wanita itu dengan mata berkaca-kaca, menggeleng keras. "Tapi... tapi kami ada di sini! Kami masih hidup!"Wanita tua itu menghela napas panjang, lalu perlahan berjalan mendekat. Suaranya melembut, tetapi tetap terdengar sep
"Selamat tinggal, Rani."Laras jatuh berlutut di tanah yang masih dingin oleh embun pagi. Isak tangisnya pecah, dadanya bergemuruh dengan kesedihan yang tak tertahankan. Kedua tangannya mencengkeram rumput liar di sekitarnya, seakan ingin meraih sesuatu yang telah hilang.Joko dan Damar saling berpandangan, napas mereka masih tersengal setelah berlari menembus gelapnya hutan. Damar sendiri tahu betul bahwa mereka telah kehilangan sesuatu yang tak akan pernah kembali.Joni dan Rani. Mereka terjebak di desa terkutuk itu dan tak bisa lagi diselamatkan.Laras menggeleng keras, menolak kenyataan yang baru saja terjadi. "Tidak... mereka masih bisa kita bawa pulang... 'kan?" Joko mengalihkan pandangannya, rahangnya mengatup rapat. "Sudah terlambat." gumamnya.Damar menggenggam bahu Laras, mencoba menenangkannya meski dirinya sendiri masih dikejar rasa takut. "Kita harus pergi. Hutan itu... desa itu... tempat ini bukan untuk kita."Laras menoleh, matanya yang basah penuh amarah. "Jadi kita a
Joko memejamkan mata, rahangnya mengatup rapat. Napasnya tertahan di tenggorokan.Bodoh!Ia sudah memperingatkan mereka untuk tidak bersuara, tapi Laras justru berteriak. Itu adalah kesalahan besar.Angin malam bertiup lebih kencang, membawa aroma busuk yang menusuk hidung. Seperti bau bangkai yang telah membusuk selama berhari-hari.Damar merasakan tengkuknya meremang. Ia melangkah mundur dengan hati-hati, tetapi sesuatu dalam tatapan Rani membuatnya sulit berpaling."Bukan Rani. Itu bukan Rani," ucap Damar di dalam hatinya. Sosok di hadapan mereka berdiri kaku, tubuhnya sedikit membungkuk dengan tangan tergantung lemas di sisi tubuhnya. Bibirnya pecah-pecah, dan dari sudut bibirnya menetes cairan hitam yang berbau busuk. Matanya… kosong. Sepasang bola mata itu hitam legam, tak ada putihnya sama sekali.“Larasss… Kenapa… lari? Ini aku.”Suara Rani bergetar, seperti ada sesuatu yang bergema di dalamnya. Seperti bukan hanya satu suara, tapi banyak suara yang bertumpuk menjadi satu.La