Home / Horor / 40 Hari Setelah Kematian Bapak / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of 40 Hari Setelah Kematian Bapak: Chapter 41 - Chapter 50

102 Chapters

Bab 41. Pintu Telah Terbuka

Kabut yang semula tebal perlahan memudar, menyisakan keheningan yang mencekam. Di hadapan mereka, sebuah jalan setapak mulai terlihat jelas. Aji memandang sekeliling dengan hati-hati, matanya menangkap dua tiang besar di ujung jalan itu—sebuah gapura tua yang menjadi pintu masuk pekuburan. “Astaghfirullah…” gumam Aji lirih, matanya melebar ketika menyadari di mana mereka berada. "Mbak, kita ada di gapura makam!" Murni perlahan bangkit dari tanah dengan tubuh gemetar. Wajahnya pucat pasi, dan keringat dingin membasahi dahinya. Batu hitam di dadanya kini tak lagi sepanas tadi. Murni telah berhasil menahan diri. Gadis itu menatap dua gapura yang berdiri tegak itu dengan mata nanar, seolah ada sesuatu yang mengundangnya untuk melangkah lebih jauh. “Aji… itu jalan keluar, kan?” suaranya terdengar parau, penuh harapan yang samar. Aji menoleh ke arah jalan setapak yang terbentang di balik gapura. Di ujungnya, samar-samar terlihat cahaya remang-remang dari obor kecil yang berkeli
last updateLast Updated : 2024-12-18
Read more

Bab 42. Menjadi Penjara

Kyai Hasan menatap gadis itu dengan penuh rasa iba, matanya menyiratkan keprihatinan mendalam atas nasib yang kini harus dipikul oleh Murni. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Artinya, Nduk, mulai saat ini kamu akan menjadi penjara bagi makhluk ini. Batu hitam ini akan tetap berada di tubuhmu, menjadi pintu yang terkunci. Tugasmu adalah menjaga agar pintu itu tidak pernah terbuka lagi. Jangan biarkan kebencian, dendam, atau kelemahan hatimu memberi Prana kesempatan untuk bebas."Murni menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak yang hampir meledak. Tubuhnya terasa dingin, seolah beban dunia telah diletakkan di pundaknya. Batu hitam yang kini bersarang di tubuhnya bukan sekadar simbol, melainkan pengingat abadi akan kehadiran makhluk yang akan terus hidup di dalam dirinya.Aji, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara. Wajahnya memerah oleh emosi yang tertahan. "Tapi... bagaimana Mbak Murni bisa hidup dengan itu, Kyai? Apakah tidak ada cara lain?"Kyai Hasan menatap pemuda itu
last updateLast Updated : 2024-12-19
Read more

Bab 43. Penemuan Mayat

Kyai Hasan bangkit perlahan. Wajahnya tampak tenang, tetapi matanya menyiratkan kehati-hatian yang mendalam. Ia menoleh kepada Pak Karman. “Pak Karman, tolong bawa tubuh ini ke balai warga. Kita harus membahas ini dengan warga. Ada yang tidak beres dengan kematiannya,” katanya tegas. Pak Karman mengangguk, lalu memberi isyarat kepada beberapa warga untuk mengangkat tubuh pria itu menggunakan tandu darurat yang terbuat dari bambu dan kain. Beberapa lelaki segera bergerak sesuai arahan Pak Karman, meski wajah mereka jelas menunjukkan rasa takut yang tidak dapat ditutupi. Aji, yang berdiri di dekat Murni, bergidik ngeri. “Kyai,” panggilnya pelan, “Saya merasa pernah melihat hal ini sebelumnya. "Di mana?" tanya Kyai Hasan pelan. "Waktu itu, almarhum Pak Kasnan, anak buah Bapak meninggal di rumah kami dalam keadaan hampir sama seperti ini. Bekas luka bakarnya... dan hitamnya... hampir sama persis,” jawab Aji. Kyai Hasan memutar tubuhnya, menatap Aji dengan pandangan tajam. “Kasn
last updateLast Updated : 2024-12-19
Read more

Bab 44. Tantangan Prana

Malam itu, suasana desa semakin mencekam. Angin dingin bertiup, membawa aroma lembab dari tanah yang baru saja diguyur hujan sore tadi. Langit malam tertutup awan tebal, menambah kelam suasana. Di masjid, warga mulai berkumpul satu per satu. Lampu-lampu minyak dipasang di setiap sudut, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding, seakan menggambarkan kegelisahan yang melanda hati mereka.Kyai Hasan duduk di sudut ruangan bersama Aji dan Pak Karman. Ia memandangi warga yang perlahan berdatangan. Namun, meski mulutnya komat-kamit membaca doa, matanya sesekali melirik ke pintu masjid, menunggu kehadiran Murni.“Belum ada tanda-tanda dari Mbak Murni, Kyai,” bisik Aji, suaranya penuh kecemasan. “Tadi saya lihat dia masuk ke kamar setelah kita pulang dari balai desa.”Kyai Hasan mengangguk pelan, raut wajahnya tamoak semakin keruh. “Aji, coba kamu temui Murni, dan ajak dia datang kemari. Sebentar saja, ini penting." "Nggih, Kyai."Tanpa menunggu lama, Aji segera bangkit dan melangk
last updateLast Updated : 2024-12-19
Read more

Bab 45. Mencoba Keluar

Saat suasana masjid semakin mencekam, suara doa yang dilantunkan oleh Kyai Hasan semakin lantang, bergema memenuhi ruangan. Namun, bayangan hitam yang merayap keluar dari tubuh Murni semakin kuat, membentuk pusaran gelap di tengah masjid. Aji, yang berdiri di sudut, menatap kakaknya dengan campuran rasa takut dan keberanian yang memuncak. “Mbak! Berhenti, Mbak! Jangan biarkan dia menguasai tubuhmu!” seru Aji dengan suara bergetar. Murni, yang wajahnya kini dipenuhi seringai menyeramkan, menoleh perlahan ke arah Aji. “Aji… kamu masih peduli padaku?” Suaranya melunak, seperti suara Murni yang sebenarnya. Namun, seringai itu tetap menghiasi wajahnya, membuat perasaan Aji semakin kacau. “Mbak, tolong! Lawan dia! Jangan biarkan dia menguasaimu!” Aji memohon dengan suara yang hampir pecah. Murni tertawa kecil, tetapi tawanya berubah menjadi tawa panjang yang menggema, seakan berasal dari banyak suara sekaligus. Tiba-tiba, tangan dan kakinya bergerak dengan cara yang tidak wajar, seolah-
last updateLast Updated : 2024-12-20
Read more

Bab 46. Niat Jahat

Murni berjalan di jalan setapak desa Karang Tengah, langkahnya gontai, kepala tertunduk dalam-dalam. Dari kejauhan, ia bisa mendengar bisik-bisik yang terdengar jelas di tengah sunyi pagi. “Dia itu pembawa sial.” “Jangan biarkan anak-anak kita mendekatinya!” “Kenapa Kyai Hasan masih mau membelanya?” "Dia adalah Prana!" Bisikan-bisikan itu terdengar tajam, menusuk hingga ke dalam hati Murni. Wajah-wajah warga yang dulunya ramah kepadanya saat datang pertama kali kini berubah dingin, bahkan ada sorot penuh kebencian di mata mereka. Beberapa ibu-ibu menatapnya sambil menarik anak-anak mereka menjauh saat melihat Murni. Beberapa pria tua, yang biasanya duduk santai di pos ronda, menghentikan obrolan mereka dan memalingkan wajah, seolah menatap Murni sebagai sesuatu yang memang tak patut dilihat. Murni menahan air matanya yang hampir jatuh. Ia tahu, ini adalah konsekuensi dari apa yang terjadi di masjid malam itu. Prana memang belum sepenuhnya pergi, dan keberadaannya masih men
last updateLast Updated : 2024-12-20
Read more

Bab 47. Gagal

Hujan deras mengguyur desa Karang Tengah. Langit hitam pekat, sesekali diterangi kilatan petir yang menyambar tanpa ampun. Lasmi melangkah dengan tergesa-gesa di jalanan berlumpur, kendi tua di tangannya berguncang seirama dengan langkah kakinya. Ia menggigit bibirnya, menahan gemetar yang menjalar di seluruh tubuhnya, bukan karena dingin, tapi karena rasa takut yang ia coba abaikan. "Tidak akan ku biarkan kamu merusak apa yang telah aku korbankan selama ini, Murni. Meskipun kau adalah ... darahku!" Swossh! Langkahnya terhenti ketika tiba-tiba ia merasakan hawa dingin menusuk tulang. Angin kencang berhembus, membawa suara lirih yang menyerupai rintihan. Jantung Lasmi berdetak semakin cepat. Di depan matanya, samar-samar terlihat sosok putih berdiri di tengah jalan setapak yang hendak ia lalui. “Siapa di sana?” seru Lasmi dengan nada penuh keberanian yang dipaksakan. Sosok itu tidak bergerak, namun perlahan menjadi semakin jelas. Wajahnya tertutup kain kafan lusuh yang basah,
last updateLast Updated : 2024-12-21
Read more

Bab 48. Murka

Lasmi melangkah gontai kembali ke rumahnya. Kendi yang telah pecah tadi menyisakan sisa cairan hitam dan busuk yang menempel di pakaiannya. Langkah kakinya terasa berat, seperti ada ribuan ton beban yang mengikatnya ke tanah. Hujan masih mengguyur, menambah kesan kelam pada malam itu.Ketika ia akhirnya tiba di rumah, sesuatu yang ganjil langsung menyambutnya. Udara di sekitarnya terasa lebih dingin dari sekedae tubub yang menggigil karena air hujan yang membasahi tubuhnya. Semua terasa menyesakkan dan menghimpit dadanya. Rumah yang biasanya remang-remang oleh lampu minyak kini begitu gelap gulita, hanya diterangi oleh kilatan petir yang menyambar sesekali. Pintu depan rumahnya terbuka lebar, berayun-ayun seperti dipermainkan oleh angin.Lasmi melangkah masuk dengan hati-hati, tubuhnya basah kuyup dan bergetar. "Sangkalana..." panggilnya lirih. Namun, tak ada jawaban. Hanya suara derak kayu yang terdengar, seperti rumah itu tengah merintih kesakitan.Tiba-tiba, suara gemuruh bergema d
last updateLast Updated : 2024-12-21
Read more

Bab 49. Ketemu

Para warga, meski diliputi rasa takut, pada akhirnya memutuskan untuk membawa Lasmi ke puskesmas kecil di daerah kota. Tubuh Lasmi yang kaku dan matanya yang menyala-nyala membuat suasana semakin mencekam. Beberapa pria desa memanggul tubuhnya dengan hati-hati, diikuti doa-doa lirih dari para wanita yang mengiringi mereka. Sepanjang perjalanan, Lasmi hanya diam. Namun, sesekali ia tertawa kecil dengan suara serak yang aneh, suada itu seperti bukan dirinya. Udara malam yang dingin menusuk tulang terasa semakin berat, membuat setiap langkah terasa semakin lambat. Ketika mobil pick-up yang membawa Lasmi sampai di jalan utama menuju desa Karang Tengah, tiba-tiba Lasmi menjerit keras. "BERHENTI! BERHENTIII... AKU HARUS KE SANA!" teriaknya dengan suara yang memekakkan telinga. Tubuhnya yang sebelumnya lemas tiba-tiba meloncat dengan kekuatan yang tak terduga, membuat para pria yang memegangi tubuhnya terpental. Lasmi melompat turun dari pick-up dan berlari menuju jalan yang mengarah k
last updateLast Updated : 2024-12-22
Read more

Bab 50. Sangkalana Datang

Tubuh Murni tiba-tiba ambruk, menggeliat dengan tangan mencengkeram dadanya yang terasa semakin sesak. Nafasnya terengah-engah, seperti ada sesuatu yang mencoba merobek jalan keluar dari dalam tubuhnya. Aji panik dan segera berlutut di samping kakaknya, memegangi bahunya dengan kuat. "Mbak! Bertahan, Mbak! Jangan menyerah!" seru Aji dengan suara putus asa. Kyai Hasan yang masih berdiri di ambang pintu langsung menoleh ke arah Murni. Raut wajahnya semakin serius. "Aji, bawa Murni ke ruangan tengah. Jangan biarkan dia keluar, dan jangan pernah tinggalkan dia sendiri!" perintahnya tegas. Namun, sebelum Aji sempat mengangkat tubuh Murni, pintu pondok mendadak bergetar hebat, seperti dihantam oleh sesuatu yang sangat kuat. Suara keras itu membuat Murni menjerit, sementara Aji segera berdiri di hadapan pintu, berusaha melindungi kakaknya. "Keluar kau, Anak Harjo!" suara Lasmi terdengar menggelegar dari luar. Kyai Hasan menatap pintu dengan mata penuh kewaspadaan. Ia menggenggam ta
last updateLast Updated : 2024-12-22
Read more
PREV
1
...
34567
...
11
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status